Sabtu, 07 April 2012

FAKHR AL-DIN AL-RAZIY

FAKHR AL-DIN AL-RAZIY,

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Mnahij Al-Mufassirin

Oleh:

  MUHYI ABDURROHIM (082092011)

yang dibina oleh :

Dr. KH Abdullah M.Hi.

JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

2012

BABI PENDAHULUAN
            Sejak zaman Rasulullah saw, sebenarnya sudah dikenal dua cara penafsiran, yaitu penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu, dan penafsiran berdasarkan ijtihad atau ra'y. Rasulullah saw sendiri sesungguhnya sudah menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ijtihad. Akan tetapi, ijtihad Rasullah itu tentunya ditopang oleh wahyu, yaitu akan dikoreksi oleh wahyu Allah sekiranya ijtihad beliau tidak tepat. Oleh karena itu, tidak ada kekhawatiran bahwa penafsiran beliau yang bersifat ra'y akan mengalami penyimpangan.
            Di masa sahabat, sumber untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an, di samping ayat itu sendiri, juga riwayat dari Nabi dan ijtihad mereka meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas. Akan tetapi perlu dicatat bahwa para sahabat sesungguhnya sangat hati-hati. Mereka tidak berani menafsirkan ayat-ayat yang memang tidak mereka ketahui maknanya. Dengan kata lain, mereka tidak berusaha untuk membuat penafsiran berdasarkan ra'y sendiri. Kehati-hatian untuk menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra'y juga tetap dipraktekkan oleh para tabi'in. Mereka tetap konsisten dengan sikap sahabat. Dengan demikian, corak penafsiran ra'y memang belum berkembang pesat sampai pada akhir abad pertama hijriyah.
            Pada abad-abad selanjutnya, usaha penafsiran berdasarkan ra'y mulai berkembang, timbul seiring dengan perkembangan Islam di bidang politik yang ditandai dengan meluasnya wilayah-wilayah Islam. Dalam ekspansi ini, umat Islam bertemu dengan berbagai problema yang membutuhkan pemecahan-pemecahan berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Di samping itu, umat Islam bertemu pula dengan beraneka macam budaya yang tentunya turut mempengaruhi mereka dalam memahami al-Qur’an. Karena problema-problema yang ditemui tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan hadis, maka para ulama pun melakukan ijtihad dengan memberikan interpretasi rasional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, penafsiran rasional terhadap ayat al-Qur’an adalah hal yang tak terhindarkan sesuai dengan perkembangan hidup dan akal pikiran manusia.
            Perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang tumbuh sejalan dengan perkembangan dan perluasan Islam, mempengaruhi pula perkembangan corak dan metode tafsir. Setiap mufassir yang memiliki bidang keahlian tertentu cenderung menafsrikan al-Qur’an berdasarkan latar belakang keahlian dan ilmu yang dimilikinya. Muncullah kemudian corak tafsir yang bermacam-macam. Misalnya, tafsir yang bercorak fiqih, filsafat, tasawwuf, keilmuan, kebahasaan, teologis, dan sebagainya.
            Susunan dan bahasa al-Qur’an merupakan salah satu alasan tersendiri mengapa penafsiran dan penggalian terhadap makna ayat-ayatnya justru menjadi tugas umat yang tak akan pernah berakhir. Hal ini ditopang oleh keyakinan umat Islam bahwa al-Qur’an adalah kitab suci, teks-teksnya sacral,  yang akan berlaku abadi sepanjang masa. Oleh karena itu, ia memerlukan interpretasi dan reinterpretasi secara kontinyu mengikuti perkembangan zaman. Jelasnya, selalu dibutuhkan adanya reaktualisasi nilai-nilai al-Qur’an sesuai dengan dinamika al-Qur’an sendiri.
            Tafsir, sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan kandungan al-Qur’an, telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman dalam corak penafsiran adalah hal yang tak dapat dihindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman itu : perbedaan kecenderungan, interest, dan motivasi mufassir; perbedaan misi yang diemban; perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari; perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan berbagai corak penarsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran tafsir yang bermacam-macam, lengkap dengan metodenya sendiri-sendiri.
           
            Salah satu pemikir muslim yang ikut menyumbang khazanah tafsir al-Qur’an adalah Fakhruddin al-Razi, seorang ilmuwan yang menguasai berbagai bidang keilmuan secara mendalam. Salah satu karya fenomenalnya adalah Mafatih al-Ghaib, sebuah kitab tafsir dengan gaya pembahasan yang berbeda dengan kitab-kitab tafsir sebelumnya, yang dikenal sebagai kitab tafsir yang mempunyai cirri-ciri penafsiran bi al-ra’y. Untuk mengenal lebih jauh biografi Fakruddin al-Razi dan karakter, kelebihan dan kekurangan kitab Mafatih al-Ghaib, kami susun tulisan ini sebagai tugas mata kuliah “ Manahij al-Mufassiri ” dengan sistematika sebagai berikut.
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Fakruddin al-Razi
            Fakruddin al-Razi adalah salah seorang ulama’ yang terkenal pada abad ke-6 H. dari kalangan ahlu sunnah. Dia dikenal sebagai ulama’ yang banyak melontarkan ide-ide yang dikembangkan oleh Imam Ash’ary dan berpegang pada mahdzab Imam asy-Syafi’i. Dia terkenal di masanya dan bahkan sampai sekarang, dan juga selalu disebut-sebut namanya baik dikalangan mutakallim (Ahli ilmu kalam) dan ahli lughah apalagi dikalangan ahli tafsir. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah, Muhammad bin ‘Umar bin Husain bin Hasan bin ‘Ali, al-Tamimy, al-Bakry, al-Tabristany, al-Razy. Gelarnya adalah Fakhr al-Din, dia juga dikenal dengan nama Ibn al-Khatib al-Safi‘iy. dia lahir pada bulan Ramadan tahun 544 H. di kota al-Ray (Kota yang terletak di wilayah selatan Iran dan sebelah timur laut Teheran) dan wafat pada tahun 606 H. di al-Rayyu[1].
            Sekian banyak para ulama yang terkenal dan kita kenal, mayoritas mereka itu selalu keluar dari negerinya demi untuk menuntut ilmu, sama halnya seperti Imam al-Razi mengalami perjalanan yang panjang dalam menuntut ilmu. Dari negerinya Al-ray berangkat ke negeri Khurasan, yang mana di Khurasan itu banyak ulama besar. Muhammad ibn Muhammad Abu Shahbah, dalam bukunya Israiliyyat wa al-Mawdu'at fi Kutub al-Tafsir wa al-Hadith menuturkan, bahwa dari Khurasan atau lebih dikenal lagi dengan Bukhara, Imam al-Razi melanjutkan perjalanannya ke Iraq, terus ke Syam. Namun lebih banyak waktunya digunakan di Khawarzim untuk belajar memperbanyak ilmunya, kemudian beliau berangkat ke negeri kota Hirah di daerah Afganistan sampai wafat di sana[2].
            Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri Diya’ al-Din abu al-Qasim Umar al-Razi, atau yang dikenal dengan Khatib al-Ray, ayahnya merupakan salah satu murid dari Abu Muhammad al-Baghawy. Beliau adalah seorang tokoh, ulama’ dan pemikir yang dikagumi oleh masyarakat al-Ray, terutama dalam bidang sastra, fiqh, ushul fiqh, haditS, teologi dan tasawuf. Selain itu Fakhruddin al-Razi belajar ilmu kalam dari al-Majd al-Jily salah satu murid Imam Ghazaly-, ia juga belajar dari al-Kamal al-Sam‘any dan beberapa guru lainnya. Selain sebagai seorang intelektual yang sangat produktif, Fakhr al-Din al-Razi merupakan seorang da’i yang sangat handal dan kondang. Ia tidak hanya mahir berdakwah dengan berbahasa Arab, tapi juga lihai berdakwah dengan bahasa asing (persia)[3].
            Fakhruddin al-Razi adalah seorang intelektual muslim yang tersohor dan menguasai banyak disiplin keilmuan. Dia adalah pakar tafsir, fiqh, ushul fiqh, ilmu falak, ilmu alam dan ilmu akal. Karena ketenarannya itulah, dia sering menerima berbagai kunjungan dari para ulama’ yang datang dari berbagai negara.
            Dia mempelajari ilmu-ilmu diniah dan ‘aqliah sehingga sangat menguasai ilmu logika dan filsafat serta menonjol dalam bidang ilmu kalam[4]. Mengenai ilmu-ilmu tersebut dia telah menulis beberapa kitab, sehingga dia juga dipandang sebagai seorang filosof pada masanya. Dan kitab-kitabnya menjadi rujukan penting bagi mereka yang menamakan dirinya sebagai filosof Islam.
B. Karya-karya Fakhruddin al-Razi
            Fakhruddin al-Razi adalah seorang ulama’ besar yang memiliki kualifikasi keilmuan yang sangat luas. Selama hidupnya dia telah menyusun sejumlah karya, baik yang langsung ditulis oleh Fakhruddin sendiri atau karya yang ditulis oleh muridnya, hasil dari beberapa kuliah yang pernah disampaikannya.
            Para ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah buku yang telah dikarang oleh Fakhruddin al-Razi. Menurut Abdul Halim Mahmud, selama hidupnya, Fakhruddin al-Razi berhasil menyusun lebih dari 200 buah karya ilmiah dalam berbagai ilmu. Sementara Abdul Aziz Madjub menyebutkan bahwa ada 97 judul yang dapat ditemukan, baik dalam bentuk buku, maupun masih dalam bentuk manuskrip. Dari sekian banyak tulisan imam al-Razi ada beberapa karangannya yang banyak dipakai oleh umat dan banyak yang mengambil manfaat dari karangannya tersebut. Diantara karangan Fakhruddin al-Razi adalah :
1. Mafatih al-Ghayb (tafsir al-Qur'an).
2. Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta'wil (tafsir)
3. Ihkam al-Ahkam
4. al-Muhassal fi Usul al-Fiqh
5. al-Burhan fi Qira'ah al-Qur'an
6. Durrah al-Tanzil Wa Ghurrat al-Ta'wil fi Ayat al-Mutashabbihat
7. Sharh al-Isharat wa al-Tanbihat li Ibn Shina
8. Ibtal al-Qiyas
9. Sharh al-Qanun li Ibn Shina
10. Al-Bayan wa al-Burhan fi Raddi 'ala Ahli al-Dhaiqi wa al-Tughyan[5]
11. Ta'jiz al-Falasifah
12. Risalat al-Huduth
13. Risalat al-Jauhar
14. Muhassalu Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta'akhkhirin min al-Hukama' wa al-Mutakallimin fi 'Ilm al-Kalam
15. Sharh al-Mufassal li al-Zamakhshari
C. Mengenal Tafsir Mafatih al-Ghaib
            Mafatih al-Ghaibn-ya al-Razi. Tafsir ini, punya tiga nama sekaligus, Mafatih al-Ghaib, Tafsir al-Kabir, dan tafsir al-Fakhr al-Razi. Simpang siurnya nama tafsir ini, karena si penulis tidak sempat menamakannya sendiri. Berbeda dengan al-Qurthubi, dan Nawawi al-Bantani yang kebetulan sempat menyebut sendiri nama tafsirnya. Al-Qurthubi menyebut sendiri tafsirnya dengan nama Jami’ al-Ahkam dan Nawawi al-Bantani memberi nama tafsirnya Marah Labid.  Kasus serupa ini juga terjadi pada tafsir-tafsir lainnya, seperti tafsir Ibn Katsir misalnya.
            Walaupun Fakhruddin al-Razi banyak mendalami masalah-masalah filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani, akan tetapi hal itu tidak menghalangi dan tidak menyurutkan perhatiannya terhadap penggalian berbagai macam ilmu pengetahuan dari al-Qur’an. Yang pada akhirnya dia mengerahkan segala kemampuan yang ada dan mengerahkan segenap kehidupannya untuk mempelajari dan mendalami penafsiran al-Qur’an. Dalam hal ini dia berhasil menulis kitab Tafsir al-Kabir  atau Mafatih al-Ghayb di periode akhir hidupnya[6].
            Kitab ini merupakan kitab tafsir bi al-ra’yi yang sangat besar dan luas pembahasannya. Kitab ini sudah dicetak berulang kali di berbagai Negara dan sering menjadi bahan kajian umat islam di seluruh penjuru dan merupakan kitab tafsir yang banyak dirujuk oleh para ulama’ dalam menafsirkan a-Qur’an, terutama di kalangan ahli ilmu pengetahuan, ketika mereka berusaha mengungkapkan rahasia kebesaran dan keagungan Tuhan yang tersirat di seluruh alam. Kitab ini dicetak dalam 16 jilid berukuran besar yang terdiri dari tiga puluh dua juz.
            Tafsir al-Kabir ini ternyata bukan berasal dari beliau semuanya akan tetapi ada dua orang ulama yang menyempurnakan setelah beliau wafat. Itu semua disebabkan karena sebelum tafsir itu sempurna malaikat maut sudah mengambil nyawa beliau. Makanya beliau hanya sempat menafsirkan al-Qur'an sampai surat al-Anbiya' dan setelah itu dilanjutkan oleh Imam Shihab al-Din al-Hauby tahun 639 Hijriyah, di Damashkus, dan setelah itu dilanjutkan oleh Imam Najm al-Din al-Makhzumy al-Qamuly. Pada tahun 727 Hijriyah di mesir[7].
            Ibnu Qahdi Shaibah mengatakan: "Sesungguhnya Fakhruddin al-Razi tidaklah menyempurnakan tafsirnya". Ibnu Hajar juga berkomentar tentang ini. Tafsir Imam Fakhruddin al-Razi disempurnakan oleh Najm al-Din al-Qamuly.
            Husein al-Dzahabiy mengungkapkan bahwa walaupun tafsir al-Razi disempurnakan oleh ulama setelahnya namun tidak ditemukan perbedaan dalam menafsirkannya karena manhaj dan jalur ketiga ulama ini sama walaupun berbeda zaman. Maka Si pembaca tidak akan bisa membedakan mana yang asli dari Fakhruddin al-Razi dan mana yang ditambah oleh ulama yang setelahnya itu. Bahkan dari awal hingga akhir kitab tafsir ini terpola dalam model dan metode yang sama, sehingga sulit sekali untuk membedakan antara yang asli dan yang dilengkapi, serta tidak gampang menentukan batas sebenarnya yang telah ditulis oleh Fakhruddin sendiri dan batas yang ditulis oleh orang yang menyempurnakannya[8].
D. Metode dan Kecenderungan Tafsir Mafatih al-Ghaib
a. Sumber Penafsiran
