Christian Snouck Hurgronje (1857-1936M)
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ”Oreintalisme”
Oleh:
Muhyi Abdurrohim (082092011)
yang dibina oleh :
Dr. Aminullah El-Hadi, M.Ag
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) JEMBER
2012
BAB
I PENDAHULUAN
Dalam sebuah buku yang di karang oleh DR. Qasim as-Samaraiiy, yang
berjudul; al-Isytisrak Bainal Maudhuiyyah Wal Iftia’aliyah, beliau menjelaskan
bahwa bentuk kerja nyata yang dilakukan oleh para orientalisme yang ada di
Belanda ini adalah serupa coraknya dengan praktek-praktek kerja nyata yang di
lakukan oleh para orientalisme yang ada di eropa.
Sungguh
para orientalisme yang ada di Belanda itu sangat besar perhatian mereka
terhadap bahasa Arab dan mu’jam-mu’jam yang yang ada di negeri Arab. Hal ini
berbanding lurus dengan perhatian mereka terhadap pentahkikan yang mereka
lakukan terhadap nas-nas bahasa Arab. Bahkan mereka menciptakan percetakan
sekaligus mereka melakukan pecetakan terhadap buku-buku keislaman dan kaum
muslimin.
Diantara orientalisme Belanda yang paling kesohor adalah Christian Snouck
Hurgronje (1857-1936M). Bahkan untuk mengambil simpati dari kaum muslimin dan
untuk memuluskan kepentingan yang beliau emban bagi orientalisme, maka dia
ganti namanya Menjadi H. Abdul Ghaffar. Untuk itu ia pergi ke Mekkah. Di negeri
itulah ia mengganti dan memproklamirkan nama yang baru Itu. Tidak
tanggung-tanggung, untuk memuluskan keperluannya, ia rela menetap di Mekkah
selama enam bulan. Maka dengan keislaman dan dengan sikap santunnya yang
tinggi, mengalirlah rasa simpati dan empati dari berbagai pihak kepadanya.
Termasuk para ulama dan para penguasa negeri itu. Setelah itu dia pergi ke
Indonesia untuk mengaplikasikan misi dan rencananya.
Namun, pertemuan Snouck dengan Habib
Abdurrahman Azh-Zhahir, seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil
pemerintahan Aceh, kemudian "dibeli" Belanda dan dikirim ke Mekkah,
mengubah minatnya. Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di Jeddah JA. Kruyt,
dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran di
Aceh. Sayang, saran-saran Habib Zahir tak ditanggapi Gubernur Belanda di
Nusantara. Karena kecewa, semua naskah penelitian itu Zahir serahkan pada
Snouck yang saat itu, 1886, telah menjadi dosen di Leiden.
Snouck seperti mendapat durian
runtuh. Naskah itu dia berikan pada kantor Menteri Daerah Jajahan Belanda.
Snouck bahkan secara berani menawarkan diri sebagai tenaga ilmuwan yang akan
dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang Aceh.
Dalam makalah yang singkat ini
penulis ingin mengupas tentang seorang orientalis Belanda dia adalah Christian Snouck Hurgronje (1857-1936M),
dari pemikirannya tentang Islam dan sikap muslim terhadapnya, semuga bermafaat.
BAB
II PEMBAHASAN
1. Biografi
Christiaan Snouck Hurgronje
Christiaan
Snouck Hurgronje (lahir di Tholen, Oosterhout, 8 Februari 1857 – meninggal di
Leiden, 26 Juni 1936 pada umur 79 tahun) adalah orientalis Belanda. Seperti
ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta Protestan, Snouck
pun sedari kecil sudah diarahkan pada bidang teologi. Tamat sekolah menengah,
dia melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi dan Sastra
Arab, 1875. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan predikat cum laude dengan
disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di Mekah). Tak cukup bangga dengan
kemampuan bahasa Arabnya, Snouck kemudian melanjutkan pendidiklan ke Mekkah,
1884. Di Mekkah, keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak
segan membimbingnya. Dan untuk kian merebut hati ulama Mekkah, Snouck memeluk
Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.[1]
2. Pemikiran Christiaan
Snouck Hurgronje
Snouck memulai kegiatan
mengajarnya di Leiden dan Delf di Sekolah Calon Pegawai Indonesia. Dengan
meninggalnya A.W.T. Joynboll tahun 1887, Snouck ditugasi menggatikan posisinya
di Delf, namun Snouck lebih memilih mengajar bidang syariat Islam di
Universitas Leiden.
Pada 1889, dia menginjakkan kaki di
Pulau Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi
Hindia-Belanda, khususnya Aceh. Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck
mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden,
dan sampai wafatnya,26 Juni 1936, dia tetap menjadi penasihat utama Belanda
untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara.
Sosok Snouck memang penuh warna.
Bagi Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil memetakan struktur perlawanan
rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana yang berhasil. Tapi bagi rakyat
Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding. Namun, penelitian terbaru
menunjukkan peran Snouck sebagai orientalis ternyata hanya kedok untuk menyusup
dalam kekuatan rakyat Aceh. Dia dinilai memanipulasi tugas keilmuan untuk
kepentingan politik.
Selain tugas memata-matai Aceh,
Snouck juga terlibat sebagai peletak dasar segala kebijakan kolonial Belanda
menyangkut kepentingan umat Islam. Atas sarannya, Belanda mencoba memikat ulama
untuk tak menentang dengan melibatkan massa. Tak heran, setelah Aceh, Snouck
pun memberi masukan bagaimana menguasai beberapa bagian Jawa dengan memanjakan
ulama.
Demikianlah sosok Snouck Hurgronje
yang dianggap sosok kontroversial khususnya bagi kaum muslimin Indonesia,
terutama kaum muslimin Aceh.
2.1 Awal
penelitian
Pengamatan Snouck terhadap Aceh
sebenarnya sudah dimulai saat ia berada di Mekkah. Dia tertarik melihat orang
Arab sering memperbincangkan Perang Aceh. Orang Aceh cukup banyak dan begitu
fanatik dalam melawan Belanda. Ia ingin sekali menyumbangkan usulan ilmiah
kepada pemerintah guna menundukkan Aceh. Hal yang segera disampaikan kepada
pemerintah Belanda, adalah mengusahakan pemisahan Islam dan politik di negeri
jajahan. Para jamaah haji diawasi, karena berpotensi membawa ide pan-Islamisme
ke Aceh. Ini bertentangan dengan kepentingan Belanda.
Setelah kembali ke Leiden selama dua
tahun, Snouck menawarkan diri untuk ditugaskan ke Aceh. Dia pun masih terus
berkorespondensi dengan ulama-ulama Serambi Mekkah. Jabatan lektornya dilepas
pada pertengahan Oktober 1887. Proposal penelitian kepada Gubernur Jenderal
segera diajukan pada 9 Februari 1888. Niatnya didukung penuh oleh Direktur
Pendidikan Agama dan Perindustrian (PAP), juga Menteri Urusan Negeri Jajahan.
Proposal pun berjalan tanpa penghalang.
Snouck segera berangkat. Tempat yang
dituju adalah Aceh. Sayang, begitu sampai di pelabuhan Penang (Malaya),
Gubernur H.K.F. van Teijn melarangnya masuk Aceh, pada tanggal 1 April 1889.
Alasannya, Snouck bergaul dengan kaum pelarian dan berusaha masuk ke Aceh
secara gelap. Akhirnya Snouck meluncur ke Batavia (kini Jakarta) dan tiba pada
tanggal 11 Mei 1889.
Sebenarnya, Snouck mau melakukan
tugas penting ke Aceh (1889) atas perintah Belanda. Ini sangat rahasia, ia naik
kapal pos Inggris sampai ke pantai Sumatra. Melalui Pelabuhan Penang ia masuk
pedalaman Aceh sampai ke istana sultan dengan cara memanfaatkan tradisi
menghormat sesama Muslim yang dikenalnya di Mekkah. Tapi di pihak lain,
perjalanan itu dianggap mata-mata oleh militer Belanda di Aceh. Mereka
keberatan, maka ia harus dipulangkan.
Di Batavia, Snouck bekerja sebagai
pegawai pemerintah. Snouck langsung akrab dengan pribumi Batavia, termasuk
ulama. Ini membuat Direktur PAP terkesan dan mendesak Gubjen Cornelis Pijnacker
Hordijk agar mengabulkan permohonan penelitian itu. Keluarlah beslit yang
mengizinkan Snouck melakukan penelitian selama dua tahun, sejak 16 Mei 1889,
disusul beslit Raja Belanda pada 22 Juli 1889. Bahkan ia diangkat menjadi
Penasihat urusan Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam sejak 15 Maret 1891.
Sejak menjadi penasihat itu, naluri
politik Snouck mulai memengaruhi posisinya sebagai ilmuwan. Meja kerja
penasihat terus menggiring pemikirannya untuk selalu menyertakan tendensi
politis di setiap analisisnya. Sifat seorang ilmuwan yang mengedepankan
objektivitas dalam diri Snouck mulai luntur. Menurut Schroder, ilmuwan Belanda,
tangan kotor Snouck telah jauh terlibat dalam fungsi politik kolonial.
Pada tanggal 9 Juli 1891, Snouck ke
Aceh, bahkan menetap di Kutaraja (kini Banda Aceh). Ia menjadi orang
"kepercayaan" Joannes Benedictus van Heutsz, jenderal Aceh yang
kemudian menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1904-1909). Pengamatannya
menghasilkan tulisan Atjeh Verslag, berisi laporan kepada Belanda tentang
alasan mengapa Aceh harus diperangi. Sekitar tujuh bulan kemudian kembali ke
Batavia. Pekerjaannya bertambah menjadi Penasihat urusan Pribumi dan Arab.
Lembaga yang didirikan 1899 ini bisa dipandang sebagai cikal bakal Departemen
Agama.
2.2 Perang
Aceh
Selama tujuh bulan Snouck berada di
Aceh, sejak 8 Juli 1891. Di Aceh, dia dibantu beberapa orang pelayannya. Baru
pada 23 Mei 1892, Snouck mengajukan Atjeh Verslag, laporannya kepada pemerintah
Belanda tentang pendahuluan budaya dan keagamaan, dalam lingkup nasihat
strategi kemiliteran Snouck. Sebagian besar Atjeh Verslag kemudian diterbitkan
dalam De Atjeher dalam dua jilid yang terbit 1893 dan 1894. Dalam Atjeh
Verslag-lah pertama disampaikan agar kotak kekuasaan di Aceh dipecah-pecah. Itu
berlangsung lama, karena sampai 1898, Snouck masih saja berkutat pada perang
kontra-gerilya.
Nasehat Snouck mematahkan perlawanan
para ulama, karena awalnya Snouck sudah melemparkan isu bahwa yang berhak
memimpin Aceh bukanlah uleebalang, tapi ulama yang dekat dengan rakyat kecil.
Komponen paling menentukan sudah pecah, rakyat berdiri di belakang ulama, lalu
Belanda mengerasi ulama dengan harapan rakyat yang sudah berposisi di sana
menjadi takut. Untuk waktu yang singkat, metode yang dipakai berhasil.
Snouck mendekati ulama untuk bisa
memberi fatwa agama. Tapi fatwa-fatwa itu berdasarkan politik Divide et impera.
Demi kepentingan keagamaan, ia berkotbah untuk menjauhkan agama dan politik.
Selama di Aceh Snouck meneliti cara berpikir orang-orang secara langsung. Dalam
suratnya kepada Van der Maaten (29 Juni 1933), Snouck mengatakan bahwa ia
bergaul dengan orang-orang Aceh yang menyingkir ke Penang.
Van Heutsz adalah seorang petempur
murni. Sebagai lambang morsose, keinginannya tentu menerapkan nasihat pertama
Snouck; mematahkan perlawanan secara keras. Tapi Van Heutsz ternyata harus
melaksanakan nasihat lain dari Snouck, yang kemudian beranggapan pelumpuhan
perlawanan dengan kekerasan akan melahirkan implikasi yang tambah sulit
diredam.
Akhirnya taktik militer Snouck
memang diubah. Memang pada 1903, kesultanan Aceh takluk. Tapi persoalan Aceh
tetap tak selesai. Sehingga Snouck terpaksa membalikkan metode, dengan
mengusulkan agar di Aceh diterapkan kebijakan praktis yang dapat mendorong
hilangnya rasa benci masyarakat Aceh karena tindakan penaklukkan secara
bersenjata. Inilah yang menyebabkan sejarah panjang ambivalensi dialami dalam
menyelesaikan Aceh. Snouck pula yang menyatakan bahwa takluknya kesultanan
Aceh, bukan berarti seluruh Aceh takluk.
Dalam lingkup internal mereka,
perubahan paradigma ini memunculkan konflik kepentingan yang lain yaitu tentang
posisi penguasa di Aceh. Pendekatan tanpa kekerasan, otomatis pengurangan
pasukan harus dilakukan. Sedangkan Van Heutsz merupakan orang yang sangat
menantang itu. Ia bahkan mengusulkan status di Aceh tetap dipegang Gubernur
Militer.
2.3 Kembali
ke Belanda
Snouck Hurgronje menikah 4 kali.
Yang pertama adalah dengan seorang wanita di Jeddah. Pada tahun 1890, ia
menikah dengan Sangkana, puteri Raden Haji Mohammad Taik, penghulu di Ciamis
dan dikaruniai 4 orang anak. Sayang, pada tahun 1896, saat mengandung anak
ke-5, Sangkana keguguran dan meninggal bersama bayi yang dikandungnya.
Tak sampai 2 tahun kemudian, Snouck
Hurgronje menikah lagi. Kali ini dengan Siti Sadiah, puteri Kalipah Apo, wakil
penghulu di Bandung. Dari pernikahan itu mereka dikarunai seorang anak bernama
Raden Joesoef. Namun setelah itu, Snouck Hugronje dipanggil pulang ke Belanda.
Raden Joesoef sendiri memiliki 11 orang anak. Yang paling sulung adalah Eddy
Joesoef, pemain bulu tangkis yang pada tahun 1958 berhasil merebut Piala Thomas
di Singapura.
Pengembaraannya berakhir 1906 dan
kembali ke Belanda. Pada 1910, di Belanda, ia kawin dengan Ida Maria, putri
seorang pensiunan pendeta di Zutphan, Dr AJ Gort. Setelah dikukuhkan sebagai
guru besar Universitas Leiden pada 1907 (tiga tahun setelah menikah), ia
menekuni profesi sebagai penasihat Menteri Urusan Koloni. Pekerjaan ini diemban
hingga akhir hayatnya, 16 Juli 1936.
ientalis
Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli tentang dunia Arab dan
Islam, meninggal di Leiden, Belanda, di usia 79 tahun.
Seorang peneliti Belanda kontemporer
Koningsveld, menjelaskan bahwa realitas budaya di negerinya membawa pengaruh
besar terhadap kejiwaan dan sikap Snouck para perkembangan selanjutnya.
Snouck berpendapat bahwa Al-Quran
bukanlah wahyu dari Allah, melainkan adalah karya Muhammad yang mengandung
ajaran agama. Pada saat itu, para ahli perbandingan agama dan ahli perbandingan
sejarah sangat dipengaruhi oleh teori “Evolusi” Darwin. Hal ini membawa
konsekuensi khusus dalam teori peradaban di kalangan cendikiawan Barat, bahwa
peradaban Eropa dan Kristen adalah puncak peradaban dunia, dan mereka sangat
kukuh mempertahankan argumen tersebut.
Sementara, Islam yang datang
belakangan, menurut mereka, adalah upaya untuk memutus perkembangan peradaban
ini. Bagi kalangan Nasrani, kenyataan ini dianggap hukuman atas dosa-dosa
mereka. Ringkasnya, agama dan peradaban Eropa adalah lebih tinggi dan lebih
baik dibanding agama dan peradaban Timur.
Teori peradaban ini berpengaruh
besar terhadap sikap dan pemikiran Snouck selanjutnya. Pada tahun 1876, saat
menjadi mahasiswa di Leiden, Snouck pernah mengatakan, “Adalah kewajiban kita
untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Hindia Belanda-
agar terbebas dari Islam”.
Sejak itu, sikap dan pandangan
Snouck terhadap Islam tidak pernah berubah. Bahkan Snouck semakin yakin dengan
sikapnya.
Snouck pernah mengajar di Institut
Leiden dan Delf, yaitu lembaga yang memberikan pelatihan bagi warga Belanda
sebelum ditugaskan di Hindia Beland. Saat itu, Snouck belum pernah datang ke
Hindia Belanda, namun ia mulai aktif dalam masalah-masalah penjajahan Belanda.
Menurut Snouck, dari dulu hingga
zaman yang akan datang, “Isu Islam” akan menjadi perbincangan yang cukup serius
dalam berbagai agenda politik. Snouck Hurgronje bukan semata ilmuwan yang
diminta untuk menyelesaikan satu masalah semata. Namun, Pemerintah Belanda
telah banyak meminta pertimbangan kepada Snouck untuk memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi Belanda akibat banyaknya pemberontakan yang terjadi di
berbagai daerah. Sebagai mata-mata dan penasihat pemerintah Belanda, ia aktif
bekerja mencari solusi-solusi jitu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
Belanda. Di daerah manapun di Indonesia, tatkala muncul benih-benih api
perlawanan dan pemberontakan, Snouck pasti akan dikirim untuk memastikan
kembalinya kontrol Belanda atas kaum Muslim. Snouck juga diminta Pemerintah
Belanda untuk mencari solusi jangka panjang terhadap masalah-masalah Belanda di
Indonesia.
Menurut Snouck, masalah mendasar
dalam penaklukan Islam dan umatnya adalah adanya fakta bahwa umat Islam percaya
pada kebutuhan untuk persatuan negara dalam naungan Khalifah yang mengatur atas
semua dari mereka sesuai dengan hukum syariah. Dalam sebuah surat kepada
Goldziher pada 1886, satu tahun setelah perjalanannya ke Makkah, Snouck
mengatakan, “… Saya tidak pernah keberatan dengan unsur-unsur keagamaan dari
lembaga ini [Islam]. Menurut pendapat saya, pengaruh politik ini yang
menyedihkan. Sebagai orang Belanda, aku merasa sangat perlu memperingatkan
terhadap hal ini.”
Menurut Snouck, itu adalah sisi
politik Islam yang menyebabkan semua masalah bagi Belanda di Indonesia.
Sejatinya Islam telah menjadi motivasi bagi masyarakat Indonesia untuk melawan
pendudukan Belanda. Namun, menurut Snouck, sisi politik Islam juga menjadi
masalah bagi umat Islam sendiri. Menurut dia, keyakinan kaum Muslim di Negara
Khilafah Islam terhadap Hukum Islam inilah yang justru membuat mereka mundur.
Snouck berpendapat kesalahan dalam pemahaman terhadap hukum syariahlah yang
menyebabkan kemunduran tersebut. Hukum syariah dipahami sebagai ciptaan umat
Islam pada abad pertengahan. Snouck berpendapat, karena kebanyakan kaum Muslim
mempercayai hal tersebut dan sikap mereka yang tidak ingin menjauhkan diri dari
hukum-hukum ini, maka kaum Muslim terjebak pada pemahaman abad pertengahan
tersebut.
Snouck juga menyampaikan bahwa
kolonialisme benar-benar membawa berkah. Pasalnya, dengan kolonialisme umat
Islam jadi diperkenalkan dengan ide-ide modern ‘pencerahan’, seperti sekularisme,
kebebasan pribadi dan demokrasi. Snouck mengatakan, “Sekitar 230.000.000 orang
Islam yang hidup di bawah aturan non-Muslim [sekular] sangat sering tidak
memiliki kesadaran sejarah yang cukup untuk dapat mengenali bahwa perubahan
dalam pemerintahan, berarti ada ‘perbaikan’ bagi mereka. Mereka melihat sejarah
politik Islam melalui legenda. Ketika legenda ini memberikan alasan untuk
komplain, mereka biasanya percaya bahwa semua komplain-komplain itu akan
diselesaikan oleh Amirul Mukminin yang mengatur urusan mereka.”
Apa yang dibayangkan Snouck sebagai
solusi akhir untuk “Isu Islam” adalah perubahan Islam itu sendiri. Snouck ingin
Islam menjadi seperti agama Kristen; sebuah agama yang hanya mengurusi ibadah
ritual semata, sedangkan urusan lainnya, seperti undang-undang dan politik,
diserahkan seluruhnya kepada manusia. Snouck mengatakan, “Satu-satunya solusi
yang benar untuk masalah Islam adalah terletak pada asimilasi subyek Islam dari
Belanda dengan Belanda. Jika kita bisa berhasil dalam hal ini, tidak akan ada
sebuah ‘Isu Islam’ lagi. Maka akan ada kesatuan budaya antara subyek dari Ratu
Belanda yang tinggal di pantai Laut Utara dan mereka yang tinggal di
Insulinde1. Kondisi ini akan membuat perbedaan dalam agama mereka tanpa ada
kepentingan politik atau sosial.”
Snouck menyebut, inilah tujuan dari
“aneksasi mental” umat Islam. Jika umat Islam Indonesia percaya pada ideologi
Barat sebagaimana Barat mempercayai ideologi tersebut, maka umat Islam akan
merasa satu dengan Barat. Kondisi ini memudahkan bagi umat Islam untuk dikuasai
Barat, meskipun ritual keagamaan mereka mungkin berbeda.
Oleh karena itu, Snouck menyarankan
kepada pemerintah Belanda untuk membedakan antara apa yang disebut “inti
sebenarnya dogma Islam” seperti berdoa, haji, keyakinan akan Hari Kiamat, dan
sebagainya; dengan “segala sesuatu yang bersifat politis atau akhirnya bisa
menjadi politik”. “Dogma Islam” atau oleh Snouck biasa disebut “agama murni”,
harus dibiarkan sepenuhnya bebas.2 Namun, pemerintah harus bertindak tegas
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam politik seperti:
Kekhalifahan, Perang Suci dan Syariah. Persoalan-persoalan tersebut tidak boleh
dibicarakan lagi, kapan pun dan dimana pun.
Snouck percaya bahwa saran yang dia
sampaikan tujuannya adalah tujuan yang realistis. Ia pun membuat penjelasan
dalam sebuah surat kepada temannya, Goldziher, “Saya yakin bahwa di Indonesia,
kompromi antara Islam dan humanisme adalah mungkin.”
Dia melihat dan menyadari bahwa
kompromi ini sebagai tugas nyata seorang orientalis. “Perkembangan Dunia Islam
ke arah budaya kita, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari karya hidup
saya,” tegas Snouck.
Semenjak keberadaannya di Aceh, ada
beberapa nasehat Snouck yang masih sangat membekas kepada Gubernur Militer
Belanda yang bertugas di Aceh waktu ini, yakni:
1.
Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala)
beserta pengikutnya.
2.
Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
3.
Tidak berunding dengan para pimpinan gerilya.
4.
Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
5.
Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh dengan cara mendirikan Mesjid,
memperbaiki jalan, irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
2. Sikap
muslim terhadap Christiaan Snouck Hurgronje
Kemenangan partai agama (Kristen)
pada pemilihan di Belanda tahun 1901 merubah wajah politik di sana. Partai
Liberal --yang telah menguasai politik selama 50 tahun-- kehilangan
kekuasaannya; sedangkan golongan agama semakin kuat dan membawa pemerintahan ke
prisnsip Kristen. Pidato tahunan raja pada bulan September 1901 --yang
menggambarkan jiwa Kristen --menyatakan mempunyai kewajiban etis dan tanggung
jawab moral kepada rakyat Hindia Belanda
(Nusantara), yakni memberikan bantuan lebih banyak kepada penyebaran agama
Kristen. Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas, sejalan
dengan politik hutang budi yang dicanangkan.[2]
Snouck
Hurgrunje bermaksud menukar Islam dengan kebudayaan Eropa, sehingga upaya
kepentingan politik dan agama (Kristen)
menjadi gampang.
“To bring about a cultural unity string enough to void the difference of
religious denomination from its political and social significance.”
(Menjadikan
ikatan kesatuan budaya dapat melenyapkan perbedaan agama dari kepentingan
politik dan kemasyarakatan).[3]
Munculnya
para orientalis Belanda itu perlu disimak pula latar belakang politik penjajah
Belanda yang menguasai Indonesia selama tiga setengah abad. Dr Aqib Suminto
menggambarkan strategi penjajah Belanda, di antaranya diungkapkan sebagai
berikut:
Usaha
Belanda untuk mengkonsolidasi kekuatannya mendapat perlawanan dari raja-raja
Islam, dan di tingkat desa, dari para guru serta ulama Islam. Meskipun Belanda
berhasil mengontrol sebagian besar daerah Nusantara yang ditaklukkannya, namun
Islam tetap melebarkan sayapnya; bahkan sejak abad ke-19 Islam mendapatkan daya
dorong, berkat semakin meningkatnya hubungan dengan Timur Tengah.[4]
Kebijaksanaan pemerintah Hindia
Belanda dalam menangani masalah Islam ini, sering disebut dengan istilah Islam
Politiek, dimana Prof Snouck Hurgronje dipandang sebagai peletak dasarnya.
Sebelum itu kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam hanya
berdasarkan rasa takut dan tidak mau ikut campur, karena Belanda belum banyak
menguasai masalah Islam.
Berkat
pengalamannya di Timur Tengah dan Aceh, Snouck Hurgronje, sarjana sastra Smith
yang mempunyai andil sangat besar dalam penyelesaian perang Aceh ini kemudian
berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan menghadapi Islam di
Indonesia.[5]
Meskipun data
dan fakta sejarah telah jelas seperti tersebut di atas, namun di Indonesia
sendiri pernah terjadi semacam kegoncangan di kalangan umat Islam yang banyak
memperhatikan seluk beluk nasib ummat. Pada tahun 1985 Prof Dr HM Rasjidi yang
dikenal sangat vokal terhadap pemikiran Barat walaupun beliau alumni Barat, dan
vokal pula dalam hal kristenisasi, namun justru beliau jelas-jelas mengemukakan
bahwa Dr Christian Snouck Hurgronje itu teman umat Islam Indonesa. Beliau
menyalahkan muslimin pada umumnya yang menganggap Snouck itu musuh, karena
menurut beliau, Muslimin pada umumnya tidak membaca karya-karya orientalisme.
Justru Snouck menurut HM Rasjidi, pernah berpolemik dengan anggota parlemen
Belanda, karena Snouck tak membolehkan orang Islam di Indonesia untuk
dikristenkan.
Berikut
ini pendapat HM Rasjidi yang dituangkan H Subagijo AN dalam biografi HM
Rasjidi:
Tiap
kali Rasjidi mengamati kepribadian Massignon, maka saat itu dia teringat dengan
tokoh di negaranya sendiri, Dr. Crhistian Snouck Hurgronje, seorang orientalis
besar pada zamannya. Oleh kebanyakan orang di Indonesia, Snouck Hurgronje
dianggap sebagai kaki tangan kaum imperalis; alat kaum penjajah; sehingga
segala ulah dan sikapnya dinilai sangat menguntungkan kolonialis Belanda semata.
Namun bagi Rasjidi figur Snouck Hurgronje justeru merupakan teman ummat Islam
Indonesia. Penilaian keliru terhadap Snouck itu, menurut Rasjidi disebabkan
karena pada umumnya orang belum pernah membaca buku-buku karya orientalis tadi
secara lengkap dan teliti. Sebagai cendekiawan yang sudah membaca seluruh karya
Snouck Hurgronje secara tuntas, Rasjidi sampai pada kesimpulan, bahwa doktor
(Snouck Hurgronje) tersebut pada hakekatnya adalah teman ummat Islam Indonesia.
Dr.
Snouck, di kalangan orang Belanda sendiri dikenal sebagai seorang yang
anti-zending dan anti-missi. Snouck pernah berpolemik dengan anggota parlemen
Belanda yang menaruh simpati pada gereja. Ujar sang anggota parleman, “Kami ini
tidak mengkristenkan orang Islam. Yang kami kristenkan adalah orang-orang Jawa
yang tidak bersembahyang, Yang tidak membaca Al-Qur’an, yang hanya bisa
mengucapkan syahadat pada waktu akan
nikah saja”.
Ucapan itu ditanggapi Snouck dengan tegas
jelas: “Kalau Anda sudah tahu bahwa orang Jawa mengaku Islam, itu sudah cukup.
Bahwa mereka tidak mendirikan shalat, tidak paham bahasa Arab, itu sama sekali
tidak mengurangi sifat keislamannya. Anda sendiri yang mengaku ummat kristen,
apakah semua juga pernah membaca Injil? Dan juga pergi ke Gereja dengan teratur?
Dan bila di dalam Injil disebutkan: Bila diminta bajunya, hendaknya Anda
kasihkan jubahnya, apakah Anda pernah memberi jubah yang diminta orang lain?”
Demikian antara lain polemik antara Dr. Snouck
Hurgronje dengan anggota parlemen Belanda yang membawakan suara kaum gerejani.[6]
Apa
yang dikemukakan Dr HM Rasjidi itu tidak bisa dijadikan landasan bahwa Snouck
Hurgronje tidak menginginkan Umat Islam Indonesia jadi Kristen. Justru maksud
dan tujuannya hampir sama dengan missionaris, hanya saja cara mengkristenkannya
itu bukan lewat kristenisasi model missionaris, namun lewat budaya, agar umat Islam tergiring tanpa
terasa. Kalau model missionaris, menurut pandangan Snouck, justru akan terjadi
reaksi dari umat Islam, hingga apa yang dituju yaitu pengkristenan itu sendiri tidak akan
tercapai.
Cara
yang ditempuh Snouck itu bisa dibuktikan dengan apa yang ditulis oleh para
peneliti sebagai berikut.
Deliar
Noer menulis: Asosiasi sebagai kebijaksanaan yang diperjuangkan ilmuwan Belanda
Christian Snouck Hurgronje, mendapat tempat hanya pada beberapa gelintir orang
Belanda dan Indonesia saja terutama mereka yang berafiliasi dengan perkumpulan
Nederlandsch Indische Vrijzinningen Bond (Kesatuan Kaum Liberal Hindia Belanda).[7]
Lanjut
Deliar, yang dipersoalkan oleh Snouck Hurgronje ialah bagaimana menghadapi soal
Islam. Hal ini mudah difahami karena Islam telah memperlihatkan semangat
perjuangannya di Indonesia dalam bentuk pemberontakan dan perlawanan terhadap
penetrasi Belanda di berbagai wilayah negeri ini. Snouck Hurgronje mengamati
bahwa walaupun Islam di Indonesia banyak tertutup oleh lapisan kepercayaan lain
seperti kepercayaan animisme dan Hindu, orang-orang Islam di negeri ini pada
waktu itu menganggap agama mereka sebagai alat pengikat yang kuat yang
membedakan mereka dari orang-orang yang bukan Islam yang mereka anggap sebagai
“orang asing”. Walaupun begitu, demikian Snouck Hurgronje, orang Islam di
Indonesia lebih memperhatikan persoalan Islam sebagai agama dalam pengertian
yang sempit (seperti perkawinan, hubungan keluarga, peraturan berkenaan dengan
waris) sedangkan aspek politik dan sosial dari agama Islam kurang mendapat
perhatian.[8]
Snouck Hurgronje
menasehatkan pemerintah Belanda agar memberikan perhatian yang sangat kepada
pendidikan dan pengajaran orang Islam Indonesia tanpa menghubungkannya dengan
persoalan pengkristenan. Cara ini, katanya, akan “memajukan {meng-emansipasi}”
mereka “dari sistem Islam”. Cara ini akan menyampaikan orang Indonesia untuk menerima
kebudayaan Belanda, yaitu kebudayaan Barat, dan menumbuhkan pula pengertian
yang lebih baik di antara mereka terhadap orang-orang Belanda.
Katanya lagi, adalah dia dalam ”asosiasi
penduduk pribumi dengan kebudayaan kita [Belanda] terletak pemecahan persoalan
Islam”. Cara ini akan “menghapuskan perbedaan yang dijumpai dalam aspek politik
dan sosial karena kepercayaan agama [yang berbeda]”.
Hurgronje
menambahkan lagi bahwa asosiasi itu akan”menghilangkan cita-cita pan-Islam dari
segala kekuatannya.” Secara tak langsung cara tersebut akan bermanfaat bagi
penyebaran agama Kristen sendiri, katanya lagi, sebab pelaksanaan politik
asosiasi itu akhirnya akan memudahkan pekerjaan missi, oleh sebab missi akan
“dapat lebih menumbuhkan pengertian pada kalangan penduduk pribumi yang telah
kena asosiasi itu terhadap mereka.”[9]
Tetapi Politik Etis tidaklah sesabar Snouck
Hurgronje dalam hal pengkristenan. Politik Etis tidak mengendurkan kegiatan
missionaris agar memberi jalan bagi proses asosiasi seperti yang disarankan
ilmuwan Belanda tersebut. Dalam hubungan ini pernyataan kerajaan Belanda dalam
tahun 1901 yang memperkenalkan Politik Etis itu merupakan suatu bukti nyata:
Sebagai
bangsa Kristen, Belanda mempunyai kewajiban untuk memperbaiki keadaan orang-orang
Kristen pribumi di daerah kepulauan Nusantara, memberikan bantuan lebih banyak
kepada kegiatan missi Kristen, dan memberikan penerangan kepada segenap petugas
bahwa Belanda mempunyai kewajiban moril terhadap penduduk wilayah itu.[10]
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Christiaan_Snouck_Hurgronje/024-09-2012
[2] H
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1985, h 20-21.
[3]
Qasim As-Samra’i, Al-Istisyraqu bainal Maudhu’iyati wal Ifti’aliyah, terjemahan
Prof. Dr Syuhudi Isma’il dkk, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, GIP, Jakarta,
cetakan pertama 1417H/ 1996M, hl 139.
[4] H
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, cetakan pertama,
1985, hal 1-2, mengutip Harry J Benda,
“Christian Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in
Indonesia,” dalam Contiunity and Change
in Southeast Asia, (Yale University,
1972), hal 83.
[5]
ibid hlm. 2
[6]
Endang Basri Ananda (editor), 70 Tahun Prof. Dr. H.M Rasjidi, Harian Umum
Pelita, Jakarta, 1985, hal.53-54
[7]
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, cetakan II,
1985, hal 182, mengutip Pangeran Aria chmad Djajadiningrat, Kenang-kenangan (Jakarta: Kolff-Buning/ Balai
Pustaka, 1936), hal 385.
[8]
Deliar Noer, hal 182-183, mengutip
Hurgronje, Nederland en de Islam, edisi ke-2
(Leiden: E.J Brill, 1915), hal 59, 78.
[9]
Deliar Noer, hal 182-183, mengutip
Hurgronje, Nederland en de Islam, edisi ke-2
(Leiden: E.J Brill, 1915), hal 59, 78.
[10]
Deliar, hal 183-184, mengutip
Handelingen der Staten Generaal, Pidato kenegaraan Raja, 18 September 1901
sebagai dikutip oleh van der Kroef, JM va der,
Dutch Colonial Policy in Indonesia, hal. 53).