Selasa, 18 Desember 2012

HERMENEUTIKA HASSAN HANAFI


HERMENEUTIKA HASSAN HANAFI
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur matakuliah Hermeneutika
Yang dibimbing oleh Bapak H. Syafrudin Edi Wibowo, Lc. M.Ag










 












Oleh :

As’ad Daroini
              (082 102 040)



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JEMBER
DESEMBER 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Kitab  Al-Qur’an menamakan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia (Hudan li al Nas. QS. 2:185). Seluruh yang termaktub dalam al Quran itu hakekatnya merupakan ajaran yang harus dipegang oleh umat Islam. Ia memberikan petunjuk dan pedoman hidup untuk mencapai kebahagian di dunia dan akhirat dalam bentuk ajaran moral, aqidah, hukum, filsafat, politik dan ibadah.
            Agar al Quran berguna, sesuai pernyataan salah satu ayatnya bahwa ia merupakan petunjuk bagi umat manusia yang mengeluarkannya dari kegelapan menuju terang benderang (QS. 14: 1) maka Al Quran memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahaminya. Sehingga, melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat, sehingga dapat mengantarkan manusia menuju terang benderang.

            Hal di atas seperti firman Allah SWT yang terdapat dalam ayat berikut ini.
كتب انزلنه إليك مبرك ليدبرواأيته وليتذكرأولواالألبـاب                                                                             
Artinya:
"Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS. Shad, 38: 29).

            Gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang dimulai sejak abad ke-18 tidak diragukan lagi mempunyai implikasi dalam "cara baca" terhadap al Quran. Tuntutan dan kebutuhan zaman mendesak umat Islam untuk melakukan upaya-upaya reinterpretasi terhadap ajaran keagamaannya yang pada hakekatnya bersumber utama pada al Quran.
            Menggunakan metodologi tafsir yang diambil secara turun-temurun berarti hanya melakukan pengulangan-pengulangan dan tidak membuka perspektif baru bagi masyarakat dalam alam yang sedang berubah. Sementara mendesak untuk dilakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama, maka kehadiran sebuah pendekatan baru untuk menafsirkan tersebut sangat diperlukan.
            Pada dekade 1960-an, Hassan Hanafi, sarjana lulusan Universitas Kairo, melakukan penelitian untuk karya ilmiahnya di Universitas Sorbone. Tepatnya tahun 1965 dan tahun 1966 ia menulis tesis dan disertasinya. Pembahasannya seputar hermeneutika, baik yang ia pandang sebagai metode rekonstruksi untuk ‘ilm Ushul Fiqh maupun untuk menafsirkan fenomena keagamaan. 

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang melatarbelakangi pemikiran Hassan Hanafi?
2.      Bagaimanakah deskripsi hermeneutika Hassan Hanafi?
3.      Bagaimanakah tafsir klasik dalam pandangan Hassan Hanafi?













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi dan latar belakang Hassan Hanafi
                Hassan Hanafi lahir di Kairo pada tanggal 13 Februari 1935, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian Madrasah Tsanawiyah ”Khalil Agha”, Kairo, selesai pada tahun 1952. Selama di Tsanawiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi al-Ikhwān al-Muslimūn, dari kegiatannya inilah pemikiran Hanafi berkembang, selain itu, ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan keislaman.
                Setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas kairo, selesai pada tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, kemudian melanjutkan studi di Universitas Sorbonne Prancis, dengan mengambil konsentrasi pada kajian pemikiran Barat pra-modern dan modern. Hanafi menyelesaikan program master dan doktornya pada tahun 1966.
                Karir akademiknya dimulai pada tahun 1967 ketika diangkat sebagai lektor, kemudian lektor kepala pada tahun 1973, kemudian profesor filsafat pada tahun 1980 di Jurusan Filsafat Universitas kairo. Selain itu Hanafi juga aktif memberi kuliah di beberapa negara, seperti Prancis, Belgia, Amerika Serikat, Kuwait, Maroko dan Jepang. Pada tahun 1984-1985 ia diangkat sebagai guru besar tamu di Universitas Tokyo, dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di Jepang pada tahun 1985-1987.
                Disamping dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiyah dan kemasyarakatan. Dia aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.
                Selama di Prancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia belajar metode berpikir, pembaharuan dan sejarah filsafat dari Jean Gitton, belajar analisis kesadaran pada Pauk Ricouer, belajar bidang pembaharuan pada Massignon yang sekaligus bertindak sebagai pembimbing penulisan desertasinya, serta belajar fenomenologi dari Husserl. Sampai saat ini, fenomenologi Husserl sangat kental mewarnai pemikiran Hanafi dalam membaca teks-teks keagamaan.    
            Hanafi merupakan pemikir muslim radikal dan kritis baik terhadap gerakan Islamis maupun Barat yang mencoba mendominasi Islam. Oleh karena itu, dia berusaha merekonstruksi pemikiran Islam ke arah yang dapat membebaskan umat Islam dari segala bentuk penindasan.
            Di samping menguasai pemikiran Islam, Hassan Hanafi juga menguasai pemikiran Barat dengan baik. Menurutnya, dunia Islam kini sedang menghadapi dua ancaman besar baik secara internal maupun secara eksternal. Ancaman dari dalam Islam adalah berupa kemiskinan, keterbelakangan dan ketertindasan. Sedangkan dari luar Islam yakni imperialisme, zionisme dan kapitalisme.
Kemunculan Hassan Hanafi pada dekade 1980 mendapat  perhatian luas dengan gerakan yang dipelopori dirinya, al Yasar al Islami (Kiri Islam). Lahirnya  Al Yasar Al Islami atau dikenal juga dengan At-turats wa at-tajdid (tradisi dan modernisasi)  merupakan proyek pembaharuan Hassan Hanafi yang bertopang pada tiga pilar utama. Pertama, revitalisasi khasanah klasik Islam. Kedua, perlunya menentang peradaban Barat. Ketiga, analisis atas realitas dunia Islam. Pada bagian terakhir ini, Hanafi mengusulkan al tafsir al syu'ur suatu metode tafsir di mana realitas dunia Islam dapat berbicara sendiri.

            Hassan Hanafi memandang bahwa peradaban Islam merupakan upaya perjanjian wahyu secara metodologis dan intelektual bagi dunia dalam suatu periode sejarah dan sosiologi tertentu. Bagi Hanafi, persoalannya bukan terletak pada al Quran, melainkan bagaimana wahyu al Quran itu dapat dihadirkan secara interpretatif dan bagaimana struktur teortitis menyajikannya. hal itu tidak dimaksudkan oleh Hanafi bahwa penyajian wahyu yang telah berlangsung selama ini salah. Melainkan, hal itu dipandang sebagai satu pilihan di antara pilihan-pilihan yang lain sesuai dengan tuntunan  zaman.
                Dengan kata lain bisa dijeaskan bahwa Hanafi merumuskan proyek at-Turāts wa at-Tajdīd  berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan. Pertama, rekonstruksi tradisi Islam dengan melakukan interpretasi kritis dan kritik historis yang mencerminkan ”apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawqifunā min al-qadīm)Kedua, rekonstruksi ulang terhadap batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang tercermin dalam ”sikap kita terhadap Barat” (mawqifunā minal-gharb). kemudian yang terakhir adalah, upaya membangun sebuah teori interpretasi Al-Qur’an yang membebaskan yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, yang memposisikan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan. Agenda ketiga ini mencerminkan ”sikap kita terhadap realitas” (mawqifunā minal-wāqī)[1].

