Majma’ al-Bayan li Ulum al-Qura’an,
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Perkembangan
Kitab Tafsir“
Oleh:
Muhyi Abdurrohim (082 092 011)
Dibina Oleh:
H. Mawardi Abdullah, Lc. M.Ag
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) JEMBER
Oktober, 2012
BAB
I
PENDAHULUAN
Al-Quran adalah sebuah kitab suci
yang kaya makna. Hal ini dibuktikan bahwa setiap orang bisa memaknai al-Quran
dengan berbeda-beda, sesuai latar belakang social dan latar belakang
pengetahuannya. Pantas saja jika Abdullah Darraz men-tamsilkan al-Qur’an ibarat
permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya.[1]
Begitu juga al-Qur’an, setiap sudutnya memancarkan makna yang demikian
mendalam, jika hal tersebut dikorelasikan dengan tradisi penafsiran al-Qur’an
kontemporer (dalam hal ini hermeneutika, yang selalu menyatukan antara teks dan
realitas) maka wajar saja jika hal tersebut terjadi. Karena setiap mufassir
selalu membawa latar belakang yang berbeda. Akibatnya, al-Qur’an pun
ditafsirkan dengan corak dan ragam yang berbeda-beda pula.
Keragaman penafsiran al-Qur’an yang
berbeda-beda tersebut semakin mendapat tempatnya pada periode pertengahan
(merujuk periodisasi madzhab-madzhab tafsir Abdul Mustaqim.[2]
Pada periode ini, berbagai cabang keilmuan Islam, juga embery yang berkembang
di dunia Islam, turut ember warna dalam tradisi penafsiran al-Qur’an. Sehingga
melahirkan beberapa corak penafsiran yang berbeda-beda. Di antaranya tafsir
corak fiqih, teologis, sufistik, falsafi, dan ‘ilmi.
Di antara gemuruh corak penafsiran
di atas, muncul sebuah corak penafsiran yang unik. Unik karena penafsiran ini
sama sekali tidak dipengaruhi cabang keilmuan apapun. Corak penafsiran ini
hanya dipengaruhi oleh salah satu aliran dalam dunia Islam, yaitu aliran Syi’ah.
Aliran yang merupakan rival utama dunia Sunni ini banyak memberikan kontribusi
yang berarti dalam tradisi penafsiran di dunia Islam. Dari kalangan ini, telah
bermunculan banyak kitab tafsir
Dalam tulisan ini, akan dikaji salah
satu kitab tafsir yang bercorak penafsiranya hanya dipengaruhi Syi’ah, yaitu
kitab Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an karya Abu Ali al-Fadlal
bin al-Hasan al-Thabrasi (w. 538 H), Mulai dari biogrfi penulisnya, latar
belakang kemunculan, corak dan metodologi yang dipakai, kelebihan dan
kekurangan, serta sekilas contoh penafsiran Abu Ali al-Fadlal bin al-Hasan
al-Thabrasi terhadap al-Qur’an. Paling tidak, tulisan ini mampu membuka mata
kita lebar-lebar, bahwa ternyata kalangan Syi’ah pun cukup memberikan apresiasi
yang berarti dalam tradisi penafsiran al-Qur’an di dunia Islam, seperti terjadi
di kalangan Sunni.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Biografi
al-Thabrasi
Nama lengkapnya adalah Abu Ali
al-Fadlal bin al-Hasan al-Thabrasi adalah seorang ulama terpandang dimasanya,
beliau menjadi rujukan ulama lain pada saat itu, terkenal dengan budi pekerti
yang luhur, bukan Cuma ahli dibidang tafsir kan tetapi ilmu-ilmu yang lain
seperti ilmu fiqih dan hadits juga dikuasainya. Santri-santri beliau
diantaranya adalah: Radliy al-Din, Abu Nashar Hasan bin al-Fadlal putranya
sendiri, Ibn Syhrasyuaub, Syeh Muntakhab al-Din, Qutub al-Rawandi dll.
sedangkan gurunya adalah: Syeh Abu Ali al-Thusiy.[3]
2.
Karya-karya al-Thabrasi
Karya-karya al-Thabrasi adalah:
kitab Majma’ al-Bayan fi Tafsiri al-Qur’an, al-Wasit fi al-
Tafsiri terdiri empat jilid, al-Wajiz,
I’lam al-Wara bi a’lam al-Huda 2 jilid, Taj al-Mawalid dan al-Adab
al-Diniyah.
Yang melatar belakangi al-Thabrasi untuk
menulis kitab Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an adalah kejadian
aneh, yaitu menurut sebuah cerita pada suatu ketika al-Thabrasi mengalami kaku
disekujur tubuh sehingga orang-orang disekitarnya menganggapnya mati, setelah
dimandikan, dikafani dan dikebumikan beliau sadar dari rasa kaku tersebut, yang
berusaha keluar dari dalam kubur, dan berjanji kpada Allah Swt. kalau
diselamatkan dari musibah itu dia akan mengarang sebuah kitab dalam ilmu
tafsir, setelah beberapa hari dating orang-orang untuk menggali kuburnya dan
mengeluarkan al-Thabrasi dan memapahnya pulang kerumah, beliau wafat pada tahun
538 H.[4]
3. Mengenal
Tafsir Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an
Sebagai salah satu tafsir yang
bercorak Syi’ah maka kitab Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an
kurang dikenal didunia Suni, al-Dzahabi menggambarkan bahwa pada mukaddimah Majma’
al-Bayan li ulum al-Qura’an, al-Thabrasi terlebih dahulu menjelaskan
ilmu-ilmu al-Qur’an yang dibagi menjadi tujuh bab:
1. Menjelaskan bilangan ayat dalam al-Qur’an dan Urgensi mempelajarinya
2. Menjelaskan Masalah Qira’at dan ulama-ulama Qurra’
3. Menjelaskan masalah Tafsir, ta’wil dll.
4. Menjelaskan al-Qur’an dan arti-artinya
5. Menjelaskan Ulum al-Qur’an seperti I’jaz,
ayat-ayat al-Qur’an bisa ditamabah atau dikurangi.
6. Menjelaskan akbar-akhbar (Hadits-hadits) yang
ada kaitanya dengan keutamaan al-Qur’an
7. Menjelaskan anjuran-anjuran bagi pembaca al-Qur’an
Kemudian al-Thabrasi melnjutkan
dengan menafsirkan al-Qur’an, memulai dari ta’awuzd, basmalah, surat
al-Fatihah dan seterusnya.[5]
3. Metode dan
corak al-Thabrasi
al-Thabrasi dalam kitab tafsir Majma’
al-Bayan li ulum al-Qura’an memakai metode dengan mengawali
tiap-tiap surat dalam al-Qura’an dengan menyebut surta makki atau madani,
kemudian menjelaskan perbedaan ulama masalah bilangan ayat-ayat al-Qur’an
dalam surat itu, menjelaskan juga perbedaan ulama masalah qira’at,
menjelaskan illat dan hujah masing-masing, menjelaskan Asbab
al-nuzl, I’rab, ma’ani, hukum, kisah-kisah dan korelasi runtun ayat,
sehingga al-Dzahabi menyimpulkan bahwa kitab tafsir Majma’ al-Bayan li
ulum al-Qura’an adalah perpaduan madzhab Syi’ah dan Mu’tazilah.[6]
Merujuk pada kajian yang dilakukan
Rosihon Anwar[7], secara
umum, corak al-Thabrasi sama dengan corak tafsir ulama Syi’ah yaitu tafsir simbolik (menekankan
pada aspek batin al-Qur’an)[8].
Dalam khazanah Ulum al-Qur’an, tafsir seperti ini biasa dikenal dengan tafsir
bathini. Al-Dzahabi menyebut tafsir simbolik dengan ungkapan al-tafsir
al-ramzi, sedangkan Habil Dabashi menggunakan istilah tafsir esoterik[9].
al-Thabrasi menekankan penafsirannya
pada aspek batin al-Qur’an. Pengklasifikasian al-Qur’an menjadi dua bagian,
aspek lahir dan aspek batin, merupakan prinsip terpenting dalam penafsiran al-Thabrasi.
Bahkan, aspek batin dianggap mereka sebagai aspek yang lebih kaya daripada
aspek lahir.
Intinya metode yang dipakai al-Thabrasi
dalam menafsirkan al-Qur’an, secara umum, seperti dikemukakan Rosihon Anwar,
metode yang umum memakai pendekatan tafsir esoterisme-sentris, adalah metode
takwil[10].
Sebagai pengikut Syi’ah Itsna
‘Asyariyah al-Thabrasi melanjutkan tradisi di kalangan ulama Syi’ah Itsna
‘Asyariyah, yaitu menyesuaikan ayat-ayat Allah dengan prinsip-prinsip ajaran
mereka. Sehingga, mereka akan berusaha menjadikan al-Qur’an sebagai dalil
(justifikasi) bagi klaim-klaim mereka yang lebih menekankan pada metode takwil[11].
4. Prinsip-prinsip
al-Thabrasi
Prinsip-prinsip al-Thabrasi
dalam tafsirnya adalah:
1. Prinsip Imamah
” Sesungguhnya penolong kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah) “
al-Thabrasi menjadikan ayat tersebut
sebagai dasar bagi keimaman Ali KW. sesudah Nabi saw. langsung tanpa terputus.
Pengertian wali dalam ayat di atas, menurut al-Thabrasi, adalah ‘yang lebih
berhak’ atau ‘yang lebih utama,’ yaitu Ali. Juga, yang dimaksud wa al-ladzina
amanu adalah Ali KW. Maka, ayat ini ditujukan kepada Ali kw [12].
Melihat contoh di atas, tampak
bagaimana Syaikh al-Thabrisi menggunakan penakwilan untuk menakwilkan kata wali
dan wa al-ladzina amanu yang ditujukan kepada Sayyidina Ali kw.
2. Ishmah
al-A’immah
“Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul baitdan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
al-Thabrasi menafsirkan
ayat Tathhir dimana ayat tersebut diyakini sebagai dalil pensucian ahlul bait.
Dan ahlal bait dalam ayat tersebut ditujukan hanya kepada ahlul kisa, dengan
menafikan isteri-isteri nabi Saw.[13]
“Dalam pembahasan ini kami akan
membuktikan bahwa penafsiran yang benar adalah Al Ahzab 33 turun untuk Ahlul
Kisa’ yaitu Nabi SAW, Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.
Tentu saja kami akan membawakan riwayat-riwayat shahih yang menjadi bukti
kejahilan mereka”, demikian al-Thabrasi menafsirkan ayat diatas.
3.al-Raj’ah
“Setelah itu Kami bangkitkan kamu
sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur”.
al-Thabrasi menafsirkan ayat diatas
sebagai dasar utama Al Raj’ah, yaitu suatu aqidah Syi’ah, yang dimaksud Al
Raj’ah adalah, bahwa manusia akan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah
kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali bersama makhluk lain
seluruhnya. Syi’ah melihat bahwa kembalinya beberapa orang setelah mati nanti,
setelah imam Mahdi turun adalah merupakan salah satu daftar yang esensial.
menurut al-Thabrasi ayat ini membuktikan kebenaran al raj’ah dan kematian dua
kali (At-Tibyan).[14]
4. Imam al-Mahdi
(yaitu) mereka yang beriman
kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki
yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Dalam
menafsirkan ayat diatas, al-Thabrasi mengatakan bahwa beriman kepada yang ghaib adalah beriman kepada Imam Mahdi yang
hilang, dan nanti akan kembali ke dunia
untuk menciptakan keadilan di atas bumi ini dan akan memperhitungkan
orang-orang yang tidak memihak dan membela Ali Ra.[15]
5. Taqiyah
Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali[192] dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya
kepada Allah kembali (mu).
Menurut al-Thabrasi,
taqiyyah itu merupakan program rahasia, bahkan menjadi strategi yang harus
dilaksanakan. Mereka berpura-pura taat, sehingga sampai pada saat yang mungkin
nanti untuk melaksanakan rencana-rencananya. Mereka menafsirkan perbuatan
imam-imamnya yang dianggap taqiyyah, seperti diamnya Ali atas kekhalifahan Abu
Bakar, Umar, dan perjanjian damai antara Hasan dengan Mu’awiyyah.
6. Nikah Mut’ah
dan
(diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari
isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dalam
menafsirkan ayat diatas, al-Thabrasi mengatakan bahwa ayat diatas adalah dasar
utama dianjurkanya nikah mut’ah dan tidak ada dalil lain yang menghapus hukum
tersebut.
7. Kewajiban
mengusap kaki dalam wudlu’
Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
al-Thabrasi menafsirkan
ayat “wa arjulikum” dan sapulah kepalamu dan sapu juga kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
karena kata “wa arjulikum” adalah ataf kepada kata “bi ru’usikum”.[16]
8. Larangan
menikahi wanita ahl al-Kitab
Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.
Ayat diatas menurut al-Thabrasi
adalah landasn hukum bahwa Allah melarangan menikahi wanita ahl al-Kitab.
9. Harta
Rampasan
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja
yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima
untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa[615] yang kami
turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya
dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
10. Ijma’
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
11. al-Huda wa
al-Dlalal
Barangsiapa yang Allah
menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya
untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya,
niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang
mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak
beriman.
12. Melihat
Allah
Wajah-wajah (orang-orang mukmin)
pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
13. Masalah
Sihir
Dan mereka mengikuti apa[76] yang
dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).
Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua
orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya
kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka
mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat
menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli
sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan
izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat
kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini
bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah
baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual
dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.
14. Syafa’at
Dan jagalah dirimu dari (azab)
hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain,
walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari
padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.
5. Kekurangan
dan Kelebihan Tafsir al-Thabrasi
Ada satu kelebihan yang bisa kita
tiru dari metode tafsir yang digunakan al-Thabrasi. Dengan menggunakan metode
takwil, al-Thabrasi lebih concern kepada makna batin al-Qur’an. Walaupun harus
diperhatikan, bahwa banyak takwil mereka yang cenderung arogan. Hal ini berbeda
dengan metode tafsir yang berkembang di dunia Sunni, yang cenderung literal dan
skriptualis. Sehingga penafsiran al-Qur’an di dunia Sunni kurang memperhatikan
weltanschaung al-Qur’an dan aspek batin (esoteris) al-Qur’an, yang merupakan
pesan al-Qur’an yang sebenarnya.[17]
Adapun kekurangan tafsir al-Thabrasi,
seperti yang dibicarakan di atas, penggunaan metode takwil mereka cenderung
arogan dan tidak mengindahkan aturan-aturan takwil dalam khazanah ‘Ulum
al-Qur’an. Takwil yang mereka pakai hanya didasarkan pada kepentingan mereka
mencari justifikasi untuk mendukung pandangan madzhabnya. Akibatnya, makna
al-Qur’an sering mereka selewengkan demi kepentingan madzhabnya. Sehingga,
alih-alih mereka mencari makna batin al-Qur’an, malah makna al-Qur’an mereka
selewengkan begitu jauh.[18]
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
pemaparan singkat diatas dapat disimpulkan beberapa hal, diantarnya:
1. Realitas apapun yang terjadi dalam penafsiran
al-Qur’an di kalangan Syi’ah, khususnya kitab
Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an karya Abu Ali al-Fadlal bin
al-Hasan al-Thabrasi, patut kita hargai, bahwa kelompok ini telah memberikan
sumbangan yang begitu besar dalam khazanah tafsir al-Qur’an di dunia Islam.
Setidaknya, kita bisa mengambil sesuatu yang baik dari mereka untuk kita
kembangkan, dalam rangka mencari metode yang sesuai dalam menafsirkan
al-Qur’an.
2. Adapun ada metode mereka yang tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah penafsiran yang selama ini kita kenal, bisa kita jadikan cermin,
supaya kita tidak terjerumus ke lubang yang sama. Bukankah Rasulullah saw.
telah mewasiatkan, “khudz ma shafa wa da’ ma kadar,” ambillah sesuatu
yang baik dan tinggalkanlah sesuatu yang buruk.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Samudera
al-Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001
Dzahabi,
Muhammad Husain al-. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I dan Juz II. t.tp:
t.p, 1976
Faudah, Mahmud
Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir,
terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid. Bandung: Pustaka, 1987
Goldziher,
Ignaz. Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika
Salamullah, dkk. . Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003
Mustaqim, Abdul.
Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik
hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Shihab, M.
Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992
[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an
(Bandung: Mizan, 1992), hlm. 92
[2] Abdul
Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode
Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 81-87
[3] Muhammad
Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 74
[4] Ibid,
hlm75
[5] Muhammad
Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 78
[6] Ibid,
Juz II, hlm. 77
[7] Rosihon
Anwar, M. Ag. , Samudera al-Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001),
hlm. 218
[8] Tapi
harus dibedakan antara tafsir Syi’ah dengan tafsir Sufi. Karena tafsir Sufi pun
menekankan pada aspek batin al-Qur’an, seperti pada tafsir Syi’ah. Lihat Abdul
Mustaqim, Madzahibut………, hlm. 85. Di sini, Abdul Mustaqim menyebutkan, bahwa
kalangan Sufi memakai metode penakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan
makna lahirnya. Lihat juga Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera………, hlm. 208.
Rosihon menyebutnya dengan istilah pendekatan tafsir esoterisme-sentris. Penulis
memandang, yang membedakan penakwilan yang dilakukan kalangan Syi’ah dengan
kalangan Sufi adalah pada adanya petunjuk khusus. Kalangan Sufi, dalam
melakukan takwil, selalu melihat petunjuk khusus atau ilham. Beda dengan
kalangan Syi’ah, yang cenderung arogan dan serampangan dalam menggunakan metode
takwil.
[9] Ibid.,
hlm. 222
[10] Rosihon
Anwar, M. Ag. , Samudera al-Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001),
hlm. 210
[11]Mahmud
Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir,
terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid (Bandung: Pustaka, 1987), hlm.
135-136. Lihat juga Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun,
Juz II, hlm. 23
[12] Ibid, hlm. 242
[13] Muhammad
Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 82
[14] Ibid,
83
[15] Muhammad
Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 83
[16] Muhammad
Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 86
[17] Rosihon
Anwar, M. Ag. , Samudera Al-Qur’an, hlm.209
[18]Rosihon
Anwar, M. Ag. , Samudera Al-Qur’an, hlm. 210