BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Luasnya keanekaragaman karya-karya tafsir tidak dapat
dipungkiri karena telah menjadi fakta bahwa para penafsir pada umumnya
mempunyai cara berfikir yang berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang
pengetahuan dan orientasi mereka dalam menafsirkan al-Qur’an. Bermunculanlah
karya-karya tafsir yang beraneka ragam yang kesemuanya berkeinginan untuk
memahami apayang terdapat didalam al-Qur’an agar dapat membimbing dan menjawab
permasalahan-permasalahan umat manusia dimuka bumi ini.
Terlepas dari perkembangan tafsir yang pesat, maka tidak
etis jika melewatkannya tanpa adanya kajian-kajian terhadap kitab-kitab tafsir
tersebut. Kajian terhadap kitab tafsir sangatlah perlu untuk meneliti,
menggukur, menimpang bahkan untuk mengkritik kitab tetsebut, karena kitab
tafsir merupakan produk pemikiran manusia dan tidaklah sakral. Salah satu kitab
tafir yang pantas diperhitungkan adalah kitab Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Quran
‘Adzim wa al-sab’i al-Matsani karya Al-alusi.
Karya al-alusi ini bisa dikatakan sebagai kitab tafsir
yang komperhensif, mengingat beliau banyak mengutip pendapat-pendapat ulama
sebelumnya dan disertai kritik yang tajam dan memilih pendapat yang kuat
diantara pendapat-pendapat yang ada. Banyak komentar ulama mengenai kitab
tafsir al-Alusi, baik itu berupa kritik maupun apresiasi, seperti Ruh al-Ma’ani
dikatakan sebagai tafsir Isyari dan lain sebagianya.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana biografi al-Alusi?.
Metode apa yang digunakan al-Alusi dalam
tafsirnya?.
Corak apa yang kental dalam tafsir
al-Alusi?.
Bagaimana sistematika tafsir al-Alusi?.
C. Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui biografi al-Alusi.
Meneliti Metode yang digunakan al-Alusi
dalam tafsirnya.
Menemukan Corak yang kental dalam tafsir
al-Alusi.
Mengidentifikasi sistematika tafsir
al-Alusi.
BAB
II PEMBAHASAN
A. Biografi Imam
Al-Alusi
Nama lengkap imam al-Alusi adalah Abu al-Ma’ali
Jamaluddin bin as-Sayid Abdullah Baharuddin bin Muhammad al-Khatib al-Alusi
al-Baghdadi al-Husaini. Beliau adalah keturunan Imam al-Husain dari ayahnya dan
keturunan imam al-Hasan (Ibnu Ali bin Abi Thalib) dari ibunya. Beliau
dilahirkan kota Kurkh, Baghdad pada Jum’at 15 Sya’ban1207 Hijriyah.
Pada usia muda beliau dibimbing oleh orang tuanya
sendiri. Beliau juga belajar kepada ulama-ulama besar pada masa itu yaitu
diantaranya Syekh As-Suwaydy dan syekh khlaid An-Naqsybandy, dari Syekh yang
disebutkan terkhir ini ia belajar tasawuf kepadanya.Beliau menjadi mufti
madzhab Hanafi ditahun 1246 H. sebelumnya di memegang bidang wakaf Marjaniyah,
lalu ia berhenti dibulan Syawal 1263 H setelah menyusun tafsirnya hingga
menyempurnakannya. Kemudian ia mengembara ke kota konstantinopel (sekarang
Istanbul, Turki) pada tahun 1267H, disana ia mengajukan tafsirnya kepada Raja
Abdul Majid Khon. Al-Alusi Rahimahullah wafat di hari Jum’at tanggal 25 Dlul
Qa’dah 1270 H.
Pada nama beliau ada kata al-Alusi yang menunjukkan bahwa
beliau berasal dari keluarga yang berintisab kepada al-Alusiyah, yang
dinisbatkan kepada Alus (ألوس). Pendapat inilah yang dikuatkan oleh al-’Alâmah Muhammad
Bahjah al-Atsari dalam kitab A’lâm al-’Irâq, hlm. 7.
Alusi adalah keluarga terhormat, Sekalipun silsilah nasab
Alusi adalah benar dan terbukti keturunan Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-,
namun keluarga Alusi adalah keluarga yang menjauhi dari berbangga-bangga
terhadap keturunan. Keluarga Alusi adalah keluarga yang terkenal akan
keilmuannya, ketenaran mereka sebagai keluarga berilmu sudah sangat cukup bagi
mereka.
B. Guru dan Muridnya
Adapun guru-guru beliau, berikut ini:
1). Ayah beliau sendiri Baharuddin al-Alusi
(lahir 1248 H – wafat 1291 H).
2) Paman beliau, al-’Alâmah as-Salafi Nu’man
Khairuddin Abu al-Barakat al-Alusi.
3)Ismail bin Musthafa al-Mushili (lahir 1200
H – wafat 1270).
Beliau juga mempelajari ilmu tafsir dari
Syaikh Bahaulhaq al-Hindi, seorang ulama keturunan India yang menetap di
Baghdad (lahir 1256 H – wafat 1300 H). Adapun dalam cabang ilmu Musthalah
al-Hadîts, beliau belajar kepada Syaikh Abdussalam bin Muhammad bin Said
an-Najd, yang lebih populer dengan nama asy-Syawwaf (lahir 1243 H – 1318 H).
salah satu guru al-Alusi adalah Syaikh Muhammad Amin al-Khurasini al-Farisi,
dll.
Adapun murid-murid beliau yang terkenal:
1). Muhammad Bahjah
al-Atsary (lahir 1322 H – wafat 1416 H).
2). Ma’ruf ar-Rasafi
(lahir 1294 H – wafat 1364 H).
3). Nu’man bin Ahmad
bin al-Haq Ismail al-A’dhani al-Ubeidi (lahir 1293 H – 1358)
4). Ali Alauddin al-Alusi (lahir 1277 H – 1340
H).
5). Abdul Aziz
ar-Rasyid al-Kuwaiti (wafat 1357 H)
6). Thaha bin Shalih
ad-Dani (lahir 1310 H – wafat 1365 H).
7). Ahli Bahasa Abdul Latif
(wafat 1363 H).
8). Abbas al-Bazawi, ahli sejarah dari Irak
yang masyhur (wafat 1971 H).
9). Munir al-Dadi
(lahir 1313 H – wafat 1340 H).
10). Sulaiman ad-Dakhil
an-Najdi (lahir 1244 H – wafat 1364 H) dll.