            Kitab tafsir Mafatih  al-Ghayb tergolong tafsir  bi al-ra’yi, bi al-ijtihad, bi al-Dirayah, Atau bi al-Ma'qul, karena penafsirannya didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran terhadap tuntutan kaidah bahasa 'arab dan kesusastraan, serta teori ilmu pengetahuan. Pendapat ini benar adanya, sebagaimana yang telah penulis telusuri dalam karya ini, Fakhruddin al-Razi banyak mengemukakan ijtihadnya mengenai arti yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an disertai dengan penukilan dari pendapat-pendapat ulama’ dan fuqaha’ yang lain. Dia memberikan porsi yang teramat luas terhadap gerak pikirannya dalam Tafsir ini. Sehingga penulis dapat mengatakan bahwa Tafsir Mafatih al-Ghayb sebagai tafsir bi al-ra’yi. Tafsir Mafatih  al-Ghayb dimasukkan dalam kategori kitab tafsir bil al-ra’yi yang terpuji (al-tafsir al-mamduh).
            Dalam menafsirkan ayat demi ayat, Fakhruddin al-Razi memberikan porsi yang terbatas untuk Hadits, bahkan ketika dia memaparkan pendapat para fuqaha’ terkait perdebatan seputar fikih, dia memaparkannya dan mendebatnya tanpa menjadikan Hadist sebagai dasar pijak.
            Ini adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang paling komprehensif, karena menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an. Sang pengarang terlihat berusaha menangkap substansi (ruh) makna yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Al-Razi, untuk menggapai tujuan (tafsir)-nya, yaitu menetapkan keistimewaan akal dan ilmu di hadapan al-Qur’an, membersihkan dari kerancuan fikiran dan kedangkalan akal, serta menegaskan kebenaran riwayat (teks) dengan kedalaman fikiran”.Contoh penafsiran bi al-ra’yi Fakhruddin al-Razi dalam karyanya adalah surat al-nisa’ ayat ke 3, yang berkenaan dengan poligami, Allah swt berfirman :
وان خفتم الا تقسطوا في اليتمى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع ,الاية
            “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”.
            Al-Razi menganalisa ayat diatas seluas-luasnya, menurut hemat penulis ada tujuh pembahasan atau pokok masalah, Cuma yang menarik penulis adalah ketika Al-Razi sampai pokok masalah keenam, pada ayat “ مثنى وثلاث ورباع “ dalam penafsiranya Al-Razi, menampilakan salah satu pendapat bahwa, poligami tidak terbatas pada emapt istri saja,  akan tetapi menurut analisa teks, lanjut Al-Razi adalah Sembilan bahkan delapan belas istri, meskipun ahirnya Al-Razi sendiri yang membantah pendapat tersebut.
            Para ulama fiqih menurut al-Razi, dalam memutuskan istri maksimal adalah empat itu lemah, denga ndua alasan:
1). Ayat diatas tidak membatasi apapun karena masuk dalam katagori kalam khabar, semsntara hadits Ghailan dan Naufal bin Mu’awiyah yang diperintah Nabi saw. poligami dibatasi pada emapt istri saja, adalah katagori hadits Gharib, dalam qaidah ilmu Ushul Fiqih itu tidak boleh.
2). Perintah Rasulullah kepada  Ghailan dan Naufal bin Mu’awiyah bisa saja disebabkan factor-faktor lain, seperti ada ikatan kesaudaraan baik nasab atau radla’,  (susuan), kesimpulanya kemungkinan-kinan ini melemahkan hdits diatas, maka hadits itu tidak menasakh al-quran.
            Ijma’ ulama’ yang memutuskan lanjut Al-Razi, istri maksimal empat, ini adalah pendapat yang kuat, akan tetapi ada dua pertanyaan dengan Ijma’ ulama’ tersebut,
1). Ijma’ ulama’ tidak bisa menaskh nash al-Quran, kenapa  Ijma’ pembatasan istri maksimal adalah empat, kok bisa menaskh ayat diatas?
2). Sebagian kecil umat Islam ada yang memperktekkn beristri lebih dari empat, sedangkan Ijma’ dengan satu atau dua orang tidak setuju bukanlah ijma’, apakah itu masi dikatakan Ijma’ ?
            Al-Razi sendiri yang membantah pendapat tersebut, dia menjelaskan: jawabn dari pertanyaan yang pertama adalah: Ijma’ menyingkap dari hasil yang menasakh di zaman Nabi saw. artinya dizaman  Nabi saw.tidak ada satupun sahabat yang beristri lebih dari empat, sampai pada tabi’in dan tabi’ al- tabi’in, jawabn dari pertanyaan yang kedua: Golongan yang tidak setuju dengan ijma’ulama diatas adalah ahli bid’ah, jadi tidak ada pengaruhnya.
            Meskipun tafsir al-Razi dianggap oleh sebagian besar ulama’ sebagai contoh yang sempurna dari corak tafsir bi al-ra’yi, namun hal itu tidaklah berarti bahwa dalam tafsir ini tidak didapatkan dasar-dasar riwayat atau manqul. sesungguhnya setiap pengamat tafsir al-Razi dapat menemukan bahwa di dalamnya dipenuhi dengan pengungkapan riwayat-riwayat yang diambil dari mufassir-mufassir pendahulunya. Hanya saja al-Razi tidak begitu saja menerima riwayat-riwayat tersebut tanpa kritik.            
b. Cara Penjelasan
            Adapun cara penjelasannya, kitab ini bisa dikategorikan sebagai kitab tafsir muqarin, karena Fakhruddin al-Razi dalam penafsirannya sering mengkomparasikan pendapatnya atau pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama' lainnya. Nama beberapa ulama' selain sahabat dan tabi'in dalam berbagai disiplin ilmu yang sering disebutkan pendapatnya dan dikomparasikan antara lain adalah: al-Syafi‘i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hambal, al-Ash‘ari, al-Ghazali, kelompok Mu‘tazilah dan Ash‘ariyah, Hasan al-Basri, al-Zamakhshari, al-Farra', Ibnu Katsir, ‘Ashim dan lain-lain.
            Seperti ketika membahas tentang ta’awudz, al-Razi mengkomparasikan beberapa pendapat, bahwa sebagian besar ulama’ sesungguhnya mereka sepakat membaca ta’awudh ( أعوذ بالله من الشيطان الرجيم ) sebelum membaca الفاتحة"  “. tetapi-lanjut al-Razi, Daud al-Isfahany mengatakan bahwa itu dibaca setelah الفاتحة" (sebelum ayat lain). Demikian juga pendapat dalam salah satu riwayat dari Ibn Sirrin. Di sini al-Razi menghadirkan riwayat dari Jabir:
أن النبي ص.م حين افتتح الصلاة قال: الله أكبر كبيرا ثلاث مرات, والحمد لله كثيرا ثلاث مرات, و سبحان الله وأصيلا ثلاث مرات , ثم قال: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم من همزه ونفخه ونفثه.
            Selanjutnya al-Razi memperjelas status membaca ta’awudz dengan surat an-Nahl ayat 98, Allah swt berfirman :
فإذا قرأت القران فاستعذ بالله من الشيطان الرحيم(النحل :98(
            “Apabila kamu membaca al-Qur’an, maka hendaklah kamu meminta perlindungan dari Allah dari syetan yang terkutuk”. (Q.S An-Nahl: 98)
            Kemudian Fakhruddin al-Razi juga menggunakan pendekatan dengan mengkomparasikan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang masalah yang sama sekalipun redaksinya berbeda atau redaksinya mirip tetapi kandungannya berlainan.
c. Keluasan Penjelasan
            Ditinjau dari segi keluasan penjelasan, tafsir Mafatih al-Ghayb bisa di kategorikan sebagai kitab tafsir yang sangat luas penjelasannya dan mendetail dan rinci (itnaby wa tafshili). Bahkan mungkin bisa dikatakan “terlalu luas” untuk ukuran kitab tafsir. Karena dalam kitab tersebut terdapat berbagai pembahasan mulai kebahasaan, sastra, fikih, ilmu kalam, filsafat, ilmu eksakta, fisika, falak dan lain-lain.
            Ketika penulis mencermati kitab tafsir ini, penulis mendapatkan penafsiran yang begitu luas, satu ayat dengan 3-7 masail dan satu surat dijelaskan dengan 8-10 fasl, sperti ayat poligami diatas, tentulah ini cukup menggambarkan keluasan pembahasan dalam penafsiran kitab Mafatih al-Ghayb, sehingga menurut hemat penulis sangatlah pantas kitab tafsir ini dikategorikan sebagai kitab tafsir dengan metode itnaby wa tafsili.
d. Sasaran dan Tertib Ayat yang Ditafsirkan
            Tafsir Mafatih al-Ghaib disusun oleh Fakhruddn al-Razi secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat, semuanya sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf, dimulai dari penafsiran terhadap surat al-Fatihah dan al-Baqarah, dan seterusnya sampai surat al-Nas. Karena disusun secara berurutan ayat demi ayat maka kitab tersebut dikategorikan tahlily. Dan karena disusun berurutan surat demi surat maka kitab tersebut bisa dikategorikan mushafy.
e. Kecenderungan
            Meskipun dalam tafsirnya dia membahas berbagai hal dalam berbagai bidang, ada beberapa pembahasan yang mendapatkan porsi cukup besar jika dibandingkan dengan pembahasan dalam masalah lain. Pembahasan yang mendapatkan porsi cukup besar tersebut adalah pembahasan tentang filsafat, ilmu kalam, dan ilmu alam semisal astronomi geografi dan lainnya. Hal ini menyebabkan Tafsir Mafatih al-Ghayb dikategorikan sebagai tafsir 'asri, ilmi, al-I’tiqad dan falsafi.
            Sebagai penganut ilmu kalam aliran Asy‘ari, dia sering menghadirkan perdebatan kelompoknya dengan kelompok Mu‘tazilah, Al-Raziy menghadirkan perdebatan tersebut dengan tujuan mengungkapkan kelemahan argumen-argumen kelompok Mu‘tazilah. dia menentang keras dan membantahnya dengan segala kemampuan yang ada. Hanya saja, Fakhruddin al-Razi dalam perdebatan-perdebatan tersebut, acap kali tidak memberikan bantahan yang seimbang dengan argumen-argumen Mu‘tazilah yang dia paparkan.
            Kalau kita membaca pembahasan filsafat dan ilmu kalam kitab tersebut, kita akan mampu menangkap jati diri Fakhruddin al-Razi sebagai seorang filusuf handal dan sebagai ulama ilmu kalam yang banyak terpengaruh oleh tokoh-tokoh besar semisal al-Ghazali, al-Juwaini dan al-Baqillani.
            Selanjutnya, dalam menafsirkan ayat-ayat kauniyyah, Fakhruddin selalu berusaha mengungkapkan kebesaran Tuhan, sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada, karena dominannya pembahasan pada permasalahan ini, Tafsir al-Kabir sering dipandang sebagai ensiklopedi ilmiah tentang ilmu-ilmu eksakta dan ilmu alam. Hal ini adalah corak baru di luar kebiasaan para mufassir pada masa itu. Sehingga sebagian ulama’ telah menyebut Fakhruddin al-Razi sebagai pelopor penafsiran bercorak ilmi.
            Sedangkan ditinjau dari segi bahasa dan sastra yang ditonjolkan, Tafsir Mafatih al-Ghaib ini dikategorikan sebagai kitab tafsir bercorak adabi atau lughawi. Jika kita membaca kitab tafsir karya Fakhruddin al-Razi ini, pada bagian awal-awal penafsiran ayat kita akan menemukan pemaparan penafsiran dengan kaidah dan pilihan bahasa yang tinggi.     Beliau banyak melibatkan ilmu balaghah dalam mengungkap maksud ayat-ayat yang ditafsirkannya. Hal ini memanglah wajar, karena Imam al-Razi adalah salah satu ulama’ tafsir yang sangat dalam ilmunya dalam balaghah dan mantiq. Beliau tidak pernah melewatkan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan gramatika dan sastra.
            Misalnya ketika Fakhruddin al-Razi menafsirkan ayat pertama surat al-Fatihah بسم الله الرحمن الرحيم , beliau menggunakan 54 halaman, dimana penafsiran tersebut tidak lepas dari pembahasan teks dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa seperti ilmu nahwu, sharaf dan balaghahnya,  juga untuk pembahasan dari segi keilmuan yang lain. Untuk keseluruhan surat al-Fatihah, al-Razi menghabiskan 199 halaman. Hal ini membuktikan betapa dalamnya ilmu balaghah-gramatika dan sastra yang dimiliki al-Razi.
E. Keistimewaan Tafsir Mafatih al-Ghaib
            Dari sekian banyak ulama yang meneliti tentang tafsirnya Al-Razi, maka ditemukanlah beberapa keistimewaan yang terdapat dalam tafsirnya antara lain:
1) Dia sangat mengutamakan tantang munasabah (korelasi) surat dan ayat dengan keilmuan yang berkembang. Bahkan tak jarang ia menyebutkan lebih dari satu munasabah untuk satu ayat tertentu atau surat tertentu.
2) Dia bisa menghubungkan tafsir itu dengan ilmu riyadiyah (matematika) dan falsafah, serta ilmu-ilmu lain yang dianggap baru di kalangan agama pada masanya.
3) Dia bisa menjelaskan tentang akidah yang yang berbeda dan bisa mencocokkan di mana perbedaan itu.
4) Dia mengemukakan tentang balaghah al-Qu'an dan menjelaskan beberapa kaidah usul.
F. Kritik terhadap Tafsir Mafatih al-Ghayb
            Kitab ini juga tidak luput dari kritik para ulama’ dari zaman dulu sampai sekarang. Beberapa kritik tersebut antara lain:
1). Fakhruddin al-Razi terlalu banyak mengumpulkan masalah dan pembahasan dalam tafsirnya, sampai pembahasan yang tidak bersangkut-paut dengan ayat atau surat yang ditafsirkan pun ia sebutkan. Bahkan lebih tegas lagi, beberapa ulama’ mengatakan bahwa “di dalamnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir.”
2). Dalam tafsir tesebut, dia terlalu banyak mencantumkan hal-hal yang tidak berhubungan dengan tafsir, secara berlebihan.
3). At-Tufi (w. 716 H/1316 M.) mengatakan bahwa banyak kekurangan yang ditemukan dalam kitab Tafsir al-Kabir.
4). Rasyid Ridha dalam tafsir al-Mannar banyak melontarkan kritikan terhadap cara penafsiran ayat al-Qur’an yang dilakukan Fakhruddin, diantaranya Fakhruddin al-Razi adalah seorang ahli tafsir yang sangat sedikit pengetahuannya tentang sunnah, pendapat para sahabat, tabi’in dan pendapat tokoh-tokoh salaf. Menurut penulis sedikitnya sunnah Rasulullah saw atau pendapat sahabat yang dipakai al-Razi bukan karena sedikit pengetahuannya, akan tetapi karena luasnya ra’yu yang dia gunakan sehingga ada kesan sunnah yang digunakan hanya sedikit sekali.
            Diantara beberapa kritikan yang menghujat metode yang dilakukan oleh al-Razi ini sebenarnya telah diketahui oleh al-Razi sendiri ketika masih hidup. Bahkan dia pernah mengatakan:
            “Kalau engkau menghayati kandungan yang ada dalam al-Qur’an secara cermat dan benar, maka engkau nanti akan yakin bahwa pendapat yang menghujat metode yang saya lakukan adalah pendapat yang salah”.
            Wallahu A’lam bi al-Showab.
           
BAB III PENUTUP
            Dari uraian-uraian yang telah dibahas di atas , maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal :
1. Kitab tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi ini adalah termasuk kitab al-tafsir bi al-ra’yi al-mahmud/al-mamduh (yang diperkenankan) dengan ukuran yang besar dan mempunyai ciri khas pembahasan yang luas.
2. Metode Tafsir Fakhruddin al-Razi (Mafatih al-Ghayb), bila ditinjau dari segi:
a. Sumber penafsirannya: termasuk tafsir bi al-Ra'yi/ bi al-ijtihad/bi al-Dirayah/ bi al-Ma'qul.
b. Cara penjelasannya terhadap tafsiran ayat-ayat al-Qur'an: termasuk tafsir Muqarin/ komparasi.
c. Keluasan penjelasan tafsirnya: termasuk tafsir Itnabi / tafshily.
d. Sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan: termasuk tafsir tahlily.
3. Ditinjau dari segi kecenderungan/aliran penafsiran, kitab tafsir Mafatih al-Ghayb ini termasuk kategori kitaf tafsir ilmi/’ashri, al-I’tiqad, falsafi dan lughawi/adabi.
4. Meskipun dalam beberapa segi tafsir ini mendapatkan kritikan dari beberapa tokoh namun tafsir Kitab tafsir Mafatih al-Ghayb karya Fakhruddin al-Razi ini adalah karya sangat bermanfaat dan sering menjadi rujukan  bagi para  ilmuwan  yang  ingin mengkaji ilmu alam,
filsafat dan ilmu kalam.
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
Husein al-Dzahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun  Toha Putra Semarang.
Abu Shahbah, Israiliyyat wa al-Mawdu'at fi Kutub al-Tafsir wa al-Hadith, al Masdkhal, Bairut,  Lebanon.
Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Bairut, Lebanon.
Az-Zarkasyi, Al-Burhan, Bairut, Lebanon
Az-Zajjaj, Ma’ani Al-Quran Bairut, Lebanon


[1] Oleh Husein al-Dzahabiy, dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I hlm 206
[2] Oleh Abu Shahbah, dalam Israiliyyat wa al-Mawdu'at fi Kutub al-Tafsir wa al-Hadith, hlm. 134
[3] Oleh Husein al-Dzahabiy, dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I hlm 206
[4] Oleh Abu Shahbah, dalam Israiliyyat wa al-Mawdu'at fi Kutub al-Tafsir wa al-Hadith, hlm. 133
[5] Oleh Husein al-Dzahabiy, dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I hlm. 207
[6] Oleh al-Shraniy, dalam Kasyf al-Dzunun, juz II hlm. 299
[7] Oleh Husein al-Dzahabiy, dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I hlm. 208
[8] Ibid. hlm. 209

Rabu, 04 April 2012

Mitos Kesialan Ibra di Liga Champions



KOMPAS.com - Banyak yang berpendapat, jika sebuah klub ingin merajai liga domestik, maka datangkanlah seorang Zlatan Ibrahimovic. Ya memang hal itu terbukti. Klub-klub seperti Ajax Amsterdam, Juventus, Inter Milan, Barcelona dan yang terakhir AC Milan sudah membuktikan manisnya mitos tersebut. Namun ternyata, mitos itu tak berlaku di Liga Champions.

Datang dari Malmo FF, Ibra sukses mengorbitkan namanya di Ajax Amsterdam. Bersama tim ibukota Belanda tersebut, penyerang jangkung ini berhasil meraih titel Liga Eredivisi pada musim 2001-02 dan 2003-04.

Di Liga Champions sendiri, Ibra gagal mengangkat Ajax untuk berprestasi. Di musim 2002-03, Ajax harus terhenti di tangan Milan di babak 16 besar, sedangkan di musim berikutnya, Ajax gagal melangkahi babak fase grup setelah terdampar di dasar klasemen.

Setelah itu, Ibra pun memutuskan pindah ke ranah Italia untuk memperkuat Juventus. Di musim pertamanya, dirinya membawa "Si Nyonya Tua" menguasai Italia setelah merengkuh gelar Scudetto. Tetapi lagi-lagi saat menyangkut urusan Liga Champions, Ibra gagal meloloskan Juve ke semifinal setelah disingkirkan oleh Liverpool.

Musim berikutnya, dominasi Juve di Serie A terus berlanjut. Scudetto kembali berhasil dibawa pulang oleh Ibra dan kawan-kawan ke Turin, tetapi lagi-lagi langkah Juve terhenti di babak delapan besar Liga Champions setelah dihajar Arsenal.

Ibra pun lalu membawa ketidakberuntungan itu saat memutuskan pindah ke Inter Milan karena Juve terdegradasi akibat tersangkut kasus Calciopoli. Gelar Scudetto yang diraih pria pemegang sabuk hitam taekwondo itu bersama Juve dalam dua musim terakhir akhirnya dicabut.

Bersama tim berjuluk "Nerrazuri", suami model Helena Seger ini terus menunjukkan tajinya sebagai penguasa liga lokal dengan menggondol gelar Serie A sejak musim 2006-07 hingga 2008-09. Tetapi lagi-lagi, perjalanan Ibra di Liga Champions bersama Inter tak kunjung membaik. Dalam kurun waktu tiga musim, perjalanan Ibra bersama tim Massimo Moratti tersebut hanya mentok di babak 16 besar Liga Champions.

Sambil mengindamkan gelar Liga Champions, pada musim 2009-10, Ibra akhirnya memutuskan hengkang ke Barcelona. Tetapi ternyata kesialan menimpa klub yang ditujunya. Ibra gagal membawa Barca mempertahankan gelar Liga Champions karena disingkirkan oleh Inter di semifinal.

Ketika itu Inter yang dinakhodai oleh Jose Mourinho berhasil meraih gelar Liga Champions sekaligus menyakitkan hati Ibra yang berambisius meraih gelar pertamanya di kompetisi tertinggi antar klub benua Eropa tersebut. Tetapi taji Ibra di liga domestik tak kunjung luntur lantaran di musim tersebut, Ibra berhasil mempersembahkan gelar La Liga bagi tim berjuluk "Blaugrana".

Gagal bersama Milan

Setelah dikabarkan bersitegang dengan Pep, Ibra memutuskan kembali ke Italia untuk memperkuat Milan. Milan yang dikenal mempunyai tradisi kuat dalam gelaran Liga Champions ternyata tak banyak membantu Ibra dalam merengkuh mimpinya tersebut. Walau pada musim 2010-11 sukses mengakhiri dahaga Milan dalam menjuarai Serie A selama tujuh tahun terakhir, Ibra gagal membawa Milan melangkahi Tottenham Hotspurs di babak 16 besar.

Dan pastinya yang masih segar dalam ingatan kita, Ibra kembali gagal memenuhi ambisinya yang telah lama terpendam setelah Selasa atau Rabu (4/4/2012) dini hari WIB, Milan disingkirkan Barcelona dengan agregat 1-3 pada babak delapan besar Liga Champions di Camp Nou. Jelas hasil tersebut makin menggambarkan kesialan seorang Zlatan Ibrahimovic di Liga Champions walau catatan suksesnya di perebutan gelar liga domestik untuk klub yang diperkuatnya tak perlu diragukan lagi.