B.     Metode Hermeneutika Hassan Hanafi
                Didalam berbagai artikel, makalah bahkan yang lebih spesifik adalah didalam pengantar buku Tradisi dan Modernisasi (at-Turats wa at-Tajdid) Hanafi menyatakan bahwa mega proyek daripada Tradisi dan Modernisasi adalah upaya rekonstruksi peradaban dengan menunjukan pada sumber-sumbernya dalam wahyu, atau reinterpretasi wahyu itu sendiri, disamping pendasaran kepada realitas kontemporer dan tradisi klasik. Tujuan akhirnya adalah transformasi wahyu kedalam disiplin kemanusiaan yang komprehensif. Untuk kepentingan diatas, Hanafi merencanakan sebuah hermeneutika yang mencakup berbagai teori interpretasi, baik atas teks maupun terhadap realitas.
            Tafsir tidak lahir dalam kehampaan, melainkan terwujud di dalam waktu dan tempat tertentu, dalam suatu kesejarahan tertentu, sehingga menuntut umat Islam masa kini untuk merumuskan hermeneutika al Quran yang sesuai dengan kemaslahatan umat, keperluan dan persoalan yang dihadapi umat Islam masa kini.
            Metodologi hermeneutika al Quran yang digagas Hassan Hanafi berkaitan erat dengan metodologi fiqih klasik. Baginya, ia merupakan pengambilan kesimpulan hukum dan berhadapan dengan realitas baru. Demikian pula Hermeneutika al Quran baru terkait dengan gerakan reformasi keagamaan, mendukungnya mengadakan reformulasi terhadapnya dan mengembangkannya.
            Menurut Hanafi makna dihasilkan dalam konteks sosial dan politis dimana teks dihasilkan dan dibaca serta dipergunakan. Ketika teks dibaca dan diinterpretasikan kembali dari suatu generasi dan tempat kegenerasi dan tempat berikutnya, makna dihasilkan kembali oleh individu (fard) dan kelompok sosial (jamaah). Menurutnya lebih lanjut, ada tiga metode yang harus dikoordinasi oleh para penafsir Dunia ketiga, khususnya Muslim untuk mencapai pemahaman diri yang otentik di dunia modern. Pertama, Warisan intelektual dan kultural Barat (Turats al Gharb). Kedua, analisis atas warisan tradisional Islam. Ketiga, analisis atas pengalaman sosial manusia seperti tertuang dalam setiap dan semua teks warisan Barat dan Islam.
            Hanafi menggunakan hermeneutika yang dikembangkan dan dipengaruhi oleh Hermeneutika kontemporer Barat sebagai metodologi untuk memahami al Quran. Meskipun demikian, menurutnya Hermeneutika bukan hanya berarti ilmu interpretasi, melainkan juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat prakteknya di dunia.
            Hassan Hanafi berpendapat bahwa proses pemahaman hanya menduduki tempat kedua. Sementara yang pertama adalah kritik sejarah, yang menjamin keaslian kitab suci dalam sejarah. Menurutnya, tidak mungkin akan terjadi pemahaman bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dialami secara historis asli. Di sinilah, hermeneutika muncul sebagai ilmu pemahaman dalam arti yang paling tepat, berkenaan terutama dengan bahasa dan kedaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan kitab-kitab suci. Setelah mengetahui arti yang tepat dari teks kemudian memasuki langkah ketiga, proses menyadari arti ini dalam kehidupan manusia yang merupakan tujuan akhir wahyu Allah.
            Pemikiran Hanafi dalam bidang Hermeneutika mereformasi penafsiran tradisional yang hanya bertumpu pada teks dan mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara sendiri. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji dan menjadi bahan penelitian secara akademik.
                Hanafi menggunakan hermeneutika sebagai alternatif metode interpretasi teks atas kritiknya pada metode tafsir klasik. Hanafi juga memperluas cakupan hermeneutika, dari sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, menjadi ilmu yang menjelaskan tentang penerimaan wahyu sejak tingkat perkataan hingga tingkat dunia. Hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia[2].
                Melihat berbagai kekurangan dan kelemahan didalam tafsir klasik, Hanafi menawarkan teori penafsiran yang baru dalam menafsirkan Al-Qur’an yang ia rumuskan melalui pendekatan sosial, Hanafi menyebut teori penafsiran ini dengan ”hermeneutika sosial” (al-manhaj al-ijtimā’ī fī at-tafsīr) atau lebih tepatnya metode tafsir tematik (at-tafsīr al-mauḍū’ī).  Dengan hermeneutika Al-Qur’an seperti ini, menurut hanafi, seorang mufassir yang ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks. Bukan sekedar menjelaskan, tapi juga memahami. Bukan hanya mengetahui, tapi sekaligus menyadari. Seorang mufassir bukan hanya menerima, tapi memberi makna. Ia menerima makna dan meletakannya dalam struktur rasional dan nyata. Karena tafsir tematis berusaha menemukan identitas sejati antara wahyu, kesadaran dan alam[3].
                Menafsirkan dalam pandangan Hanafi berarti mencari sesuatu, fokus dari objek. menafsirkan adalah menemukan sesuatu yang baru antara bahasa teks. Menafsirkan menurut Hanafi, serupa dengan menulis teks baru, mengungkap isi terdalam dari teks yang berhubungan dengan kesadaran yang paling dalam.
                Berhubungan dengan metodologi hermeneutika sosial yang dibangun ini, Hanafi meletakan premis-premis dan landasan filosofis dalam mencari makna dari teks Al-Qur’an. Premis-premis itu adalah:
Pertama, wahyu diletakan dalam ”tanda kurung” (epoche)[4].  tidak diafirmasi, tidak pula ditolak. Penafsir tidak perlu lagi mempertanyakan keabsahan dan keaslian Al-Qur’an yang banyak diperdebatkan oleh kalangan orientalis, bahkan sebagian cendikiawan muslim kontemporer seperti Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun,  apakah ia dari Tuhan atau dari pandangan Muhammad Saw. Penafsiran dimulai dari teks apa adanya tanpa mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu. Menurut Hanafi, dalam tahap interpretasi pertanyaan tentang asal-usul teks tidak lagi relevan, karena teks adalah teks, tidak ada permasalahan apakah ia bersifat Ilahiah atau manusiawi, sakral atau profan, elegius atau sekular. Pertanyaan tentang asal-usul teks merupakan permasalahan kejadian teks, sedangkan penafsiran berkaitan dengan isi teks tersebut. 
Kedua, Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya. Al-Qur’an tidak memiliki kedudukan istimewa secara metodologis, semua teks ditafsirkan berdasarkan aturan yang sama. Baik itu yang sakral atau profan, termasuk Al-ur’an.Al-Qur’an menurut Hanafi, hanyalah merupakan transfigurasi bahasa manusia, sebagaimana halnya juga hadits Nabi.
Ketiga, Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi. Konflik interpretasi mencerminkkan pertentangan kepentingan, dalam interpretasi yang bersifat linguistik bahasa selalu berubah-ubah.  Kesamaan antara makna teks yang sedang dijelaskan dengan makna penafsiran terhadap teks hanyalah preposisi formal yang sifatnya hipotesis berdasarkan pada hukum keserupaan. Menurut Hanafi, kesenjangan waktu yang lebih dari 14 abad yang menyebabkan teori keserupaan teks dan penafsiran jadi mustahil.
Keempat, Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir, teks hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia. Penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka.
Terakhir, Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan konflik teoritis. Teori sebenarnya hanyalah merupakan kedok epistemologis. Setiap penafsiran mengungkapkan sosio-politik penafsir. Penafsiran menurut Hanafi, merupakan senjata ideologis yang banyak digunakan oleh kekuatan sosio-politik, baik dalam rangka mempertahankan keuasaan atau merubahnya.
                Dari lima premis diatas, Hanafi bertujuan untuk menghindarkan dari penafsiran yang bertele-tele, maka dari itu Hanafi merumuskan beberapa karakteristik dalam penafsiran Al-Qur'an.
Pertama, Harus mampu menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (at-tafsir al-juz'i) yaitu menafsirkan ayat-ayat tertentu Al-Qur'an bukannya menafsirkan seluruh ayat-ayat Al-Qur'an.
Kedua, tafsir semacam ini disebut juga tafsir tematik (at-tafsir al-maudhu'i) karena hanya menafsirkan tema-tema tertentu yang dibutuhkan.
Ketiga, bersifat temporal, (at-tafsir az-zamani).  Penafsiran tidak diarahkan kepada pencarian makna universal, melainkan diarahkan untuk menelusuri makna sesuai yang diinginkan Al-Qur'an untuk generasi tertentu. Tafsir semacam ini tidak berurusan dengan masa lalu atau masa yang akan datang, melainkan dikaitkan dengan realitas kontemporer dimana ia muncul.
Keempat,  berkarakter realistik (at-tafsir al-waqi'i). Yaitu memulai penafsiran dari realitas kaum muslimin, kehidupan dengan segala problematikanyakrisis dank kesengsaraan yang mereka hadapi.
Kelima, berorientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan teoritik tentang huruf dan kata. Karena menurut Hanafi, wahyu pada dasarnya memiliki tujuan, orientasi dan kepentingan. Yaitu kepentingan masyarakat dan hal-hal yang menurut akal bersifat manusiwi, rasional dan natural.
Keenam, bersifat experimental, karena ia merupakan tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup mufassir.
Ketujuh, perhatian terhadap problem kontemporer. Bagi Hanafi, Mufassir tidak dapat memulai penafsirannya tanpa didahului oleh perhatian dan penelitian yang mendalam atas masalah-masalah kehidupan.
Terakhir, posisi sosial mufassir ditentukan secara sosial sekaligus menentukan corak penafsiran yang dilakukannya. Penafsiran merupakan bagian dari struktur sosial, baik itu bagian dari golongan atas, menengah atau bawah.
                Setelah meletakan berbagai premis dan karakteristik penafsiran, kemudian Hanafi merumuskan beberapa aturan metodis untuk mendukung hermeneutika Al-Qur'an yang ia bangun. Aturan-aturan ini berfungsi sebagai petunjuk teknis ketika menafsirkan Al-Qur'an.
Pertama: merumuskan komitmen sosial politik. Mufassir bukanlah seorang yang netral, sebab ia berada dalam drama negeri tertentu dan dalam krisis dalam masanya. Ia terobsesi pada perubahan sosial. Tidak ada mufassir tanpa komitmen tertentu, sebab hilangnya komitmen berarti tidak memiliki komitmen apa-apa.
Kedua, mencari sesuatu. Seorang mufassir  tidak memulai penafsiran dengan tangan kosong atau tanpa mengetahui apa yang ingin ia ketahui terlebih dahulu. Menurut Hanafi, kesadaran adalah kepentingan itu sendiri. Sementara hikmah yang dikandung asbab an-nuzul merupakan gambaran dari prioritas realitas atas teks.
Ketiga, seorang mufassir berusaha mensinopsis ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema tertentu. Setiap ayat yang berhubungan satu sama lain dalam tema-tema tertentu dikumpulkan, kemudian dibaca dan dipahami berulang-ulang secara seksama dan simultan sehingga orientasi umum dari ayat-ayat tersebut dapat ditemukan.
Keempat, klasifikasi bentuk-bentuk linguistik. Bagi Hanafi, bahasa merupakan bentuk pemikiran yang membawa mufassir kedalam makna.
Kelima, membangun struktur. Setelah bentuk-bentuk linguistik memberi orientasi makna, mufassir berusaha membangun suatu strukturberangkat dari suatu makna menuju suatu objek. Makna dan objek adalah sisi koin yang sama. Keduanya adalah kolerasi yang sama dalam keasadaran.
Keenam, analisis situasi faktual. Setelah membangun suatu tema sebagai struktur ideal, mufassir  menggabungkandan menghubungkannya dengan situasi nyata, untuk mengetahui status kuantitatif masalah. Menurut Hanafi, diagnosa sosial adalah cara lain untuk memahami makna sebagai dinamika teks dalam dunia nyata.
Ketujuh,  membandingkan yang ideal dengan yang riil. setelah proses membangun struktur memberikan tema kualitatif dan analisis fakta sosial memberi status kuantitatif sebagai fenomena sosio-historis, mufassir membandingkan  struktur ideal yang dideduksi dari analisis isi teks dan situasi faktual yang diinduksi olek statistik dalam ilmu-ilmu sosial.
Terakhir, deskripsi model-model aksi. Apabila ditemukan adanya kesenjangan antara dunia ideal dengan dunia riil, maka aksi sosial merupakan langkah berikutnya dari proses interpretasi. Mufassir mentransformasikan diri dari teks ke aksi, dari teori ke praktek dan dari pemahaman ke perubahan.
C.    Kritik Hassan Hanafi Terhadap Tafsir Klasik
                Berangkat dari ketidakpuasan Hanafi terhadap hasil interpretasi dari Tafsir Klasik, maka Hanafi melakukan kritik terhadaf teori tafsir klasik yang telah dibangun oleh ulama Tafsir. Menurut Hanafi, tafsir klasik tidak memiliki teori solid yang memiliki prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi, sebab tafsir klasik tidak melampaui fase syarah (komentar), tafsīl (detailisasi), tikrār (pengulangan) dan penjelasan tentang apa  yang sedikit banyak tidak dibutuhkannya. Disisi lain ia mengabaikan kehidupan, problem, beban dan kebutuhan manusia. Sebagai akibatnya, teks keagamaan berkutat pada dirinya sendiri, karena berlandaskan pada makna-maknanya dari jangkauan dalam makna awal ayat.[28] Hanafi menjelaskan, ada dua kelemahan yang menjadi sasaran kritik Hanafi adalah krisis orientasi dan krisis epistemologis.
1.       Krisis Orientasi
                Upaya memahami wahyu adalah upaya yang melibatkan pembacaan sekaligus pemahaman terhadapnya. Sementara pemahaman terhadap Al-Qur’an, menurut Hanafi, adalah perbincangan dalam tafsir klasik yang dianggap krisis dan sangat berpengaruh besar, dua krisis kelemahan
mengenai teori penafsiran (naẓariyyah at-tafsīr) yang mampu mengungkapkan kepentingan masyarakat, kebutuhan muslim dan isi-isu kontemporer.
                Hanafi menginginkan teoretisasi penafsiran yang meletakan kembali Al-Qur’an sebagai sumber dan objek pengetahuan secara simultan dihadapan rasionalitas sebelum melakukan kegiatan keilmuan lainnya, atau sebelum membangun ilmu-ilmu keislaman apa pun, baik usul fiqih, tasawwuf, fiqih, filsafat dan lain sebagainya
                Dalam pandangan Hanafi, tafsir Al-Qur’an klasik tidak pernah melakukan perbincangan teoritis semacam ini secara tuntas. Akibatnya, tafsir klasik tidak otonom, namun terjebak pada orientasi metodologis dari disiplin keilmuan klasik Islam. Al-Qur’an lebih banyak digunakan sebagai sumber justifikasi dalam menguatkan posisi keilmuan lain daripada memahaminya secara sungguh-sungguh. Al-Qur’an lebih banyak digunakan untuk memapankan disiplin lain, setelah itu baru digunakan kembali untuk menafsirkan Al-Qur’an. Sedangkan bagi Hanafi, Al-Qur’an bukan sama sekali buku panduan bahasa, hukum, sejarah, kitab teologi, mistik, buku pengetahuan, atau panduan sosial-politik atau buku tentang metafor.
                Menurut Hanafi, Tafsir klasik terjebak dalam corak penafsiran disipliner diatas, kemudian bentuk dan sistematikanya lebih banyak merupakan tafsir analitik (at-tafsīr at-taḥlīlī) dalam konsep hanapi, tafsir ini disebut dengan at-tafsīr at-tūlā, suatu kegiatan penafsiran yang bertele-tele. Tafsir yang menguraikan teks-teks Al-Qur’an dari mulai surah al-fātiḥah sampai surah an-nās di akhir al-Qur’an. Metode penafsiran semacam ini, menurut Hanafi, hanya akan melahirkan penafsiran yang parsial, bercampur baur antara satu tema dengan yang lainnya. Bahkan hanya akan mengulan-ngulang tema yang diperbincangkan. Tafsir seperti ini tidak memiliki struktur tema yang rasional dan riil yang bisa menyajikan argumennya dari dalam dan bukan dari luar. Dengan kata lain Hanafi menyatakan, metode tafsir ini kehilangan ideologi yang koheren, pandangan dunia yang bersifat global dan tercerabut dari kebutuhan jiwa dan kepentingan masyarakat kontemporer.
                Kritik Hanafi lebih dalam ketika melihat hasil tafsir Al-Quran dari para ulama tafsir saat ini, Hanapi melihat adanya dualisme antara teks keagamaan (ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadits) dan dunia nyata (realitas kekinian). Untuk menjembatani dualisme antara teks dan realitas model ini maka diperlukanlah sebuah methode penafsiran baru. Metode itu adalah hermeneutika.
                Orientasi tafsir klasik, menurut Hanafi, mempunyai tiga kelemahan. Pertama, teori tafsir klasik lebih bersifat teosentris daripada antroposentris.  Artinya, teori ini diarahkan untuk menegaskan wujud Allah dengan membahas esensi, sifat dan perbuatannya, sekaligus mempertegas bahwa alam adalah ciptaan dan manusia akan diminta pertanggungjawaban. Tafsir ini juga merupakan tafsir dogmatis teologis, padahal tafsir yang diinginkan oleh Hanafi adalah, setelah menegaskan wujud Allah, keterciptaan alam dan kebertanggungjawaban manusia dan keyakinan lainya, mufassir harus menegakan teori tentang wujudmanusia individu dan sosial dengan menjelaskan berbagai situasi yang berkaitan dengan orang lain dan alam. Kedua, selalu terikat dengan kondisi lokal Islam tempat dulu Islam lahir, khususnya dari segi sosial dan ekonomi. Tafsir klasik juga tidak menggunakan nilai spiritual sebagai sarana untuk memenangkan manusia. Ketiga, tidak pernah memulai dengan mengkritik, menyerukan perbaikan dan perubahan radikal atas kondisi yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya selalu mengekor dan mengukuhkan setiap perbaikan dan perubahan yang dimulai dari luar teks keagamaan.
2.       Krisis Epistemologi
                Menurut Hanafi, khazanah pemikiran klasik tidak pernah memiliki suatu teori penafsiran yang otoritatif dengan prinsip-prinsip ilmiah yang mengarah pada kepentingan tertentu. Sebaliknya, mayoritas tafsir-tafsir klasik menurut Hanafi, hanya menjelaskan masalah-masalah yang sama sekali bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Adapun ciri-cirinya adalah mengulang-ngulang pendapat klasik dalam mempormulasikan berbagai argumen.
                Penafsiran diatas, dianggap Hanafi terlalu membatasi pada aspek tekstualitas Al-Qur’an, yakni linguistik (lughawy) dan sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an (asbāb an-nuzūl). Padahal menurut hanafi, keduanya reduktif terhadap makna.
                Metode Linguistik hanya membatasi penentuan makna teks Al-Qur’an berdasarkan pada prinsip linguistik yang spesifik, seperti hakekat dan majaz, muhkam dan mutasyabih, mujmal dan mubayyan, zahir dan muawwal, muqayyad dan mutlak, ’am dan khas yang dilakukan untuk menjamin kebenaran makna. Padahal menurut Hanafi, metode linguistik ini menghipotesakan bahwa makna teks itu haruslah tidak jelas, sehingga dibutuhkan keseriusan ekstra untuk memahami maknanya. Lagi pula, metode ini melupakan pengalaman hidup yang dijelaskan oleh teks, yang semestinya dirasakan oleh mufassir sebagai bagian dari umat secara keseluruhan.
                Adapun penafsiran klasik yang dilakukan melalui pendekatan sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an, menurut Hanafi, hanya membatasi sekedar pada kasus-kasus spesipik yang menjadi sebab-sebab turunnya ayat. Meskipun pendekatan seperti ini dapat mengungkap peristiwa pertama dari teks, namun Hanafi memandang peristiwa pertama ini merupakanpengalaman hidup orang-orangdimana ayat itu diturunkan, sekaligus merupakan pengalaman hidup yang terulang-ulang dalam kehidupan orang lain. Sebagai akibatnya, pemahaman ayat dilakukan dengan cara menunjukannya pada pengalamannya, yang hidup dalam kesadaran mufassir dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Asbāb an-nuzūl klasik berubah menjadi situasi kemanusiaan yang hadir, dimana pemahaman ayat dilakukan secara langsung dengan melihat kejadian yang ditunjuk oleh ayat itu sendiri.
           









BAB III
PENUTUP
            Implikasi dari hermeneutika pendirian Hassan Hanafi  adalah tidak adanya nilai absolut dalam wilayah penafsiran. Setiap interpretasi mengalami relativitas sesuai dengan konteks penafsirannya. Dengan kata lain, yang absolut adalah relativitas itu sendiri. Kalaupun ada hal –hal yang dianggap absolut dan universal, sama sekali bukan berasal dari hasil dan proses penafsiran, akan tetapi menyangkut nilai-nilai tertentu yang menjadi prinsip penafsiran. Hassan Hanafi juga bermaksud menghindari segala macam klaim objektifitas. Menurutnya, semua penafsiran mengandung sisi ideologisnya sendiri-sendiri. Penafsiran dalam kapasitasnya sebagai instrumen kepentingan selalu merefleksikan pertarungan struktur sosial dalam masyarakat. Alih-alih membela objektivitas, Hassan Hanafi justru bermaksud mengeksplisitkan subjektivitas dan kepentingan yang menjadi tujuan hermeneutika dan penafsirannaya. Eksplisitas semacam ini menjadi penting karena berfungsi sebagai pendasaran dan tujuan hermeneutika al Quran Hassan Hanafi.
    Dalam hermeneutika al-Quran, eksplisitas tersebut mengarahkan pembicaraan bukan pada benar salahnya sebuah penafsiran dalam pengertian yang hakiki, tetapi pada bagaimana sebuah argumen dibangun, disanggah atau didukung, berkaitan dengan bagaimana hubungan kebenaran dengan realitas. Hal ini berarti bahwa penafsiran sangat terkait dengan fungsionalitas teks dan bukannya pembicaraan teks yang melulu objektivistik.






DAFTAR PUSTAKA
Armas, Adnin MA, Tafsir Al-Qur'an atau "Hermeneutika Al-Qur'an" dalam  Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Thn. I No. 1/Muharram 1425.
Hadiwijoyo, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogjakarta: Kanisius, cetakan ke 24, 1980)
Huijbers, Teo, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, ( Jogjakarta: Pustaka Filsafat Kanisius, cetakan ke delapan belas, 1982) Hal. 228.
Sachari, Agus, Budaya Visual Indonesia dan Permasalahannya, (Jakarta: Erlangga, 2007)
Saenong, Ilham B, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002)
Shalahuddin, Henri,  Al-Qur'an Dihujat (Jakarta: Al-Qalam, 2007)
Sholeh, Ahmad Khudori,  Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi: Hermeneutika Humanistik (Yogyakarta: Jendela. 2003)


[1] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 71-75

[2] Ahmad Khudori Sholeh dalam, Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi: Hermeneutika Humanistik (Yogyakarta: Jendela. 2003) Hal. 160-161

[3] Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 146

[4] Kata epoche berasal dari bahas Yunani, yang berarti: “menunda putusan” atau ”mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”