Jumat, 30 Maret 2012

Tugas Dr. Kasman M.Fil.I


Halaman 151.
PEMBAHASAN II
            Menyebut sebagian jalan  (Thuruq)  atau sebagian dari sebuah hadits, dan member isyarat pada hadits yang lain kerena tujuan  meringkas (ikhtishar),
            sebagian ahli hadits (muhaddits) terkadang menyebut satu sanad dan matan sebuah hadits, realitanya hadits tersebut memiliki jalur-jalur (Thuruq)  yang banyak, dengan tujuan meringkas(ikhtishar) maka tidak menyebutnya, cukup dengan memberi isyarat saja. kadang berkata: hadits ini juga diriwayatkan si fulan dari fulan, atau kadang- kadang  mengomentari, hadits ini juga diriwayatkan si fulan dari sifulan dari jalur yang lain, atau kadang- kadang  berkata: sama denganya atau upamanaya, ada juga ynag mengistilahkan dengan isnad ini, sama dengan haditsnya si fulan, dia menambah dalam hadist ini dan itu, hadist ini dengan atinya hadits yang diriwayatkan dia, fulan berkata begini begitu di tempat A atau B, atau kadang- kadang  berkata: si fulan men tabi’ (mengikutkan) hadits ini atau istilah lain yang ada korelasinya, (munasabah).

Contoh I : Imam Al-Bukhori berkata: ada sebuah Hadits yang bercerita kepada kami; Qabishah bin Uqbah, dia berkata: bercerita kepada kami; Sufyan dari Al-A’masy , dari Abdullah bin Murroh dari Masruq dari Abdullah bin Umar, bahwa sesungguhnya Nabi bersabda:
di ahir hadist imam Al-Bukhori berkata: mengikutkan (memutabi’kan) hadits ini Syu’bah dari Al-A’masy, dalam hadits yang lain Al-Bukhori berkata juga: mengikutkan (memutabi’kan) hadits ini Ustman al-Muazdin, dia berkata: bercerita kepada kami; Auf dari Muhammad dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad Saw. “Sama dengan hadits diatas”


Contoh II : Imam Muslim berkata dalam hadits yang menjelaskn tentang islam, iman dan ihsan, “mereka para ruwat menggiring hadits ini seperti hadits dari jalur Kahmas dan Isnadnya, dan didalamnya ada sebagian penambahan dan pengurangan beberapa huruf”, dan Imam Muslim berkata lagi dalam hadits yang lain yang menjelaskan tentang rukun Islam, “dia perawi hadits menggiring hadits ini seperti hadits yang sama” dan Imam Muslim berkata lagi dalam hadits yang lain yang menjelaskan tentang iman kepada Allah, “ Kholaf menambahkan dalam periwayatanya (bersaksi tiada tuhan selain Allah) pada kata, Nabi mengikat pada satu ikatan.
Halaman 152.
Contoh III : Imam Abu Daud berkata dalam hadits yang menjelaskn tentang mensucikan diri dari air kencing “Hannad mengganti kata “Yastansihu” yang berarti mensucikan dengan kata “Yastatiru” yang berarti menutupi. Imam Abu Daud berkata dalam hadits lain yang menjelaskn tentang istinja’ dengan batu, “ Seperti hadits ini Abu Samah dan Numairin meriwayatkan juga dari Hisam.
Contoh IV : Imam At-Tirmidzi  berkata dalam hadits yang menjelaskn tentang siwak atau mengosok gigi “ Sunguh dia telah menceritakan hadits ini dari jalur lain dari Abu Hurairah dari Nabi, dan Hadits Abu Hurairah dianggap sahih karena diriwayatkan dari beberapa jalur”,
Halaman 153.
             Imam At-Tirmidzi  berkata lagi dalam hadits yang menjelaskn tentang boleh satu wudlu’ dalam beberapa sholat, “Hadits ini juga diceritakan oleh Ali bin Qadim dari Sufyan al-Tsauri dan menambah kata “Tawadloa marrotan marrotan, dan Sufyan al-Tsauri meriwayatkan hadits ini juga dari Muharib bin Ditsar dari Sulaiman bin Buridah bahwa sesungguhnya Nabi berwudlu’ setiap mau Sholat, dan Waki’ meriwayatkan dari Sufyan al-Tsauri dari Muharib dari Sulaiman bin Buridah dari bapaknya. Imam At-Tirmidzi  berkata Hadits ini juga diceritakan oleh Abdurrohman bin Mahdi dan lainya dari Sufyan al-Tsauri dari Muharib dari Sulaiman bin Buridah dari Nabi secara Mursal, dan ini lebih sahih dari pada jalurnya Waki’”
Contoh IV : Imam At-Tirmidzi  berkata dalam hadits yang menjelaskn tentang “Su’ru al-kalbi, sisa minuman anjing “ Hilan bin Usamah mengabarkan bahwa dia mendengar Abi Salmah mengabarkan dari abu Hurairah dari Nabi Saw. hdits yang sama  ”.
Imam At-Tirmidzi  berkata lagi dalam hadits lain yang menjelaskn tentang orang berwudu’ menyentuh penis “ Maka Busroh menyuruhnya dengan hadits yang meriwayatkan kepadaku Marwan ”.
            Kejadian ini, Cuma Imam At-Tirmidzi saja yang menberi isyarat pada hadits-hadits bab dari para Sahabat terahkhir arena memperkokoh hadits yang telah disebutkan yang lainnya tidak disebutkan karena tujuan menyingkat, sedangkan imam-imam yang lain tidak demikian.
Imam At-Tirmidzi  berkata lagi dalam pembukaan kitab al-Jami’nya, dalam hadits lain yang menjelaskn tentang bersuci dalam bab “Sholat tidk diterima tanpa bersuci“ dan dalam bab tersebut juga diriwayatkan dari Abi al-Malih dari bapaknya,  Abu Hurairah dana Anas. dan Imam At-Tirmidzi  berkata lagi dalam hadits yang kedua dari kitab al-Jami’nya, tentang bersuci dalam bab :Fadilah bersuci” : “dan dalam bab tersebut juga diriwayatkan dari Utsman bin Affan, Tsauban, al-Shunaji, Amar bin ‘Abasah, Salaman dan Abdullah bin Umar.
Halaman 154.
FASAL KE VI MANHAJ MUHADDITSIN DALAM JARAH WA AL-TA’DIL DAN TA’RIF AL-RUWAT.
PEMBAHASAN I
JARAH WA AL-TA’DIL DALAM KITAB-KITAB HADIST YANG V
            Termasuk manhaj Abu daud dan al-Nasa’I adalah apa bila dibutuhkan menyebut sedikit tentang jarah wa al-ta’dil, dan dari para imam itu yang paling banyak membahas jarah wa al-ta’dil adalah imam Imam At-Tirmidzi  kemudian al-Nasa’I dan Abu daud, sedangkan imam al-Bukhorin dan Muslim jarang sekali berbicara tentang jarah wa al-ta’dil kecuali kalau mimmang ada itu hanya di mukaddimahnya kitab sahih Muslim saja.
            Berikut ini adalh contoh kata-kata sebagian dari jarah wa al-ta’dil yang terdapat dalam kutub al-sittah, Imam Muslim berkata: kami melanjutkan hadits-hadits itu dengan berita-berita dari orang-orang yang dalam isnadnya (susunan rawi-rawi hadit) sebagian rawi-rawi yang tidak memiliki kapasitas hafalan yang kuat, seperti generasi sebelumnya, meskipun demikian tetapi berdasarkan tuntunan menutupi aib itu baik, kejujuran dan Adab keilmuan maka kami tetap ( mensyumulkan ) menetapkan nama  mereka dalam perawi-perawi hadit, seperti Ato’ bin al-Saib, Yazid bin Abi Ziyad, Laits bin Abi Sulaim dan lain-lain.
            Kalau anda bandingkan ketiga nama tersebut diats yaitu Ato’ bin al-Saib, Yazid bin Abi Ziyad, dan Laits bin Abi Sulaim, kalu dibandingkan dengan Mansur bin Muktamar, Sulaiman al-A’masy, dan Ismail bin Abi Khalid masalah memperdalam dan istiqamah dalam hadits, akan kelihatan perbedaan yang mencolok diantara mereka, tidak ragu lagi bagi seorang ahli hadit tentang pebedaan tersebut, karena mereka akan melihat secara nyata kelebihan dan keistimewaan hafalan hadits dan mendalam sekali keilmuanya yang berada disisi tiga orang perawi hadits yaitu Mansur bin Muktamar, Sulaiman al-A’masy, dan Ismail bin Abi Khalid.
Halaman 155.
            Imam Muslim menambahkan, kalau dari orang-orang yang sudah tertuduh menurut ahli hadits atau sebagian banyak dari mereka maka kamisudah tidak menyibukkan diri dengan mejarah hadits-hadits mereka, seperti Abdullah bin Miswar, Abi Ja’far al-Mada’ni, Amar bin Khlid, Abdul-Quddus al-Syami, Muhammadbin Said al-Mashlub,Ghiyas bin Ibahim, Sulaiman bin  Amar Abu daud al-Nakho’I dan lain-lain dari orang-orang yang tertuduh memalsukan dan mengada-ngada hadist-hadits. imam-imam ahli hadits, Lanjut imam Muslim adalah seperti Malik bin Anas, Syu’bah bin al-Hajaj, Sufyan bin ‘Uyainah, Yahya bin Said al-Qattan, Abdurrohman bin al-Mahdiy dan lain-lain.
            Imam Muslim berkata: Muhammad berkata: saya mendengar Ali bin Syaqiq berkata: saya mendengar Abdullah bin all-Mubarak berpidatu didepan orang banyak: kamu tinggalkan haditsnya Amar bin Tsabit, karena dia mengutuk ulama salaf, Ibnu Quhzad bercerita kepadaku, kata Imam Muslim, dia berkata saya mendengar Wahban berkatadari Sufyan, dari Abdullah bin all-Mubarak dia berkata:Mereka adalah orang-orang yang sangat jujur tetapi mereka mengambil dari orang yang tidak jelas ( menghadap dan membelakangi ) Qutaibah binSa’id bercerita kepada kami, Jarir bercerita kepada kami dari Mughirah dari al-Syi;biy dia bekata: bercerita kepadaku al-Harits al-A’war al0Hamdani, sedangkan dia pembohong besar.
Halaman 156
            Imam Abu Daud berkata: Al-Harits binWajih haditsnya Munkar dia itu termasuk  perawi yang lemah, sedangkan Amr bin Tsabit seorang Rafidli laki-laki yang tidak baik tetapi dia sangat jujur dalam masalah Hadits, kalau Tsabit bin al-Miqdan adalah termasuk orang-orang yang tsiqat, kalau Yahya bin Mu’in dianggap perawi yang tsiqat akan tetapi Ahmad bin Hambal sama sekali tidak meriwayatkan dari dia, Karen dia termasuk seorang perawi yang ideologinya dipertanyakan, saya pernah mendengar Ahmad bin Hambal menda’ifkan Abdurrahman bin Ishaq al-Kufi, saya juga mendengar dia (Ahmad bin Hambal) diatnayai perbedaan dalam hadits yang menjelaskan tentang kaffarat (tebusan) bagi orang yang meninggalkan Sholat Jum’at, dia (Ahmad bin Hambal) menjawab: Hammam menurutku lebih kuat hafalannya dari pada Ayyub Aba al-‘Ala’.
Halaman 157.
            Imam Al-Tirmidzi berkata: Abdullah bin Muhammad bin ‘Uqail itu seorang yang sangat jujur, dan itu diakui sebagian ahlul-ilmi masalah hafalanya, saya mendengar Muhammad bin ismail berkata: Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Ibrahim, dan al-Humaidiy berhujah dengan hadits  Abdullah bin Muhammad bin ‘Uqail,  menurut Muhammad dia adalah Muqarib al-Hadits (seorang yang haditsnya mendekati kebenaran), menurut Al-Tirmidzi Ibnu Lahi’ah termasuk perawi hadits yang lemah menurut ahlu al-Hadits, dia dilemahkan juga oleh Yahya bin Sa’id al-Qattan dan lain-lain, dari sisi hafalanya, kalau Zuhair tidak seperti itu dalam masalah Abi Ishaq, karena dia agak ahir mendengar darinya. Kalid bin Abdullah termasuk orang-orang yang tsiqat, kuat hafalanya menurut ahlu al-Hadits, klau Syarik  orang yang banyak salahnya.
Halaman 158.
                 Imam al-Nas’I berkata: Buraidah bukanlah seorang yang kuat dalam ilmu Hadits, kalau Muhammad bin Sa’ad   al-Ansori termasuk orang-orang yang tsiqat, menurut pendapat al-Makhzumi. Abdullah bin Ja’far tidak ada masalah serius dalam periwayatanya, kalau Abdullah bin Ja’far bin Najih  orang tua Ali bin Al-Madaniy termasuk orang-orang yang ditinggal haditsnya, sama dengan Ayyub bin Suwaid, dan saya tidak tahu seorang yang meriwayarkan hadits dari dia selain Abu Daud al-Hafariy, dia termasuk orang-orang yang tsiqat, dan saya tidak menganggap hadits ini, yaitu hadits yang menjelaskan Qiyam al-lail wa tathawwu’ al-Nahar, (bangun malam dan puasa disiang hari) melainkan satu kesalahan, Wallahu A’lam
PEMBAHASAN II
TA’RIF (PENGENALAN) AL-RUWAT (PERAWI-PERAWI HADITS)
DALAM KITAB-KITAB HADIST YANG V
            Termasuk manhaj Abu daud A-Turmudzi dan al-Nasa’I adalah menyebut Ta’rif ba’dla al-Ruwat (Pengenalan sebagian Perawi-perawi), seperti menjelaskan bahwa sifulan adalah seorang sahabat atau tabi’in, bahkan sampai bangsanya disebut juga. seperti al-Kufiy atau al-Basriy, sejarah kelahiran atau wafatnya, atau bergaul dengan seorang rawi yang khusus, dan disebut juga segala hal yang ada kaitanya dengan penjelasan bersambung dan terputusnya antara dua rawi atau lebih, atau membedakan seorang rawi dari rawi yang lain. dam imam-imam yang paling banyak membahas masalah Ta’rif  al-Ruwat (Pengenalan Perawi-perawi), adalah imam A-Turmudzi, al-Nasa’I dan Abu daud.
Halaman 159.
             Kalu imam Al-Bukhori dan Muslim jarang sekali membahas masalah Ta’rif  al-Ruwat (Pengenalan Perawi-perawi), contoh yang ada dalam kutub al-tis’ah adalah komentar Abu daud dalam Abu Sa’id al-Khair, “ dia termasuk sehabat Nabi ”, Ibrahim al-Taimi meninggal sebelum umur empat puluh tahun,dia diberi kunya dengan Abu Asma’, Abdurrahman bin Jubair adalah orang Mesir Maula Kharijah bin Huzdafah dan bukan bin Jubair bun Nufair, Ibnu Ma’qal tidak pernah ketemu Nabi saw. dan Syaddan maula ‘Iyad juga tidak pernah ketemu bilal.
Halaman 160.
            Menurut Imam Al-Tirmizdi, al-Shanabihi yang meriwayatkan dai Abu Bakar tidak pernah ketemu dan mendengar dari  Nabi saw. kalu al-Shunabih bin al-A’sar al-ahmasiy adalah seorang sahabat Nabi saw. dan dia disebut juga dengan  al-Shanabihi. kalau ‘Uabaidah bin Amr al-Sulamaniy meriwayatkan hadits dari dia adalah Ibrahin al-Nakho’I, dia termasuk pembesar tabi’in, ada satu riwayat tentang ‘Uabaidah, dia berkata: saya masuk islam dua sebelum Nabi saw.wafat kalau ‘Uabaidah al-Dlabbiy adalah sahabat Ibrahim, dia adalah ‘Uabaidah bin Mu’tab al-Dlabbiy dan diberi kunyah dengan Abu Ibrahim. Imam Al-Tirmizdi meriwayatkan dari Amr bin Murrah: saya bertanaya pada Abu ‘Uabaidah bin Abdullah, apakah anda penah mengingat sesuatu dari Abdullah? dia menjawab, tidak, Abu ‘Uabaidah bin Abdullah bin Masud sama tidak mendengar hadits dari bapaknya, dan tidak terkenal namanya.menurut Al-Tirmizdi, Abu Tsifal al-Muriy nama Aslinya adalah Tsumamah bin Hushin, Robah bin Abdurrahman adalah Abu Bakar bin Huwaithib, sebagian perawi hadits meriwayatkan hadits dari dia lalu menyebutnya dengan kata “dari Abu Bakar bin Huwaithib” karena menisbahkan pada kakeknya, menurut Al-Tirmizdi, ibnu ‘Uyainah, berkata: Abdul-Karim tidak mendengar hadits menyela-neyela jenggot waktu wudlu’ dari Bilal.
            Imam Al-Nasa’I berkata: Abu ‘Ubaidah tidak mendengar dari bapaknya tentang hadits car abaca khutbah jumat, demikian juga Abdurrahman bin Abdullah bin Masud,, dan Abdul-Jabbar bin wa’il bin Hajar, Abdurrahman bin Abi Laila sama sekali tidak mendengar hadits darn Umar bin al-Khatab, Tholhah bin Yazid saya tidak pernah mendengar dia pernah menyimak hadits sedikitpun dari Huzdaifah, Imam Al-Nasa’I mengungkapkan, tentang hadits berpuasa sepuluh hari dalam satu bulan, bahwa hadits ini mengabarkan kepada kami Ali bin Al-Husien dia berkata: bercerita kepada kami Umayyah dari Syu’bah dari Habib, dia berkata: bercerita kepadaku Abu Al-‘Abbas, dia adalah seorang penduduk negri Syam, penya’ir dan sangat jujur, tentang hadits orang yang beribadah umroh terus member tebusan, Al-Nasa’I berkata, seakan-akan Ali bin al-Madaniy mengada-ngada terhadap hadits ini.

Cara Mudah


CARA MUDAH BANGKITKAN KHODAM DALAM DIRI KITA
Ini adalah cara yang praktis untuk membangkitkan khodam dalam diri kita, kalo sudah berhasil bisa berguna untuk kehidupan kita sesama umat manusia.
Caranya : Silahkan Puasa 1 hari dihari kamis tapi pada waktu bukanya jangan makan yg bernyawa seperti Ikan, Daging dan telor Dll.
Niat puasanya : Nawaitu shoma ghodin liqodoi hajati sunatan lillahi ta’ala
setelah puasa pada malam jumatnya jam 12 malemnya mandi besar, trus pake wangi-wangian yg non alkohol. Menyepi disebuah ruanagn yang sunyi dan tidak ada orang lain serta suara gaduh disana.
Dalam amar tersebut kerjakan sholat hajat 2 rakaat, selesai solat duduk bersila, Hadiahkan Surat Alfatihah ke nabi muhammad SAW, 4 malaikat, 4 sahabat nabi, & syeh abdul qodir al jaelani.
Selanjutnya Baca :
ASSALAMMUALAIKUM YA KHODAMUL MINAL BADANI 21X
( hadir – hadir – hadir ) sambil memukul lantai.
Baca : Yaa bathin 1000x (dibaca pelan dan dalam hati aja)
Kalo memang berhasil ditubuh kita ada khodamnya nanti dia akan datang, kalo sudah datang kita ucapin salam. Terus komunikasi, jangan lupa tanyain cara pemanggilan cepat.
kalo misalkan tidak muncul juga baca :
SYAMHAHIRIN SYAMKHOHIRIN 1000X
kalo sudah datang jangan lupa salam sama tanya cara pemanggilan cepat.
Ini harus dilakukan ditempat yg gelap jadi kamar kita tidk boleh ada cahaya yg masuk.
oya sebelum sholat kita pager diri dulu bacain ayat kursi sambil tahan nafas “ditembakin” ke kiri, kanan, depan, belakang, jadi lo 4x baca ayat kursinya, masing-masing arah 1x. Semoga berguna

Imam al-Nasa'i


Imam al-Nasa’i (215-303 H)
Nama lengkap Imam al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H. Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadis kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Pengembaraan intelektual
Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadis dan ilmu Hadis.
Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembar ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadis, terutama enam imam hadis, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.
Kemampuan intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.
Guru dan murid
Seperti para pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam al-Tirmidzi, Imam al-Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid. Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakrbin Ahmad al-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.
Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan pula Imam al-Nasa’i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.
Kitab al-Mujtaba
Sekarang, karangan Imam al-Nasa’i paling monumental adalah Sunan al-Nasa’i. Sebenarnya, bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau sehingga menjadi Sunan al-Nasa’isebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui proses panjang, dari al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra, al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada al-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.
Imam al-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukharidan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.
Di samping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.
Kritik Ibn al-Jauzy
Kita perlu menilai jawaban Imam al-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadis-hadis yang tertuang dalam kitabnya tidak semuanya shahih, tapi adapula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Beliau tidak mengatakan bahwa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah) atau maudhu(palsu). Ini artinya beliau tidak pernah memasukkan sebuah hadispun yang dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu’, minimal menurut pandangan beliau.
Apabila setelah hadis-hadis yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya menuliskan hadis yang berkualitas shahih semata. Dari sini bisa diambil kesimpulan, apabila hadis hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis yang berkualitas dhaif dan maudhu’ tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadis-hadis shahih.
Namun demikian, Ibn al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak semuanya berkualitas shahih, namun ada yang maudhu’(palsu). Ibn al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu’ di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas al-Sunan al-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis itu semua shahih menurut Imam al-Nasa’i. Adapun orang belakangan menilai hadis tersebut ada yang maudhu’, itu merupakan pandangan subyektivitas penilai. Dan masing-masing orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas sebuah hadis. Demikian pula kaidah yang ditawarkan Imam al-Nasa’i dalam menilai keshahihan sebuah hadis, nampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh Ibn al-Jauzy. Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn al-Jauzy terhadap keautentikan karya monumental Imam al-Nasa’i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadis abad ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalamSunan al-Nasa’i, memang terdapat hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam al-Suyuti tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadis maudhu’ yang termuat dalamSunan al-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibn al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwah hadis yang ada di dalam kitab Sunan al-Nasa’i semuanya berkualitas shahih, ini merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah_tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli. Kecuali maksud pernyataan itu bahwa mayoritas (sebagian besar) isi kitab Sunan al-Nasa’i berkualitas shahih.
Komentar Ulama
Imam al-Nasa’i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. Abu Ali al-Naisapuri pernah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al Rahman al-Nasa’i.”
Lebih jauh lagi Imam al-Naisapuri mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasa’i dalam menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj.” Ini merupakan komentar subyektif Imam al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasa’i yang berbeda dengan komentar ulama pada umumnya. Ulama pada umumnya lebih mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj ketimbang al-Nasa’i. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam Muslim sebagai pakar hadis nomer dua, sesudah al-Bukhari.
Namun demikian, bukan berarti mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam al-Nasa’i. Imam al-Nasa’i tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga mumpuni dalam bidang figh. Al-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang figh pada masanya dan paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata, “Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai fiqh yang diambil dari hadis terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitabSunan al-Nasa’i, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.”
Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fiqh beliau, kecuali komentar singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan difahami, karena memang Imam al-Nasa’i lama bermukim di Mesir, bahkan merasa cocok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun menjelang kewafatannya.
Karena Imam al-Nasa’i cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam al-Syafi’i juga lama menyebarkan pandangan-pandangan fiqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Bagdad), maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasa’i baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan Imam al-Syafi’i, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafi’i yang beliau serap melalui murid-murid Imam al-Syafi’i yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam al-Syafi’i lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam al-Nasa’i untuk bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafi’i. Dan ini akan menguatkan dugaan Ibn al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh al-Nasa’i.
Pandangan Syafi’i di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid(pandangan baru). Dan ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan fiqh Syafi’i dan al-Nasa’i lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir) ketimbang pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Imam al-Nasa’i merupakan sosok yang berpandangan netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fiqh manapun, termasuk pandangan Imam al-Syafi’i. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum al-Nasa’i, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadis. Dan independensi pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadis. Oleh karena itu, untuk mengklaim pandangan Imam al-Nasa’i telah terkontaminasi oleh pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah yang konkrit, bukannya hanya berdasarkan dugaan.
Tutup Usia
Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amiiin.