C. Akidah Al-Alusi
Jika kita mengamati akidah beliau dengan membaca
karya-karyanya, nampak beliau menempuh tiga fase dalam perjalanan ilmunya. Fase
pertama: Di fase pertama ini beliau masih berakidah dengan pemahaman Sufiyah
murni. Beliau berakidah sufi semenjak perjalanan awal mencari ilmu hingga
berumur tiga puluh tahun. Murid beliau syaikh Muhammad Bahjah al-Atsari
menceritakan dalam karyanya “A’lam al-Irak” hal. 91 :”…Akan tetapi beliau yang
saat itu masih muda terpengaruh dengan aqidah sufi yang beliau warisi dari ayah
beliau sendiri, yang merupakan guru beliau pertama kali. Beliau saat itu tidak
dapat berguru kepada paman beliau yang merupakan ulama berpemahaman salaf yang
menentang dan menghancurkan pemahaman khurafat, serta membuang ajaran “taklid”
pada guru, dan sikap fanatik buta menghalangi “pandangan” beliau dari belajar
kepada paman beliau sendiri, al-Allaamah as-Salafi Nu’man Khairuddin Abu
albarakat as-Salafi”.
Fase kedua : Pada fase ini akidah beliau bercampur antara
akidah sufi dan akidah salaf. Ini tidak berlangsung lama. Pada fase ini
al-Allaamah al-Atsari berkata :” Saat beliau mencapai fasre ini, dalam
kehidupannya, semakin luas wawasan dan keilmun beliau, kami mengamati beliau
mulai berpikir dan berupaya mencermati akidah dan madzhab yang beliau yakini
pada masa mudanya”. (kitab Mahmud Sukri al-Alusi, wa araauhu al-Lughawiyah :
hal : 76).
Fase ketiga :Pada fase inilah syaikh al-Alusi menetapi
akidah salaf yang mendakwahkan tauhid dan membuang akidah salaf. Mengomentari
fase ini al-Allaamah al-Atsari berkata : “Kemudian beliau menampakkan
kecondongan kepada dakwah salaf dengan keberanian dan kekuatan saat Daulah
Ustmani yang berpemahaman Sufi melawan segala gerakan pembaharuan dengan
kekuasaannya. Beliau tunjukkan keberpihakan beliau pada akidah salaf dalam
kitab karya beliau “Fath al-Mannan Tatimmah minhaj Ta’sir rod Sulh al-Ikhwan” (فتح المنان تتمة ), yang beliau seleesaikan di bulan Dzulhijjah tahun 1307 H,
dan di cetak di India pada tahun 1309 H”.
D. Hasil Karya
Sekitar 56 judul buku dan tulisan yang beliau tulis,
diantaranya kitab : Ghoyah al-Amaani fi
ar-Radh ala an-Nabhani, sebuah kitab bantahan atas kitab “Syawahidul Haq” karya
an-Nabhani yang berisikan kebodohan, nukilan-nukilan palsu, pendapat yang lemah
dan dalil-dalil yang dibalik dalam permasalahan “ Bolehnya istighosah kepada
selain Allah, dan celaan-celaan terhadap para ulama penolong sunnah, semisal
Ibnu Taimiyyah…”
Setelah beliau menulis kitab ini, an-Nabhani
giat membantah dengan syair. Syair yang mencela para ulama Islam, maka beliau
membantah lagi dengan menulis kitab al-AAyah al-Kubra ala Dholah an-Nabhani fi
Raaitaihi as-Sughra. Dan maksud tulisan tangan kitab ini oleh beliau dapat di
jumpai di perpustakaan peninggalan sejarah yang terletak di Irak, dalam 56
halaman dengan no. 8721.
Karya-karyanya yang lain diantaranya: Hasyiyah
'ala alQatr, Syarh al-Salim, al-Ajwibah al-'Iraqiyyah ’an As'ilah
al-Lahoriyyah, al-Ajwibah al-Iraqiyyah ala As'ilah al- Iraniyyah, Durrah
al-Gawas fī Awham al-Khawass, al-Nafakhat al-Qudsiyyah fī Adab al-Bahs Ruh
al-Ma'ani fī Tafsir al-Qur'an al-'A.zim wa al-Sab'i al-Masani dan lain-lain.
Diantara karya-karyatersebut, tampaknya karya yang paling populer adalah yang
disebut terakhir yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Alusi atau Ruh
al-Ma'ani.
E. Latar Belakang
Penyusunan Tafsir Ruh al-Ma'ani.
Latar belakang penulisan kitab tafsir Ruh al-Ma’ani
terkesan agak mistik. Beliau menulis terdorong oleh suatu mimpi, meskipun
sebelumnya telah ada ide untuk menulis tafsir tersebut. Al-Alusi memang ingin
sekali menyusun sebuah kitab tafsir yang dapat mencakup persoalan-persoalan
yang dianggap urgen bagi masyarakat waktu itu. Namun rupanya beliau senantiasa
dihinggapi keragu-raguan (syak) untuk merealisasikan ide tersebut.
Akhirnya, pada suatu malam, tepatnya pada malam jum'at
bulan Rajab tahun 1252 H, beliau bermimpi disuruh Allah Swt untuk melipat
langit dan bumi, kemudian disuruh untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang
ada padanya
Dalam mimpinya, beliau Seolah mengangkat tangan satunya
ke langit dan yang satunya ke tempat air. Namun kemudian beliau terbangun dari
tidurnya. Mimpi tersebut lalu ditakwilkan dan ternyata beliau menemukan
jawabannya dalam sebuah kitab bahwa mimpi itu merupakan isyarat untuk menyusun
kitab tafsir.
F. Sistematika
Penulisan Tafsir al-Alusi
Kitab ini dikatakan sebagai karya al-Alusi yang terbesar
karena kitab ini berisi pandangan dari kalangan ulama salaf maupun khalaf dan
juga mengandung kesimpulan kitab-kitab tafsir sebelumnya seperti tafsir Ibnu
Athiah, Abu Hayyan, al-Kasysyaf, Abu al-Sa`ud, al-Baidlawi dan al-Razi.
Al-Alusi berusaha bersikap netral dan adil ketika menukilkan tafsir-tafsir
tersebut dan selanjutnya mengemukakan komentar dan pendapatnya sendiri secara
merdeka tanpa terpengaruh pada salah satu tafsir tersebut. Dan ketika
menukilkan tafsir-tafsir terdahulu, al-Alusi menggunakan beberapa istilah
antara lain “qala syaikh al-Islam” bila menukilkan dari tafsir Abu al-Sa`ud,
“qala al-qadli” bila dari tafsir al-Baidlawi, dan “qala al-imam” bila
menukilkan dari tafsir al-Razi.
Adapun sismatika penafsiran yang digunakan dalam kitab
ini al-Alusi menempuh langkah sebagai berikut :
1. Menyebutkan ayat
yang ditafsirkan sesuai dengan urutannya didalam surat-surat al-Qur’an.
2. Menerangkan
kedudukan suatu kata atau kalimat yang ada didalam ayat tersebut dari segi
kaidah bahasa (ilmu nahwu).
3. Menafsirkan dengan
ayat-ayat lain.
4. Memberikan
keterangan dari hadis nabawi bila ada.
5. Mengumpulkan
pendapat para penafsir terdahulu.
6. Memperjelas makna
lafal dengan syair-ayair.
7. Menyimpulkan
berbagai pendapat yang ada dengan memberikan keterangan segi balaqhah, i’jaz,
munasabahnya serta asbabun- nuzul bila dijumpai.
Langkah-langkah tersebut merupakan langkah yang gunakan
dalam menafsikan ayat-ayat al-Qura’an dengan mengacu pada suasana ayat, juga
susunan surat yang ada dalam al-Qur’an.
G. Metode Penafsiran
dan Coraknya
Lebih lanjut, berbicara metodologi pada prinsipnya adalah
berbicara tentang proses dan prosedur dalam melakukan penelitian atau penulisan
termasuk dalam komponen metodologi adalah metode, pendekatan, sistematika
penyajian dan sumbersumber penafsiran. Metode diartikan sebagai suatu cara yang
ditempuh untuk mengerjakan sesuatu agar sampai kepada suatu tujuan.
Sedangkanpendekatan (approach) adalah perspektif yang dipakai mufassir dalam
melakukan penafsiran.
Apabila kita tinjau kembali sistimatika yang di tempuh
oleh al-Alusi dalam menafsirkan ayat-ayat yang tercantum diatas maka dapatlah
kita katakan bahwa metode tafsir ini adalah metode tahlili, karena al-Alusi
menjelaskan tentang arti dan maksu ayat-ayat al-Qur’an dari sekian banyak
seginya dengan menjelaskan ayat-ayat demi ayat sesuai urutannya didalam mushaf,
munasabah serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan al-Alusi.
Naz’ah/Ittijah adalah sekumpulan dari dasar pijakan,
pemikiran yang jelas yang tercakup dalam suatu teori dan yang mengarah pada
satu tujuan. Dalam penjelasannya al Alusi memiliki kecenderungan banyak
menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh lafad. Kecenderungan penafsiran
seperti ini dinamakan Tafsir (aliran) Isyari/Sufi.
Menurut aliran ini ayat memiliki dua makna, makna dhahir
dan makna bathin yang berupa isyarat samar. Isyarat tersebut hanya dapat
ditangkap oleh nabi SAW atau para wali atau Arbab al-Suluk (orang-orang yang
menapaki jalan untuk mendekati Allah SWT). Adapun corak penafsiran dari kitab
ini al-Dzahabi berpendapat bahwa coraknya adalah tafsir al-ra’yi al-mahmud, dan
menyetujui pendapat ulama yang lain termasuk Ali al-Shabuni yang berpendapat
bahwa corak tafsir al-Alusi adalah isyari, riwayah dan dirayah. Adapun alasan
yang dikemukakan oleh ad-Zhahabi walaupun didalam tafsir al-Alusi terdapat
corak isyari sebagai mana dalam tafsir al-Nisaburi, tapi maksud penafsirannya
bukanlah untuk ditafsirkan secara isyari. Dengan mengambil tafsir-tafsir
terdahulu maka corak penafsirannya ikut terbawa dan mengimbas pada corak tafsir
al-Alusi.
Akan tetapi ditinjau dari segi yang lain dapatlah kita
mengatakan bahwa kitab ini juga mempunyai metode muqqarin, karena al-Alusi
menyebutkan beberapa ayat atau al-hadis, kemudian melihat beberapa tafsir dari
penafsiran para mufassir terhadap ayat tersebut baik dari ulama salaf maupun
khalaf, baik jenis tafsir manqul maupun ijtihad, kemudian berusaha untuk menarik
kesimpulan yang lebih tepat dan menghindarkan yang dianggap kurang tepat.
Dalam memberikan penjelasan, al Alusi banyak mengutip
pendapat paraahli yang berkompeten. Seringkali ia juga memiliki pendapat
sendiri yang berbeda dengan pendapat yang dikutip. Bahkan ia kadang-kadang juga
mengomentari dan terkadang juga menganggap kurang tepat diantara
pendapat-pendapat yang disebutkannya. Menilik cara menjelaskan,Tafsir Ruh al
Ma’ani digolongkan ke dalam kelompok Tafsir Muqarin/Komparatif. Artinya penafsiran
beliau adalah kombinasi antara metode ar-ra’yu dengan al-ma’tsur.
H. Beberapa Sikap
Independensi al-Alusi
Sikapnya Terhadap Hukum-Hukum Fiqih, beliau menyebutkan
secara merata mazhab-mazhab ulama fiqih dan dalil-dalil mereka dengan tidak
fanatik terhadap mazhab tertentu. Sikapnya Terhadap Sya’ir, Nahwu Dan Bahasa,
Beliau memperluas dalam pembahasan tentang ilmu Nahwu, sampai-sampai hampir
keluar dari ‘ranah’ tafsir. Beliau banyak mempertegas dengan sya’ir-sya’ir
bangsa Arab dan Matsal (pribahasa) mereka. Sikapnya Terhadap Qira’at, Beliau
membahas mengenai Qira’at namun tidak mensyaratkan harus yang mutawatir. Beliau
juga memberikan perhatian pada perlunya menampilkan sisi Munasabah (korelasi)
antara surat-surat dan ayat-ayat. Sikapnya Terhadap Israiliyyat. Beliau sangat
mengeritik keras Isra’iliyyat dan berita-berita bohong.
I. Contoh Aplikasi
Penafsiran
Salah satu contoh penafsiran al-Alusi adalah tentang
kisah pertemuan Musa as dengan Khidir as yang disebutkan dalam Surah Al-Kahfi
(18) : 60-70. Sebagai berikut:
Dalam menjelaskan sebab terjadinya pertemuan antara Musa
dengan Khidir, al-Alusi mengutip, sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim dari Ibnu Abbas dari Ubay ibn Ka'ab yang artinya sebagai berikut: Suatu
ketika Musa berdiri berpidato di hadapan kaumnya, yaitu bani Israil.Lalu beliau
ditanya: "Siapakah orang yang paling alim?". Jawab Musa:" Saya”.
Dengan jawaban itu Musa mendapat kecaman dari Tuhannya,
sebab beliau tidak mengembalikan ilmu tadi kepada Allah SWT. Kemudian Allah
memberikan wahyu kepadanya, yang isinya : "Sesungguhnya Aku mempunyai
hamba yang berada di majma'alBahrain. Dia lebih pandai dari kamu.......”.
Berdasarkan hadis tersebut maka al-Alusi menafsirkan
bahwa yang dimaksud "Musa" dalam ayat tersebut adalah Musa Ibn Imran,
seorang Nabi bani Israil. Pendapat ini menurutnya merupakan pendapat yang
sahih.Di samping itu, al-Alusi mengemukakan adanya pendapat ahli kitab,
sebagian ahli hadis dan ahli sejarah yang mengatakan bahwa Musa yang disebut dalam
ayat tersebut bukanlah Musa Ibn Imran, melainkan Musa Ibn Afrasim Ibn Yusuf,
yaitu Musa yang diangkat sebagai Nabi sebelum Musa Ibn Imran. Hal itu
didasarkan kepada alasan-alasan sebagai berikut :
1. Tidak rasional jika
seorang nabi belajar kepada selain nabi. Alasan ini dibantah oleh al-Alusi
bahwa Musa itu bukan belajar kepada selain nabi, akan tetapi dia belajar kepada
seorang nabi juga yaitu Khidir. Jika alasan ini juga belum memuaskan mereka,
dengan dalih bahwa Musa Ibn Imran lebih utama dari Khidir, al-Alusi memberikan
jawaban, adalah sah-sah saja jika seorang yang derajatnya lebih utama itu
belajar kepada orang yang derajatnya di bawahnya. Sebab secara logika, tidak
menutup kemungkinan ilmu yang dimiliki oleh orang yang di bawah keutamaannya(al-mafdul)
ternyata tidak dimiliki oleh orang yang lebih tinggikeutamaannya (al-afdal),
sebagaimana dikatakan dalam kalam masal : "Qad yujad fi al-Mafdul ma
Yujadu fi al-Fadil”. Terkadang ditemukan sesuatu pada orang yang berada dibawah
keutamaannya sesuatu yang tidak ditemukan pada orang yang utama."
2. Musa, setelah keluar
dari Mesir bersama kaumnya ke al -Tih (gurun pasir Sinai), tidak pernah
meninggalkan al-Tih dan wafat di sana. Padahal jika kisah ini berkaitan dengan
Musa Ibn Imran tentu nabi Musa harus keluar dari al-Tih, karena kisah itu
mungkin tidak terjadi di Mesir sebagai mana kesepakatan orang.
3. Jika kisah tersebut
berkaitan dengan Musa Ibn Imran, tentunya untuk beberapa hari, ia harus tidak
kelihatan oleh kaumnya. Dengan demikian tentunya orang-orang Bani Israil yang
bersamanya mengetahui kisah tersebut dan akan diceritakan kepada orang lain,
sebab kisah tersebut meng andung hal-hal yang aneh, namun ternyata hal itu
tidak terjadi. Maka jelas bahwa kisah tersebut tidak berkaitan dengan Musa Ibn
Imran.
Alasan kedua dan ketiga juga dibantah oleh al-Alusi,
bahwa Musa keluar dari al-Tih tidak dapat diterima, sebab sebenaranya kisah
tersebut terjadi setelah Nabi Musa menguasai Mesir bersama Bani Israil dan
beliau menetap di sana setelah hancurnya kaum Qibti. Begitu pula tidak ada
kesepakatan yang menyatakan bahwa kisah tersebut tidak terjadi di Mesir. Demi
kian juga kepergian Musa untuk menemui Khidir terjadi secara luar biasa. Tidak
diketahui oleh umatnya, dikiranya beliau pergi untuk bermunajat kepada Tuhannya.
Musa tidak menceritakan kepada kaumnya mengenai hakikat kepergiannya, sebab
khawatir jika diceritakan akan merendahkan derajat ("gengsi") Musa di
hadapan kaumnya, mengingat umatnya tidak semuanya paham bahwa yang demikian itu
(yakni Musa berguru kepada Khidir) sebenarnya bukanlah sesuatu yang merendahkan
martabat kenabian Musa." Dengan demikian, keingkaran mereka bahwa kisah
itu tidak berkaitan dengan Musa Ibn Imran tidak perlu dipedulikan, sebab secara
logika pun hal itu bisa terjadi, apalagi Allah SWT dan Rasul-Nya telah
menjelaskannya.
Adapun fata Musa (pemuda yang menemani Musa) adalah
Yusya' ibn Nun ibn Nun ibn Afrasyim ibn Yusuf. Disebut fata sebab dia biasa
melayani Nabi Musa. Orang-orang Arab biasa menyebut pelayannya dengan sebutan
fata, sebab pelayan itu biasanya masih muda. Lalu siapakah hamba salih yang
ditemui Musa? Menurut jumhur ulama, ia adalah Nabi Khidir, dan pen dapat ini
juga dianut oleh al-Alusi berdasar hadis sahih riwayat Imam al-Bukhara dan Imam
Muslim.
Bagaimana pendapat al-Alusi tentang status Khidir, apakah
ia seorang rasul, nabi atau yang lain? Dalam hal ini ada beberapa pendapat
menurut al-Alusi:
Pertama, Khidir itu seorang nabi, bukan seorang rasul.
Inilah pendapat jumhur ulama, berdasarkan firman Allah yang berbunyi :
"atainahu rahmatan min 'indina?. Mereka menafsirkan bahwa yang dimaksud
rahmat adalah wahyu dan kenabian. Al-Alusi cenderung sependapat dengan jumhur
ulama. Kedua, Khidir adalah seorang Rasul. Dalam hal ini, al-Alusi tidak
menyebutkan alasan mereka yang berpendapat demikian. Ketiga,Khidir adalah
malaikat. Pendapat ini menurut al-Alusi dianggap garib (nyleneh), sebagaimana
dijelaskan juga dalam kitab Syarh Muslim. Keempat,Khidir adalah seorang wali.
Pendapat ini diikuti oleh Imam al-Qusyairi.
Pendapat jumhur itulah yang lebih kuat, sebab beberapa
alasan lain yang dikemukakan oleh Ibn Hajar al-Asqalani untuk memperkuat
pendapat tersebut, yaitu : Pertama, Ucapan Khidir yang disebutkan dalam
al-Qur'an : "wa ma fa'altuhu 'an arnri....” memberikan isyarat bahwa yang
dilakukannya itu bukan atas kehendak dirinya, melainkan atas perintah Allah
(baca : wahyu). Kedua, Jika ia bukan seorang nabi, bagaimana ia lebih alim dari
Musa? Ketiga, Jika ia bukan nabi, bagaimana mungkin Musa mau berguru kepadanya?
