HERMENEUTIKA HASSAN HANAFI
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur
matakuliah Hermeneutika
Yang dibimbing oleh Bapak H. Syafrudin
Edi Wibowo, Lc. M.Ag
Oleh :
As’ad Daroini
(082 102 040)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JEMBER
DESEMBER
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kitab Al-Qur’an menamakan dirinya sebagai petunjuk
bagi manusia (Hudan li al Nas. QS. 2:185). Seluruh yang termaktub dalam
al Quran itu hakekatnya merupakan ajaran yang harus dipegang oleh umat Islam.
Ia memberikan petunjuk dan pedoman hidup untuk mencapai kebahagian di dunia dan
akhirat dalam bentuk ajaran moral, aqidah, hukum, filsafat, politik dan ibadah.
Agar al Quran berguna, sesuai pernyataan salah satu ayatnya bahwa ia merupakan petunjuk bagi umat manusia yang mengeluarkannya dari kegelapan menuju terang benderang (QS. 14: 1) maka Al Quran memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahaminya. Sehingga, melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat, sehingga dapat mengantarkan manusia menuju terang benderang.
Agar al Quran berguna, sesuai pernyataan salah satu ayatnya bahwa ia merupakan petunjuk bagi umat manusia yang mengeluarkannya dari kegelapan menuju terang benderang (QS. 14: 1) maka Al Quran memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahaminya. Sehingga, melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat, sehingga dapat mengantarkan manusia menuju terang benderang.
Hal di atas seperti firman Allah SWT yang terdapat dalam ayat berikut ini.
كتب انزلنه إليك مبرك ليدبرواأيته وليتذكرأولواالألبـاب
Artinya:
"Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (QS. Shad, 38: 29).
Gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang dimulai sejak abad ke-18 tidak diragukan lagi mempunyai implikasi dalam "cara baca" terhadap al Quran. Tuntutan dan kebutuhan zaman mendesak umat Islam untuk melakukan upaya-upaya reinterpretasi terhadap ajaran keagamaannya yang pada hakekatnya bersumber utama pada al Quran.
Menggunakan metodologi tafsir yang diambil secara turun-temurun berarti hanya melakukan pengulangan-pengulangan dan tidak membuka perspektif baru bagi masyarakat dalam alam yang sedang berubah. Sementara mendesak untuk dilakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama, maka kehadiran sebuah pendekatan baru untuk menafsirkan tersebut sangat diperlukan.
Pada dekade 1960-an, Hassan Hanafi, sarjana lulusan Universitas Kairo, melakukan penelitian untuk karya ilmiahnya di Universitas Sorbone. Tepatnya tahun 1965 dan tahun 1966 ia menulis tesis dan disertasinya. Pembahasannya seputar hermeneutika, baik yang ia pandang sebagai metode rekonstruksi untuk ‘ilm Ushul Fiqh maupun untuk menafsirkan fenomena keagamaan.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah
yang melatarbelakangi pemikiran Hassan Hanafi?
2. Bagaimanakah
deskripsi hermeneutika Hassan Hanafi?
3. Bagaimanakah
tafsir klasik dalam pandangan Hassan Hanafi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
dan latar belakang Hassan Hanafi
Hassan
Hanafi lahir di Kairo pada tanggal 13 Februari 1935, di dekat Benteng
Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya
para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di
Universitas Al-Azhar. Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun
1948, kemudian Madrasah Tsanawiyah ”Khalil Agha”, Kairo, selesai pada tahun
1952. Selama di Tsanawiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti
diskusi-diskusi al-Ikhwān al-Muslimūn, dari kegiatannya inilah
pemikiran Hanafi berkembang, selain itu, ia juga mempelajari pemikiran Sayyid
Qutb tentang keadilan sosial dan keislaman.
Setamat
Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas kairo,
selesai pada tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, kemudian melanjutkan
studi di Universitas Sorbonne Prancis, dengan mengambil konsentrasi pada kajian
pemikiran Barat pra-modern dan modern. Hanafi menyelesaikan program master dan
doktornya pada tahun 1966.
Karir
akademiknya dimulai pada tahun 1967 ketika diangkat sebagai lektor, kemudian
lektor kepala pada tahun 1973, kemudian profesor filsafat pada tahun 1980 di
Jurusan Filsafat Universitas kairo. Selain itu Hanafi juga aktif memberi kuliah
di beberapa negara, seperti Prancis, Belgia, Amerika Serikat, Kuwait, Maroko
dan Jepang. Pada tahun 1984-1985 ia diangkat sebagai guru besar tamu di
Universitas Tokyo, dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di Jepang
pada tahun 1985-1987.
