BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam studi Al-Qur’an,
nama al-Baidhawi dikenal sebagai salah seorang mufassir yang cukup terkenal
dengan kitab tafsirnya Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Kitab ini sangat
popular baik di kalangan umat Islam maupun non-Islam. Populeritas kitab Tafsir al-Baidhawi
di dunia Barat konon menyamai populernya kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin
al-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli di kalangan umat Islam. Beberapa bagian
dari tafsir al-Baidhawi ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan
Prancis. Bahkan kitab ini lebih luas daripada kitab tafsir Jalalain itu, serta
mendalam dan meyakinkan sehingga sering dijadikan sandaran oleh para pencari
ilmu terutama ketika berkaitan dengan pembentukkan kata.
Dan atas karunia Allah
SWT, kitab ini diterima dengan baik dikalangan jumhur. Diantara meraka ada yang
menjadikannya sebagai pijakan dengan melakukan kajian kritis, ada
mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah (komentar) terhadapnya. Ada
yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari
kitab tafsir tersebut. Para ulama memberikan perhatian yang besar terhadap
tafsir ini. Sehingga banyak sekali hasyiyah dari para ulama yang datang
setelahnya. Kalau Al-Dzahabi memperkirakan jumlah komentar terhadap kitab
tafsir al-Baidhawi itu sekitar empat puluhan, Edwin Calverley menyebutkan
sekitar delapan puluhan, dan ada juga yang menyebutkan lebih dari 120, maka
penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih dari
tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir al-Baidhawi. Di
Indonesia pun, kitab tafsir ini juga digunakan oleh berbagai Pesantren. Isinya
yang cenderung mendukung pandangan-pandangan Asy’ariyah dan juga Sunniy
tampaknya yang membuat kitab tafsir ini diterima dengan baik oleh kalangan
Pesantren.
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi dan Setting
Historis Imam al-Baidhawi
Nama lengkapnya adalah
Nashiruddin Abu Al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidhawi
Al-Syairazi. Beliau berasal dari sebuah desa bernama Baidho’ bagian dari Negara
Persia (Iran). Dia adalah hakim di kota Syairaz dan sekaligus ahli tafsir
al-Qur’an, menyusun banyak ilmu pengetahuan, dan dengan mudah meraih pangkat
itu setelah kajadian yang membuktikan kepandaian dan kejeniusannya. Disanalah
mula-mula ilmu beliau tumbuh dan berkembang. Dan di sana pula beliau mulai
bersentuhan dengan ilmu fiqih dan Ushul fiqh, manthiq, filsafat, kalam dan
adab, dan memasukkan ilmu-ilmu bahasa Arab dan Sastra kepada ilmu-ilmu Syara’
dan Hukum[1].
Selain itu, menurut
Qadhi Syuhbah dalam karyanya, beliau memiliki banyak karangan, seorang ‘alim
ulama di Azerbaijan, dan seorang guru besar di daerah itu. Beliau juga menjabat
sebagai Qadhi (hakim) di Syairaz. Al-Baidhawi hidup dalam suasana politik yang
tidak menentu. Sultan Abu Bakr yang memegang tampuk kekuasaan di Syiraz saat
itu sangat lemah, tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan
masyarakat yang baik. Bukan hanya supermasi keadilan yang lemah, namun para
elit yang berkuasa pun hidup dalam budaya yang boros. Intervensi penguasa
terhadap peradilan pun demikian kuatnya, sehingga banyak fuqaha yang
mengkhawatirkan kemungkinan diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang
bertentangan dengan syari’at Islam[2].
Mungkin, karena
pertimbangan inilah -setelah mengikuti saran guru spiritualnya, Syaikh Muhammad
Al-Khata’i yang memintanya keluar dari pemerintahan- yang menyebabkan
al-Baidhawi mengundurkan diri dari jabatan hakim. Selepas mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai hakim, al-Baidhawi mengembara ke Tibriz hingga akhir
hayatnya. Di kota inilah beliau berhasil menulis salah satu karya monumentalnya
berupa tafsir yang berjudul Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil, yang menjadi
perhatian tulisan ini. Mengenai tahun meninggalnya, tidak ada kesepakatan di
antara ulama. Manurut Ibnu Katsir dan yang lainnya, beliau wafat pada tahun 685
M, sedangkan menurut Al-Subkiy dan Al-Nawawiy wafat pada tahun 691 M.
B. Karya-karya Imam
al-Baidhawi
Sebagai seorang ulama,
sebagaimana telah disebutkan, beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas,
bukan hanya dalam bidang tafsir melainkan juga dalam bidang ushul fiqh, fiqh,
teologi, nahwu, manthiq, dan sejarah. Karya karya beliau pun meliputi bidang
tersebut. Dari berpuluh-puluh karyanya bisa disebut antara lain Anwar Al-Tanzil
wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir), Syarah Masyabih (hadits), Tawali Al-Anwar,
Al-Misbah fi Al-Ushul Al-Din, Al-Idah fi Al-Ushul Al-Din (teologi), Syarah
Al-Mahsul, Syarah Al-Muntakhab, Mirsyad Al-Ifham ila Mabadi Al-Kalam, Syarah
Minhaj Al-Wushul, Minhaj Al-Wushul ila Al-Ushul (ushul fiqh), Syarah Al-Tanbih,
Al-Ghayah Al-Quswa fi Dirasat Al-Fatawa (fiqh), Syarah Kifayah fi Al-Nahw,
Al-Lubb fi Al-Nahw (Nahwu), Kitab Al-Manthiq (manthiq), Al-Tahdzib wa Al-Akhlaq
(tasawuf), dan Nizam Al-Tawarikh (sejarah). Dari kitab-kitab tersebut menurut Al-Dzahabiy,
hanya tiga karya yang cukup dikenal para ulama, yaitu, Minhaj Al-Wushul ila
Al-Ushul dan Syarh-nya (ushl fiqh), Tawali Al-Anwar (teologi), dan Anwar
Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil (tafsir)[3].
C. Sejarah Penulisan
Tafsir al-Baidhawi
Kitab tafsir
al-Baidhawi dinamainya sendiri dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil. Hal
ini tampak dalam dari pernyataan beliau sendiri sebagaimana terdapat dalam
pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip oleh Al-Dzahabi: “Setelah melakukan
shalat istikharah, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan,
yaitu mulai menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan
menamakan buku ini, setelah selesai penulisannya, dengan Anwar Al-Tanzil Wa
Asrar Al-Ta’wil”[4].
Al-Baidhawi menyebutkan
dua alasan yang mendesaknya untuk menulis buku ini. Pertama, bagi al-Baidhawi,
tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi di antara ilmu-ilmu agama yang
lain. Kedua, melaksanakan apa yang telah diniatkan sejak lama yang berisi
tentang fikiran-fikiran terbaik. Setelah merasa mampu melakukan cita-cita itu,
mulailah ditulis kitab tafsir Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil tersebut.
Dalam penulisan tafsirnya, beliau dibimbing oleh gurunya, Syaikh Muhammad
Al-Khata’i, ulama yang menyarankan al-Baidhawi untuk mundur dari jabatannya
sebagai hakim. Penulisan kitab tafsir inipun dikaukan secara ringkas, tanpa
menguraikannya secara panjang lebar. Menurut Montgomeri Watt, hal ini dilakukan
al-Baidhawi karena buku tersebut dimaksudkan sebagai buku pedoman untuk pengajaran
di sekolah tinggi atau sekolah Mesjid sehingga memberikan secara ringkas semua
yang paling baik dan paling masuk akal dari penjelasan-penjelasan yang
dikemukakan para ulama dan mufassir sebelumnya[5].
Beberapa penilaian
terhadap tafsir al-Baidhawi menyimpulkan bahwa sang pengarang memiliki
ketergantungan pada kitab-kitab tafsir terdahulu, sehingga ada beberapa orang
yang menganggap tafsir ini sebagai mukhtashar dari tafsir Al-Kasysyaf karya
Al-Zamakhsyari, disarikan dalam hal i’rab, ma’ani dan bayan, Mafatih Al-Ghaibi
karya Fakhruddin Al-Razi, disarikan dalam hal filsafat dan teologi, dan dari
Al-Raghib Al-Asfahaniy disarikan dalam hal asal-usul kata. Terlepas dari
penilaian di atas, dalam muqaddimah-nya, al-Baidhawi mengemukakan bahwa ada dua
macam sumber yang digunakan sebagai rujukan dalam menulis tafsirnya. Pertama,
komentar dari para sahabat, tabi’in, dan para ulama salaf yang termasuk dalam
periode normatif. Kedua, komentar yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir
sebelum al-Baidhawi. Mengenai periode yang pertama, sebagaimana dikutip Yusuf
Rahman dari Winand Fell dalam karyanya Indices ad Beidhawi Commentarium in
Coranum, nama Ibnu Abbas adalah yang paling dikutip oleh al-Baidhawi. Sementara
dari Ibnu Mas’ud dikutip sebanyak 14 kali, Ubay bin Ka’ab 4 kali, Abdullah bin
Zubair 4 kali, Abu Musa Al-Asy’ari 2 kali dan Zaid bin Tsabit 1 kali. Dari
kalangan tabi’in, al-Baidhawi mengutip Mujahid 5 kali, Al-Dahhak 3 kali,
Qatadah 3 kali, Ikrimah 3 kali, dan Abu Al-’Aliyah sebanyak 1 kali[6].
D. Bentuk dan Corak
Penafsiran al-Baidhawi
Tafsir karangan
al-Baidhawi ini termasuk tafsir yang berukuran menengah. Isinya mencoba
memadukan antara tafsir dan takwil sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan
syara’, atau dengan kata lain, memadukan tafsir secara bi al-ma’tsur dan bi
al-ra’yi sekaligus. Artinya bahwa al-Baidhawi tidak hanya memasukkan
riwayat-riwayat dari Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang
menjadi ciri khas dalam penafsiran bi al-ma’tsur, namun juga menggunakan
ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat argumentasinya.
Dikatakan bahwa tafsir
ini merupakan ringkasan (ikhtishar) dari tafsir Al-Kasysyaf dalam hal i’rab,
ma’aniy, dan bayan, dan dari tafsir Al-Kabir atau yang dikenal dengan tafsir
Mafatih al-Ghaibi dalam hal filsafat dan teologi, serta dari tafsir al-Raghib
al-Asfahaniy dalam hal asal-usul kata. Dari tafsir al-Kasysyaf karya
al-Zamakhsyari, al-Baidhawi dipengaruhi dalam hal pendekatan ketika menjelaskan
lafadh, tarakib, dan nakl al-balaghah[7].
Dalam hal penetapan
hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlus-sunnah, yakni dipengaruhi oleh
tafsir Mafatih al-Ghaibi karya Imam Fakhruddin ar-Raziy. Walaupun begitu tafsir
ini merupakan ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf, namun beliau meninggalkan
aspek-aspek kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal, beliau
sependapat juga dengan pendapat penulis al-Kasysyaf. Seperti halnya ketika
beliau menafsirkan surat Al-Baqarah: 275;
الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ
كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Kadang pula, beliau
mengemukakan pandangan kaum muktazilah, namun pada akhirnya beliau mentarjih
pandangan madzhab ahlus-sunnah. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat
Al-Baqarah:2-3:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى
لِلْمُتَّقِينَ{2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3}
Sebagai petunjuk bagi
orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang ghaib,
mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada
mereka”.
Setelah memberikan
penjelasan secukupnya mengenai ayat tersebut, al-Baidhawi mencoba untuk
mengemukakan makna ”iman” dan ”munafik” menurut pandangan madzhab ahlus-sunnah,
mu’tazilah, dan khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan
masdzhab Ahlus-sunnah[8].
Dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an, al-Baidhawi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus
untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh,
aqidah atau yang lainnya. Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik
kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini didukung oleh
basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau dalam
penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai
seorang Sunni, penafsiran al-Baidhawi memang cenderung kepada madzhab yang
dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih kental nuansa
teologisnya[9].
Di samping itu,
al-Baidhawi memberikan perhatian terhadap ayat-ayat alam semesta (ayat
al-kauniyyah). Ketika menjumpai ayat-ayat semacam itu, beliau tidak sampai
membiarkannya tanpa memberikan penjelasan yang panjang lebar untuk menerangkan
hal-hal yang menyangkut alam semesta dan ilmu-ilmu kealaman. Hal inilah yang
menguatkan perkiraan al-Dzahabi bahwa dalam hal seperti ini al-Baidhawi
terpengaruh oleh penafsiran Fakhruddin ar-Raziy. Sebagai contoh ketika beliau
menafsirkan Qs. Al-Shaffat: 10;
فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ{10} ”Maka ia diburu oleh bola api yang menyala-nyala serta
menyilaukan”
Dalam hal ini beliau
memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam
ayat tersebut. Al-Baidhawi menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu
adalah uap yang menguap kemudian menyala.
Dari segi sistematika
penyusunan, kitab tafsir yang terdiri dari jilid ini, diawali dengan
menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentnag kemukjizatan Al-Qur’an,
signifikansi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian
diuraikan penafsirannya terhadap Al-Qur’an. Di akhir kitab tafsirnya,
al-Baidhawi berupaya untuk ”mempromosikan” keunggulan dan kehebatan tafsirnya
yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang singkat dan praktis dengan harapan
agar dapat dikonsumsi secara mudah oleh para pemabaca. Bacaan tahmid dan
shalawat menjadi penutup kitab tafsir ini. Tafsir ini memperlihatkan
kepenguasaan dan kedalaman ilmu pengarangnya, tetapi juga bercorak ringkas.
Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Karena
itu banyak ditulis catatan pinggir (hasyiyah) untuk menerangkan
kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya. Diantara
catatan-catatan pinggir tersebut adalah catatan pinggir Imam Syihab al-Khalaji,
hasyiyah Zadah, dan hasyiyah Al-Nawawi. Banyaknya hasyiyah ini mengindikasikan
sangat ringkasnya kitab tafsir al-Baidhawi ini[10].
E. Metode Penafsiran
al-Baidhawi
Kitab Anwar Al-Tanzil
wa Asrar Al-Ta’wil sebagaimana kitab-kitab tafsir saat ini, menggunakan
metodologi tahlili (analisis) yang berupaya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dari berbagai seginya secara berurutan sesuai dengan urutan mushaf usmani, dari
ayat ke ayat, serta dari surat ke surat mulai surat Al-Fatihah hingga surat
Al-Nas. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, al-Baidhawi memanfaatkan berbagai sumber.
Yaitu, ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan
pandangan ulama sebelumnya. Penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian
yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan
al-Baidhawi. Demikian pula beliau memfungsikan akal fikirannya lalu
menyisipkannya secara mahir dan mengagumkan dan menyuimpulkan secara teliti
dalam susunan kata yang ringkas dan ungkapan yang kadang sulit difahami dan
samar kecuali oleh orang yang memiliki fikiran yang tajam dan akal yang
cemerlang[11].
Dalam mengoperasikan
penafsirannya, langkah pertama yang dilakukan al-Baidhawi adalah menjelaskan
tempat turunnya surat makkiy atau madaniy dan jumlah ayat dari surat yang
sedang ditafsirkan tersebut. Setelah itu, al-Baidhawi menjelaskan makna ayat
satu persatu persatu baik dengan menggunakan analisis kebahasaan, menyitir
hadits-hadits nabi maupun qira’ah. Menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan
menghubungkannya dengan ayat yang lain atau sering disebut dengan ”hubungan
internal” merupakan bagian penting dalam tafsir al-Baidhawi. Metode ini
dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat yang sedang ditafsirkan
dengan ayat lain dalam surat yang sama, atau mencari makna kandungan ayat yang
sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat dan surat yang lain dari Al-Qur’an.
