Rabu, 24 Oktober 2012

Kitab Fathh al-Qadir


Kitab Fathh al-Qadir,

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Perkembangan Kitab Tafsir“



 






Oleh:

Najmah Fairus (082 092 012)

Dibina Oleh:

H. Mawardi Abdullah, Lc. M.Ag

JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

Oktober, 2012



BAB I
PENDAHULUAN
            Al-Qur’an al-karim adalah kalam Allah yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada penutup para Nabi dan Rasul, yaitu junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk (hidayah) bagi seluruh umat manusia. Kitab suci tersebut datang sebagai mu’jizat yang kekal dan dipergunakan oleh Islam untuk menentang orang-orang Arab yang tidak mampu menandingi kemu’jizatan yang dimilikinya, baik dalam segi susunan kata, gaya bahasa, maupun dalam segi keindahan-keindahan syari’at, filsafat, ilmu pengetahuan maupun perumpamaan-perumpamaan yang dikandungnya.[1]

            Didalam kandungan ayat al-Qur’an tersebut juga berisi tidak hanya sya’ir-sya’ir yang indah saja, melainkan juga terdapat kaidah-kaidah hukum yang harus dijadikan panduan bagi umat Islam. Oleh karena itu, kandungan al-Qur’an yang dijadikan panutan tersebut banyak dikaji dan dibahas melalui ilmu fiqh dan tafsir, yaitu fiqh sebagai cabang ilmu yang mengkaji dan menyimpulkan hukum dengan apa yang terdapat pada nash Qur’an, sedangkan tafsir adalah cabang ilmu yang mengkaji makna dan maksud yang dikehendaki oleh Qur’an itu sendiri. Namun demikian, tafsir al-Qur’an yang diyakini sebagai upaya untuk memahami dan mengungkapkan isi serta prinsip ajaran Islam juga memiliki kecenderungan hubungannya dengan fiqh, yang kemudian al-Dzahabi menyebutnya sebagai tafsir fiqh.[2]
            Muhammad al-Syaukani Bin Ali, seorang ulama tafsir fiqh yang cukup terkenal baik dikalangan sunni maupun syi’ah, karangannya yang berjudul tafsir Fathu al-Qadir merupakan kitab yang menonjolkan penafsiran fiqh yang cukup moderat dan relevan, meskipun ia termasuk dalam golongan Syi’ah.
           




BAB II
PEMBAHASAN

1. Biografi al-Thabrasi
            Syaukani lahir di Yaman pada tahun 1172 H/1759 M, pendidikan awalnya dimulai dengan belajar al-Qur’an pada ayahnya, Ali Al-Syaukani yang juga seorang ulama yang terkemuka di Yaman pada waktu itu. Pada usia muda ia telah mampu menghafal al-Qur’an dan juga mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti fiqh, hadits, tafsir, nahwu, adab al-bahtsi wa al-munadzarah (etika berdiskusi) dan sejarah. Diantara guru-gurunya yang terkenal antara lain Abdurrahman bin Qasim al-Madani al-Harazi yang seorang ahli hadits, kemudian Ahmad bin Muhammad al-Harazi dan al-Qasim bin Yahya al-Khulani (Keduanya ahli fiqh).[3]

2. Karya-karya al-Syaukani
            Ketekunan al-Syaukani dalam belajar dan membaca telah mengantarkannya menjadi seorang ulama. Dari itu, dalam usia yang masih relatif muda, kurang dari 20 tahun, ia telah diminta oleh masyarakat kota San’a untuk memberikan fatwa dalam berbagai masalah keagamaan, sementara pada waktu itu, guru-gurunya masih hidup. Lalu, pada usia kurang tiga puluh tahun, ia telah mampu berupaya melakukan ijtihad sendiri dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan pada masanya..

            Berkat ketekunan dan kesungguhannya, Syaukani menjadi seorang ulama besar dan seorang mujtahid di zamannya, serta diberi gelar syaikhul Islam, selain itu pula ia menjadi sumber fatwa madzhab Zaidiah.[4] Diantara karya-karyanya yang terkenal adalah 1)Fathh al-Qadir, 2) Nail al-Authar, 3) al-Qoul al-Mufid fi Hukm al- Taqlid, 4) Irsyad al- Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ilmi al-Usul, 5) Fath al-Rabbani, 6) Kasyf al-Astar an Hukm asy-Syuf’ah bi al-Jiwar, 7) Nuzhah al-Ahdaq fi ilmi al-Isytiqaq, 8) al-Qaul al-Maqbul fi Radd al-Khabar al-Majhul min Gair Sahabah ar-Rasul          
3. Manhaj Dan Metode Tafsir Fath Al-Qadîr
            Tafsir Fath al-Qadîr merupakan sumber utama dalam bidang tafsir dan referensi penting. Karena tafsir ini menggabungkan antara dirâyah dan riwâyah, membahas secara komprehensip masalah-masalah dirâyah dan riwâyah. Sebagaimana diterangkan pada pendahuluan tafsir ini, bahwa tafsir Fath al-Qadîr disusun pada bulan Rabiul Awal tahun 1223 H.. Dalam penyusunannya beliau merujuk kepada Abu Ja’far al-Nuhas, Atiyyah al-Dimasyqi, Ibnu Atiyyah al-Andalusi, Qurtubi, Zamakhsyari dan ulama-ulama lainnya.
            Mengenal sosok al-Syaukani tidak bisa terluput dari perhatian kita terhadap kitab tafsîr Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr sebagai karya terbesarnya dalam bidang tafsir. Kitab tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr adalah kitab tafsir yang dikarang oleh ulama besar bernama al-Imâm Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukânî al-San‘any (W. 1250 H.).
            Menurut penulis kitab tafsir Fath al-Qdir bercorak kalam, karena al-Syaukâni di dalam tafsir Fath al-Qadîr uraiannya menggabungkan antara metode riwâyah dan dirâyah. Metode riwâyah adalah metode yang menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur’an menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Rasulullah, dan pendapat para sahabat. Dan metode dirâyah adalah metode yang menggunkan kaidah-kaidah kebahasaan dalam menganalisa ayat-ayat al-Qur’an. al-Dzahabi menyebut bahwa Syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada Jama’ah Islamiyah (Suni-Asy’ariyah), namun dalam masalah aqidah, Zaidiyah sesuai dengan Mu’tazilah.
            Selanjutnya penulis mencoba mengenal kitab tersebut lebih jauh, dan sebagai langkah awal kita harus harus mengingat pendapat al-Syaukani sendiri tentang kitabnya.
Menurut keterangan al-Syaukani, penulisan tafsîr Fath al-Qâdîr ini dilatarbelakangi oleh keinginan al-Syaukânî untuk menjadikan al-Qur’an sebagai jawaban bagi penentang, menjadi penjelas bagi yang ragu, dan menjelaskan dan sesuatu yang halal dan haram. hal ini seperti yang diungkapkan al-Syaukânî sendiri dalam kata pengantar tafsîr Fath al-Qadîr sebagai berikut:
الحمد لله الذي جعل كتابه المبين كافلا ببيان الآحكام, شاملا لما شرعه لعباده من الحلال والحرام, مرجعا للآعلام عند تفاوت الآفهام وتباين الآقدام وتخالف الكلام, قاطعا للخضام شافيا للسقام مرهما للآوهام, فهو العروةالوثقى التي من تمسك بها فازبدرك الحق القويم, والجادةالواضحه التي من سلكها فقد هدى الى الصراط المستقيم...
            ”Segala puji bagi Allah yang menjadikan al-Qur’an sebagai penjelas bagi hukum-hukum yang mencakup tentang hal yang haram dan halal, yang menjadi rujukan bagi para cendikiawan ketika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, dan menjadi jawaban bagi penentang, obat bagi orang sakit, sekaligus penjelas bagi yang ragu. Kitab ini merupakan pegangan hidup yang kokoh, siapa yang bepegang teguh kepada kitab ini, maka dia akan mencapai kebenaran, dan siapa yang mengikuti tuntunannya, maka ia akan ditunjukkan kepada jalan yang lurus...”
            Berdasarkan data di atas, nampaknya al-Syaukânî cukup bersemangat dalam menuangkan pemikirannya melalui tafsirnya. Karena melihat kemuliaan dan keagungan akan al-Qur’an sebagai firman Allah. Al-Syaukani mengandalkan kitabnya sebagai muara kebenaran, sehingga wajar jika beliau senantiasa memberi himbauan kepada para pemikir dan peneliti untuk mempergunakan kitab tersebut sebagai acuan dalam rangka mencari kebenaran dan kepastian hukum.

4. Rasionalitas tafsir Fath al-Qadir karya al-Syaukani
            Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak rasional. Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat kepada makna harfiyah, dan banyak memakai arti majâzi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia.
            Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional. Pemikiran kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiyah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup Fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyah Bukhara
           
5. Contoh Ayat-ayat Rasional Imam al-Syaukani
            Sebagaimana diketahui, munculnya pemikiran kalam dalam Islam, pada hakekatnya merupakan upaya sungguh-sungguh para pakar memikirkan dan memahami dengan tepat dan benar kandungan al-Qur’an. Hal ini berarti, pemikiran dalam Islam selalu bertitik tolak atau mendapat topangan dari al-Qur’an. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat kalam, yakni ayat-ayat yang dipergunakan oleh para mutakallimîn sebagai dalil bagi pendapat-pendapat yang mereka ajukan dalam bidang kalam.
            Paling tidak penulis temukan tiga sampel untuk membidik kerasionalitasan al-Syaukani. Dalam menafsirkan ayat 75 surat Sâd (38) yang di dalamnya terdapat kata bi yaday, al-Syaukani mengatakan dalam penafsirannya yaitu:
"قال يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدي" أي ما صرفك وصدك عن السجود لما توليت خلقه من غير واسطة، وأضاف خلقه إلى نفسه تكريماً له وتشريفاً، مع أنه سبحانه خالق كل شيء أضاف إلى نفسه الروح، والبيت، والناقة، والمساجد.
            “Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku” yakni apa yang membuat kamu enggan dan membangkang untuk berusujud terhadap hamba yang kuciptkan dengan tanpa adanya perantara, dan kami bubuhi penuh dengan nilai-nilai kemulyaan, sebagaimana Allah adalah sang Pencipta segala sesuatu, baik itu menciptakan nyawa, rumah, onta serta masjid-masjid.”
            Setelah ayat yang sebelumnya mengurai keengganan Iblis untuk sujud kepada Nabi Adam as., ayat di atas mengurai kecaman Allah kepada Iblis. Ayat di atas menyatakan bahwa Allah berfirman : "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku”. Kata “yadai” (dengan kedua tangan), menurut Quraish Shihab, sebagai berikut:
            “Kalimat khalaqtu bi yadai, diperbincangkan oleh para ulama Ada yang mengambil jalan pintas, lantas berkata ada sifat khusus yang disandang Allah dengan nama itu sambil menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat kebendaan dan keserupaan makhluk. Ada juga yang memahami kata tangan dengan arti kekuasaan, dan penggunaan bentuk dual sekedar untuk menginformasikan betapa besar kekuasaan-Nya itu. Ada lagi yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan adalah anugerah duniawi dan ukhrawi yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, atau menjadi isyarat tentang kejadian manusia dari dua unsur utama yakni debu, tanah, dan juga ruh Ilahi. ”

            Al-Syaukani dalam keterangannya di atas, memahami kata yadayya nampaknya lebih kepada isyarat tentang betapa manusia memperoleh pegangan khusus dan penghormatan dari Allah Swt. Dari sini pula sehingga ayat di atas, tidak menggunakan kata tunggal untuk kata yadai/tangan tetapi bentuk dual yakni yadayya/kedua tangan-Ku.
Kemudian dalam menafsirkan ayat 67 surat al-Zumar (39) yang didalamnya terdapat kata biyamînih, al-Syaukani mengatakan bahwa Allah bertangan kanan, maksud utamanya ialah mendekatkan pahamnya kepada kita. Namun hakikat sebenarnya, demikian kata al-Syaukani yaitu bersangkut paut dengan qudrat Ilahi yang mutlak, yang tidak terikat oleh bentuk dan tidak terbatas. Sebagaimana al-Syaukani menafsirkannya sebagai berikut:
"والسموات مطويات بيمينه" فإن ذكر اليمين للمبالغة في كمال القدرة كما يطوي الواحد منا الشيء المقدور له طيه بيمينه، واليمين في كلام العرب قد تكون بمعنى القدرة والملك.
            “Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” penyebutan tangan kanan yaitu untuk mencapai proses sempurna dalam kekuasaanya, sebagaimana seseorang menggulungkan sesuatu dengan tangan kanannya. Dan tangan kirinya dalam bahasa Arab bermakna kekuasaan dan kerajaan”.
            Ayat di atas, mengecam kaum musyrikin dengan menyatakan sesungguhnya mereka telah melakukan kedurhakaan yang besar yakni mempersekutukan Allah padahal bumi dan beserta isinya adalah dalam genggaman tangan-Nya. Al-Syaukani memahami yamînih nampaknya secara metafora dalam arti kekuasaan atau kerajaan. Agaknya yang dimaksud di sini adalah kekuasaan Allah Swt. Penggalan ayat di atas, adalah salah satu di antara, yang menggambarkan sebagian dari hakikat kuasa Allah yang mutlak, yang tidak terikat oleh satu bentuk, tidak juga memerlukan tempat atau dibatasi oleh batas-batas apapun. Demikian al-Syaukani
            Dan akhirnya kata jâ’a Rabbuka (telah datang Tuhanmu) dalam ayat 22 surat al-Fajr (89), juga diberi ta’wil oleh al-Syaukani dengan ketentuan Tuhan. Al-Syaukani menulis sebagai berikut:
"وجاء ربك" أي جاء أمره وقضاؤه وظهرت آياته، وقيل المعنى: أنها زالت الشبه في ذلك اليوم وظهرت المعارف وصارت ضرورية كما يزول الشك عند مجيء الشيء الذي كان يشك فيه، وقيل جاء قهر بك وسلطانه وانفراده بالأمر والتدبير من دون أن يجعل إلى أحد من عباده شيئاً من ذلك "والملك صفاً صفاً" انتصاب صفاً صفاً على الحال: أي مصطفين، أو ذي صفوف
            “Dan datang “Tuhanmu” yakni datang perintah dan ketentuannya dan jelaslah tanda-tandanya, ada juga yang mengartikan “bahwasannya hilanglah keragu-raguan pada hari itu dan jelaslah keterangan-keterangan itu sebagaimana hilangngnya keragu-raguan itu ketika datang sesuatu yang membuat dia ragu, dan ada juga yang menafsirkan datanglah yang memaksamu atas perintahnya “dan sedang malaikat berbaris-baris” kata “ saf safa” dinasabkan karena sebagai hal posisinya. Memiliki makna yaitu berbaris-baris.
            Ayat di atas merupakan kecamana terhadap ayat sebelumnya yang mengaku memberikan kemuliaan dan memberi makan anak yatim, al-Syaukani memberikan keterangan bahwa “dan datang Tuhanmu, yakni datang dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya atau hadirlah ketetapannya, serta nampak dengan jelas kuasa dan keagungan-Nya.
            Uraian di atas, menunjukkan bahwa secara kuantitatif al-Syaukani sebenarnya lebih cenderung kepada pandangan yang di anut di kalangan pemikir kalam rasional-tradisioanl. Dikatakan rasional yakni memahami nash-nash antrpomorfisme tersebut tidak dalam makna harfiahnya, tetapi dalam makna metaforisnya. Dari lima kasus yang disebut di atas, yakni: ‘alâ al-‘arsyi istawâ, ‘ainî, wajh, biyamînih, dan jâ’a Rabbuka, dipahami al-Syaukani tidak dalam makna harfiyahnya, tetapi ia mempergunakan makna metaforis. Namun di sisi lain, ditemukan juga penafsiran al-Syaukani, yang cenderung ke corak tradisional seperti pada surat al-A’raf di atas.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa pada hakekatnya al-Syaukani, bila berhadapan dengan nash-nash antropomorfisme tersebut, cenderung menggunakan takwil dan kadang juga memaknai secara lahir.
            Dalam menghadapi masalah ru’yatullah (melihat Tuhan), al-Syaukani adalah penganut faham akidah Salafiyah, oleh karena itu setiap kali al-Syaukani menemukan ayat-ayat mutasyâbih selalu membawanya kepada makna dzahir.
            Sebagaimana diketahui bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang dipergunakan sebagai dalil dalam membicarakan masalah melihat Tuhan ini, dalam ilmu kalam adalah ayat 103 surat al-An‘âm, ayat 143 surat al-A‘râf, ayat 26 surat Yûnus, dan ayat 23-24 surat al-Qiyâmah.
Ayat 103 surat al-An‛âm (6), ditafsirkan oleh al-Syaukani dengan penjelasan sebagai berikut:
"لا تدركه الأبصار" الأبصار: جمع بصر، وهو الحاسة، وإدراك الشيء عبارة عن الإحاطة به."وهو يدرك الأبصار" أي يحيط بها ويبلغ كنهها لا تخفى عليه منها خافية، وخص الأبصار ليجانس ما قبله."وهو اللطيف" أي الرفيق بعباده: يقال لطف فلان بفلان: أي رفق به، واللطف في العمل الرفق فيه، واللطف من الله التوفيق والعصمة، وألطفه بكذا: إذا أبره: والملاطفة: المبارة، هكذا قال الجوهري وابن فارس، و "الخبير" المختبر بكل شيء بحيث لا يخفى عليه شيء.
            “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” kata “al-abshar” adalah bentuk jama dari kata ”bashar” artinya penglihatan, yakni mengetahui sesuatu yang diperlihatkan. “sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan” yakni mengetahuinya segala sesuatu dan tidak bisa disembunyi-bunyikan, mengkhususkan dengan menggunakan kata “al-Abshar” untuk kesesuaian dengan kalimat sebelumnya. “dan Dialah yang Maha halus” yakni maha lembut terhadap hamba-hambanya, dikatakan seseorang berbuat lembut terhadap sesamanya, yakni berbuat halus, kata “halus” dalam amal adalah berbuat lembut, sementara halus dalam dalam pandangan Allah adalah taufiq dan perlindungan, dia berbuat halus jika berbuat baik kepadanya, Sementara kata “Saling berbuat halus” artinya adalah “saling berbuat baik”, ini pendapat Imam Jauhari dan Ibnu Faris. “lagi Maha Mengetahui” maha mengetahui terhadap segala sesuatu yang tidak bisa seseorangpun menyembunyikannya.
            Kata al-absâr dalam penafsiran al-Syaukani di atas, adalah bentuk jama’ dari kata basar yang menyatakan bahwa Dia, yakni Allah tidak dapat dijangkau dalam bentuk apapun oleh penglihatan mata makhluk, sedang Dia dapat menjangkau, yakni melihat dan menguasai segala apa yang dapat terlihat. Jika demikian, ketidakmampuan makhluk melihat Allah dengan mata kepala disebabkan oleh kelemahan potensi penglihatan makhluk itu sendiri. Kemudian lanjut al-Syaukani, kata al-latîf yang mengandung arti lembut, halus, mengindikasikan tentang penyucian Allah dari persamaannya dengan mahluk serta uraian tentang ketidakmampuan indera dan akal manusia untuk menjangkau Dzat dan sifat-Nya. Atas dasar itulah kata al-Latîf di sini lebih baik dipahami dalam arti Maha Tersembunyi.
            Lebih jauh al-Syaukani mengatakan, bahwa jangankan melihat Tuhan yang Mahagaib, alam raya sekalipun banyak yang tidak mampu di capai oleh mata, baik itu yang berada di luar diri manusia, ataupun yang berada di dalam diri manusia. Namun lebih dari itu, bahwa sesungguhnya Allah mampu mengetahui segala sesuatu dan tidak seorangpun mampu menyembunyikan dari rekaman Allah.
            Tafsir yang diberikan oleh al-Syaukani terhadap Surat al-A‛râf (7) ayat 143 adalah sebagai berikut:
"وكلمه ربه" أي اسمعه كلامه من غير واسطة. قوله: "أرني أنظر إليك" أي أرني نفسك أنظر إليك: أي سأله النظر إليه اشتياقاً إلى رؤيته لما أسمعه كلامه. وسؤال موسى للرؤية يدل على أنها جائزة عنده في الجملة، ولو كانت مستحيلة عنده لما سألها، والجواب بقوله: "لن تراني" يفيد أنه لا يراه هذا الوقت الذي طلب رؤيته فيه، أو أنه لا يرى ما دام الرائي حياً في دار الدنيا. وأما رؤيته في الآخرة فقد ثبتت بالأحاديث المتواترة تواتراً لا يخفى على من يعرف السنة المطهرة، والجدال في مثل هذا والمراوغة لا تأتي بفائدة، ومنهج الحق واضح، ولكن الاعتقاد لمذهب نشأ الإنسان عليه وأدرك عليه آباءه وأهل بلده مع عدم التنبه لما هو المطلوب من العباد من هذه الشريعة المطهرة يوقع في التعصب. والمتعصب وإن كان بصره صحيحاً فبصيرته عمياء. وأذنه عن سماع الحق صماء، يدفع الحق وهو يظن أنه ما دفع غير الباطل ويحسب أن ما نشأ عليه هو الحق غفلة منه وجهلاً بما أوجبه الله عليه من النظر الصحيح وتلقي ما جاء به الكتاب والسنة بالإذعان والتسليم. وما أقل المنصفين بعد ظهوره هذه المذاهب في الأصول والفروع فإنه صار بها باب الحق مرتجاً، وطريق الإنصاف مستوعرة، والأمر لله سبحانه، والهداية منه: يأبى الفتى إلا اتباع الهوى ومنهج الحق له واضح وجملة "قال لن تراني" مستأنفة لكونها جواباً لسؤال مقدر كأنه قيل: فما قال الله له؟ والاستدراك بقوله: "ولكن انظر إلى الجبل فإن استقر مكانه فسوف تراني" معناه أنك لا تثبت لرؤيتي ولا يثبت لها ما هو أعظم منك جرماً وصلابة وقوة، وهو الجبل فانظر إليه "فإن استقر مكانه" ولم يتزلزل عند رؤيتي له "فسوف تراني" وإن ضعف عن ذلك فأنت منه أضعف، فهذا الكلام بمنزلة ضرب المثل لموسى عليه السلام الجبل، وقيل: هو من باب التعليق بالمحال، وعلى تسليم هذا فهو في الرؤية في الدنيا لما قدمنا. وقد تمسك بهذه الآية كلا طائفتي المعتزلة والأشعرية: فالمعتزلة استدلوا بقوله: "لن تراني"، وبأمره بأن ينظر إلى الجبل، والأشعرية قالوا: إن تعليق الرؤية باستقرار الجبل يدل على أنها جائزة غير ممتنعة، ولا يخفاك أن الرؤية الأخروية هي بمعزل عن هذا كله، والخلاف بينهم هو فيها لا في الرؤية في الدنيا فقد كان الخلاف فيها في زمن الصحابة وكلامهم فيها معروف. قوله: "فلما تجلى ربه للجبل جعله دكاً" تجلى معناه: ظهر، من قولك جلوت العروس: أي أبرزتها، وجلوت السيف: أخلصته من الصدأ، وتجلى الشيء: انكشف. والمعنى: فلما ظهر ربه للجبل جعله دكاً، وقيل المتجلي هو أمره وقدرته، قاله قطرب وغيره والدك مصدر بمعنى المفعول: أي جعله مدكوكاً مدقوقاً فصار تراباً، هذا على قراءة من قرأ دكاً بالمصدر، وهم أهل المدينة وأهل البصرة، وأما على قراءة أهل الكوفة "جعله دكاء" على التأنيث، والجمع دكاوات كحمراء وحمراوات، وهي اسم للرابية الناشزة من الأرض أو للأرض المستوية، فالمعنى: أن الجبل صار صغيراً كالرابية أو أرضاً مستوية. قال الكسائي: الدك: الجبال العراض واحدها أدك، والدكاوات جمع دكاء، وهي رواب من طين ليست بالغلاظ، والدكادك: ما التبد من الأرض فلم يرتفع، وناقة دكاء: لا سنام لها "وخر موسى صعقاً" أي مغشياً عليه مأخوذاً من الصاعقة: والمعنى: أنه صار حاله لما غشي عليه كحال من يغشى عليه عند إصابة الصاعقة له.
            “Dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya” yakni Allah mendengarkan pembicaraan Musa tanpa ada hijab dan fiman-Nya “Ya Tuhanku nampakkanlah (diri Engkau) agar aku dapat melihat kepada Engkau” yakni nampakkanlah bentuk diri Engkau agar aku dapat melihat langsung kepada Engkau, yakni memohon kepada Tuhan untuk memperlihatkan diri-Nya karena Musa rindu ingin melihat apa yang didengar dalam isi pembicaraanya. Dan permohonan Musa untuk melihat ini, mengindikasikan adanya kebolehan baginya untuk melihat diri Tuhan, walaupun, itu adalah hal yang mustahil baginya untuk melihat sesuai apa yang dia minta. Sementara jawaban atas pertanyaan itu adalah firman-Nya “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku” ini menunjukan bahwa Musa tidak bisa melihat apa yang di mohon pada saat itu, ataupun dia tidak bisa melihat selagi yang melihat itu hidup di muka bumi. Adapun penglihatannya kepada Tuhannya nanti pada hari kiamat sudah ditetapkan pada hadits mutawatir yang tidak bisa diragukan lagi bagi orang yang mengetahui hadits yang agung, dan bagi orang mempermasalahkanya atau orang yang menghindarinya yang sudah tahu kebenarannya, tetapi keyakinan itu berlaku bagi madzhab yang diikuti oleh orang banyak, serta sudah dikenal oleh nenek moyangnya, serta penduduk kampungnya tanpa adanya perhatian khusus terhadap apa yang diharapkan dari hambanya atas syariah yang agung yang akan mengakibatkan fanatisme. Dan orang yang fanatic walaupun penglihatannya itu sehat padahal penglihatannya itu adalah tuli, dan telinganya untuk mendengarkan kebaikan adalah gagap, menolak kebenaran dia mengira bahwa apa yang dia tolak itu adalah tidak salah, juga memperkirakan yang terjadi selama ini adalah benar, padahal dia itu adalah bodoh dan tidak mengetahui akan apa yang telah Allah wajibkan kepadanya untuk melihat yang benar serta menerima apa yang telah dijelaskan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dengan penuh ketundukan dan kepasrahan. Adapun untuk meminimalisir perbedaan setelah lahirnya beberapa madzhab ini baik dalam masalah ushuliyyah maupun furu’iyyah, maka sudah dikategorikan dalam pembahasan tentang kebenaran secara absolut, dan cara pemisahannya dengan cara akurat. Perintah Allah SWT serta petunjuk-Nya: ditelantarkan oleh sebuah kaum. Karena mereka mengikuti hawa nafsu walaupun sudah tau bahwa itu adalah benar “Tuhan berfirman: Kamu sekali-sekali tidak akan sanggup melihatku” diawali dengan adanya jawaban atas pertanyaan kurang lebih seperti ini: Maka apa yang Allah katakan kepadanya? Sesuai dengan firman-Nya ”tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihatku” maknanya adalah bahwa kamu tetap tidak bisa melihatku, maka lihatlah!”maka jika ia tetap di tempatnya (Sebagai sediakala)” tidak berpindah-pindah “maka niscaya kamu akan melihatku” jika susah juga, maka kamu tidak akan bisa, inilah perumpamaan dialog Musa AS di atas bukit.
            Ayat ini sudah menjadi pegangan aliran Mu’tazilah dan Asya’riyyah. Aliran Mu’tazillah berdalil dengan firman Allah “kamu tetap tidak akan bisa melihat-Ku” dan beserta perintahnya untuk melihat ke bukit. Sementara Asy’ariyah mereka berargumen bahwa kaitannya melihat Tuhan dengan bukit, itu mengindikasikan bisa melihat Tuhan tanpa ada halangan, perbedaan mereka bukan terletak pada masalah melihat Tuhan di dunia, tetapi terletak pada perbedaan yang terjadi pada masa sahabat, dan masalah ini sudah terkenal di antara mereka.
            “Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh”, kata “tajalla” artinya menampakkan/memperlihatkan, seperti kutampakkan pedang, dan kata “menampakkan sesuatu” berarti membukanya, jadi maknanya sama dengan “takala Tuhanmu memperlihatkan diri kepada gunung itu” sementara kata “al-dakk” adalah bentuk masdar tetapi memiliki makna maf’ul, yakni “dijadikannnya hancur luluh” dan akhirnya menjadi “tanah” pendapat ini bagi mereka yang membaca kata “ad-dakk” sebagai bentuk “mashdar”, diantaranya orang-orang Madinah dan Bashrah.
            Permintaan Musa untuk melihat wajah Tuhan itu disambut oleh Allah dengan cinta kasih. Pada ayat di atas, Allah menyatakan bahwa sekali-kali (Dia) Allah tidak dapat dilihat. Hal ini tidak dapat diterangkan. Lihat saja ke bukit Tursina. Jika nanti bukit itu tetap tempatnya, maka Musa nanti akan melihat wajah Allah di sana. Namun, apa yang terjadi, tatkala Tuhan menampakkan diri pada gunung itu, maka hancurlah ia, dan tersungkurlah Musa. Dialog di atas antara Musa dan Allah mengindikasikan bahwa Tuhan memang tidak bisa dilihat dengan mata kepala.

6. Kekurangan dan Kelebihan Tafsir al-Thabrasi
            Di antara kelebihan kitab ini, sebagaimana disebutkan oleh al-Syaukani sendiri yaitu ditemukan penyebutan sahih, hasan, daif, bahkan ditemukan kritik, komparasi dan penunjukkan pendapat yang paling kuat. Kitab tafsir ini karena besar dan banyak, sudah pasti banyak sekali ilmu yang yang terkandung di dalamnya, telah sampai kepada kebenaran yang dimaksud, mengandung sekian banyak manfaat. Jika hendak membuktikan kebenaran itu, coba perhatikan tafsir-tafsir yang menggunakan metodologi dirâyah (kontekstual), kemudian perhatikan kitab ini, jelas sekali bahwa kitab ini merupakan sumber inspirasi, yang merupakan keajaiaban dan rujukan para pencari ilmu. Sehingga, kitab ini diberi nama Kitab tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fanny al-Riwâyah wa al-Dirâyah min Ilm al-Tafsîr.

















BAB III
 KESIMPULAN
            Dari pemaparan singkat diatas dapat disimpulkan beberapa hal, diantarnya:
1. Tafsir Fath al-Qadîr merupakan sumber utama dalam bidang tafsir dan referensi penting. Karena tafsir ini menggabungkan antara dirâyah dan riwâyah, membahas secara komprehensip masalah-masalah dirâyah dan riwâyah
2. kitab tafsir Fath al-Qdir bercorak kalam, karena al-Syaukâni di dalam tafsir Fath al-Qadîr uraiannya menggabungkan antara metode riwâyah dan dirâyah. Metode riwâyah adalah metode yang menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur’an menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Rasulullah, dan pendapat para sahabat. Dan metode dirâyah adalah metode yang menggunkan kaidah-kaidah kebahasaan dalam menganalisa ayat-ayat al-Qur’an.



























BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Dzahabi, Muhammad Husain al-. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I dan Juz II. t.tp: t.p, 1976

Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid. Bandung: Pustaka, 1987

Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992

Muhammad Isma’il Ibrahim, Al-Qur’an wa I’jazu al-Ilmi, (Kairo: Dar al—Fikr al-Arabi, t.th 2001),

Muhammad Husen al-Dzahabi, AlTafsir wa al-Mufasirun, (Daar al-Kutub al- Haditsah), Cairo: 1976:I:13

Tim Penyusun Ensiklopedia Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, (Jakarta: 1996)
Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1967


[1] Muhammad Isma’il Ibrahim, Al-Qur’an wa I’jazu al-Ilmi, (Kairo: Dar al—Fikr al-Arabi, t.th), h. 12
[2] Muhammad Husen al-Dzahabi, AlTafsir wa al-Mufasirun, (Daar al-Kutub al- Haditsah), Cairo: 1976:I:13
[3] Tim Penyusun Ensiklopedia Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, (Jakarta: 1996), h. 1701
[4] Aliran Zaidiah berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah sesudah wafatnya Ali ibnu husein ialah Zaid. Zaidiyah dikenal paling baik dan moderat dibandingkan dengan madzhab-madzhab Syi’ah lainnya, dan ia paling dekat kepada Ahlus Sunnah dan Ahlu Ra’yi hanya berbeda pada masalah-masalah tertentu saja. (Lihat Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1967 : 109)