Keempat, hadis Bukhari Muslim yang menjelaskan bahwa Khidir itu seorang Nabi.
Inilah yang dikenal dengan penafsiran bi al-ma'sur, yaitu penafsiran yang
berdasar penjelasan langsung dari Nabi, dan nilai penafsirannya menurut para
ulama termasuk yang paling bagus.
Lalu bagaimana dengan tempat pertemuan Musa dan
Khidir?Pertemuan Musa dengan Khidir oleh al-Qur'an hanya dikatakan di Majma’
al-Bahrain. Menurut al-Alusi, untuk menentukan di mana letak Majma' al Bahrain
harus berdasarkan riwayat yang sahih. Dalam hal ini al-Alusi mengemukakan
beberapa riwayat, antara lain :
Pertama, riwayat Mujahid, Qatadah dan lainnya, bahwa yang
dimaksud dengan Majma' al-Bahrain adalah laut Persi dan Romawi. Inilah pendapat
yang diikuti oleh al-Alusi. Kedua, Abu Hayyan berpendapat berdasarkan pendapat
Ibn Athiyyah bahwa majma’ al-Bahrain itu berada di daerah dekat Syam. Ketiga,
Muhammad ibn Ka'ab al-Qurazi berpendapat bahwamajma’ al-Bahrain berada di
Tanjah yaitu pertemuan antara Laut Tengahdengan Laut Atlantik di Selat
Gibraltar (Jabal Tariq).
Mengetahui di mana majma’ al-Bahrain bukanlah hal yang
penting dalam kisah tersebut, mengingat al-Qur'an sendiri tidak menjelaskannya.
Maka lebih baik hal itu di-rnauquf-kan saja, apalagi tidak ditemukan hadis
sahih dari Nabi yang menjelaskan hal itu. Sebenarnya al-Alusi juga banyak
menjelaskan riwayat-riwayat lain, selain yang di atas tadi. Namun sigat(bentuk)
riwayatnya menggunakan bentuk fi'il mabni majhul, yaitu dengan kata qi1a, yang
dalam kaedah Ilmu Musthalah Hadis disebut dengan.sigatal-tamrid (bentuk
penyataan bahwa riwayat tersebut "sakit") yang berarti riwayat
tersebut lemah, maka tidak bisa dijadikan hujjah.
Al-Alusi juga menjelaskan adanya penafsiran secara
metaforis (majazi),yaitu bahwa majma’ al-Bahrain adalah Nabi Musa dan Khidir itu
sendiri, sebab keduanya merupakan lautan ilmu. Namun, menurut al-Alusi, ta'wil
orang sufi seperti itu yang tidak tepat. Apalagi jika dilihat dari siyaq
al-kalam (konteks kalimat).
Ayat yang berbunyi hatta abluga majma al-bahrain berarti
sehingga saya sampai ke tempat dua laut. jadi, majma' al-bahrain itu sebagai
objek, sedangdamir (kata ganti) yang ada pada kata abluga yang merujuk pada
Nabi Musa sebagai Fa'il (Subjek). Al-Alusi sendiri menafsirkan majma’
al-bahraindengan multaq al-bahrain yang merupakan nota bene isim makan, yaitu
kata benda yang menunjukkan tempat. Demikian pula al-Qurtubi menolak penafsiran
secara metaforis tersebut, sebab dalam hadis sahib juga dinyatakan lautan air.
Selanjutnya, dalam menafsirkan ayat wa'allamnahu mil
ladunna 'ilma, al-Alusi menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan dasar yang
dipakai oleh para ulama untuk menetapkan adanya ilmu ladunni atau yang disebut
pula dengan ilmu hakikat atau ilmu batin (esoteris) yaitu ilmu yang diberikan
langsung oleh Allah, yang tidak dapat diperoleh tanpa taufiq-Nya, ilmu yang
tidak diketahui secara mendalam tentang hakikatnya dan tidak dapat diukur
kadarnya (ilmu gaib).
Adapun cara pemberian ilmu laduni tersebut ada dua
kemungkinan. Pertama dengan perantaraan wahyu yang di dengar dari malaikat
sebagaimana wahyu al-Qur'an yang diterima Nabi Muhammad. Kedua, mungkin pula
melalui isyarat dari malaikat, tanpa menjelaskan dengan kata-kata. Inilah yang
juga disebut ilham dan malaikat yang membawanya juga disebut ma laikat ilham.
Ilham dapat diterima nabi dan selain nabi. Untuk mendapatkan ilham ladunni
diperlukan pensucian batin (tatir al -qa1b). Oleh sebab itu, sebagian orang
menyebutnya dengan ilmu batin atau ilmu hakikat.
Sebagian orang sufi beranggapan bahwa ilmu batin atau
ilmu hakikat itu boleh menyalahi ilmu lahir atau ilmu syariat. Dengan kata
lain, orang yang telah menggapai derajat ilmu hakikat boleh menyalahi syariat
dengan alasan bahwa Khidir juga telah menyalahi syariat Nabi Musa. Anggapan
tersebut dibantah oleh al-Alusi. Dengan tegas al-Alusi menyatakan haza za'mun
batil, 'ati al-khayal fasidun. Ini adalah anggapan yang keliru, omong kosong,
ilusi dan salah.
Bantahan al-Alusi sangat tepat, sebab jika ilmu hakikat
dapat menyalahi syariat dibenarkan, maka seseorang dapat saja mengaku telah
mencapai tingkat hakikat sebagai alasan untuk meninggalkan syariat. Akibatnya
akan terjadi "desyari'atisasi" atau sikap anti syariat, dan klaim
bahwa ia telah gugur dari kewajiban menjalankan syariat.
Oleh sebab itu, Syaikh Tahir Salih al-Jaza'iri menolak
keras pandangan seperti itu. Beliau mengatakan "Adalah kufur orang yang
menduga bahwa dalam syariat ada dimensi batin yang boleh menyalahi dimensi
lahirnya, lalu ia mengklaim bahwa ia telah sampai kepada tingkatan
hakikat."
Dalam ilmu tasawuf memang dikenal tingkatan syari’ah,
tarikah danhaqiqah. Syariat yang dimaksud adalah aturan-aturan lahir yang
ditentukan misalnya seperti hukum halal haram, sunah makruh dan sebagainya.
Termasuk pula amaliah seperti shalat, puasa, jihad, zakat, haji dsb. Sedang
tariqah adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang untuk mendapatkan
kerida'an-Nya dalam mengerjakan syariat, seperti sikapikhlas, sabar, taubat,
muraqabah dan sebagainya. Sedangkan haqiqah yaitu kebenaran sejati dan mutlak
yang merupakan puncak perjalanan spiritual seseorang.
Ketiga dataran (syariah, tarikat, hakikat) tersebut harus
dilihat dengan paradigma struktural sekaligus fungsional, di mana satu dengan
lainnya tidak boleh dipisah-pisahkan. Sebagaimana disebut dalam kitab Bidayah
al-Azkiya', bahwa hubungan ketiga dataran (syariat, tarikat dan hakikat)
digambarkan sebagai berikut : "Syariat itu ibarat perahu, sedang tarikat
bagaikan laut dan hakikat itu inti mutiaranya yang mahal." Dalam
syarhkitab tersebut dijelaskan bahwa meskipun seseorang telah mencapai
tingkatan hakikat, ia tetap terkena taklif (tugas) syariat untuk menjalankan
ibadah yang diwajibkan oleh al-Qur'an dan hadis.
Berkenaan dengan Surah al-Kahfi (18): 66-70 penjelasan
al- Alusi secara ringkas sebagai berikut, bahwa setelah Nabi Musa bertemu
dengan Khidir, maka Musa minta izin kepada Khidir untuk mengikutinya dan minta
agar Khidir mau mengajarinya. Hal ini dapat di pahami dari ayat : hal
attabi’uka 'ala antu'allimani mimma'ullimta rusyda. Huruf 'ala, menurut kaidah
bahasa Arab berarti bahwa jumlah sesudahnya merupakan syarat.
Ilmu yang diharapkan Musa adalah rusyd yang menurut
al-Alusi berartiisabatul khair (ilmu yang dengannya seseorang dapat tepat dalam
mengetahui kebaikan). Nabi Khidir-pun mau menerima permintaan Musa dengan
catatan jika nanti berada di perjalanan Musa melihat hal-hal yang aneh yang
dilakukan Khidir, dia tidak boleh bertanya, sampai Khidir sendiri yang akan
menjelaskannya. Nabi Khidir-pun sebenarnya sudah tahu bahwaMusa tak akan mampu
menyertainya. Hal itu tampak dari pernyataan Khidir yang direkam dalam al-Qur'an
(Surah al-Kahfi : 66-67).
Contoh yang lain dalam
surat Al-Baqarah, 282:
يَأَيُّهَا الذين ءامَنُواْ
إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إلى أَجَلٍ مُّسَمًّى فاكتبوه فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم
بَعْضًا وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُم كَاتِبٌ بالعدل { يَأَيُّهَا الذين ءامَنُواْ }
بالله تعالى وبما جاء منه { إِذَا تَدَايَنتُم } أي تعاملتم وداين بعضكم بعضاً {
بِدَيْنٍ } فائدة ذكره تخليص المشترك ودفع الإيهام نصراً لأن ( تداينتم ) يجيء
بمعنى تعاملتم بدين ، وبمعنى تجازيتم ، ولا يرد عليه أن السياق يرفع لأن الكلام في
النصوصية على أن السياق قد لا يتنبه له إلا الفطن ، وقي : ذكر ليرجع إليه الضمير
إذ لولاه لقيل : فاكتبوا الدين فلم يكن النظم بذلك الحسن عند ذي الذوق العارف
بأساليب الكلام ، واعترض بأن التداين يدل عليه فيكون من باب ) اعدلوا هُوَ
أَقْرَبُ ( [ المائدة : 8 ] وأجيب بأن الدين لا يراد به المصدر بل هو أحد العوضين
ولا دلالة للتداين عليه إلا من حيث السياق ولا يكتفي به في معرض البيان لا سيما
وهو ملبس، وقيل : ذكر لأنه أبين لتنويع الدين إلى مؤجل ، وحال لما في التنكير من
الشيوع والتبعيض لما خص بالغاية ولو لم يذكر لاحتمل أن الدين لا يكون إلا كذلك {
إلى أَجَلٍ } أي وقت وهو متعلق بتداينتم ، ويجوز أن يكون صفة للدين أي مؤخر أو
مؤجل إلى أجل {مُّسَمًّى } بالأيام أو الأشهر ، أو نظائرهما مما يفيد العلم ويرفع
الجهالة لا بنحو الحصاد لئلا يعود على موضوعه بالنقض { فاكتبوه } أي الدين بأجله
لأنه أرفق وأوقف؛ والجمهور على استحبابه لقوله سبحانه : { فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم
بَعْضًا } والآية عند بعض ظاهرة في أن كل دين حكمه ذلك، وابن عباس يخص الدين
بالسلم فقد أخرج البخاري عنه أنه قال : أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى أن
الله تعالى أجله وأذن فيه ثم قرأ الآية واستدل الإمام مالك بها على جواز تأجيل
القرض { وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُم كَاتِبٌ بالعدل } بيان لكيفية الكتابة المأمور بها
وتعيين من يتولاها إثر الأمر بها إجمالاً،ومفعول يكتب محذوف ثقة بانفهامه أو للقصد
إلى إيقاع نفس الفعل والتقييد بالظرف للإيذان بأنه ينبغي للكاتب أن لا ينفرد به
أحد المتعاملين دفعاً للتهمة والجار متعلق بمحذوف وقع صفة للكاتب أي ليكن الكاتب
من شأنه التسوية وعدم الميل إلى أحد الجانبين بزيادة أو نقص ويجوز أن يكون ظرفاً
لغواً متعلقاً بكاتب أو بفعله ، والمراد أمر المتداينين على طريق الكناية بكتابة
عدل فقيه دين حتى يكون ما يكتبه موثوقاً به متفقاً عليه بين أهل العلم ، فالكلام
كما قال الطيبي مسوق لمعنى ، ومدمج فيه آخر بإشارة النص وهو اشتراط الفقاهة في
الكاتب لأنه لا يقدر على التسوية في الأمور/ الخطرة إلا من كان فقيهاً ولهذا استدل
بعضهم بالآية على أنه لا يكتب الوثائق إلا عارف بها عدل مأمون ، ومن لم يكن كذلك
يجب على الإمام أو نائبه منعه لئلا يقع الفساد ويكثر النزاع والله لا يحب المفسدين
. وهو اشتراط الفقاهة في الكاتب لأنه لا يقدر على التسوية في الأمور/ الخطرة إلا
من كان فقيهاً ولهذا استدل بعضهم بالآية على أنه لا يكتب الوثائق إلا عارف بها عدل
مأمون.
Penjelasan:
Pada tafsiran potongan ayat diatas, beliau mengawali
tafsirnya dengan tidak sekalipun mengambil sumber dari ayat lain, hadis atau
pendapat sahabat. Artinya, beliau cenderung bersumber dari analisis ar-ra’yu
meskipun hanya sebatas pamaknahan kata.
يَأَيُّهَا الذين ءامَنُواْ }
بالله تعالى وبما جاء منه { إِذَا تَدَايَنتُم } أي تعاملتم وداين بعضكم بعضاً {
بِدَيْنٍ } فائدة ذكره تخليص المشترك ودفع الإيهام نصراً لأن ( تداينتم ) يجيء
بمعنى تعاملتم بدين ، وبمعنى تجازيتم ، ولا يرد عليه أن السياق يرفع لأن الكلام في
النصوصية على أن السياق قد لا يتنبه له إلا الفطن ، وقي : ذكر ليرجع إليه الضمير
إذ لولاه لقيل : فاكتبوا الدين فلم يكن النظم بذلك الحسن عند ذي الذوق العارف
بأساليب الكلام
Setelah itu, beliau menganalisnya sendiri secara nahwiyah
dan berkomentar bahwa kata التداين
itu berasal dari kata دَيْنٍ dengan penjelasannya;
وأجيب بأن الدين لا يراد به
المصدر بل هو أحد العوضين ولا دلالة للتداين عليه إلا من حيث السياق ولا يكتفي به
في معرض البيان لا سيما وهو ملبس، وقيل : ذكر لأنه أبين لتنويع الدين إلى مؤجل ،
وحال لما في التنكير من الشيوع والتبعيض لما خص بالغاية ولو لم يذكر لاحتمل أن
الدين لا يكون إلا كذلك { إلى أَجَلٍ } أي وقت وهو متعلق بتداينتم ، ويجوز أن يكون
صفة للدين أي مؤخر أو مؤجل إلى أجل { مُّسَمًّى } بالأيام أو الأشهر ، أو نظائرهما
مما يفيد العلم ويرفع الجهالة لا بنحو الحصاد لئلا يعود على موضوعه بالنقض {
فاكتبوه } أي الدين بأجله لأنه أرفق وأوقف؛ والجمهور على استحبابه لقوله سبحانه :
{ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا } والآية عند بعض ظاهرة في أن كل دين حكمه ذلك،
Sebagian dari metode bil-ma’tsur nya, beliau melanjutkan
penafsirannya dengan mengambil pendapat imam Ibnu Abbas, hadis yang
diriwayatkan Imam Bukhari, dan istidlal dari Imam Malik seperti berikut;
وابن عباس يخص الدين بالسلم
فقد أخرج البخاري عنه أنه قال : أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى أن الله تعالى
أجله وأذن فيه ثم قرأ الآية واستدل الإمام مالك بها على جواز تأجيل القرض .
Selanjutnya, beliau mengulas lagi salah satu kata secara
nahwiyah mengenai kata يَكْتُب yang menurut beliau maf’ul bih dari fiil tersebut dibuang
(tidak dicantumkan /makhdzuf) dan seterusnya.
وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُم
كَاتِبٌ بالعدل } بيان لكيفية الكتابة المأمور بها وتعيين من يتولاها إثر الأمر
بها إجمالاً، ومفعول يكتب محذوف ثقة بانفهامه أو للقصد إلى إيقاع نفس الفعل
والتقييد بالظرف للإيذان بأنه ينبغي للكاتب أن لا ينفرد به أحد المتعاملين دفعاً
للتهمة والجار متعلق بمحذوف وقع صفة للكاتب أي ليكن الكاتب من شأنه التسوية وعدم
الميل إلى أحد الجانبين بزيادة أو نقص ويجوز أن يكون ظرفاً لغواً متعلقاً بكاتب أو
بفعله
Seperti yang kami bahas dalam biografinya, imam Al-Alusi
juga tenar ahli ijtihad (fiqh) sehingga hal ini mempengaruhi corak
penafsirannya dalam ayat ini dengan analisis fiqh sekalipun ia juga mengambil
beberapa pendapat fuqaha. Hal ini nampak dalam penafsirannya diatas dengan
kalimat;
والمراد أمر المتداينين على
طريق الكناية بكتابة عدل فقيه دين حتى يكون ما يكتبه موثوقاً به متفقاً عليه بين
أهل العلم ، فالكلام كما قال الطيبي مسوق لمعنى ، ومدمج فيه آخر بإشارة النص وهو
اشتراط الفقاهة في الكاتب لأنه لا يقدر على التسوية في الأمور/ الخطرة إلا من كان
فقيهاً ولهذا استدل بعضهم بالآية على أنه لا يكتب الوثائق إلا عارف بها عدل مأمون
، ومن لم يكن كذلك يجب على الإمام أو نائبه منعه لئلا يقع الفساد ويكثر النزاع
والله لا يحب المفسدين .وهو اشتراط الفقاهة في الكاتب لأنه لا يقدر على التسوية في
الأمور/ الخطرة إلا من كان فقيهاً ولهذا استدل بعضهم بالآية على أنه لا يكتب
الوثائق إلا عارف بها عدل مأمون.
Dari analisa terhadap tafsian Imam Al-Alusy dalam
potongan ayat 282 dari surat Al-Baqarah tersebut, secara singkat dapat
disimpulkan bahwa;
1. Dari segi paradigma
tafsirnya, beliau menggunakan paradigma komparatif (muqaranah atau izdiwajiy),
karena selain beliau menukil dari alqur’an,hadits, dan pendapat sahabat dan
ulama, beliau juga menyertakan pendapatnya sendiri.
2. Dari segi jenis
tafsirnya, tafsiran ini mempunyai jenis fiqhiyah karena memang ayatnya
berkaitan dengan masalah fiqh.
3. Ditinjau dari metode
analisisnya, beliau menggunakan metode analisis tafshily, karena beliau tidak
hanya menerangkan makna kata, tapi juga alasan pengambilan maknanya.
4. Sama dengan
kebanyakan tafsir lain, metode pengambilan data dalam tafsir ini, beliau
menggunakan metode tahlili.
J. Komentar Para Ulama
Terhadap Tafsir Ruh al Ma’ani
Tafsir Ruh al-Ma'ani dinilai oleh sebagian ulama sebagai
tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin
berdasar isyarat atau ilham dan ta'wil sufi) sebagaimana tafsir al-Naisaburi.
Namun anggapan ini dibantah oleh al-Dzahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ruh
al-Ma’ani bukan untuk tujuan tafsir isyari, maka tidak dapat dikategorikan
sebagai tafsir isyari. Al-Dzahabi memasukkan tafsir al-Alusi ke dalam tafsir bi
al-ra’yi al-mahmud (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).
Ada ulama sependapat dengan al-Dzahabi, sebab memang
maksud utama dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan al-Qur'an
berdasarkan isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan al-Qur'an berdasarkan apa
yang dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang sahib.
Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara
isyari, tetapi porsinya relatif lebih sedikit dibanding yangbukan isyari.
Menentukan corak suatu tafsir mesti berdasarkankecenderungan yang paling
menonjol dari sekian kecenderungan.
Imam Ali al-Sabuni sendiri juga menyatakan bahwa al-Alusi
memang memberi perhatian kepada tafsir isyari, segi-segi balagah clan
bayan.Dengan apresiatif beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alusi dapat
dianggap sebagai tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian
tafsir bi al-riwayah, bi al-dirayah dan isyarah.
Menurut al-Dzahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh
al-Ma'animerupakan kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat
para mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap
pendapat-pendapat yang beliau kutip. Di samping itu, sebagaimana dikutip M.
Quraish Shihab, Rasyid Rida juga menilai bahwa al-Alusi sebagaimufassir yang
terbaik di kalangan ulama muta'akhkhirin karena keluasan pengetahuannya
menyangkut pendapat-pendapat muta’akhkhirin danmutaqaddimin. Namun, al-Alusi
tidak luput dari kritikan. seperti, dia dituduh sebagai penjiplak pendapat
ulama-ulama sebelumnya, bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang dijiplaknya.
K. Kelebihan dan
Kelemahan Kitab Tafsir al-Alusi
Setelah menerangkan masalah sistimatika penafsiran dan
metode fenafsiran sebagaimana disebut diatas, ada beberapa kelebihan yang
terdapat dalam kitab tafsir ini diantaranya :
1. Al-Alusi dalam
menafsirkan ayat-ayat sangat memperihatikan ilmu-ilmu tafsir atau ulum
al-qur’an seperti ilmu nahwu, balaghah, qira’at, asbab al-nuzul, munasabah dan
sebagainya.
2. mengkritik dan
memperketat penerimaan tafsir israiliyat, sebagaimana ketika menafsirkan surat
Hud ayat 38; dalam menjelaskan lafal “al-fulk” meriwatkan khabar israiliyat
dengan menyebutkan jenis kayu untuk membuat kapal, pangjangnya, lebarnya,
tingginya dan juga tempat pembuatan kapal dan seterusnya kemudian berkomentar,
“keadaan sebenarnya dari kapal yang dikabarkan, aku rasa tidak dapat berlayar
dengannya karena tidak bebas dari aib dan kekurangan, maka lebih afdhal
mengimaninya bahwa Nabi Nuh mambuat kapal sebagaimana yang telah dikisahkan
oleh Allah dalam al-Qur’an, tanpa mengetahui kenis kayunya, pangjangnya,
lebarnya, tingginya, dan lama pekerjaannya dan lain sebaginya, karena itu tidak
diterangkan oleh al-Qur’an dan hadis yang shahih.
3. Menurut al-Shabuni
tafsir al-Alusi adalah bahan rujukan yang terbaik dalam bidang ilmu tafsir
riwayah, dirayah dan isyarah, serta meliputi ulama salaf maupun khalaf dan
ahli-ahli ilmu.
4. Dalam menjelaskan
ayat-ayat hukum tidak ada kecenderungan untuk memihak kepada suatu mazhab
tertentu setelah menyebutkan beberapa pendapat mazhab fiqih yang ada, seperti
penafsiran surat al-Baqarah ayat 236 tentang mut’ah (pemberian) wanita yang di
talaq.
Disamping mempunyai beberapa kelebihan tafsir al-Alusi
juga mempunyai kelemahan antara lain :
1. Dalam membahas
masalah nahwu al-Alusi terlalu hanyut didalamnya sehingga melebar dan keluar
batas sebagai prediket seorang mufassir.
2. Sebagai orang yang
mazdhab salafi dan beraqidah sunni, maka al-Alusi senantiasa menentang
pendapat-pendapat mu’tazillah, syiah dan lainnya dari pengikut aliran-aliran
yang bertentangan dengan mazdhabnya.Seperti penafsiran surat al-Baqarah ayat 7
yang menentang mu’tazillah tentang masalah khatam yang dinisbahkan kepada
Allah. Juga mengenai asbab al- nuzul surat Jumuah ayat 11 dari pendapat madzhab
Syi’ah.
BAB
III PENUTUP
1. Nama lengkap imam
al-Alusi adalah Abu al-Ma’ali Jamaluddin bin as-Sayid Abdullah Baharuddin bin
Muhammad al-Khatib al-Alusi al-Baghdadi al-Husaini. Beliau adalah keturunan
Imam al-Husain dari ayahnya dan keturunan imam al-Hasan (Ibnu Ali bin Abi
Thalib) dari ibunya.
2. Sumber Penafsiran,
ditilik dari sumbernya, Tafsir Ruh al Ma’ani selain menggunakan dalil nash al
Qur’an, al Hadis, aqwal al ‘ulama juga ra’yu. Ra’yu inilah yang paling besar
porsinya. Dan juga dikelompokkan ke dalam golongan tafsir bil iqtirani, yakni
tafsir yang memadukan antara sumber penafsiran yang ma’tsur juga menggunakan
ra’yu.
3. Dalam memberikan
penjelasan, al Alusi banyak mengutip pendapat para ahli yang berkompeten.
Seringkali ia juga memiliki pendapat sendiri yang berbeda dengan pendapat yang
dikutip. Bahkan ia kadang-kadang juga mengomentari dan terkadang juga
menganggap kurang tepat diantara pendapat-pendapat yang disebutkannya. Tafsir
ini dimasukkan ke padakelompok Tafsir Muqarin/Komparatif.
4. Penjelasan yang
diberikan oleh al Alusi terbilang detil, bahkan sangat detil. Sehingga tepatlah
jika Tafsir Ruh al Ma’anidi masukkan ke dalam golongan Tafsir Ithnabi
(Tafsili)/Detail. Penjelasan di awal surat biasanya diawali dari nama surat,
asbabun nuzul, munasabah dengan surat sebelumnya, makna kata, i’rab, pendapat
para ulama, dalil yangma’tsur (namun jarang), makna di balik lafaz (makna
isyari) dan jika pembahasannya panjang terkadang juga diberi kesimpulan.
5. Tafsir ini masuk
dalam golongan Tafsir Tahlili. Dalam penjelasannya al Alusi memiliki
kecenderungan banyak menjelaskan makna samar yang diisyaratkan oleh lafad.
Kecenderungan penafsiran seperti ini dinamakan Tafsir (aliran) Isyari/Sufi.