Penggunaan ”hubungan internal” (munasabah) ini tampak sangat sering dalam
tafsir al-Baidhawi. Di akhir hampir setiap surat, al-Baidhawi menyertakan
hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan surat yang baru saja
ditafsirkan dan pahala bagi orang yang membaca surat itu sebagaimana yang
dilakukan oleh Zamakhsyari dalam tafsirnya[12]. Namun, dalam penggunaan hadits
tersebut beliau tidak menjelaskan derajat hadits itu apakah shahih, hasan,
dha’if, atau maudhu’. Bahkan dalam hal ini, Al-Dzahabi menyatakan bahwa hadits
itu maudhu’ menurut kesepakatan ulama hadits. Walaupun begitu adanya,
al-Baidhawi memberikan porsi yang sangat besar kepada hadits Nabi SAW dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Selain hadits-hadits yang lebih bersifat untuk
menunjukkan keutamaan surat-surat yang ditafsirkan dan pahala bagi pembacanya
sebagaimana disebutkan di atas, menurut Muhammad Yusuf, hadits-hadits tersebut
dikategorikan juga sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan dan sebagai
asbab al-nuzul dari suatu ayat atau surat.
Kisah-kisah Israiliyat
yang menjadi bagian penting dalam kitab-kitab sebelumnya, dalam tafsir
al-Baidhawi diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut, al-Baidhawi
menyebutkannya dengan menggunakan istilah ruwiya (diriwayatkan) atau qila
(dikatakan). Menurut Al-Dzahabi, penggunaan kedua istilah itu menunjukkan bahwa
al-Baidhawi mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah Israiliyat
tersebut yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika. Contohnya adalah ketika
beliau menafsirkan surat Al-Naml: 22;
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَالَمْ
تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِن سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ {22} Tidak lama kemudian datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku
telah menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Aku datang dari negeri Saba’
dengan membawa berita yang meyakinkan”. Dalam hal ini, setelah menafsirkan
secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macam-macam bacaan dari lafadh
makaksa, saba’ serta bacaan tajwid pada beberapa kata, al-Baidhawi
mengemukakan, ”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman As setelah menyelesaiakan
bangunan Bait Al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji”.
Setelah mengutip sebuah kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman
dari Makkah ke Sana’a tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga
tidak menafikannya beliau berkata: ”Barangkali di antara keajaiban kekuasaan
Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara yang lebih
besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang mengetahui kekuasaan-Nya akan
mengagungkan-Nya, dan sebaliknya, orang-orang yang mengingkarinya akan
menolaknya”. Sebagaimana telah disebutkan bahwa penggunaan tata bahasa dan
qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan
penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi. Dengan demikian pendekatan bahasa
menjadi ”menu utama” dalam setiap penafsirannya[13].
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Kitab tafsir ini
dikenal dengan sebutan Tafsir al-Baidhawi. Tafsir ini merupakan salah satu
kitab yang populer di dunia Islam, yang memiliki banyak manfaat, gaya bahasa
yang indah, perumpamaan yang manis, dan banyak diminati para pakar dan
cendekiawan terkemuka untuk mengkaji dan memberi catatan pinggir (komentar)
terhadapnya, kitab yang terkenal memberikan catatan pinggir terhadap Tafsir
al-Baidhawi di antaranya adalah catatan pinggir Syekh Zadah dan Syihab
al-Khaffaji (‘Inâyat al-Qâdhi).
Isinya dibuat semodel
ringkasan (ikhtishâr), mengandung berbagai pemikiran, pandangan-pandangannya
diarahkan pada banyak dimensi gramatika bahasa, fiqh, dan ushul yang terkandung
dalam ayat-ayat al-Qur’an, dan begitu juga dari sudut pandang bacaan (qirâat)
dan makna intrinsik ayat (isyârât), serta mengkombinasikan antara tafsir dan
takwil berdasarkan kaidah-kaidah bahasa dan syar’i.
Metode penafsirannya
dibuat sebagaimana umumnya kitab-kitab tafsir, menyebutkan nama surat,
mengaitkan dengan konteks turunnya, baru menafsirkan ayat demi ayat, serta
mengangkat hadis tentang keutamaannya pada akhir surat tersebut.
Penafsiran yang
dilakukan al-Baidhawi dalam hal gramatika bahasa, ma’ani, dan bayan merujuk
pada kitab Al-Kasysyâf karya Az-Zamakhsyari, sampai-sampai dikategorikan
sebagai “ikhtishâr al-Kasysyâf” karena itu. Akan tetapi, al-Baidhawi
meninggalkan pandangan-pandangan Mu’tazilahnya dan berpegang pada madzhab
Asy’ariyah dalam masalah teologi dan kalam, demikian menurut adz-Dzahabi.
Selain itu, juga merujuk pada kitab At-Tafsîr al-Kabîr milik Ar-Razi dalam
kaitannya dengan hikmah dan kalam, serta Jâmi’ at-Tafsîr karya Ar-Raghib
al-Ashfahani dalam kaitannya dengan pembentukan kata, makna intrinsik, dan
isyarat-isyarat batin dari ayat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Syuhbah, Muhammad
ibn Muhammad, al-Isrā´īliyyāt wa al-Mawdhū’āt fī Kutub al-Tafsīr, (Mesir: Maktabah
al-Sunnah, 1408 H), cet. IV
Arsyif Multaqa Ilmu
Tafsir 1. Juz 1, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
Muhammad Husayn
Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah
al-Syāmilah, versi 3.1.
Muhammad Yusuf Dkk,
Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu. Yogyakarta: Penerbit TERAS, 2004.
Mahmud Basuni Faudah,
Tafsir-Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. Bandung: Penerbit
Pustaka, 1987..
Nashruddin Al-Baidhawi,
Tafsir Al-Baidhawi. Juz V, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
Shihab M. Quraish,
Membumikan Al-Qur'an. Bandung, Mizan, 2002.
Mahmud, Mani’ Abd
Halim, Metodologi Tafsir: kajian konprehensif metode para ahli tafsir. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
[1] Nashruddin
Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi. Juz V, dalam program CD al-Maktabah
al-Syāmilah, versi 3.1.
[2] Abu Syuhbah,
Muhammad ibn Muhammad, al-Isrā´īliyyāt wa al-Mawdhū’āt fī Kutub al-Tafsīr,
(Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408 H), cet. IV.
[3] Mahmud, Mani’ Abd
Halim, Metodologi Tafsir: kajian konprehensif metode para ahli tafsir. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
[4] Muhammad Husayn
Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah
al-Syāmilah, versi 3.1.
[5] Nashruddin
Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi. Juz V, dalam program CD al-Maktabah
al-Syāmilah, versi 3.1.
[6] Muhammad Husayn
Al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Jilid 4, dalam program CD al-Maktabah
al-Syāmilah, versi 3.1.
[7] Mahmud Basuni
Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir. Bandung:
Penerbit Pustaka, 1987..
[8] Abu Syuhbah,
Muhammad ibn Muhammad, al-Isrā´īliyyāt wa al-Mawdhū’āt fī Kutub al-Tafsīr,
(Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1408 H), cet. IV.
[9] Ibid
[10] Muhammad Yusuf
Dkk, Studi Kitab Tafsir Menyuarakan Teks Yang Bisu. Yogyakarta: Penerbit TERAS,
2004.
[11] Nashruddin
Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi. Juz V, dalam program CD al-Maktabah
al-Syāmilah, versi 3.1.
[12] Mahmud, Mani’ Abd
Halim, Metodologi Tafsir: kajian konprehensif metode para ahli tafsir. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
[13] Arsyif Multaqa,
Ilmu Tafsir 1. Juz 1, dalam program CD al-Maktabah al-Syāmilah, versi 3.1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar