Senin, 24 September 2012


Christian Snouck Hurgronje (1857-1936M)

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ”Oreintalisme”



Oleh:

Muhyi Abdurrohim (082092011)

 

yang dibina oleh :

Dr. Aminullah El-Hadi, M.Ag


JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

2012




BAB I PENDAHULUAN

            Dalam sebuah buku yang di karang oleh DR. Qasim as-Samaraiiy, yang berjudul; al-Isytisrak Bainal Maudhuiyyah Wal Iftia’aliyah, beliau menjelaskan bahwa bentuk kerja nyata yang dilakukan oleh para orientalisme yang ada di Belanda ini adalah serupa coraknya dengan praktek-praktek kerja nyata yang di lakukan oleh para orientalisme yang ada di eropa.
            Sungguh para orientalisme yang ada di Belanda itu sangat besar perhatian mereka terhadap bahasa Arab dan mu’jam-mu’jam yang yang ada di negeri Arab. Hal ini berbanding lurus dengan perhatian mereka terhadap pentahkikan yang mereka lakukan terhadap nas-nas bahasa Arab. Bahkan mereka menciptakan percetakan sekaligus mereka melakukan pecetakan terhadap buku-buku keislaman dan kaum muslimin.
            Diantara orientalisme Belanda yang paling kesohor adalah Christian Snouck Hurgronje (1857-1936M). Bahkan untuk mengambil simpati dari kaum muslimin dan untuk memuluskan kepentingan yang beliau emban bagi orientalisme, maka dia ganti namanya Menjadi H. Abdul Ghaffar. Untuk itu ia pergi ke Mekkah. Di negeri itulah ia mengganti dan memproklamirkan nama yang baru Itu. Tidak tanggung-tanggung, untuk memuluskan keperluannya, ia rela menetap di Mekkah selama enam bulan. Maka dengan keislaman dan dengan sikap santunnya yang tinggi, mengalirlah rasa simpati dan empati dari berbagai pihak kepadanya. Termasuk para ulama dan para penguasa negeri itu. Setelah itu dia pergi ke Indonesia untuk mengaplikasikan misi dan rencananya.
            Namun, pertemuan Snouck dengan Habib Abdurrahman Azh-Zhahir, seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan Aceh, kemudian "dibeli" Belanda dan dikirim ke Mekkah, mengubah minatnya. Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di Jeddah JA. Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran di Aceh. Sayang, saran-saran Habib Zahir tak ditanggapi Gubernur Belanda di Nusantara. Karena kecewa, semua naskah penelitian itu Zahir serahkan pada Snouck yang saat itu, 1886, telah menjadi dosen di Leiden.
            Snouck seperti mendapat durian runtuh. Naskah itu dia berikan pada kantor Menteri Daerah Jajahan Belanda. Snouck bahkan secara berani menawarkan diri sebagai tenaga ilmuwan yang akan dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang Aceh.
            Dalam makalah yang singkat ini penulis ingin mengupas tentang seorang orientalis Belanda dia  adalah Christian Snouck Hurgronje (1857-1936M), dari pemikirannya tentang Islam dan sikap muslim terhadapnya, semuga bermafaat.




























BAB II PEMBAHASAN
1. Biografi Christiaan Snouck Hurgronje
            Christiaan Snouck Hurgronje (lahir di Tholen, Oosterhout, 8 Februari 1857 – meninggal di Leiden, 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun) adalah orientalis Belanda. Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta Protestan, Snouck pun sedari kecil sudah diarahkan pada bidang teologi. Tamat sekolah menengah, dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi dan Sastra Arab, 1875. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di Mekah). Tak cukup bangga dengan kemampuan bahasa Arabnya, Snouck kemudian melanjutkan pendidiklan ke Mekkah, 1884. Di Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan membimbingnya. Dan untuk kian merebut hati ulama Mekkah, Snouck memeluk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.[1]
2. Pemikiran Christiaan Snouck Hurgronje
            Snouck memulai kegiatan mengajarnya di Leiden dan Delf di Sekolah Calon Pegawai Indonesia. Dengan meninggalnya A.W.T. Joynboll tahun 1887, Snouck ditugasi menggatikan posisinya di Delf, namun Snouck lebih memilih mengajar bidang syariat Islam di Universitas Leiden.
            Pada 1889, dia menginjakkan kaki di Pulau Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda, khususnya Aceh. Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden, dan sampai wafatnya,26 Juni 1936, dia tetap menjadi penasihat utama Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara.
            Sosok Snouck memang penuh warna. Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding. Namun, penelitian terbaru menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk kepentingan politik.
            Selain tugas memata-matai Aceh, Snouck juga terlibat sebagai peletak dasar segala kebijakan kolonial Belanda menyangkut kepentingan umat Islam. Atas sarannya, Belanda mencoba memikat ulama untuk tak menentang dengan melibatkan massa. Tak heran, setelah Aceh, Snouck pun memberi masukan bagaimana menguasai beberapa bagian Jawa dengan memanjakan ulama.
            Demikianlah sosok Snouck Hurgronje yang dianggap sosok kontroversial khususnya bagi kaum muslimin Indonesia, terutama kaum muslimin Aceh.
2.1 Awal penelitian
            Pengamatan Snouck terhadap Aceh sebenarnya sudah dimulai saat ia berada di Mekkah. Dia tertarik melihat orang Arab sering memperbincangkan Perang Aceh. Orang Aceh cukup banyak dan begitu fanatik dalam melawan Belanda. Ia ingin sekali menyumbangkan usulan ilmiah kepada pemerintah guna menundukkan Aceh. Hal yang segera disampaikan kepada pemerintah Belanda, adalah mengusahakan pemisahan Islam dan politik di negeri jajahan. Para jamaah haji diawasi, karena berpotensi membawa ide pan-Islamisme ke Aceh. Ini bertentangan dengan kepentingan Belanda.
            Setelah kembali ke Leiden selama dua tahun, Snouck menawarkan diri untuk ditugaskan ke Aceh. Dia pun masih terus berkorespondensi dengan ulama-ulama Serambi Mekkah. Jabatan lektornya dilepas pada pertengahan Oktober 1887. Proposal penelitian kepada Gubernur Jenderal segera diajukan pada 9 Februari 1888. Niatnya didukung penuh oleh Direktur Pendidikan Agama dan Perindustrian (PAP), juga Menteri Urusan Negeri Jajahan. Proposal pun berjalan tanpa penghalang.
            Snouck segera berangkat. Tempat yang dituju adalah Aceh. Sayang, begitu sampai di pelabuhan Penang (Malaya), Gubernur H.K.F. van Teijn melarangnya masuk Aceh, pada tanggal 1 April 1889. Alasannya, Snouck bergaul dengan kaum pelarian dan berusaha masuk ke Aceh secara gelap. Akhirnya Snouck meluncur ke Batavia (kini Jakarta) dan tiba pada tanggal 11 Mei 1889.
            Sebenarnya, Snouck mau melakukan tugas penting ke Aceh (1889) atas perintah Belanda. Ini sangat rahasia, ia naik kapal pos Inggris sampai ke pantai Sumatra. Melalui Pelabuhan Penang ia masuk pedalaman Aceh sampai ke istana sultan dengan cara memanfaatkan tradisi menghormat sesama Muslim yang dikenalnya di Mekkah. Tapi di pihak lain, perjalanan itu dianggap mata-mata oleh militer Belanda di Aceh. Mereka keberatan, maka ia harus dipulangkan.
            Di Batavia, Snouck bekerja sebagai pegawai pemerintah. Snouck langsung akrab dengan pribumi Batavia, termasuk ulama. Ini membuat Direktur PAP terkesan dan mendesak Gubjen Cornelis Pijnacker Hordijk agar mengabulkan permohonan penelitian itu. Keluarlah beslit yang mengizinkan Snouck melakukan penelitian selama dua tahun, sejak 16 Mei 1889, disusul beslit Raja Belanda pada 22 Juli 1889. Bahkan ia diangkat menjadi Penasihat urusan Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam sejak 15 Maret 1891.
            Sejak menjadi penasihat itu, naluri politik Snouck mulai memengaruhi posisinya sebagai ilmuwan. Meja kerja penasihat terus menggiring pemikirannya untuk selalu menyertakan tendensi politis di setiap analisisnya. Sifat seorang ilmuwan yang mengedepankan objektivitas dalam diri Snouck mulai luntur. Menurut Schroder, ilmuwan Belanda, tangan kotor Snouck telah jauh terlibat dalam fungsi politik kolonial.
            Pada tanggal 9 Juli 1891, Snouck ke Aceh, bahkan menetap di Kutaraja (kini Banda Aceh). Ia menjadi orang "kepercayaan" Joannes Benedictus van Heutsz, jenderal Aceh yang kemudian menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1904-1909). Pengamatannya menghasilkan tulisan Atjeh Verslag, berisi laporan kepada Belanda tentang alasan mengapa Aceh harus diperangi. Sekitar tujuh bulan kemudian kembali ke Batavia. Pekerjaannya bertambah menjadi Penasihat urusan Pribumi dan Arab. Lembaga yang didirikan 1899 ini bisa dipandang sebagai cikal bakal Departemen Agama.
2.2 Perang Aceh
            Selama tujuh bulan Snouck berada di Aceh, sejak 8 Juli 1891. Di Aceh, dia dibantu beberapa orang pelayannya. Baru pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan Atjeh Verslag, laporannya kepada pemerintah Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasihat strategi kemiliteran Snouck. Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan dalam De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh Verslag-lah pertama disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Itu berlangsung lama, karena sampai 1898, Snouck masih saja berkutat pada perang kontra-gerilya.
            Nasehat Snouck mematahkan perlawanan para ulama, karena awalnya Snouck sudah melemparkan isu bahwa yang berhak memimpin Aceh bukanlah uleebalang, tapi ulama yang dekat dengan rakyat kecil. Komponen paling menentukan sudah pecah, rakyat berdiri di belakang ulama, lalu Belanda mengerasi ulama dengan harapan rakyat yang sudah berposisi di sana menjadi takut. Untuk waktu yang singkat, metode yang dipakai berhasil.
            Snouck mendekati ulama untuk bisa memberi fatwa agama. Tapi fatwa-fatwa itu berdasarkan politik Divide et impera. Demi kepentingan keagamaan, ia berkotbah untuk menjauhkan agama dan politik. Selama di Aceh Snouck meneliti cara berpikir orang-orang secara langsung. Dalam suratnya kepada Van der Maaten (29 Juni 1933), Snouck mengatakan bahwa ia bergaul dengan orang-orang Aceh yang menyingkir ke Penang.
            Van Heutsz adalah seorang petempur murni. Sebagai lambang morsose, keinginannya tentu menerapkan nasihat pertama Snouck; mematahkan perlawanan secara keras. Tapi Van Heutsz ternyata harus melaksanakan nasihat lain dari Snouck, yang kemudian beranggapan pelumpuhan perlawanan dengan kekerasan akan melahirkan implikasi yang tambah sulit diredam.
            Akhirnya taktik militer Snouck memang diubah. Memang pada 1903, kesultanan Aceh takluk. Tapi persoalan Aceh tetap tak selesai. Sehingga Snouck terpaksa membalikkan metode, dengan mengusulkan agar di Aceh diterapkan kebijakan praktis yang dapat mendorong hilangnya rasa benci masyarakat Aceh karena tindakan penaklukkan secara bersenjata. Inilah yang menyebabkan sejarah panjang ambivalensi dialami dalam menyelesaikan Aceh. Snouck pula yang menyatakan bahwa takluknya kesultanan Aceh, bukan berarti seluruh Aceh takluk.
            Dalam lingkup internal mereka, perubahan paradigma ini memunculkan konflik kepentingan yang lain yaitu tentang posisi penguasa di Aceh. Pendekatan tanpa kekerasan, otomatis pengurangan pasukan harus dilakukan. Sedangkan Van Heutsz merupakan orang yang sangat menantang itu. Ia bahkan mengusulkan status di Aceh tetap dipegang Gubernur Militer.
2.3 Kembali ke Belanda
            Snouck Hurgronje menikah 4 kali. Yang pertama adalah dengan seorang wanita di Jeddah. Pada tahun 1890, ia menikah dengan Sangkana, puteri Raden Haji Mohammad Taik, penghulu di Ciamis dan dikaruniai 4 orang anak. Sayang, pada tahun 1896, saat mengandung anak ke-5, Sangkana keguguran dan meninggal bersama bayi yang dikandungnya.
            Tak sampai 2 tahun kemudian, Snouck Hurgronje menikah lagi. Kali ini dengan Siti Sadiah, puteri Kalipah Apo, wakil penghulu di Bandung. Dari pernikahan itu mereka dikarunai seorang anak bernama Raden Joesoef. Namun setelah itu, Snouck Hugronje dipanggil pulang ke Belanda. Raden Joesoef sendiri memiliki 11 orang anak. Yang paling sulung adalah Eddy Joesoef, pemain bulu tangkis yang pada tahun 1958 berhasil merebut Piala Thomas di Singapura.
            Pengembaraannya berakhir 1906 dan kembali ke Belanda. Pada 1910, di Belanda, ia kawin dengan Ida Maria, putri seorang pensiunan pendeta di Zutphan, Dr AJ Gort. Setelah dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Leiden pada 1907 (tiga tahun setelah menikah), ia menekuni profesi sebagai penasihat Menteri Urusan Koloni. Pekerjaan ini diemban hingga akhir hayatnya, 16 Juli 1936.
ientalis Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli tentang dunia Arab dan Islam, meninggal di Leiden, Belanda, di usia 79 tahun.
           
            Seorang peneliti Belanda kontemporer Koningsveld, menjelaskan bahwa realitas budaya di negerinya membawa pengaruh besar terhadap kejiwaan dan sikap Snouck para perkembangan selanjutnya.
            Snouck berpendapat bahwa Al-Quran bukanlah wahyu dari Allah, melainkan adalah karya Muhammad yang mengandung ajaran agama. Pada saat itu, para ahli perbandingan agama dan ahli perbandingan sejarah sangat dipengaruhi oleh teori “Evolusi” Darwin. Hal ini membawa konsekuensi khusus dalam teori peradaban di kalangan cendikiawan Barat, bahwa peradaban Eropa dan Kristen adalah puncak peradaban dunia, dan mereka sangat kukuh mempertahankan argumen tersebut.
            Sementara, Islam yang datang belakangan, menurut mereka, adalah upaya untuk memutus perkembangan peradaban ini. Bagi kalangan Nasrani, kenyataan ini dianggap hukuman atas dosa-dosa mereka. Ringkasnya, agama dan peradaban Eropa adalah lebih tinggi dan lebih baik dibanding agama dan peradaban Timur.
            Teori peradaban ini berpengaruh besar terhadap sikap dan pemikiran Snouck selanjutnya. Pada tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden, Snouck pernah mengatakan, “Adalah kewajiban kita untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Hindia Belanda- agar terbebas dari Islam”.
            Sejak itu, sikap dan pandangan Snouck terhadap Islam tidak pernah berubah. Bahkan Snouck semakin yakin dengan sikapnya.
            Snouck pernah mengajar di Institut Leiden dan Delf, yaitu lembaga yang memberikan pelatihan bagi warga Belanda sebelum ditugaskan di Hindia Beland. Saat itu, Snouck belum pernah datang ke Hindia Belanda, namun ia mulai aktif dalam masalah-masalah penjajahan Belanda.
            Menurut Snouck, dari dulu hingga zaman yang akan datang, “Isu Islam” akan menjadi perbincangan yang cukup serius dalam berbagai agenda politik. Snouck Hurgronje bukan semata ilmuwan yang diminta untuk menyelesaikan satu masalah semata. Namun, Pemerintah Belanda telah banyak meminta pertimbangan kepada Snouck untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi Belanda akibat banyaknya pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah. Sebagai mata-mata dan penasihat pemerintah Belanda, ia aktif bekerja mencari solusi-solusi jitu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi Belanda. Di daerah manapun di Indonesia, tatkala muncul benih-benih api perlawanan dan pemberontakan, Snouck pasti akan dikirim untuk memastikan kembalinya kontrol Belanda atas kaum Muslim. Snouck juga diminta Pemerintah Belanda untuk mencari solusi jangka panjang terhadap masalah-masalah Belanda di Indonesia.
            Menurut Snouck, masalah mendasar dalam penaklukan Islam dan umatnya adalah adanya fakta bahwa umat Islam percaya pada kebutuhan untuk persatuan negara dalam naungan Khalifah yang mengatur atas semua dari mereka sesuai dengan hukum syariah. Dalam sebuah surat kepada Goldziher pada 1886, satu tahun setelah perjalanannya ke Makkah, Snouck mengatakan, “… Saya tidak pernah keberatan dengan unsur-unsur keagamaan dari lembaga ini [Islam]. Menurut pendapat saya, pengaruh politik ini yang menyedihkan. Sebagai orang Belanda, aku merasa sangat perlu memperingatkan terhadap hal ini.”
            Menurut Snouck, itu adalah sisi politik Islam yang menyebabkan semua masalah bagi Belanda di Indonesia. Sejatinya Islam telah menjadi motivasi bagi masyarakat Indonesia untuk melawan pendudukan Belanda. Namun, menurut Snouck, sisi politik Islam juga menjadi masalah bagi umat Islam sendiri. Menurut dia, keyakinan kaum Muslim di Negara Khilafah Islam terhadap Hukum Islam inilah yang justru membuat mereka mundur. Snouck berpendapat kesalahan dalam pemahaman terhadap hukum syariahlah yang menyebabkan kemunduran tersebut. Hukum syariah dipahami sebagai ciptaan umat Islam pada abad pertengahan. Snouck berpendapat, karena kebanyakan kaum Muslim mempercayai hal tersebut dan sikap mereka yang tidak ingin menjauhkan diri dari hukum-hukum ini, maka kaum Muslim terjebak pada pemahaman abad pertengahan tersebut.
            Snouck juga menyampaikan bahwa kolonialisme benar-benar membawa berkah. Pasalnya, dengan kolonialisme umat Islam jadi diperkenalkan dengan ide-ide modern ‘pencerahan’, seperti sekularisme, kebebasan pribadi dan demokrasi. Snouck mengatakan, “Sekitar 230.000.000 orang Islam yang hidup di bawah aturan non-Muslim [sekular] sangat sering tidak memiliki kesadaran sejarah yang cukup untuk dapat mengenali bahwa perubahan dalam pemerintahan, berarti ada ‘perbaikan’ bagi mereka. Mereka melihat sejarah politik Islam melalui legenda. Ketika legenda ini memberikan alasan untuk komplain, mereka biasanya percaya bahwa semua komplain-komplain itu akan diselesaikan oleh Amirul Mukminin yang mengatur urusan mereka.”
            Apa yang dibayangkan Snouck sebagai solusi akhir untuk “Isu Islam” adalah perubahan Islam itu sendiri. Snouck ingin Islam menjadi seperti agama Kristen; sebuah agama yang hanya mengurusi ibadah ritual semata, sedangkan urusan lainnya, seperti undang-undang dan politik, diserahkan seluruhnya kepada manusia. Snouck mengatakan, “Satu-satunya solusi yang benar untuk masalah Islam adalah terletak pada asimilasi subyek Islam dari Belanda dengan Belanda. Jika kita bisa berhasil dalam hal ini, tidak akan ada sebuah ‘Isu Islam’ lagi. Maka akan ada kesatuan budaya antara subyek dari Ratu Belanda yang tinggal di pantai Laut Utara dan mereka yang tinggal di Insulinde1. Kondisi ini akan membuat perbedaan dalam agama mereka tanpa ada kepentingan politik atau sosial.”
            Snouck menyebut, inilah tujuan dari “aneksasi mental” umat Islam. Jika umat Islam Indonesia percaya pada ideologi Barat sebagaimana Barat mempercayai ideologi tersebut, maka umat Islam akan merasa satu dengan Barat. Kondisi ini memudahkan bagi umat Islam untuk dikuasai Barat, meskipun ritual keagamaan mereka mungkin berbeda.
            Oleh karena itu, Snouck menyarankan kepada pemerintah Belanda untuk membedakan antara apa yang disebut “inti sebenarnya dogma Islam” seperti berdoa, haji, keyakinan akan Hari Kiamat, dan sebagainya; dengan “segala sesuatu yang bersifat politis atau akhirnya bisa menjadi politik”. “Dogma Islam” atau oleh Snouck biasa disebut “agama murni”, harus dibiarkan sepenuhnya bebas.2 Namun, pemerintah harus bertindak tegas terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam politik seperti: Kekhalifahan, Perang Suci dan Syariah. Persoalan-persoalan tersebut tidak boleh dibicarakan lagi, kapan pun dan dimana pun.
            Snouck percaya bahwa saran yang dia sampaikan tujuannya adalah tujuan yang realistis. Ia pun membuat penjelasan dalam sebuah surat kepada temannya, Goldziher, “Saya yakin bahwa di Indonesia, kompromi antara Islam dan humanisme adalah mungkin.”
            Dia melihat dan menyadari bahwa kompromi ini sebagai tugas nyata seorang orientalis. “Perkembangan Dunia Islam ke arah budaya kita, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari karya hidup saya,” tegas Snouck.
            Semenjak keberadaannya di Aceh, ada beberapa nasehat Snouck yang masih sangat membekas kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh waktu ini, yakni:
            1. Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
            2. Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
            3. Tidak berunding dengan para pimpinan gerilya.
            4. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
            5. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh dengan cara mendirikan Mesjid, memperbaiki jalan, irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
2. Sikap muslim terhadap Christiaan Snouck Hurgronje
            Kemenangan partai agama (Kristen) pada pemilihan di Belanda tahun 1901 merubah wajah politik di sana. Partai Liberal --yang telah menguasai politik selama 50 tahun-- kehilangan kekuasaannya; sedangkan golongan agama semakin kuat dan membawa pemerintahan ke prisnsip Kristen. Pidato tahunan raja pada bulan September 1901 --yang menggambarkan jiwa Kristen --menyatakan mempunyai kewajiban etis dan tanggung jawab moral kepada rakyat  Hindia Belanda (Nusantara), yakni memberikan bantuan lebih banyak kepada penyebaran agama Kristen. Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas, sejalan dengan politik hutang budi yang dicanangkan.[2]
            Snouck Hurgrunje bermaksud menukar Islam dengan kebudayaan Eropa, sehingga upaya kepentingan politik dan agama  (Kristen) menjadi gampang.
             “To bring about a cultural  unity string enough to void the difference of religious denomination from its political and social significance.”
            (Menjadikan ikatan kesatuan budaya dapat melenyapkan perbedaan agama dari kepentingan politik dan kemasyarakatan).[3]
            Munculnya para orientalis Belanda itu perlu disimak pula latar belakang politik penjajah Belanda yang menguasai Indonesia selama tiga setengah abad. Dr Aqib Suminto menggambarkan strategi penjajah Belanda, di antaranya diungkapkan sebagai berikut:
            Usaha Belanda untuk mengkonsolidasi kekuatannya mendapat perlawanan dari raja-raja Islam, dan di tingkat desa, dari para guru serta ulama Islam. Meskipun Belanda berhasil mengontrol sebagian besar daerah Nusantara yang ditaklukkannya, namun Islam tetap melebarkan sayapnya; bahkan sejak abad ke-19 Islam mendapatkan daya dorong, berkat semakin meningkatnya hubungan dengan Timur Tengah.[4]
            Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dalam menangani masalah Islam ini, sering disebut dengan istilah Islam Politiek, dimana Prof Snouck Hurgronje dipandang sebagai peletak dasarnya. Sebelum itu kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam hanya berdasarkan rasa takut dan tidak mau ikut campur, karena Belanda belum banyak menguasai masalah Islam.
            Berkat pengalamannya di Timur Tengah dan Aceh, Snouck Hurgronje, sarjana sastra Smith yang mempunyai andil sangat besar dalam penyelesaian perang Aceh ini kemudian berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan menghadapi Islam di Indonesia.[5]
Meskipun data dan fakta sejarah telah jelas seperti tersebut di atas, namun di Indonesia sendiri pernah terjadi semacam kegoncangan di kalangan umat Islam yang banyak memperhatikan seluk beluk nasib ummat. Pada tahun 1985 Prof Dr HM Rasjidi yang dikenal sangat vokal terhadap pemikiran Barat walaupun beliau alumni Barat, dan vokal pula dalam hal kristenisasi, namun justru beliau jelas-jelas mengemukakan bahwa Dr Christian Snouck Hurgronje itu teman umat Islam Indonesa. Beliau menyalahkan muslimin pada umumnya yang menganggap Snouck itu musuh, karena menurut beliau, Muslimin pada umumnya tidak membaca karya-karya orientalisme. Justru Snouck menurut HM Rasjidi, pernah berpolemik dengan anggota parlemen Belanda, karena Snouck tak membolehkan orang Islam di Indonesia untuk dikristenkan.
            Berikut ini pendapat HM Rasjidi yang dituangkan H Subagijo AN dalam biografi HM Rasjidi:
            Tiap kali Rasjidi mengamati kepribadian Massignon, maka saat itu dia teringat dengan tokoh di negaranya sendiri, Dr. Crhistian Snouck Hurgronje, seorang orientalis besar pada zamannya. Oleh kebanyakan orang di Indonesia, Snouck Hurgronje dianggap sebagai kaki tangan kaum imperalis; alat kaum penjajah; sehingga segala ulah dan sikapnya dinilai sangat menguntungkan kolonialis Belanda semata. Namun bagi Rasjidi figur Snouck Hurgronje justeru merupakan teman ummat Islam Indonesia. Penilaian keliru terhadap Snouck itu, menurut Rasjidi disebabkan karena pada umumnya orang belum pernah membaca buku-buku karya orientalis tadi secara lengkap dan teliti. Sebagai cendekiawan yang sudah membaca seluruh karya Snouck Hurgronje secara tuntas, Rasjidi sampai pada kesimpulan, bahwa doktor (Snouck Hurgronje) tersebut pada hakekatnya adalah teman ummat Islam Indonesia.
            Dr. Snouck, di kalangan orang Belanda sendiri dikenal sebagai seorang yang anti-zending dan anti-missi. Snouck pernah berpolemik dengan anggota parlemen Belanda yang menaruh simpati pada gereja. Ujar sang anggota parleman, “Kami ini tidak mengkristenkan orang Islam. Yang kami kristenkan adalah orang-orang Jawa yang tidak bersembahyang, Yang tidak membaca Al-Qur’an, yang hanya bisa mengucapkan syahadat  pada waktu akan nikah saja”.
             Ucapan itu ditanggapi Snouck dengan tegas jelas: “Kalau Anda sudah tahu bahwa orang Jawa mengaku Islam, itu sudah cukup. Bahwa mereka tidak mendirikan shalat, tidak paham bahasa Arab, itu sama sekali tidak mengurangi sifat keislamannya. Anda sendiri yang mengaku ummat kristen, apakah semua juga pernah membaca Injil? Dan juga pergi ke Gereja dengan teratur? Dan bila di dalam Injil disebutkan: Bila diminta bajunya, hendaknya Anda kasihkan jubahnya, apakah Anda pernah memberi jubah yang diminta orang lain?”
             Demikian antara lain polemik antara Dr. Snouck Hurgronje dengan anggota parlemen Belanda yang membawakan suara kaum gerejani.[6]                         
            Apa yang dikemukakan Dr HM Rasjidi itu tidak bisa dijadikan landasan bahwa Snouck Hurgronje tidak menginginkan Umat Islam Indonesia jadi Kristen. Justru maksud dan tujuannya hampir sama dengan missionaris, hanya saja cara mengkristenkannya itu bukan lewat kristenisasi model missionaris, namun lewat  budaya, agar umat Islam tergiring tanpa terasa. Kalau model missionaris, menurut pandangan Snouck, justru  akan terjadi  reaksi dari umat Islam, hingga apa yang dituju yaitu  pengkristenan itu sendiri tidak akan tercapai.
            Cara yang ditempuh Snouck itu bisa dibuktikan dengan apa yang ditulis oleh para peneliti sebagai berikut.
            Deliar Noer menulis: Asosiasi sebagai kebijaksanaan yang diperjuangkan ilmuwan Belanda Christian Snouck Hurgronje, mendapat tempat hanya pada beberapa gelintir orang Belanda dan Indonesia saja terutama mereka yang berafiliasi dengan perkumpulan Nederlandsch Indische Vrijzinningen Bond (Kesatuan Kaum Liberal Hindia Belanda).[7]
            Lanjut Deliar, yang dipersoalkan oleh Snouck Hurgronje ialah bagaimana menghadapi soal Islam. Hal ini mudah difahami karena Islam telah memperlihatkan semangat perjuangannya di Indonesia dalam bentuk pemberontakan dan perlawanan terhadap penetrasi Belanda di berbagai wilayah negeri ini. Snouck Hurgronje mengamati bahwa walaupun Islam di Indonesia banyak tertutup oleh lapisan kepercayaan lain seperti kepercayaan animisme dan Hindu, orang-orang Islam di negeri ini pada waktu itu menganggap agama mereka sebagai alat pengikat yang kuat yang membedakan mereka dari orang-orang yang bukan Islam yang mereka anggap sebagai “orang asing”. Walaupun begitu, demikian Snouck Hurgronje, orang Islam di Indonesia lebih memperhatikan persoalan Islam sebagai agama dalam pengertian yang sempit (seperti perkawinan, hubungan keluarga, peraturan berkenaan dengan waris) sedangkan aspek politik dan sosial dari agama Islam kurang mendapat perhatian.[8]
Snouck Hurgronje menasehatkan pemerintah Belanda agar memberikan perhatian yang sangat kepada pendidikan dan pengajaran orang Islam Indonesia tanpa menghubungkannya dengan persoalan pengkristenan. Cara ini, katanya, akan “memajukan {meng-emansipasi}” mereka “dari sistem Islam”. Cara ini akan menyampaikan orang Indonesia untuk menerima kebudayaan Belanda, yaitu kebudayaan Barat, dan menumbuhkan pula pengertian yang lebih baik di antara mereka terhadap orang-orang Belanda.
             Katanya lagi, adalah dia dalam ”asosiasi penduduk pribumi dengan kebudayaan kita [Belanda] terletak pemecahan persoalan Islam”. Cara ini akan “menghapuskan perbedaan yang dijumpai dalam aspek politik dan sosial karena kepercayaan agama [yang berbeda]”.
            Hurgronje menambahkan lagi bahwa asosiasi itu akan”menghilangkan cita-cita pan-Islam dari segala kekuatannya.” Secara tak langsung cara tersebut akan bermanfaat bagi penyebaran agama Kristen sendiri, katanya lagi, sebab pelaksanaan politik asosiasi itu akhirnya akan memudahkan pekerjaan missi, oleh sebab missi akan “dapat lebih menumbuhkan pengertian pada kalangan penduduk pribumi yang telah kena asosiasi itu terhadap mereka.”[9]
             Tetapi Politik Etis tidaklah sesabar Snouck Hurgronje dalam hal pengkristenan. Politik Etis tidak mengendurkan kegiatan missionaris agar memberi jalan bagi proses asosiasi seperti yang disarankan ilmuwan Belanda tersebut. Dalam hubungan ini pernyataan kerajaan Belanda dalam tahun 1901 yang memperkenalkan Politik Etis itu merupakan suatu bukti nyata:
            Sebagai bangsa Kristen, Belanda mempunyai kewajiban untuk memperbaiki keadaan orang-orang Kristen pribumi di daerah kepulauan Nusantara, memberikan bantuan lebih banyak kepada kegiatan missi Kristen, dan memberikan penerangan kepada segenap petugas bahwa Belanda mempunyai kewajiban moril terhadap penduduk wilayah itu.[10]


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Christiaan_Snouck_Hurgronje/024-09-2012
[2] H Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1985, h 20-21.
[3] Qasim As-Samra’i, Al-Istisyraqu bainal Maudhu’iyati wal Ifti’aliyah, terjemahan Prof. Dr Syuhudi Isma’il dkk, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, GIP, Jakarta, cetakan pertama 1417H/ 1996M,  hl  139.
[4] H Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, cetakan pertama, 1985, hal  1-2, mengutip Harry J Benda, “Christian Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in Indonesia,”  dalam Contiunity and Change in Southeast  Asia, (Yale University, 1972), hal 83.
[5] ibid hlm. 2
[6] Endang Basri Ananda (editor), 70 Tahun Prof. Dr. H.M Rasjidi, Harian Umum Pelita, Jakarta, 1985, hal.53-54
[7] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, cetakan II, 1985, hal 182, mengutip Pangeran Aria chmad Djajadiningrat,  Kenang-kenangan (Jakarta: Kolff-Buning/ Balai Pustaka, 1936), hal 385.
[8] Deliar Noer, hal  182-183, mengutip Hurgronje, Nederland en de Islam, edisi ke-2  (Leiden: E.J Brill, 1915), hal 59, 78.
[9] Deliar Noer, hal  182-183, mengutip Hurgronje, Nederland en de Islam, edisi ke-2  (Leiden: E.J Brill, 1915), hal 59, 78.
[10] Deliar,  hal 183-184, mengutip Handelingen der Staten Generaal, Pidato kenegaraan Raja, 18 September 1901 sebagai dikutip oleh van der Kroef, JM va der,  Dutch Colonial Policy in Indonesia, hal. 53).