Para ulama berbeda pendapat masalah tafsir al-Tabi’in dan
bepedoman dengan kata-kata mereka apa bila tidk sesui dengan riwyat dari Nabi
Muhammad saw. dan para sahabt rda.
Ada
dua riwayat dari imam Ahmad yang pertama menerimaya yang kedua menolaknya,
pendapt sebagian ulama menolak tafsir al-Tabi’in dan pendapat ini dipilih oleh
ibn Aqil, dan diceritakan juga dari Syu’bah. Argumentasi mereka adalah karena
para Tabi’in tidk mendengar langsung dari Nabi Muhammad saw. jadi tidak bisa
disejajarkan dengan tafsir Shabat, karena para Shabat mendengar langsung dari
Nabi Muhammad saw. dan para Tabi’in juga tidak menyaksikan situasi dan kondisi
disaat al-Quran diturunkan, bisa saja pemahaman mereka salah dan menganggap
dalil sesuatu yang bukan dalil, dilain fihak ke adilan Tabi’in tidak ada nas yang menjelaskan
seperti halnya keadilan Sahabat. ada sebuah riwayat dari Abu Hanifah, beliau
berkta: Apa yang dating dari Nabi Muhammad saw. sudah jelas dan gambling, Apa
yang dating dari Shabat kami boleh memilih, dan Apa yang dating dari Tabi’in
mereka adalah tokoh-tokoh dan kamipun tokoh-tokoh seperti mereka.
Kebanyakan
ahli tafsir berpendapat boleh mengambil tafsir al-Tabi’in karena mereka
mengambil mayoritas penafsiran mereka dari sahabat, Mujahid misalnya berkata:
saya menanyakan mushaf kepada Ibn Abbas dari awal sampai ahkir tiga kali,
tiap-tiap ayat saya berhenti dan bertanya kepadanay, Qatadah juga berkata:
Tidak satupun ayat dari al-Quran yang tidak akau dengar sesuatu dari sahabat,
karena alasan inilah banyak ahli tafsir dalam kitab2 mereka menampilkan dan
berlandasan dengan perkataan al-Tabi’in.
Pendapat
uang mungkin bisa diterima akal adalah bahwa tafsir al-Tabi’in tidak wajib
diambil apa bila memakai al-Ra’yu dalam penafsiranya, bisa juga diambil apa bila
tidak ada keraguan, kalau kiat ragu, seperti mengambil dari riwayat
ahl-al-Kitab maka kita akan meninggalakan dan tidak mengambilnya, kalau semua
al-Tabi’in berijma’ pada suatu pendapat maka wajib kita mengambil dan
berlandasan denganya.
Ibnu Taimiyah berkata, menukil
perkataan Syu’bh bin al-Hajjaj dll.: perkataan al-Tabi’in bukanlah hujjjah,
lalu bagaiman bisa dianggap hujjah dalam tafsir, yang berarti bukanlah hujjjah
atas pendapat yang berbeda denganya, inilah pendapat yang sahih, kalau mereka
berijma’ pada suatu pendapat maka tidah ragu lagi kalu itu hujjah, kalau
perkataan al-Tabi’in berbeda-beda maka bukanlah hujah ats pendapat yang lain
dan juga orang-orang setlahnya,dan dikembalikan pada bahasa al-Quran, sunnah,
keumuman bahasa arab, atau perkataan sahabat.
Karakteristik
tafsir al-Tabi’in
ada
beberapa Karakteristik tafsir al-Tabi’in diantaranya:
1. tafsir al-Tabi’in banyak
dirasuki cerita israiliyat dan nasraniyat, hal tersebut disebabkan banyaknya
ahl Al-Kitab yang masuk islam, dan mereka banyak bercerita dengan hal-hal yang
tidak sesuai dengan hukum sya’I, seperti cerita awal penciptaan, rahasia-rahsia
alam, awal penciptaan alam, dan masih banyak lagi, dan cerita- cerita mereka
yang merupak karangan orang2 yahudi dan nasraniy, banyak menarik hati dan jiwa
apa yang diisyaratkan al-quran, lalu al-Tabi’in menganggap gampang lalu mereka
mencmpur aduk penafsiran al-quran dengan cerita israiliyat dan nasraniyat tampa
keritik dan meneliti, riwayat yang paling banya diambil dari ahl Al-Kitab yang
masuk islam adala Abdullah bin salam, ka’ab al-ahbar, wahhab bin munabbig,
Abdulmalik bin abduaziz bin juraij, tidak dipungkiri lagi bahwa mengambil
cerita israiliyat dalam tafsir al-Tabi’in adalah hal yang lumrah, dan juga
dikiuti generasi selanjutnya. nanti bahsan ini akan perluas disaat menjelaskan
kelemahan penafsiran bilma’sur.
2. penafsiran al-quran sudah
menjelma dengan mengambil dan riwayat dari guru, akan tetapi tidak sama persis
dengan denagn pengambilan dan periwayatan dimasa Nabi Muhammad saw. dan
sahabt-sahabatnya, bahkan pengambilan dan periwayatan dimasa al-Tabi’in
bersifat khusus, dimesir memiliki cara khusus pengambilan dan periwayatan dari
imam2 mereka, dimekkah mengambil dari
ibnu abbas, di madinah dati Ubay, di Iraq dari ibnu Masud dst…….
3. dimasa al-Tabi’in trjadi
perbedaan pedapat mazhab, lalu banyak penafsiran yang mewakili mazhab- mazhab
itu, seperti qatadah bin da’amah al-sadusi terlalu memperdal masalah qada’ dan
qadar ditengarai dia itu qadariyah, tidak diragukan lagi hal itu mempengaruhi
penafsiranya, dengan alasan itu banyak orang yang enggan meriwayatkan dfarinya,
dan kami temui hasan al-Basri, penetapkan qadar dan menhakfirkan orang yang
mendustakanya.
4. Banyak perbedaan dalam tafsir
dimasa al-Tabi’in, disbanding dimasa sahabat, meskipun itu bisa dikatakan kecil
disbanding masa-masa terakhir.