Rabu, 04 April 2012

Mafatih al-Ghaib karya al-Razi


Mafatih al-Ghaib karya al-Razi ini tergolong berbeda dengan mayoritas tafir klasik yang membatasi keselamatan hanya bagi para pengikut Muhammad yang disebut orang-orang muslim. Al-Razi tergolong mufassir yang mensyaratkan dua hal sebagai dasar keselamatan di akhirat, yakni iman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh tanpa keharusan iman kepada Muhammad sebagai syarat keselamatan. Pernyataan ini membawa Kautsar untuk berkesimpulan bahwa al-Razi adalah mufassir yang pluralis, atau setidaknya inklusif.”
       Pembaruan Islam, sekalipun diorientasikan kepada situasi dan perkembangan kontemporer, tetap tak bisa sama sekali dilepaskan dari wawasan tradisi atau khazanan keilmuan Islam klasik. Melalui kajian atas warisan intelektual Islam klasik, kita bisa mengetahui argumen-argumen dasar yang biasanya dijadikan hujjah atau pegangan oleh lawan-lawan Islam liberal dalam kaitannya dengan perdebatan dalam isu-isu kebebasan dan pembaruan Islam. Setidaknya alasan inilah yang dikemukakan oleh Abd. Moqsith Ghazali ketika ditanya tentang pentingnya melakukan kajian terhadap kitab-kitab turats Islam.
       Mafatih al-Ghaibn-ya al-Razi. Tafsir ini, punya tiga nama sekaligus, Mafatih al-Ghaib, Tafsir al-Kabir, dan tafsir al-Fakhr al-Razi. Simpang siurnya nama tafsir ini, karena si penulis tidak sempat menamakannya sendiri. Berbeda dengan al-Qurthubi, dan Nawawi al-Bantani yang kebetulan sempat menyebut sendiri nama tafsirnya. Al-Qurthubi menyebut sendiri tafsirnya dengan nama Jami’ al-Ahkam dan Nawawi al-Bantani memberi nama tafsirnya Marah Labid.  Kasus serupa ini juga terjadi pada tafsir-tafsir lainnya, seperti tafsir Ibn Katsir misalnya.
Tafsir al-Razi yang terdiri dari 32 juz (edisi Dar al-Fikr, Lebanon, 1981) ini disusun dengan sistematika mushafi atau biasa dikenal dengan tafsir tahlili. al-Razi tidak menulis semua tafsirnya ini, tapi terlanjur mangkat sebelum sempat menyelesaikan tafsirnya hingga juz ke-30 al-Qur’an. Pekerjaan al-Razi ini nantinya diteruskan oleh muridnya, seorang hakim dari Damaskus, Syamsuddin Ibn Khalil al-Hawy. Namun begitu, tidak jelas, bagian mana yang merupakan tulisan al-Razi dan mana yang hasil tafsir muridnya, tak bisa dibedakan. Tafsir yang pernah diringkas oleh ulama bermazhab Maliki ini, menggunakan banyak argumen yang biasanya dirujuk dari banyak pemikir, mulai dari argumen-argumen mufassir pendahulunya seperti Mujahid dan al-Thabari hingga pandangan-pandangan ulama Mu’tazilah seperti Abu Muslim al-Ashfihani hingga penulis tafsir al-Kasysyaf, al-Zammakhsyari. Walaupun begitu, demikian analisa Moqsith, sejauh al-Razi mengutip pandangan orang-orang Mu’tazilah bukan untuk dirujuk, tapi untuk disangkal dan dikuliti.
       al-Razi merupakan salah satu mufassir sunni yang sangat berani. Ketika banyak ulama ramai-ramai membatasi penafsiran dengan akal pikiran (ra’yu), al-Razi menerabas tabu ini dan bahkan seolah tidak mengindahkan hadis yang mengatakan bahwa sesiapa menafsir dengan akal pasti salah walaupun benar.
       Tafsir al-Razi ini memang tergolong unik dan menyimpang pada jamannya. Tafsir yang digolongkan oleh para ulama sebagai tafsir falsafi ini –karena kecenderungan filosofisnya yang kental– mengupas tiap ayat dalam al-Qur’an melalui banyak pendekatan, dari mulai teologi, filsafat, hukum, sejarah, filologi dan bahkan sains. tafsir al-Razi tergolong karya pertama-tama yang menafsirkan ayat-ayat kauniyyah dalam al-Qur’an.
       Atas “ketidakwajarannya” ini, tafsir al-Razi mendapat banyak kritik dan menjadi kontroversi. Ada yang memojokkannya dengan mengatakan bahwa tafsir al-Razi ini terlalu mubazir, karena membahas banyak hal yang tidak diperlukan dalam ilmu tafsir, seperti pendapat dari Abu Hayyan misalnya. Ada lagi yang dengan sinis mengatakan bahwa tafsir al-Razi ini “minimalis-hadis”, karena terlalu kental rasio dan terlalu mengabaikan riwayat. Bahkan yang lebih parah, sebagian ulama “merendahkan” tafsir al-Razi ini dengan mengatakan bahwa di dalamnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir itu sendiri (fîhi kullu syaiy’ illa al-tafsîr).
       Dari analisa metode dan corak, mari kta kemudian bergeser menganalisa isi tafsir al-Razi. pembahasan tentang Kalam di tafsir al-Razi ini memang cukup canggih. Di antaranya, al-Razi dengan cukup baik mampu menepis argumen-argumen rasional kelompok Mu’tazilah dengan metode yang serupa. Namun begitu, rasionalitas al-Razi ini mendadak tumpul ketika berhadapan dengan ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Moqsith memberi contoh dengan tafsiran al-Razi atas ayat-ayat gender dan ayat yang berkaitan dengan hubungan antar agama.
       Irasionalitas al-Razi dalam menghadapi ayat-ayat hukum disebabkan karena ketidakmampuannya keluar dari paradigma berpikir al-Syafi’i. Seperti diketahui, terlepas dari kontroversinya, al-Razi adalah salah satu tokoh mazhab Syafi’i yang begitu keras membela argumen-argumen dan sendi bangunan mazhab ini..
       Keliberalan tafsir al-Razi baru kelihatan ketika dipandang dari segi metode penafsirannya yang sangat berani mengandalkan nalar melampaui riwayat dan menerobos kejumudan para penafsir di masanya. Namun begitu, keliberalannya tersebut langung hilang begitu ia berhadapan dengan ayat-ayat hukum dan pluralisme. Dengan kata lain, al Razi adalah penafsir yang liberal dalam hal teologi dan filsafat, tapi illiberal (tidak liberal) dalam fikih atau hukum Islam.
      
