Mafatih al-Ghaib karya al-Razi ini tergolong
berbeda dengan mayoritas tafir klasik yang membatasi keselamatan hanya bagi
para pengikut Muhammad yang disebut orang-orang muslim. Al-Razi tergolong
mufassir yang mensyaratkan dua hal sebagai dasar keselamatan di akhirat, yakni
iman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh tanpa keharusan iman
kepada Muhammad sebagai syarat keselamatan. Pernyataan ini membawa Kautsar
untuk berkesimpulan bahwa al-Razi adalah mufassir yang pluralis, atau
setidaknya inklusif.”
Pembaruan
Islam, sekalipun diorientasikan kepada situasi dan perkembangan kontemporer,
tetap tak bisa sama sekali dilepaskan dari wawasan tradisi atau khazanan
keilmuan Islam klasik. Melalui kajian atas warisan intelektual Islam klasik,
kita bisa mengetahui argumen-argumen dasar yang biasanya dijadikan hujjah atau
pegangan oleh lawan-lawan Islam liberal dalam kaitannya dengan perdebatan dalam
isu-isu kebebasan dan pembaruan Islam. Setidaknya alasan inilah yang
dikemukakan oleh Abd. Moqsith Ghazali ketika ditanya tentang pentingnya
melakukan kajian terhadap kitab-kitab turats Islam.
Mafatih
al-Ghaibn-ya al-Razi. Tafsir ini, punya tiga nama sekaligus, Mafatih al-Ghaib,
Tafsir al-Kabir, dan tafsir al-Fakhr al-Razi. Simpang siurnya nama tafsir ini, karena
si penulis tidak sempat menamakannya sendiri. Berbeda dengan al-Qurthubi, dan
Nawawi al-Bantani yang kebetulan sempat menyebut sendiri nama tafsirnya. Al-Qurthubi
menyebut sendiri tafsirnya dengan nama Jami’ al-Ahkam dan Nawawi al-Bantani
memberi nama tafsirnya Marah Labid. Kasus serupa ini juga terjadi pada
tafsir-tafsir lainnya, seperti tafsir Ibn Katsir misalnya.
Tafsir al-Razi yang terdiri dari 32 juz (edisi
Dar al-Fikr, Lebanon, 1981) ini disusun dengan sistematika mushafi atau biasa
dikenal dengan tafsir tahlili. al-Razi tidak menulis semua tafsirnya ini, tapi
terlanjur mangkat sebelum sempat menyelesaikan tafsirnya hingga juz ke-30
al-Qur’an. Pekerjaan al-Razi ini nantinya diteruskan oleh muridnya, seorang
hakim dari Damaskus, Syamsuddin Ibn Khalil al-Hawy. Namun begitu, tidak jelas,
bagian mana yang merupakan tulisan al-Razi dan mana yang hasil tafsir muridnya,
tak bisa dibedakan. Tafsir yang pernah diringkas oleh ulama bermazhab Maliki
ini, menggunakan banyak argumen yang biasanya dirujuk dari banyak pemikir,
mulai dari argumen-argumen mufassir pendahulunya seperti Mujahid dan al-Thabari
hingga pandangan-pandangan ulama Mu’tazilah seperti Abu Muslim al-Ashfihani
hingga penulis tafsir al-Kasysyaf, al-Zammakhsyari. Walaupun begitu, demikian
analisa Moqsith, sejauh al-Razi mengutip pandangan orang-orang Mu’tazilah bukan
untuk dirujuk, tapi untuk disangkal dan dikuliti.
al-Razi
merupakan salah satu mufassir sunni yang sangat berani. Ketika banyak ulama
ramai-ramai membatasi penafsiran dengan akal pikiran (ra’yu), al-Razi menerabas
tabu ini dan bahkan seolah tidak mengindahkan hadis yang mengatakan bahwa
sesiapa menafsir dengan akal pasti salah walaupun benar.
Tafsir
al-Razi ini memang tergolong unik dan menyimpang pada jamannya. Tafsir yang
digolongkan oleh para ulama sebagai tafsir falsafi ini –karena kecenderungan
filosofisnya yang kental– mengupas tiap ayat dalam al-Qur’an melalui banyak
pendekatan, dari mulai teologi, filsafat, hukum, sejarah, filologi dan bahkan
sains. tafsir al-Razi tergolong karya pertama-tama yang menafsirkan ayat-ayat
kauniyyah dalam al-Qur’an.
Atas
“ketidakwajarannya” ini, tafsir al-Razi mendapat banyak kritik dan menjadi
kontroversi. Ada yang memojokkannya dengan mengatakan bahwa tafsir al-Razi ini
terlalu mubazir, karena membahas banyak hal yang tidak diperlukan dalam ilmu
tafsir, seperti pendapat dari Abu Hayyan misalnya. Ada lagi yang dengan sinis
mengatakan bahwa tafsir al-Razi ini “minimalis-hadis”, karena terlalu kental
rasio dan terlalu mengabaikan riwayat. Bahkan yang lebih parah, sebagian ulama
“merendahkan” tafsir al-Razi ini dengan mengatakan bahwa di dalamnya terdapat
segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri (fîhi kullu syaiy’ illa al-tafsîr).
Dari
analisa metode dan corak, mari kta kemudian bergeser menganalisa isi tafsir
al-Razi. pembahasan tentang Kalam di tafsir al-Razi ini memang cukup canggih.
Di antaranya, al-Razi dengan cukup baik mampu menepis argumen-argumen rasional
kelompok Mu’tazilah dengan metode yang serupa. Namun begitu, rasionalitas
al-Razi ini mendadak tumpul ketika berhadapan dengan ayat-ayat hukum dalam
al-Qur’an. Moqsith memberi contoh dengan tafsiran al-Razi atas ayat-ayat gender
dan ayat yang berkaitan dengan hubungan antar agama.
Irasionalitas
al-Razi dalam menghadapi ayat-ayat hukum disebabkan karena ketidakmampuannya
keluar dari paradigma berpikir al-Syafi’i. Seperti diketahui, terlepas dari
kontroversinya, al-Razi adalah salah satu tokoh mazhab Syafi’i yang begitu
keras membela argumen-argumen dan sendi bangunan mazhab ini..
Keliberalan
tafsir al-Razi baru kelihatan ketika dipandang dari segi metode penafsirannya
yang sangat berani mengandalkan nalar melampaui riwayat dan menerobos kejumudan
para penafsir di masanya. Namun begitu, keliberalannya tersebut langung hilang
begitu ia berhadapan dengan ayat-ayat hukum dan pluralisme. Dengan kata lain, al
Razi adalah penafsir yang liberal dalam hal teologi dan filsafat, tapi
illiberal (tidak liberal) dalam fikih atau hukum Islam.
al-Razi
tergolong mufassir yang mendukung adanya keselamatan dalam agama lain.
Pertama-tama al-Razi mendeskripsikan pelbagai pandangan ulama terkait dengan
frasa “alladzîna âmanû” (orang-orang yang beriman) yang terdapat pada kedua
ayat tentang pluralisme tersebut (al-Baqarah: 62 dan 69). al-Razi tidak
menyebutkan secara eksplisit pandangan mana dari ulama-ulama itu yang ia
dukung. Namun begitu, al-Razi tergolong mufassir yang mensyaratkan dua hal
sebagai dasar keselamatan di akhirat, yakni iman kepada Allah dan hari akhir
serta beramal saleh tanpa keharusan iman kepada Muhammad sebagai syarat
keselamatan. Pernyataan ini jangan lantas membawa kita untuk berkesimpulan
bahwa al-Razi adalah mufassir yang pluralis, atau setidaknya inklusif.
al-Razi
ini tergolong berbeda dengan mayoritas tafir klasik yang membatasi keselamatan
hanya bagi para pengikut Muhammad yang disebut orang-orang muslim. al-Razi
tidak menyinggung sebab turunnya dua ayat Keengganan al-Razi untuk mengutip riwayat-riwayat
atau asbab al-nuzul ayat bisa dimengerti mengingat pilihannya atas rasionalisme
dalam menafsirkan ayat mengatasi pendekatan riwayat-riwayat.
Wallahu a’lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar