Selasa, 26 Juni 2012

Tugas UAS Metodologi Penelitian


POLIGAMI MENURUT MASYARAKAT AWAM, PRIYAYI DAN ULAMA
DITINJAU DARI KITAB TAFSIR, IBNU KATSIR DAN
 MAFATIH AL-GHAIB, AYAT 3 SURAT AL-NISA’
(Studi Kasus di Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember)


Copy of Logo




Disusun dan diajukan untuk melengkapi tugas-tugas Ujian akhir semester

Disusun Oleh:

Muhyi Abdurrohim
NIM: 082092011

yang dibina oleh :

Ibu Hisybiyatul Hasanah, S.Ag., M.Si.


JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

2012


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
            Pada hakikatnya, manusia didunia ini diciptakan dengan hidup berpasang-pasangan, yang mana hal ini merupakan pembawaan naluriah manusia dan juga maklhuk hidup lainnya, bahkan segala sesuatu di dunia ini diciptakan dengan berpasang-pasangan. Dengan hidup berpasang-pasangan, maka keturunan manusia akan terus berlangsung, disamping untuk berketurunan perkawinan juga akan menimbulkan ketenangan hidup manusia dan menimbulkan rasa kasih dan sayang, sebagaiman fiman Allah SWT.,
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
             “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”( QS. Ar-rum : 21)
            Agama Islam sangat menganjurkan setiap umatnya agar dapat melangsungkan perkawinan, hal ini karena Islam memandang bahwa perkawinan mempunyai nilai keagamaan, yaitu sebagai ibadah kepada Allah SWT., mengikuti sunnah Rasulallah SAW. dan menjaga keselamatan hidup manusia. Dari sisi yang lain, perkawinan dipandang mempunyai nilai kemanusiaan, untuk memenuhi naluri hidup kemanusian, menumbuhkan dan memupuk rasa kasih dan sayang dalam hidup bermasyarakat[1].
            Dalam tafsirnya kitab Mafatih al-Ghaib, Imam Fakhruddin al-Raziy mengungkapkan bahwa: Islam adalah agama fitrah yang mengiktirafkan pelbagai keperluan dan kehendak manusia dalam hidup berpasangan. Berasaskan kepada keadaan inilah Islam membenarkan poligami yang merupakan amalan masyarakat turun temurun sejak sebelum kedatangan Islam. Bagi memastikan amalan poligami secara yang lebih adil dan dapat menjamin kesejahteraan hidup seluruhummat, Islam telah menetapkan syarat-syarat tertentu dan mengambil jalan tengah yang lebih wajar. Syariat Islam menetapkan bahawa seorang lelaki boleh menikah dengan lebih dari sstu orang perempuan tetapi tidak melebihi empat orang[2]
            Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa: Pada dasarnya asas perkawinan islam adalah monogami, yaitu seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai seorang isteri, akan tetapi tidak menutup kemungkinan dengan adanya suatu sebab tertentu seorang laki-laki diperbolehkan untuk mempunyai isteri lebih dari satu, tentunya dengan syaratsyarat yang ada dalam syari’at. Poligami sudah ada sejak jaman dahulu (jahiliyyah) dengan bukti bahwa Rosulullah SAW memerintahkan kepada orang-orang yang baru masuk Islam untuk menceraikan istrinya bagi mereka yang mempunyai istri lebih dari empat orang, seperti sahabat Qais bin Haris yang mempunyai isteri delapan orang, Ghailan ats Sagafi yang mempunyai isteri sepuluh orang dan Maufal bin Muawiyah yang mempunyai isteri lima orang3.[3] Sebagian besar sahabat pada masa Rasulallah mempunyai banyak isteri dan Rasulallah menetapkan kepada mereka atas hal itu, dan apa yang diperintahkan oleh Rasulallah kepada mereka serta apa yang mereka lakukan atas diri mereka tidak lebih dari jumlah yang tersebut dalam surat an-Nisaa ayat 3. Keharusan adil pada isteri-isteri mempunyai arti yang penting, dan setiap ketetapan Rasulallah atas mereka merupakan bagian dari sunnah yang menjadi dasar agama islam.
            Disinilah yang menjadi latar belakang diturunkannya surat an-Nisaa ayat 3, ayat ini menegaskan bahwa keadilan terhadap isteri itu sangat penting, oleh karena itu ayat ini mempunyai maksud membatasi kepada setiap suami yang hendak beristeri lebih dari seorang dan batasan itu hanya sampai pada empat orang isteri saja.
            Saat ini poligami merupakan isu yang paling hangat dibicarakan, poligami selalu saja menimbulkan pro dan kontra baik dari kalangan umat islam sendiri maupun orang-orang yang menanamkan dirinya sebagai pejuang hak wanita. Golongan yang pro menyandarkan poligami pada ayat-ayat al-Qur’an yang isinya membolehkan seorang pria beristeri lebih dari satu orang dengan batas empat orang dengan syarat suami harus dapat berlaku adil, sedangkan yang kontra menyandarkan bahwa poligami tidak sesuai dengan hak asasi perempuan sebagai isteri.
            Selain itu, ada juga golongan yang berada diantara pro dan kontra, golongan ini setuju dengan poligami namun poligami tersebut harus berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu harus memenuhi syarat ada ijin dari isteri dan pengadilan[4].     Tentunya salah satu pendapat mengenai poligami yang hanya dilihat dari segi negatifnya sebagaimana diatas harus diluruskan, yakni golongan yang menganggap bahwa poligami merupakan pelanggaran hak asasi perempuan sebagai isteri, sebab pendapat itu muncul karena praktek poligami yang tidak dijalankan sesuai dengan tuntunan islam maupun peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia. Pada dasarnya hukum perkawinan yang ada hanya dapat ditegakkan atas dasar kenyataan obyektif dan dalam ruang lingkup yang seluasluasnya; mengakui keutamaan monogami lebih mendekati keadilan dan kebajikan, akan tetapi bersamaan dengan itu membolehkan poligami, karena poligami merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dalam masyarakat dan juga dalam berbagai keadaan tertentu diperlukan untuk melestarikan kehidupan manusia.
            Sementara Ibnu Katsir dan Fakhruddin al-Raziy adalah dua tokoh Ulama Tafsir, yang terkenal dengan karya beliau berdua, yaitu Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir al-Kabir atau Tafsir Mafatih al-Ghaib, kedua ulam itu dianggapa mewakili dua aliran metodologi penafsiran yang dianggap memenuhi keridibelitas untuk menjadi landasan hukum Islam, yaitu:  bi al-riwayat (Ibnu Katsir) dan bi al-Ra’yi atau bi al-Ijtihad (Fakhruddin al-Raziy).
            Dari berbagai uraian diatas, sepengetahuan penulis penelitian ini belum pernah diteliti oleh orang lain. Oleh Karena itu dengan adanya latar belakang diatas penulis tertarik   untuk   melakukan    penelitian ini dan  dalam hal ini   penulis memilih  judul
 “ POLIGAMI MENURUT MASYARAKAT AWAM, PRIYAYI DAN ULAMA, DITINJAU DARI KITAB TAFSIR, IBNU KATSIR DAN MAFATIH AL-GHAIB, AYAT 3 SURAT AL-NISA’.

B. Pokus Penelitian
            Pokus Penelitian  disini adalah suatu pembatasan daerah yang dirumuskan dan dibatasi oleh masalah-masalah yang akan dibicarakan dengan pengertian bahwa yang ada pertautannya tidak ditinggalkan begitu saja. Maka, untuk membatasi yang akan diteliti dan agar tidak terjadi meluasnya dalam penafsiran dalam hal ini penulis memfokuskan penelitian tentang pandangan masyarakat awam, priyayi dan ulama mengenai poligami, pelaksanaan poligami pada masyarakat Awam, priyayi dan ulama, ditinjau dari Kitab Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Mafatih al-Ghaib, ayat 3 surat al-Nisa’.
C. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka perlu dipertegas kembali rumusan pokok masalah yang akan diteliti. Maka penulis akan merumuskan beberapa hal yaitu:
1. Bagaimanakah pandangan masyarakat awam, priyayi dan ulama di daerah Kec. Ledokombo Kab. Jember mengenai poligami?.
2. Bagaimanakah pelaksanaan poligami pada masyarakat awam, priyayi dan ulama, di           daerah Kec. Ledokombo Kab. Jember ditinjau dari Tafsir Mafatih al-Ghaib, ayat 3 surat al-Nisa’?.
D. Tujuan Penelitian
            Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan masyarakat awam, priyayi dan ulama di daerah Ledokombo  mengenai poligami.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan poligami masyarakat awam, priyayi dan ulama daerah Ledokombo, ditinjau dari Tafsir Mafatih al-Ghaib, ayat 3 surat al-Nisa’.

E. Manfaat Penelitian
            Suatu penelitian harus dapat memberikan manfaat, adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis
            Memberikan khazanah yang mendalam dalam ilmu pengetahuan tafsir, baik Tafsir bi al-Riwayah maupun bi al-Ra’yi kepada penulis dan semua lapisan masyarakat pada umumnya, serta dapat menjadi stimulus bagi penelitian selanjutnya, sehingga proses pengkajian Tafsir secara mendalam akan terus berlangsung dan memperoleh hasil yang maksimal.
2. Secara Praktis
            Memberikan manfaat kepada masyarakat secara umum, sehingga masyarakat dapat mengetahui hukum berpoligami dalam presfektif Tafsir al-Quran, baik Tafsir bi al-Riwayah maupun bi al-Ra’yi sehingga praktek poligamipun dapat dijalankan sesuai dengan syari’at dan peraturan-peraturan yang berlaku.
F. Metode Penelitian
            Untuk mencapai sasaran dan tujuan dalam suatu penelitian maka perlu menggunakan metode penelitian, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian:
1. Metode Pendekatan
            Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah dengan pendekatan yuridis sosiologis[5], yaitu dengan melakukan telaahan dari hasil penelitian, pengkajian teoritis, kajian empiris, dengar pendapat, konsultasi publik dan observasi lapangan yang berkaitan dengan pandangan dan pelaksanaan poligami pada masyarakat awam, priyayi dan ulama.
2. Jenis Penelitian
            Penelitian dalam skripsi ini termasuk penelitian deskritif kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan mengambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan adanya tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat[6].
3. Lokasi Penelitian
            Sesuai dengan judul skripsi yang telah penulis ajukan, maka untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas, maka penulis mengambil lokasi penelitian di daerah Kec. Ledokombo Kab. Jember.
4. Sumber Data
            Adapun sumber data penelitian ini berasal dari:
            a. Sumber Data Primer
            Sumber data primer ini diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak Kantor          Urusan  Agama Kec. Ledokombo Kab. Jember, serta hasil wawancara       langsung dari masyarakat awam, priyayi, dan ulama di daerah Kec.     Ledokombo Kab. Jember.
            b. Sumber Data Skunder
            Sumber data ini diperoleh tidak dengan secara langsung dari yang memberikan      data atau informasi, akan tetapi sumber data ini diperoleh melalui studi            kepustakaan yang meliputi Al-Qur’an, Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir al-Kabir             atau Tafsir Mafatih al-Ghaib, Hadist, ijtihad, buku-buku, arsip-arsip dengan           adanya sumber data tersebut diharapkan dapat menunjang serta melengkapi            data-data  yang akan dibutuhkan untuk penyusunan skripsiini.
5. Metode Pengumpulan Data
            Untuk mengumpulkan data dari sumber data primer, maka penulis akan menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
            a. Studi Pustaka
            Yaitu dengan jalan mempelajari buku-buku kepustakaan terhadap teori-teori           hukum Islam, dan untuk memperoleh data skunder dilakukan dengan cara      mempelajari, membaca, mengutip dari tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir al-Kabir             atau Tafsir Mafatih al-Ghaib, juga buku-buku literature dan arsip, yang ada             hubungannya dengan skripsi ini.
            b. Pengamatan (Observasi)
            Merupakan pengamatan langsung terhadap obyek yang akan diteliti serta    mencatat hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang bersangkutan,      sehingga dengan cara ini peniliti dapat mengetahui sebanyak mungkin             keadaan data dari Kantor Urusan Agama Kec, Ledokombo Kab. Jember    mengenai perkawinan poligami.
            c. Wawancara (Interview)
            Merupakan hal penting untuk memperoleh data primer, dalam wawancara ini          dilakukan secara terarah dengan menanyakan hal-hal yang diperlukan untuk   memperoleh data-data yang lebih mendalam kepada pihak berkompeten   dengan penulisan ini yaitu dengan pihak Kantor Urusan Agama Kec,          Ledokombo Kab. Jember  dan juga masyarakat awam, priyayi, dan ulama di     daerah Ledokombo Kab. Jember Dengan  demikian, penulis dapatlebih mudah       untuk menganilisis dan mengembangkan data yang dihasilkan dari wawancara tersebut.
6. Metode Analisis Data
            Dalam metode analisis data yang akan digunakan, maka penulis menggunakan       metode analisis data kualitatif yang dilakukan dengan cara mengumpulkan          data-data yang diperoleh yang kemudian dihubungkan dengan masalah yang akan diteliti, sehingga akan diketahui pemecahannya dan ditentukan hasil   akhir dari penelitian tersebut yang berupa kesimpulan-kesimpula.
G. Sistematika Skripsi
            Untuk mempermudah mencari laporan penelitian ini perlu adanya sistematika penulisan. Skripsi ini terbagi dalam empat bab yang tersusun secara sistematis, tiap-tiap bab memuat pembahasan yang berbeda-beda, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan, secara sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Fokus Penelitian
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Definisi Istilah
F. Sistematika Pembahasan[7]
BAB II : KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Penelitian Terdahulu
B. Kajian Teori
1. Tinjauan Umum tentang Perkawinan
a. Pengertian tentang Perkawinan
b. Hukum Melaksanakan Perkawinan
c. Syarat-syarat Syahnya Perkawinan
d. Tujuan Perkawinan
2. Tinjauan Umum tentang Poligami
a. Pengertian Poligami
b. Dasar Hukum Poligami
c. Syarat-syarat Poligami
d. Faktor-faktor Poligami
f. Tujuan Poligami
e. Poligami dan Hak Asasi
3. Tinjauan Umum tentang Masyarakat
a. Pengertian tentang Masyarakat Awam
b. Pengertian tentang Masyarakat Priyayi
c. Pengertian tentang Ulama.
BAB III : METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
B. Lokasi Penelitian
C.  Sumber Data
D. Teknik Pengumpulan Data
E. Analisi Data
F. Keabsahan Data
G. Tahap-tahap Penelitian

BAB IV : PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS
A. Gambaran dan Obyek Penelitian
B. Penyajian Data dan Analisis
C. Pembahasan Temuan
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
- DAFTAR PUSTAKA
- LAMPIRAN-LAMPIRAN



[1] Ahamad Azhar Basyir, 2004 “Hukum Perkawinan Islam”, Yogyakarta: UUI Press, Hal 11.
[2] al-Raziy, 1984, “ Mafatih al-Ghaib”, hlm. 178 juz IX, Toha Putra, Semarang
[3] Abdurrahman bin Ishaq 2001, “Tafsir Ibnu Katsir jilid 2”, Bogor: Pustaka Imam as-Syafi’i.
[4] http://groups.yahoo.com/group/kisahpoligami. (diakses tanggal 26 Juni 2012).
[5] Bambang Waluyo, 2002 “Penelitian Hukum dalam Praktek”, Jakarta: Sinar Grafika, Hal 17.
[6] Amiruddin 2004, “Pengantar Metode Penelitian”, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada
[7] Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah Mahasiswa, STAIN Jember, hlm. 73

Senin, 25 Juni 2012

Contoh tafsir isyari al-Alusi


Contoh tafsir isyari al-Alusi
Yaitu ketika beliau menafsirkan ayat 61 surat al-naml,
أَمَّنْ جَعَلَ الْأَرْضَ قَرَارًا وَجَعَلَ خِلَالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِيَ وَجَعَلَ بَيْنَ الْبَحْرَيْنِ حَاجِزًا أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
                Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengkokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut[1103]? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.(QS. al-naml,61)
                al-Alusi menafsirkan ayat diatas seperti ini: Atau siapakah yang telah menjadikan bumi seumpama jiwa, sebagai tempat berdiam dalam tubuh manusia, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya yang merupakan bisikan hawa nafsu, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengkokohkan)nya diumpamakan panca indra manusia dan menjadikan suatu pemisah yaitu hati diantara dua laut yaitu lautan ruh dan lautan jiwa,[1]  Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.
                catatan: yang bergaris adalah tafsir isyari, ini hampir sama dengan faham kejawean yang menggambarkan manusia seperti alam semesta, Wallahu A’lam.


[1] al-Alusi, dalam Tafsir Rauh al-Ma’ani, hlm. 41 juz 20.

Minggu, 24 Juni 2012

Bagi semua pengunjung

Bagi semua pengunjung blok ini, kalau membutuhkan tarjamahan dari buku arab ke indonesia, silahkan hubungi kami di no hp 085236482541, tarifnya murah,  terimakasih.

Ahmadiy


205
PEMBAHASAN III
MENJELASKAN PERBEDAAN HADITS DAN PENGAMBILAN HUKUM FIQIH
                Bersandar pada penjelasan para imam-imam hadits terhadap hadits gharib dan nasikh mansukh, maka sebagian imam-imam hadits seperti al-Bukhari dan al-Tirmidziy ada yang menjelaskan PERBEDAAN HADITS dan memecahkan sebagian yang sulit dimengerti, akan tetapi sedikit skali, bahkan al-Bukhari lebih sedikit dari pada al-Tirmidziy.
                al-Bukhari, al-Tirmidziy, abu Daud dan al-Nasa’I ada juga penjelasab tentang penganbilan hukum-hukum fiqih dari sebagian hadits yang ditakhrij imam-imam hadits itu selain hukum-hukum fiqih yang sudah ada di sub-sub bab, hal itu juga sedikit skali, yang paling banyak adalah abu Daud kemudian al-Nasa’I, Contohnya :
                al-Bukhari berkata dalam bab yang mentakrij hadits Abi Bakarah ra. yang merupakan hadits marfu’, “ dua bulan tidak akan pernah berkurang dari 30 hari, yaitu bulan Ramadhan dan bulan Dzul-Hijjah”  Abu Abdullah berkata, mengutip komentar Ishaq, “meskipun kurang itu tetap dianggap sempurna” al-Bukhari berkata, “maksudnya, kedua bulan itu tidak pernah berbarengan kurang dari 30 hari”
                al-Bukhari berkata dalam bab yang mentakrij hadits Abu Dzar ra. yang merupakan hadits marfu’, “ tidaklah seorang hamba mengucapakan kalimat “Lailaha illallahu” kemudian meninggal dengan kondisi seperti itu, kecuali dia pasti masuk surga” aku bertanya, “ Meskipun berzina dan mencuri?” Nbi saw. menjawab “ya, Meskipun berzina dan mencuri”  sampai tiga kali aku bertanya demikian, Abu Abdullah berkata, “mengucapakan kalimat “Lailaha illallahu” kalau sudah sekarat, atau sebelumnya, akan tetapi dia bertaubat dan menyesal maka akan diampunu dosa-dosanya
206
                al-Bukhari berkata dalam bab yang mentakrij hadits Anas ra. Setelah Nabi saw. menikahi Zainab maka kaum masuk lalau maka-makan, kemudian duduk-duduk bercerita, lalu nabi saw. seakan-akan bersiap-siap untuk berdiri, akam tetapi kaum tidak berdiri juga, setelah melihat itu Nabi berdiri, setelah itu sebagian kaum berdiri sebagian tidak, dan nabi dating untuk masuk, ketika kaum duduk kemudian mereka berdiri akan lantas pergi, kemudian aku mengabari Nabi saw, lalau beliau dating dan masuk, maka aku pergi dan masuk lalu tersingkap tutp antara saya dan Nabi saw. lala turunlaj ayat hijab, Abu Abdullah berkata, Dalam hadits diatas bisa diambil kesimpulan hukum fiqih, bahwa Nabi saw. tidak mengijinkan kaum ketika berdiri dan hendak keluar, dan Nabi siap2 untuk berdiri dan menginginkan kaum untuk berdiri.
                al-Bukhari berkata dalam ahir bab bertaubatnya maling “Abu Abdullah berkata, maling apa bila bertaubat setelah dipotong tanganya maka diterima persaksianya, demikian juga sangsi-sangsi yang lain”
               
207
                al-tirmizdi berkata dalam bab yang mentakrij hadits Abu Hurairah ra. yang merupakan hadits marfu’, Allah menerima sadaqah dan mengambilnya dengan tangan kananya………., kemudian al-tirmizdi berkata: Dan berkata jama’ah dari ahli ilmu dalam hadits ini dan riwayat2 yang serupa yang menjelaskan sifat-sifat Allah, dan turun tiap malam kelangit dunia, mereka berkata, riwayat2 itu sudah ditetapkan dan diimani dan tidak dituduh macam2 juga tidak dipertanyaka seperti apa? dan bagaimana? kalau golongan Jahmiyah menginkari riwayat2 itu dan beranggapan itu adalah menyerupai Allah dengan yang lain, Ishaq bin Ibrahim berkata; Yang dianggapan menyerupai Allah dengan yang lain itu adalah, Allah mempunyai tangan seperti tanganya si a. / Allah mempunyai telinga seperti telinganya si….., kalau dikatakan Allah mempunyai tangan, Allah mempunyai telinga, akan tetapi tidak dikatakn seperti tanganya si…./ seperti telinganya si….., maka itu bukan menyerupai Allah dengan yang lain,
                al-tirmizdi berkata lagi dalam maslah lailatul qadar, bahwasanya lailatul qadar terjadi pada malam 21, 23, 25, 27, 29 dan malam terahir bulan ramadhan, al-tirmizdi berkata mengutip komentar imam Syafi’I, menurutku, seakan2 nabi saw.menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau.
                al-tirmizdi berkata lagi dalam maslah hadits ‘Urwah ra. yang merupakan hadits marfu’, “ Kebaikan selalu tersimpul dileher kuda sampai hari kiamat, pahala dan harta rampasan” kemudian al-tirmizdi berkata mengutip komentar Ahmad bin Hanbal: Jihad bersama imam itu wajib sampai hari kiamat.
                Abu Daud berkata dalam maslah hadits ibn Abbas ra.  : Dilaknat wanita yang menyambung dan menyambungkan rambut palsu………, kemudian  Abu Daud mengikutkan atar dari Said bin Jubair dia berkata: Kalau rambut palsu dari sutra dan bulu hewan dll. tidak ada masalah, kemudian Abu Daud berkata: seakan-akan dia berpendapat bahwa yang dilarang adalah menyambungkan rambut palsu yaitu sesame rambut wanita, imam ahmad berkata: Kalau rambut palsu dari sutra dan bulu hewan dll. tidak ada masalah.
                Contoh pengambilan hukum yang dilakukan al-Nasa’I ada dua contoh, yaitu:
                209
                1. al-Nasa’I mentakhrij hadits Abu Hurairah ra., : “Saya tahu Nabi saw. berpuasa, aku menginginkan beliau berbuka dengan perasan anggur yang aku buat dalam satu wadah, lalu saya membawanya kepada beliau, lalu beliau bersabda turunkanlah, lalu saya turunkan, lalu minuman itu mendidih, beliau bersabda lagi tuangkan minuman ini kedinding, ini minuman orang2 yang tidak beriman kepada Allah dan hari ahir”, kemudian al-Nasa’I berkata mengutip komentar Abdurrahman: Ini adalah dalil diharamkanya minuman yang memabukkan baik itu sedikitb atau banyak, dan tidak seperti anggapan orang2 yang mengololk-olok, bahwa minuman yang terahir saja yang haram, sementra minuman yang awal-awal diperbolehkan, dan ini sudah menjadi kesepakatan ulama, bahwa minuman yang memabukkan tidak dibedakan baik itu minuman yang terahir, pertama, kedua maupun yang lainya.
                2. . al-Nasa’I mentakhrij hadits Mujahid, dia berkata: “Seperlima yang untuk Allah dan Rasulnya, adalah untuk Nabi saw. dan kerabatnya, mereka tidak boleh menerima sedikitpun dari zakat, maka bagi nabi  seperlima dibagilima untuj Nabi, keluarga Nabi, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil.” kemudian al-Nasa’I berkata mengutip komentar Abdurrahman:  Allah saw. berfirman:
                210
                Firman Allah, Lillahi adalah permulaan kalam, Karena segala sesuatu adalah milik Allah, bisa jadi Allah menyebut zatnya dalam masalah harta rampasan, karena jihad merupakan profesi paling baik, dan kenapa zakat tidak dinisbahkan kepada zatnya?, karena zakat merupakan pembersih jiwa dianggap sebagai kotoran manusia, dan menurut satu pendapat, satu bagian diambil dari harta rampasan dan didistribusikan untuk kepentingan ka’bah, yaitu bagian yang untuk Allah swt.
                satu Bagian untuk Nabi saw. dialokasikan untuk para imam atau pemerintah, untuk membeli kuda dan peralatan perang, juga untuk para peraktisi dan aktivis agama islam, ilmu-ilmu hadits, fiqih, dan Qur’an.
                satu Bagian lagi untuk kerabat Nabi saw. yaitu keturunan Hasyim dan al-Muttolib, yang kaya dan yang miskin, menurut satu pendapat, yang miskin saja seperti anak-anak yatim, dan ibnu sabil. menurutku pendapat ini lebih mendekati kebenaran, kecil, besar, laki-laki, perempuan atau banci dibagi rata, itu adalah keputusan Allah swt. dan nabi yang membagi demikian, dalam hadits tidak ada pemilahan atau pemilihan diantara mereka,dan tidak ada perbedaan yang kami ketahui diantara para ulama, kalu seorang laki-laki berwasiat dengan sepertiga hartanya pada orang lain, orang yang berwasiat itu masuk diantara mereka, , laki-laki, perempuan sama saja kalu bisa dihitung, demikian juga segala sesuatu kalau dijadika milik orang tertentu maka harus dibagi rata, kecuali kalau ada penjelasan yang demikian.
                satu Bagian lagi untuk anak-anak yatim kau muslimin.
                satu Bagian lagi untuk orang-orang miskin kaum muslimin.
                satu Bagian lagi untuk ibnu sabil kaum muslimin, tidak diperbolehka satu orang mendapat dua bagian, seperti mendapat Bagian untuk orang-orang miskin dan mendapat Bagian lagi untuk ibnu sabil, menurut satu pendapat boleh mengambil dai salah satu bagian, keempat bagian yang lain dibagi oleh pemerintah untuk orang-orang yang ikut berperang dari kaum muslimin yang sudah balig brakalkalkalkalkal.