       al-Razi tergolong mufassir yang mendukung adanya keselamatan dalam agama lain. Pertama-tama al-Razi mendeskripsikan pelbagai pandangan ulama terkait dengan frasa “alladzîna âmanû” (orang-orang yang beriman) yang terdapat pada kedua ayat tentang pluralisme tersebut (al-Baqarah: 62 dan 69). al-Razi tidak menyebutkan secara eksplisit pandangan mana dari ulama-ulama itu yang ia dukung. Namun begitu, al-Razi tergolong mufassir yang mensyaratkan dua hal sebagai dasar keselamatan di akhirat, yakni iman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh tanpa keharusan iman kepada Muhammad sebagai syarat keselamatan. Pernyataan ini jangan lantas membawa kita untuk berkesimpulan bahwa al-Razi adalah mufassir yang pluralis, atau setidaknya inklusif.
       al-Razi ini tergolong berbeda dengan mayoritas tafir klasik yang membatasi keselamatan hanya bagi para pengikut Muhammad yang disebut orang-orang muslim. al-Razi tidak menyinggung sebab turunnya dua ayat Keengganan al-Razi untuk mengutip riwayat-riwayat atau asbab al-nuzul ayat bisa dimengerti mengingat pilihannya atas rasionalisme dalam menafsirkan ayat mengatasi pendekatan riwayat-riwayat.
Wallahu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar