Sabtu, 20 Oktober 2012

Majma’ al-Bayan li Ulum al-Qura’an


Majma’ al-Bayan li Ulum al-Qura’an,

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Perkembangan Kitab Tafsir“



 

Oleh:

Muhyi Abdurrohim (082 092 011)

Dibina Oleh:

H. Mawardi Abdullah, Lc. M.Ag

JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

Oktober, 2012






           
BAB I
PENDAHULUAN
            Al-Quran adalah sebuah kitab suci yang kaya makna. Hal ini dibuktikan bahwa setiap orang bisa memaknai al-Quran dengan berbeda-beda, sesuai latar belakang social dan latar belakang pengetahuannya. Pantas saja jika Abdullah Darraz men-tamsilkan al-Qur’an ibarat permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya.[1] Begitu juga al-Qur’an, setiap sudutnya memancarkan makna yang demikian mendalam, jika hal tersebut dikorelasikan dengan tradisi penafsiran al-Qur’an kontemporer (dalam hal ini hermeneutika, yang selalu menyatukan antara teks dan realitas) maka wajar saja jika hal tersebut terjadi. Karena setiap mufassir selalu membawa latar belakang yang berbeda. Akibatnya, al-Qur’an pun ditafsirkan dengan corak dan ragam yang berbeda-beda pula.
            Keragaman penafsiran al-Qur’an yang berbeda-beda tersebut semakin mendapat tempatnya pada periode pertengahan (merujuk periodisasi madzhab-madzhab tafsir Abdul Mustaqim.[2] Pada periode ini, berbagai cabang keilmuan Islam, juga embery yang berkembang di dunia Islam, turut ember warna dalam tradisi penafsiran al-Qur’an. Sehingga melahirkan beberapa corak penafsiran yang berbeda-beda. Di antaranya tafsir corak fiqih, teologis, sufistik, falsafi, dan ‘ilmi.
            Di antara gemuruh corak penafsiran di atas, muncul sebuah corak penafsiran yang unik. Unik karena penafsiran ini sama sekali tidak dipengaruhi cabang keilmuan apapun. Corak penafsiran ini hanya dipengaruhi oleh salah satu aliran dalam dunia Islam, yaitu aliran Syi’ah. Aliran yang merupakan rival utama dunia Sunni ini banyak memberikan kontribusi yang berarti dalam tradisi penafsiran di dunia Islam. Dari kalangan ini, telah bermunculan banyak kitab tafsir
            Dalam tulisan ini, akan dikaji salah satu kitab  tafsir yang bercorak  penafsiranya hanya dipengaruhi Syi’ah, yaitu kitab Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an karya Abu Ali al-Fadlal bin al-Hasan al-Thabrasi (w. 538 H), Mulai dari biogrfi penulisnya, latar belakang kemunculan, corak dan metodologi yang dipakai, kelebihan dan kekurangan, serta sekilas contoh penafsiran Abu Ali al-Fadlal bin al-Hasan al-Thabrasi terhadap al-Qur’an. Paling tidak, tulisan ini mampu membuka mata kita lebar-lebar, bahwa ternyata kalangan Syi’ah pun cukup memberikan apresiasi yang berarti dalam tradisi penafsiran al-Qur’an di dunia Islam, seperti terjadi di kalangan Sunni.





























BAB II
PEMBAHASAN

1. Biografi al-Thabrasi
            Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Fadlal bin al-Hasan al-Thabrasi adalah seorang ulama terpandang dimasanya, beliau menjadi rujukan ulama lain pada saat itu, terkenal dengan budi pekerti yang luhur, bukan Cuma ahli dibidang tafsir kan tetapi ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu fiqih dan hadits juga dikuasainya. Santri-santri beliau diantaranya adalah: Radliy al-Din, Abu Nashar Hasan bin al-Fadlal putranya sendiri, Ibn Syhrasyuaub, Syeh Muntakhab al-Din, Qutub al-Rawandi dll. sedangkan gurunya adalah: Syeh Abu Ali al-Thusiy.[3]

2. Karya-karya al-Thabrasi
            Karya-karya al-Thabrasi adalah: kitab Majma’ al-Bayan fi Tafsiri al-Qur’an, al-Wasit fi al- Tafsiri terdiri empat jilid, al-Wajiz,  I’lam al-Wara bi a’lam al-Huda 2 jilid, Taj al-Mawalid dan al-Adab al-Diniyah.
             Yang melatar belakangi al-Thabrasi untuk menulis kitab Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an adalah kejadian aneh, yaitu menurut sebuah cerita pada suatu ketika al-Thabrasi mengalami kaku disekujur tubuh sehingga orang-orang disekitarnya menganggapnya mati, setelah dimandikan, dikafani dan dikebumikan beliau sadar dari rasa kaku tersebut, yang berusaha keluar dari dalam kubur, dan berjanji kpada Allah Swt. kalau diselamatkan dari musibah itu dia akan mengarang sebuah kitab dalam ilmu tafsir, setelah beberapa hari dating orang-orang untuk menggali kuburnya dan mengeluarkan al-Thabrasi dan memapahnya pulang kerumah, beliau wafat pada tahun 538 H.[4]

3. Mengenal Tafsir Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an
            Sebagai salah satu tafsir yang bercorak Syi’ah maka kitab Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an kurang dikenal didunia Suni, al-Dzahabi menggambarkan bahwa pada mukaddimah Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an, al-Thabrasi terlebih dahulu menjelaskan ilmu-ilmu al-Qur’an yang dibagi menjadi tujuh bab:
1. Menjelaskan bilangan ayat dalam al-Qur’an dan Urgensi mempelajarinya
2. Menjelaskan Masalah Qira’at dan ulama-ulama Qurra’
3. Menjelaskan masalah Tafsir, ta’wil dll.
4. Menjelaskan al-Qur’an dan arti-artinya
5. Menjelaskan Ulum al-Qur’an seperti I’jaz, ayat-ayat al-Qur’an bisa ditamabah atau dikurangi.
6. Menjelaskan akbar-akhbar (Hadits-hadits) yang ada kaitanya dengan keutamaan al-Qur’an
7. Menjelaskan anjuran-anjuran bagi pembaca al-Qur’an
            Kemudian al-Thabrasi melnjutkan dengan menafsirkan al-Qur’an, memulai dari ta’awuzd, basmalah, surat al-Fatihah dan seterusnya.[5]

3. Metode dan corak al-Thabrasi
            al-Thabrasi dalam kitab tafsir Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an memakai metode dengan mengawali tiap-tiap surat dalam al-Qura’an dengan menyebut surta makki atau madani, kemudian menjelaskan perbedaan ulama masalah bilangan ayat-ayat al-Qur’an dalam surat itu, menjelaskan juga perbedaan ulama masalah qira’at, menjelaskan illat dan hujah masing-masing, menjelaskan Asbab al-nuzl, I’rab, ma’ani, hukum, kisah-kisah dan korelasi runtun ayat, sehingga al-Dzahabi menyimpulkan bahwa kitab tafsir Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an adalah perpaduan madzhab Syi’ah dan Mu’tazilah.[6]
            Merujuk pada kajian yang dilakukan Rosihon Anwar[7], secara umum, corak al-Thabrasi sama dengan corak tafsir  ulama Syi’ah yaitu tafsir simbolik (menekankan pada aspek batin al-Qur’an)[8]. Dalam khazanah Ulum al-Qur’an, tafsir seperti ini biasa dikenal dengan tafsir bathini. Al-Dzahabi menyebut tafsir simbolik dengan ungkapan al-tafsir al-ramzi, sedangkan Habil Dabashi menggunakan istilah tafsir esoterik[9].
            al-Thabrasi menekankan penafsirannya pada aspek batin al-Qur’an. Pengklasifikasian al-Qur’an menjadi dua bagian, aspek lahir dan aspek batin, merupakan prinsip terpenting dalam penafsiran al-Thabrasi. Bahkan, aspek batin dianggap mereka sebagai aspek yang lebih kaya daripada aspek lahir.
            Intinya metode yang dipakai al-Thabrasi dalam menafsirkan al-Qur’an, secara umum, seperti dikemukakan Rosihon Anwar, metode yang umum memakai pendekatan tafsir esoterisme-sentris, adalah metode takwil[10].
            Sebagai pengikut Syi’ah Itsna ‘Asyariyah al-Thabrasi melanjutkan tradisi di kalangan ulama Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, yaitu menyesuaikan ayat-ayat Allah dengan prinsip-prinsip ajaran mereka. Sehingga, mereka akan berusaha menjadikan al-Qur’an sebagai dalil (justifikasi) bagi klaim-klaim mereka yang lebih menekankan pada metode takwil[11].

4. Prinsip-prinsip al-Thabrasi
Prinsip-prinsip al-Thabrasi dalam tafsirnya adalah:
1. Prinsip Imamah
            ” Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah) “
            al-Thabrasi menjadikan ayat tersebut sebagai dasar bagi keimaman Ali KW. sesudah Nabi saw. langsung tanpa terputus. Pengertian wali dalam ayat di atas, menurut al-Thabrasi, adalah ‘yang lebih berhak’ atau ‘yang lebih utama,’ yaitu Ali. Juga, yang dimaksud wa al-ladzina amanu adalah Ali KW. Maka, ayat ini ditujukan kepada Ali kw [12].
            Melihat contoh di atas, tampak bagaimana Syaikh al-Thabrisi menggunakan penakwilan untuk menakwilkan kata wali dan wa al-ladzina amanu yang ditujukan kepada Sayyidina Ali kw.
2. Ishmah al-A’immah
            “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul baitdan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
al-Thabrasi menafsirkan ayat Tathhir dimana ayat tersebut diyakini sebagai dalil pensucian ahlul bait. Dan ahlal bait dalam ayat tersebut ditujukan hanya kepada ahlul kisa, dengan menafikan isteri-isteri nabi Saw.[13]
            “Dalam pembahasan ini kami akan membuktikan bahwa penafsiran yang benar adalah Al Ahzab 33 turun untuk Ahlul Kisa’ yaitu Nabi SAW, Sayyidah Fathimah, Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain. Tentu saja kami akan membawakan riwayat-riwayat shahih yang menjadi bukti kejahilan mereka”, demikian al-Thabrasi menafsirkan ayat diatas.
3.al-Raj’ah
            “Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur”.
            al-Thabrasi menafsirkan ayat diatas sebagai dasar utama Al Raj’ah, yaitu suatu aqidah Syi’ah, yang dimaksud Al Raj’ah adalah, bahwa manusia akan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali bersama makhluk lain seluruhnya. Syi’ah melihat bahwa kembalinya beberapa orang setelah mati nanti, setelah imam Mahdi turun adalah merupakan salah satu daftar yang esensial. menurut al-Thabrasi ayat ini membuktikan kebenaran al raj’ah dan kematian dua kali (At-Tibyan).[14]      
4. Imam al-Mahdi
            (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
            Dalam menafsirkan ayat diatas, al-Thabrasi mengatakan bahwa beriman kepada yang  ghaib adalah beriman kepada Imam Mahdi yang hilang, dan  nanti akan kembali ke dunia untuk menciptakan keadilan di atas bumi ini dan akan memperhitungkan orang-orang yang tidak memihak dan membela Ali Ra.[15]
5. Taqiyah
            Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).
            Menurut al-Thabrasi, taqiyyah itu merupakan program rahasia, bahkan menjadi strategi yang harus dilaksanakan. Mereka berpura-pura taat, sehingga sampai pada saat yang mungkin nanti untuk melaksanakan rencana-rencananya. Mereka menafsirkan perbuatan imam-imamnya yang dianggap taqiyyah, seperti diamnya Ali atas kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan perjanjian damai antara Hasan dengan Mu’awiyyah.
6. Nikah Mut’ah
            dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
            Dalam menafsirkan ayat diatas, al-Thabrasi mengatakan bahwa ayat diatas adalah dasar utama dianjurkanya nikah mut’ah dan tidak ada dalil lain yang menghapus hukum tersebut.
7. Kewajiban mengusap kaki dalam wudlu’
            Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
al-Thabrasi menafsirkan ayat “wa arjulikum” dan sapulah kepalamu dan sapu juga  kakimu sampai dengan kedua mata kaki, karena kata “wa arjulikum” adalah ataf  kepada kata “bi ru’usikum”.[16]
8. Larangan menikahi wanita ahl al-Kitab
            Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
            Ayat diatas menurut al-Thabrasi adalah landasn hukum bahwa Allah melarangan menikahi wanita ahl al-Kitab.

9. Harta Rampasan
            Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa[615] yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
10. Ijma’
            Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
11. al-Huda wa al-Dlalal
            Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.

12. Melihat Allah
            Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
13. Masalah Sihir
            Dan mereka mengikuti apa[76] yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.
14. Syafa’at
            Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.

5. Kekurangan dan Kelebihan Tafsir al-Thabrasi

            Ada satu kelebihan yang bisa kita tiru dari metode tafsir yang digunakan al-Thabrasi. Dengan menggunakan metode takwil, al-Thabrasi lebih concern kepada makna batin al-Qur’an. Walaupun harus diperhatikan, bahwa banyak takwil mereka yang cenderung arogan. Hal ini berbeda dengan metode tafsir yang berkembang di dunia Sunni, yang cenderung literal dan skriptualis. Sehingga penafsiran al-Qur’an di dunia Sunni kurang memperhatikan weltanschaung al-Qur’an dan aspek batin (esoteris) al-Qur’an, yang merupakan pesan al-Qur’an yang sebenarnya.[17]
            Adapun kekurangan tafsir al-Thabrasi, seperti yang dibicarakan di atas, penggunaan metode takwil mereka cenderung arogan dan tidak mengindahkan aturan-aturan takwil dalam khazanah ‘Ulum al-Qur’an. Takwil yang mereka pakai hanya didasarkan pada kepentingan mereka mencari justifikasi untuk mendukung pandangan madzhabnya. Akibatnya, makna al-Qur’an sering mereka selewengkan demi kepentingan madzhabnya. Sehingga, alih-alih mereka mencari makna batin al-Qur’an, malah makna al-Qur’an mereka selewengkan begitu jauh.[18]













BAB III
 KESIMPULAN
            Dari pemaparan singkat diatas dapat disimpulkan beberapa hal, diantarnya:
1. Realitas apapun yang terjadi dalam penafsiran al-Qur’an di kalangan Syi’ah, khususnya  kitab Majma’ al-Bayan li ulum al-Qura’an karya Abu Ali al-Fadlal bin al-Hasan al-Thabrasi, patut kita hargai, bahwa kelompok ini telah memberikan sumbangan yang begitu besar dalam khazanah tafsir al-Qur’an di dunia Islam. Setidaknya, kita bisa mengambil sesuatu yang baik dari mereka untuk kita kembangkan, dalam rangka mencari metode yang sesuai dalam menafsirkan al-Qur’an.
2. Adapun ada metode mereka yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran yang selama ini kita kenal, bisa kita jadikan cermin, supaya kita tidak terjerumus ke lubang yang sama. Bukankah Rasulullah saw. telah mewasiatkan, “khudz ma shafa wa da’ ma kadar,” ambillah sesuatu yang baik dan tinggalkanlah sesuatu yang buruk.
















BAB IV
DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Rosihon. Samudera al-Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001

Dzahabi, Muhammad Husain al-. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I dan Juz II. t.tp: t.p, 1976

Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid. Bandung: Pustaka, 1987

Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. . Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003

Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992


[1]  M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 92
[2] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 81-87
[3] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 74
[4] Ibid, hlm75
[5] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 78
[6] Ibid, Juz II, hlm. 77
[7] Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera al-Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 218
[8] Tapi harus dibedakan antara tafsir Syi’ah dengan tafsir Sufi. Karena tafsir Sufi pun menekankan pada aspek batin al-Qur’an, seperti pada tafsir Syi’ah. Lihat Abdul Mustaqim, Madzahibut………, hlm. 85. Di sini, Abdul Mustaqim menyebutkan, bahwa kalangan Sufi memakai metode penakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya. Lihat juga Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera………, hlm. 208. Rosihon menyebutnya dengan istilah pendekatan tafsir esoterisme-sentris. Penulis memandang, yang membedakan penakwilan yang dilakukan kalangan Syi’ah dengan kalangan Sufi adalah pada adanya petunjuk khusus. Kalangan Sufi, dalam melakukan takwil, selalu melihat petunjuk khusus atau ilham. Beda dengan kalangan Syi’ah, yang cenderung arogan dan serampangan dalam menggunakan metode takwil.
[9] Ibid., hlm. 222
[10] Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera al-Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 210
[11]Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 135-136. Lihat juga Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 23
[12] Ibid,  hlm. 242
[13] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 82
[14] Ibid, 83
[15] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 83
[16] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 86
[17] Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera Al-Qur’an, hlm.209
[18]Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera Al-Qur’an,  hlm. 210