Disamping
dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiyah dan kemasyarakatan.
Dia aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, anggota
Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika dan menjadi
wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.
Selama
di Prancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia belajar metode
berpikir, pembaharuan dan sejarah filsafat dari Jean Gitton, belajar analisis
kesadaran pada Pauk Ricouer, belajar bidang pembaharuan pada Massignon yang
sekaligus bertindak sebagai pembimbing penulisan desertasinya, serta belajar
fenomenologi dari Husserl. Sampai saat ini, fenomenologi Husserl sangat kental
mewarnai pemikiran Hanafi dalam membaca teks-teks keagamaan.
Hanafi merupakan pemikir muslim radikal dan kritis
baik terhadap gerakan Islamis maupun Barat yang mencoba mendominasi Islam. Oleh
karena itu, dia berusaha merekonstruksi pemikiran Islam ke arah yang dapat
membebaskan umat Islam dari segala bentuk penindasan.
Di samping menguasai pemikiran
Islam, Hassan Hanafi juga menguasai pemikiran Barat dengan baik. Menurutnya,
dunia Islam kini sedang menghadapi dua ancaman besar baik secara internal
maupun secara eksternal. Ancaman dari dalam Islam adalah berupa kemiskinan,
keterbelakangan dan ketertindasan. Sedangkan dari luar Islam yakni
imperialisme, zionisme dan kapitalisme.
Kemunculan
Hassan Hanafi pada dekade 1980 mendapat
perhatian luas dengan gerakan yang dipelopori dirinya, al Yasar al
Islami (Kiri Islam). Lahirnya Al Yasar Al Islami atau dikenal juga
dengan At-turats wa at-tajdid (tradisi dan modernisasi) merupakan proyek
pembaharuan Hassan Hanafi yang bertopang pada tiga pilar utama. Pertama,
revitalisasi khasanah klasik Islam. Kedua, perlunya menentang peradaban Barat.
Ketiga, analisis atas realitas dunia Islam. Pada bagian terakhir ini, Hanafi
mengusulkan al tafsir al syu'ur suatu metode tafsir di mana realitas dunia
Islam dapat berbicara sendiri.
Hassan Hanafi memandang bahwa peradaban Islam merupakan upaya perjanjian wahyu secara metodologis dan intelektual bagi dunia dalam suatu periode sejarah dan sosiologi tertentu. Bagi Hanafi, persoalannya bukan terletak pada al Quran, melainkan bagaimana wahyu al Quran itu dapat dihadirkan secara interpretatif dan bagaimana struktur teortitis menyajikannya. hal itu tidak dimaksudkan oleh Hanafi bahwa penyajian wahyu yang telah berlangsung selama ini salah. Melainkan, hal itu dipandang sebagai satu pilihan di antara pilihan-pilihan yang lain sesuai dengan tuntunan zaman.
Dengan
kata lain bisa dijeaskan bahwa Hanafi merumuskan proyek at-Turāts wa
at-Tajdīd berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan. Pertama, rekonstruksi
tradisi Islam dengan melakukan interpretasi kritis dan kritik historis yang
mencerminkan ”apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawqifunā min
al-qadīm). Kedua, rekonstruksi ulang terhadap batas-batas
kultural Barat melalui pendekatan kritis yang tercermin dalam ”sikap kita
terhadap Barat” (mawqifunā minal-gharb). kemudian yang
terakhir adalah, upaya membangun sebuah teori interpretasi Al-Qur’an yang
membebaskan yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global,
yang memposisikan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan. Agenda
ketiga ini mencerminkan ”sikap kita terhadap realitas” (mawqifunā
minal-wāqī)[1].
B. Metode
Hermeneutika Hassan Hanafi
Didalam berbagai artikel, makalah bahkan yang lebih
spesifik adalah didalam pengantar buku Tradisi dan Modernisasi (at-Turats
wa at-Tajdid) Hanafi menyatakan bahwa mega proyek daripada Tradisi dan
Modernisasi adalah upaya rekonstruksi peradaban dengan menunjukan pada sumber-sumbernya
dalam wahyu, atau reinterpretasi wahyu itu sendiri, disamping pendasaran kepada
realitas kontemporer dan tradisi klasik. Tujuan akhirnya adalah transformasi
wahyu kedalam disiplin kemanusiaan yang komprehensif. Untuk kepentingan
diatas, Hanafi merencanakan sebuah hermeneutika yang mencakup berbagai teori
interpretasi, baik atas teks maupun terhadap realitas.
Tafsir tidak lahir dalam kehampaan,
melainkan terwujud di dalam waktu dan tempat tertentu, dalam suatu kesejarahan
tertentu, sehingga menuntut umat Islam masa kini untuk merumuskan hermeneutika
al Quran yang sesuai dengan kemaslahatan umat, keperluan dan persoalan yang
dihadapi umat Islam masa kini.
Metodologi hermeneutika al Quran yang digagas Hassan Hanafi berkaitan erat dengan metodologi fiqih klasik. Baginya, ia merupakan pengambilan kesimpulan hukum dan berhadapan dengan realitas baru. Demikian pula Hermeneutika al Quran baru terkait dengan gerakan reformasi keagamaan, mendukungnya mengadakan reformulasi terhadapnya dan mengembangkannya.
Menurut Hanafi makna dihasilkan dalam konteks sosial dan politis dimana teks dihasilkan dan dibaca serta dipergunakan. Ketika teks dibaca dan diinterpretasikan kembali dari suatu generasi dan tempat kegenerasi dan tempat berikutnya, makna dihasilkan kembali oleh individu (fard) dan kelompok sosial (jamaah). Menurutnya lebih lanjut, ada tiga metode yang harus dikoordinasi oleh para penafsir Dunia ketiga, khususnya Muslim untuk mencapai pemahaman diri yang otentik di dunia modern. Pertama, Warisan intelektual dan kultural Barat (Turats al Gharb). Kedua, analisis atas warisan tradisional Islam. Ketiga, analisis atas pengalaman sosial manusia seperti tertuang dalam setiap dan semua teks warisan Barat dan Islam.
Hanafi menggunakan hermeneutika yang dikembangkan dan dipengaruhi oleh Hermeneutika kontemporer Barat sebagai metodologi untuk memahami al Quran. Meskipun demikian, menurutnya Hermeneutika bukan hanya berarti ilmu interpretasi, melainkan juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat prakteknya di dunia.
Hassan Hanafi berpendapat bahwa proses pemahaman hanya menduduki tempat kedua. Sementara yang pertama adalah kritik sejarah, yang menjamin keaslian kitab suci dalam sejarah. Menurutnya, tidak mungkin akan terjadi pemahaman bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dialami secara historis asli. Di sinilah, hermeneutika muncul sebagai ilmu pemahaman dalam arti yang paling tepat, berkenaan terutama dengan bahasa dan kedaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan kitab-kitab suci. Setelah mengetahui arti yang tepat dari teks kemudian memasuki langkah ketiga, proses menyadari arti ini dalam kehidupan manusia yang merupakan tujuan akhir wahyu Allah.
Pemikiran Hanafi dalam bidang Hermeneutika mereformasi penafsiran tradisional yang hanya bertumpu pada teks dan mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara sendiri. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji dan menjadi bahan penelitian secara akademik.
Metodologi hermeneutika al Quran yang digagas Hassan Hanafi berkaitan erat dengan metodologi fiqih klasik. Baginya, ia merupakan pengambilan kesimpulan hukum dan berhadapan dengan realitas baru. Demikian pula Hermeneutika al Quran baru terkait dengan gerakan reformasi keagamaan, mendukungnya mengadakan reformulasi terhadapnya dan mengembangkannya.
Menurut Hanafi makna dihasilkan dalam konteks sosial dan politis dimana teks dihasilkan dan dibaca serta dipergunakan. Ketika teks dibaca dan diinterpretasikan kembali dari suatu generasi dan tempat kegenerasi dan tempat berikutnya, makna dihasilkan kembali oleh individu (fard) dan kelompok sosial (jamaah). Menurutnya lebih lanjut, ada tiga metode yang harus dikoordinasi oleh para penafsir Dunia ketiga, khususnya Muslim untuk mencapai pemahaman diri yang otentik di dunia modern. Pertama, Warisan intelektual dan kultural Barat (Turats al Gharb). Kedua, analisis atas warisan tradisional Islam. Ketiga, analisis atas pengalaman sosial manusia seperti tertuang dalam setiap dan semua teks warisan Barat dan Islam.
Hanafi menggunakan hermeneutika yang dikembangkan dan dipengaruhi oleh Hermeneutika kontemporer Barat sebagai metodologi untuk memahami al Quran. Meskipun demikian, menurutnya Hermeneutika bukan hanya berarti ilmu interpretasi, melainkan juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat prakteknya di dunia.
Hassan Hanafi berpendapat bahwa proses pemahaman hanya menduduki tempat kedua. Sementara yang pertama adalah kritik sejarah, yang menjamin keaslian kitab suci dalam sejarah. Menurutnya, tidak mungkin akan terjadi pemahaman bila tidak ada kepastian bahwa apa yang dialami secara historis asli. Di sinilah, hermeneutika muncul sebagai ilmu pemahaman dalam arti yang paling tepat, berkenaan terutama dengan bahasa dan kedaan-keadaan kesejarahan yang melahirkan kitab-kitab suci. Setelah mengetahui arti yang tepat dari teks kemudian memasuki langkah ketiga, proses menyadari arti ini dalam kehidupan manusia yang merupakan tujuan akhir wahyu Allah.
Pemikiran Hanafi dalam bidang Hermeneutika mereformasi penafsiran tradisional yang hanya bertumpu pada teks dan mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara sendiri. Hal ini menjadi menarik untuk dikaji dan menjadi bahan penelitian secara akademik.
Hanafi
menggunakan hermeneutika sebagai alternatif metode interpretasi teks atas
kritiknya pada metode tafsir klasik. Hanafi juga memperluas cakupan hermeneutika,
dari sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, menjadi ilmu yang menjelaskan
tentang penerimaan wahyu sejak tingkat perkataan hingga tingkat dunia.
Hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai
praksis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan
manusia[2].
Melihat
berbagai kekurangan dan kelemahan didalam tafsir klasik, Hanafi menawarkan
teori penafsiran yang baru dalam menafsirkan Al-Qur’an yang ia rumuskan melalui
pendekatan sosial, Hanafi menyebut teori penafsiran ini dengan ”hermeneutika
sosial” (al-manhaj al-ijtimā’ī fī at-tafsīr) atau lebih
tepatnya metode tafsir tematik (at-tafsīr al-mauḍū’ī). Dengan
hermeneutika Al-Qur’an seperti ini, menurut hanafi, seorang mufassir yang
ingin mendekati makna Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna dari teks, tapi
sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks. Bukan
sekedar menjelaskan, tapi juga memahami. Bukan hanya mengetahui, tapi sekaligus
menyadari. Seorang mufassir bukan hanya menerima, tapi memberi
makna. Ia menerima makna dan meletakannya dalam struktur rasional dan nyata.
Karena tafsir tematis berusaha menemukan identitas sejati antara wahyu,
kesadaran dan alam[3].
Menafsirkan
dalam pandangan Hanafi berarti mencari sesuatu, fokus dari objek. menafsirkan
adalah menemukan sesuatu yang baru antara bahasa teks. Menafsirkan menurut
Hanafi, serupa dengan menulis teks baru, mengungkap isi terdalam dari teks yang
berhubungan dengan kesadaran yang paling dalam.
Berhubungan
dengan metodologi hermeneutika sosial yang dibangun ini, Hanafi meletakan
premis-premis dan landasan filosofis dalam mencari makna dari teks Al-Qur’an.
Premis-premis itu adalah:
Pertama, wahyu diletakan dalam ”tanda kurung” (epoche)[4].
tidak diafirmasi, tidak pula ditolak. Penafsir tidak perlu lagi
mempertanyakan keabsahan dan keaslian Al-Qur’an yang banyak diperdebatkan oleh
kalangan orientalis, bahkan sebagian cendikiawan muslim kontemporer seperti
Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Arkoun, apakah ia dari Tuhan atau dari
pandangan Muhammad Saw. Penafsiran dimulai dari teks apa adanya tanpa
mempertanyakan keasliannya terlebih dahulu. Menurut Hanafi, dalam tahap
interpretasi pertanyaan tentang asal-usul teks tidak lagi relevan, karena teks
adalah teks, tidak ada permasalahan apakah ia bersifat Ilahiah atau manusiawi,
sakral atau profan, elegius atau sekular. Pertanyaan tentang asal-usul teks
merupakan permasalahan kejadian teks, sedangkan penafsiran berkaitan dengan isi
teks tersebut.
Kedua, Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks
lain, seperti karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya.
Al-Qur’an tidak memiliki kedudukan istimewa secara metodologis, semua teks
ditafsirkan berdasarkan aturan yang sama. Baik itu yang sakral atau profan,
termasuk Al-ur’an.Al-Qur’an menurut Hanafi, hanyalah merupakan transfigurasi
bahasa manusia, sebagaimana halnya juga hadits Nabi.
Ketiga, Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar
atau salah. Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang
ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi. Konflik interpretasi
mencerminkkan pertentangan kepentingan, dalam interpretasi yang bersifat
linguistik bahasa selalu berubah-ubah. Kesamaan antara makna teks
yang sedang dijelaskan dengan makna penafsiran terhadap teks hanyalah preposisi
formal yang sifatnya hipotesis berdasarkan pada hukum keserupaan. Menurut
Hanafi, kesenjangan waktu yang lebih dari 14 abad yang menyebabkan teori
keserupaan teks dan penafsiran jadi mustahil.
Keempat, Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi
pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir, teks
hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia. Penafsirlah yang memberinya
isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka.
Terakhir, Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik
dan bukan konflik teoritis. Teori sebenarnya hanyalah merupakan kedok
epistemologis. Setiap penafsiran mengungkapkan sosio-politik penafsir.
Penafsiran menurut Hanafi, merupakan senjata ideologis yang banyak digunakan
oleh kekuatan sosio-politik, baik dalam rangka mempertahankan keuasaan atau
merubahnya.
Dari
lima premis diatas, Hanafi bertujuan untuk menghindarkan dari penafsiran yang
bertele-tele, maka dari itu Hanafi merumuskan beberapa karakteristik dalam penafsiran
Al-Qur'an.
Pertama, Harus mampu menghasilkan tafsir yang sifatnya
spesifik (at-tafsir al-juz'i) yaitu menafsirkan ayat-ayat
tertentu Al-Qur'an bukannya menafsirkan seluruh ayat-ayat Al-Qur'an.
Kedua, tafsir semacam ini disebut juga tafsir tematik (at-tafsir
al-maudhu'i) karena hanya menafsirkan tema-tema tertentu yang
dibutuhkan.
Ketiga, bersifat temporal, (at-tafsir
az-zamani). Penafsiran tidak diarahkan kepada pencarian makna
universal, melainkan diarahkan untuk menelusuri makna sesuai yang diinginkan
Al-Qur'an untuk generasi tertentu. Tafsir semacam ini tidak berurusan dengan
masa lalu atau masa yang akan datang, melainkan dikaitkan dengan realitas
kontemporer dimana ia muncul.
Keempat, berkarakter realistik (at-tafsir
al-waqi'i). Yaitu memulai penafsiran dari realitas kaum muslimin,
kehidupan dengan segala problematikanyakrisis dank kesengsaraan yang mereka
hadapi.
Kelima, berorientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan
perbincangan teoritik tentang huruf dan kata. Karena menurut Hanafi, wahyu pada
dasarnya memiliki tujuan, orientasi dan kepentingan. Yaitu kepentingan
masyarakat dan hal-hal yang menurut akal bersifat manusiwi, rasional dan
natural.
Keenam, bersifat experimental, karena ia merupakan tafsir yang
sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup mufassir.
Ketujuh, perhatian terhadap problem kontemporer. Bagi
Hanafi, Mufassir tidak dapat memulai penafsirannya tanpa
didahului oleh perhatian dan penelitian yang mendalam atas masalah-masalah
kehidupan.
Terakhir, posisi sosial mufassir ditentukan
secara sosial sekaligus menentukan corak penafsiran yang dilakukannya.
Penafsiran merupakan bagian dari struktur sosial, baik itu bagian dari golongan
atas, menengah atau bawah.
Setelah
meletakan berbagai premis dan karakteristik penafsiran, kemudian Hanafi
merumuskan beberapa aturan metodis untuk mendukung hermeneutika Al-Qur'an yang
ia bangun. Aturan-aturan ini berfungsi sebagai petunjuk teknis ketika
menafsirkan Al-Qur'an.
Pertama: merumuskan komitmen sosial politik. Mufassir bukanlah
seorang yang netral, sebab ia berada dalam drama negeri tertentu dan dalam
krisis dalam masanya. Ia terobsesi pada perubahan sosial. Tidak ada mufassir tanpa
komitmen tertentu, sebab hilangnya komitmen berarti tidak memiliki komitmen
apa-apa.
Kedua, mencari sesuatu. Seorang mufassir tidak
memulai penafsiran dengan tangan kosong atau tanpa mengetahui apa yang ingin ia
ketahui terlebih dahulu. Menurut Hanafi, kesadaran adalah kepentingan itu
sendiri. Sementara hikmah yang dikandung asbab an-nuzul merupakan
gambaran dari prioritas realitas atas teks.
Ketiga, seorang mufassir berusaha mensinopsis
ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema tertentu. Setiap ayat yang
berhubungan satu sama lain dalam tema-tema tertentu dikumpulkan, kemudian dibaca
dan dipahami berulang-ulang secara seksama dan simultan sehingga orientasi umum
dari ayat-ayat tersebut dapat ditemukan.
Keempat, klasifikasi bentuk-bentuk linguistik. Bagi Hanafi,
bahasa merupakan bentuk pemikiran yang membawa mufassir kedalam
makna.
Kelima, membangun struktur. Setelah bentuk-bentuk linguistik
memberi orientasi makna, mufassir berusaha membangun suatu
strukturberangkat dari suatu makna menuju suatu objek. Makna dan objek adalah
sisi koin yang sama. Keduanya adalah kolerasi yang sama dalam keasadaran.
Keenam, analisis situasi faktual. Setelah membangun suatu tema
sebagai struktur ideal, mufassir menggabungkandan
menghubungkannya dengan situasi nyata, untuk mengetahui status kuantitatif
masalah. Menurut Hanafi, diagnosa sosial adalah cara lain untuk memahami makna
sebagai dinamika teks dalam dunia nyata.
Ketujuh, membandingkan yang ideal dengan yang riil.
setelah proses membangun struktur memberikan tema kualitatif dan analisis fakta
sosial memberi status kuantitatif sebagai fenomena sosio-historis, mufassir membandingkan struktur
ideal yang dideduksi dari analisis isi teks dan situasi faktual yang diinduksi
olek statistik dalam ilmu-ilmu sosial.
Terakhir, deskripsi model-model aksi. Apabila ditemukan adanya
kesenjangan antara dunia ideal dengan dunia riil, maka aksi sosial merupakan
langkah berikutnya dari proses interpretasi. Mufassir mentransformasikan
diri dari teks ke aksi, dari teori ke praktek dan dari pemahaman ke perubahan.
C. Kritik Hassan
Hanafi Terhadap Tafsir Klasik
Berangkat
dari ketidakpuasan Hanafi terhadap hasil interpretasi dari Tafsir Klasik, maka
Hanafi melakukan kritik terhadaf teori tafsir klasik yang telah dibangun oleh
ulama Tafsir. Menurut Hanafi, tafsir klasik tidak memiliki teori solid yang
memiliki prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi, sebab tafsir klasik tidak
melampaui fase syarah (komentar), tafsīl (detailisasi), tikrār (pengulangan)
dan penjelasan tentang apa yang sedikit banyak tidak dibutuhkannya.
Disisi lain ia mengabaikan kehidupan, problem, beban dan kebutuhan manusia.
Sebagai akibatnya, teks keagamaan berkutat pada dirinya sendiri, karena
berlandaskan pada makna-maknanya dari jangkauan dalam makna awal ayat.[28] Hanafi menjelaskan, ada dua kelemahan yang
menjadi sasaran kritik Hanafi adalah krisis orientasi dan krisis epistemologis.
1. Krisis Orientasi
Upaya memahami wahyu adalah upaya yang melibatkan
pembacaan sekaligus pemahaman terhadapnya. Sementara pemahaman terhadap
Al-Qur’an, menurut Hanafi, adalah perbincangan dalam tafsir klasik yang
dianggap krisis dan sangat berpengaruh besar, dua krisis kelemahan
mengenai
teori penafsiran (naẓariyyah at-tafsīr) yang mampu
mengungkapkan kepentingan masyarakat, kebutuhan muslim dan isi-isu kontemporer.
Hanafi
menginginkan teoretisasi penafsiran yang meletakan kembali Al-Qur’an sebagai
sumber dan objek pengetahuan secara simultan dihadapan rasionalitas sebelum
melakukan kegiatan keilmuan lainnya, atau sebelum membangun ilmu-ilmu keislaman
apa pun, baik usul fiqih, tasawwuf, fiqih, filsafat dan lain sebagainya
Dalam
pandangan Hanafi, tafsir Al-Qur’an klasik tidak pernah melakukan perbincangan
teoritis semacam ini secara tuntas. Akibatnya, tafsir klasik tidak otonom,
namun terjebak pada orientasi metodologis dari disiplin keilmuan klasik Islam.
Al-Qur’an lebih banyak digunakan sebagai sumber justifikasi dalam menguatkan
posisi keilmuan lain daripada memahaminya secara sungguh-sungguh. Al-Qur’an
lebih banyak digunakan untuk memapankan disiplin lain, setelah itu baru
digunakan kembali untuk menafsirkan Al-Qur’an. Sedangkan bagi Hanafi, Al-Qur’an
bukan sama sekali buku panduan bahasa, hukum, sejarah, kitab teologi, mistik,
buku pengetahuan, atau panduan sosial-politik atau buku tentang metafor.
Menurut
Hanafi, Tafsir klasik terjebak dalam corak penafsiran disipliner diatas,
kemudian bentuk dan sistematikanya lebih banyak merupakan tafsir analitik (at-tafsīr
at-taḥlīlī) dalam konsep hanapi, tafsir ini disebut dengan at-tafsīr
at-tūlā, suatu kegiatan penafsiran yang bertele-tele. Tafsir yang
menguraikan teks-teks Al-Qur’an dari mulai surah al-fātiḥah sampai
surah an-nās di akhir al-Qur’an. Metode penafsiran semacam
ini, menurut Hanafi, hanya akan melahirkan penafsiran yang parsial, bercampur
baur antara satu tema dengan yang lainnya. Bahkan hanya akan mengulan-ngulang
tema yang diperbincangkan. Tafsir seperti ini tidak memiliki struktur tema yang
rasional dan riil yang bisa menyajikan argumennya dari dalam dan bukan dari
luar. Dengan kata lain Hanafi menyatakan, metode tafsir ini kehilangan ideologi
yang koheren, pandangan dunia yang bersifat global dan tercerabut dari
kebutuhan jiwa dan kepentingan masyarakat kontemporer.
Kritik
Hanafi lebih dalam ketika melihat hasil tafsir Al-Quran dari para ulama tafsir
saat ini, Hanapi melihat adanya dualisme antara teks keagamaan (ilmu-ilmu
Al-Qur’an dan Hadits) dan dunia nyata (realitas kekinian). Untuk menjembatani
dualisme antara teks dan realitas model ini maka diperlukanlah sebuah methode
penafsiran baru. Metode itu adalah hermeneutika.
Orientasi
tafsir klasik, menurut Hanafi, mempunyai tiga kelemahan. Pertama, teori
tafsir klasik lebih bersifat teosentris daripada
antroposentris. Artinya, teori ini diarahkan untuk menegaskan wujud
Allah dengan membahas esensi, sifat dan perbuatannya, sekaligus mempertegas
bahwa alam adalah ciptaan dan manusia akan diminta pertanggungjawaban. Tafsir
ini juga merupakan tafsir dogmatis teologis, padahal tafsir yang diinginkan
oleh Hanafi adalah, setelah menegaskan wujud Allah, keterciptaan alam dan
kebertanggungjawaban manusia dan keyakinan lainya, mufassir harus
menegakan teori tentang wujudmanusia individu dan sosial dengan menjelaskan
berbagai situasi yang berkaitan dengan orang lain dan alam. Kedua, selalu
terikat dengan kondisi lokal Islam tempat dulu Islam lahir, khususnya dari segi
sosial dan ekonomi. Tafsir klasik juga tidak menggunakan nilai spiritual
sebagai sarana untuk memenangkan manusia. Ketiga, tidak pernah
memulai dengan mengkritik, menyerukan perbaikan dan perubahan radikal atas
kondisi yang bertentangan dengan agama. Sebaliknya selalu mengekor dan
mengukuhkan setiap perbaikan dan perubahan yang dimulai dari luar teks
keagamaan.
2. Krisis Epistemologi
Menurut Hanafi, khazanah pemikiran klasik tidak pernah
memiliki suatu teori penafsiran yang otoritatif dengan prinsip-prinsip ilmiah
yang mengarah pada kepentingan tertentu. Sebaliknya, mayoritas tafsir-tafsir
klasik menurut Hanafi, hanya menjelaskan masalah-masalah yang sama sekali
bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Adapun ciri-cirinya adalah
mengulang-ngulang pendapat klasik dalam mempormulasikan berbagai argumen.
Penafsiran
diatas, dianggap Hanafi terlalu membatasi pada aspek tekstualitas Al-Qur’an,
yakni linguistik (lughawy) dan sejarah turunnya ayat-ayat
al-Qur’an (asbāb an-nuzūl). Padahal menurut hanafi, keduanya
reduktif terhadap makna.
Metode
Linguistik hanya membatasi penentuan makna teks Al-Qur’an berdasarkan pada
prinsip linguistik yang spesifik, seperti hakekat dan majaz, muhkam dan mutasyabih,
mujmal dan mubayyan, zahir dan muawwal, muqayyad dan mutlak, ’am dan khas yang
dilakukan untuk menjamin kebenaran makna. Padahal menurut Hanafi, metode
linguistik ini menghipotesakan bahwa makna teks itu haruslah tidak jelas,
sehingga dibutuhkan keseriusan ekstra untuk memahami maknanya. Lagi pula,
metode ini melupakan pengalaman hidup yang dijelaskan oleh teks, yang
semestinya dirasakan oleh mufassir sebagai bagian dari umat
secara keseluruhan.
Adapun
penafsiran klasik yang dilakukan melalui pendekatan sebab-sebab turunnya ayat
Al-Qur’an, menurut Hanafi, hanya membatasi sekedar pada kasus-kasus spesipik
yang menjadi sebab-sebab turunnya ayat. Meskipun pendekatan seperti ini dapat
mengungkap peristiwa pertama dari teks, namun Hanafi memandang peristiwa
pertama ini merupakanpengalaman hidup orang-orangdimana ayat itu diturunkan,
sekaligus merupakan pengalaman hidup yang terulang-ulang dalam kehidupan orang
lain. Sebagai akibatnya, pemahaman ayat dilakukan dengan cara menunjukannya
pada pengalamannya, yang hidup dalam kesadaran mufassir dalam
kehidupan pribadi maupun sosial. Asbāb an-nuzūl klasik berubah
menjadi situasi kemanusiaan yang hadir, dimana pemahaman ayat dilakukan secara
langsung dengan melihat kejadian yang ditunjuk oleh ayat itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
Implikasi dari hermeneutika pendirian Hassan Hanafi adalah tidak adanya nilai absolut dalam
wilayah penafsiran. Setiap interpretasi mengalami relativitas sesuai dengan
konteks penafsirannya. Dengan kata lain, yang absolut adalah relativitas itu
sendiri. Kalaupun ada hal –hal yang dianggap absolut dan universal, sama sekali
bukan berasal dari hasil dan proses penafsiran, akan tetapi menyangkut
nilai-nilai tertentu yang menjadi prinsip penafsiran. Hassan Hanafi juga
bermaksud menghindari segala macam klaim objektifitas. Menurutnya, semua
penafsiran mengandung sisi ideologisnya sendiri-sendiri. Penafsiran dalam
kapasitasnya sebagai instrumen kepentingan selalu merefleksikan pertarungan
struktur sosial dalam masyarakat. Alih-alih membela objektivitas, Hassan Hanafi
justru bermaksud mengeksplisitkan subjektivitas dan kepentingan yang menjadi
tujuan hermeneutika dan penafsirannaya. Eksplisitas semacam ini menjadi penting
karena berfungsi sebagai pendasaran dan tujuan hermeneutika al Quran Hassan
Hanafi.
Dalam hermeneutika al-Quran, eksplisitas
tersebut mengarahkan pembicaraan bukan pada benar salahnya sebuah penafsiran
dalam pengertian yang hakiki, tetapi pada bagaimana sebuah argumen dibangun,
disanggah atau didukung, berkaitan dengan bagaimana hubungan kebenaran dengan
realitas. Hal ini berarti bahwa penafsiran sangat terkait dengan fungsionalitas
teks dan bukannya pembicaraan teks yang melulu objektivistik.
DAFTAR
PUSTAKA
Armas,
Adnin MA, Tafsir Al-Qur'an atau "Hermeneutika
Al-Qur'an" dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban
Islam ISLAMIA, Thn. I No. 1/Muharram 1425.
Hadiwijoyo, Harun, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, (Jogjakarta: Kanisius, cetakan ke 24, 1980)
Huijbers,
Teo, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, (
Jogjakarta: Pustaka Filsafat Kanisius, cetakan ke delapan belas,
1982) Hal. 228.
Sachari, Agus, Budaya
Visual Indonesia dan Permasalahannya, (Jakarta: Erlangga, 2007)
Saenong,
Ilham B, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut
Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002)
Shalahuddin,
Henri, Al-Qur'an Dihujat (Jakarta: Al-Qalam, 2007)
Sholeh,
Ahmad Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan Hanafi:
Hermeneutika Humanistik (Yogyakarta: Jendela. 2003)
[1] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir
Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002) hal. 71-75
[2] Ahmad Khudori Sholeh dalam, Pemikiran Islam Kontemporer, Hasan
Hanafi: Hermeneutika Humanistik (Yogyakarta: Jendela. 2003) Hal.
160-161
[3] Hasan Hanafi dalam Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan,
Metodologi Tafsir Al-Qur’an menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju,
2002) hal. 146
[4] Kata epoche berasal dari bahas Yunani, yang berarti:
“menunda putusan” atau ”mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar