Kamis, 08 November 2012

Sagita Tugas PKT


KITAB TAFSIR AL-MANAR, KARYA MUHAMMAD ABDUH,

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ”Perkembangan Kitab Tafsir”



Oleh:

Sagita (082092016)

 

yang dibina oleh :

H. Mawardi Abdulolah, Lc. M.Ag.


JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

2012




BABI PENDAHULUAN

            Sejak zaman Rasulullah saw, sebenarnya sudah dikenal dua cara penafsiran, yaitu penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu, dan penafsiran berdasarkan ijtihad atau ra'y. Rasulullah saw sendiri sesungguhnya sudah menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ijtihad. Akan tetapi, ijtihad Rasullah itu tentunya ditopang oleh wahyu, yaitu akan dikoreksi oleh wahyu Allah sekiranya ijtihad beliau tidak tepat. Oleh karena itu, tidak ada kekhawatiran bahwa penafsiran beliau yang bersifat ra'y akan mengalami penyimpangan.
            Di masa sahabat, sumber untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an, di samping ayat itu sendiri, juga riwayat dari Nabi dan ijtihad mereka meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas. Akan tetapi perlu dicatat bahwa para sahabat sesungguhnya sangat hati-hati. Mereka tidak berani menafsirkan ayat-ayat yang memang tidak mereka ketahui maknanya. Dengan kata lain, mereka tidak berusaha untuk membuat penafsiran berdasarkan ra'y sendiri. Kehati-hatian untuk menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra'y juga tetap dipraktekkan oleh para tabi'in. Mereka tetap konsisten dengan sikap sahabat. Dengan demikian, corak penafsiran ra'y memang belum berkembang pesat sampai pada akhir abad pertama hijriyah.
            Pada abad-abad selanjutnya, usaha penafsiran berdasarkan ra'y mulai berkembang, timbul seiring dengan perkembangan Islam di bidang politik yang ditandai dengan meluasnya wilayah-wilayah Islam. Dalam ekspansi ini, umat Islam bertemu dengan berbagai problema yang membutuhkan pemecahan-pemecahan berdasarkan al-Qur’an dan hadist. Di samping itu, umat Islam bertemu pula dengan beraneka macam budaya yang tentunya turut mempengaruhi mereka dalam memahami al-Qur’an.
            Karena problema-problema yang ditemui tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan hadis, maka para ulama pun melakukan ijtihad dengan memberikan interpretasi rasional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, penafsiran rasional terhadap ayat al-Qur’an adalah hal yang tak terhindarkan sesuai dengan perkembangan hidup dan akal pikiran manusia.
           



BAB II PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Abduh

            Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.[1] Pada tahun 1849 Masehi, beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Mahallat Nasr yang berada di kawasan al-Buhairah, Mesir. Setelah mulai menginjak usia remaja, Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha, sekitar 80 km dari Kairo, untuk belajar Tajwid al-Qur’an dengan Syaikh Mujahid yang terkenal dengan seni bacaan tajwidnya. Namun setelah beberapa saat ia belajar di sana, ia merasa bahwa metode pengajaran yang diterapkan cukup menjengkelkan dan tidak bisa ia pahami. Maka setelah 2 tahun, Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya. Namun karena itu, ia justru dinikahkan oleh orang tuanya dalam usia 16 tahun.
            Muhammad Abduh meninggal di Kairo Mesir.[2] Ia pernah diasingkan ke Syuriah karena keterlibatannya dalampemberontakan ‘Arabi sebagai gerakan pembaharuan. Dalam pemikirannya, iamengikuti Ibn Taimiyah yang mencela tahayul dan bid’ah yang telah mencemari iman. Kemerosotan kondisi Islam pada saat itu sangat mengganggu hati danpikirannya.
            Karena terus dipaksa oleh ayahnya untuk belajar di al-Ahmadi, Abduh akhirnya melarikan diri ke Syibral Khit dimana di desa ini banyak tinggal keluarga dari ayahnya. Dan di sinilah dia bertemu dengan syeikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya sendiri yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur’an dan penganut thariqah asy-Syadziliah. Selain itu Syeikh Darwisy juga telah hafal Muwaththa’ ibnu Malik dan beberapa kitab hadits lainnya.
            Berawal dari pertemuan dengan pamannya inilah Abduh mulai menemukan pencerahan akan hakikat ilmu pengetahuan dan kembali mendapat semangat untuk menimba ilmu di Mesjid Thantha. Usai dari sana, beliau melanjutkan studinya di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866. Di al-Azhar Muhammad Abduh melemparkan kritikannya tentang metode pengajaran yang diterapkan. “kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama’ terdahulu, tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan”.
            Namun demikian, di al-Azhar Abduh juga mengagumi beberapa Masyayikh. Diantaranya adalah Syaikh Hasan ath-Thawil yang mengajarkan kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles dan lain sebagianya. Abduh juga mengagumi sosok Muhammad al-Basyumi yang banyak mencurahkan perhatiannya dalam bidang sastra dan bahasa.
            Pada tahun 1871 Masehi, ketika Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir, Abduh sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang digelar oleh Syeikh Jamaluddin. Disamping itu dia juga sering mengikuti halaqah-halaqah non-formal dan mendengarkan pelajaran langsung di rumah al-Afghani. Maka secara alami, Abduh juga ikut terpengaruh dan menyebarkan corak pemikiran Afghani. Dari kedekatannya inilah Jamaluddin al-Afghani berhasil mengubah Abduh dari tasawwuf (dalam arti sempit), kepada tasawuf dalam arti lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam.
             Gagasan-gagasannya meliputi pembaharuan intelektual dan politik agama, serta unifikasi politik di bawah satu pimpinan utama. Menurutnya bahwapada dasarnya tidak ada pertentangan antara Islam dengan ilmu pengetahuan. Bahkan ia menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an secara rasional dan mengakui kekurangan skolastisisme[3] Islam.
B. Karya-karya Muhammad Abduh:
1. Ulasan ( syarah ) buku al- Bashairun Nasiriah, karangan al- Qadhi
Zainuddin, tahun 1898.
2. Risalah at-Tauhid (dalam Bidang teologi), tahun 1897
3. Al-Islam wa an-Nashraniyat ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyat tahun 1902.8
4. Risalah al-'Aridat (1837),
5. Hasyiah Syarah al-Jalal ad-Diwani Lil ‘Aqaid adh-Adhudhiyah (1875)
6. Syarah Nahjul Balaghah (Komentar menyangkut kumpulan pidato dan
ucapan Imam Ali bin Abi Thalib)
7. Menerjemahkan karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia, Ar-Raddu 'Ala ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan).
8. Syarah Maqamat Badi' az-Zaman al-Hamazani (kitab yang menyangkut
bahasa dan sastra Arab).
9. Tafsir al-Qur’an al-Hakim (belum sempurna, kemudian dirampungkan
oleh Rasyid Ridha);
10. Khasyiah ‘Ala Syarh ad-Diwani li al-‘Aqaid adh-‘Adhudhiyat9
C. Mengenal Tafsir al-Manar
            Abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, terus menerus merosot, terbelakang dan banyak negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing. Pada masa itulah muncul seorang pemimpin Islam bernama Jamaluddin Al- Afghani, mengumandangkan seruan untuk membangkitkan Muslimin. Muridnya yang pertama yang mengikuti jejaknya ialah Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam.
             Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan serta apa yang bernama kemajuan. Muhammad Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke dalam majalah Al-Manar. Hal itu sebagai langkah pertama. Langkah selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama tafsir al-Manar, kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran Qur’an dengan kehidupan masyarakat, di samping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.
            Tafsir al-Manar yang berjumlah 12 jilid yang diterbitkan oleh Dar al-Manar di Kairo pada tahun 1346H. Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas al- Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad Rasyid Ridha dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Kemudian kitab ini lebih popular dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan periodik. Al-Manar terbit pertama kalinya pada tanggal 22 Syawal 1315 H atau 17 Maret 1898 M, yang dilatarbelakangi oleh keinginan Rasyid Ridha untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial-budaya dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan Muhammad Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan Indonesia.
            Tafsir Al-Manar yang bernama Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai Kitab Tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah syariah, serta Sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, di setiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslimin pada masa diterbitkannya yang berpaling dari petunjuk itu, serta membandingkan dengan keadaan para salaf yang berpegang teguh dengan tali hidayah itu.
             Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam, tetapi dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendekiawan). Tafsir al- Manar pada dasarnya merupakan hasil karya 3 (tiga) orang Tokoh Islam, yaitu: Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.3 Dalam makalah ini, kami membahas dua tokoh Tafsir Al-Manar yaitu Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, karena dari Muhammad Abduh bahwa gagasan dari gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani itu dicerna, diterima dan diolah yang disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dan dari Muhammad Rasyid Ridha inilah kemudian menulis semua yang disampaikan sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.

D. METODE DAN CORAK PENAFSIRAN
            Muhammad Abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda yang pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Qur’an. untuk bidang penafsiran, ia menyatakan bahwa dialog Al-Qur’an bukan saja di peruntukkan bagi masyarakat Arab yang tidak tahu baca tulis tetapi berlaku umum untuk setiapmasa dan generasi.
            Menurut Abduh, mempelajari dan menggali tafsir al-Qur’an secara mendalam bukanlah sesuatu yang mudah. Bahkan ia termasuk bidang yang paling sulit namun sangat penting. Titik kesulitan tersebut menurutnya karena disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah; karena al-Qur’an merupakan “kalâm samâwi” atau “sabda langit” yang diturunkan dari haribaan Tuhan semesta alam kepada hati penutup para nabi, Muhammad SAW, dan ia mengandung begitu banyak pelajaran dan ilmu pengetahuan yang agung. Maka tidak akan mungkin bisa menemukan mutiara hikmah yang terkandung di dalamnya, kecuali orang-orang yang mempunyai hati bersih dan akal yang cemerlang.
            Meskipun demikian, dalam hal ini Muhammad Abduh adalah satu-satunya ulama’, diantara sekian banyak ulama’ al-Azhar, yang secara terang-terangan menyerukan dakwahnya kepada pembaharuan dan pembebasan diri dari belenggu taqlid. Maka ia menggunakan kebebasan akalnya dalam setiap tulisan-tulisannya maupun penelitiannya. Abduh tidak menempuh dan mengikuti terhadap sesuatu yang ia anggap baku dan kaku dari pemikiran serta statemen-statemen para pendahulunya. Sehingga dari situ muncullah gagasan-gagasan serta ide Abduh yang dianggap kontroversial dan sangat kontras dengan pemikiran para ulama’ sebelumnya. Banyak dari kalangan ulama’ Mesir yang marah dan geram dengan sikap Abduh tersebut. Namun tidak sedikit pula para pengikut dan muridnya yang telah banyak mengikuti jejaknya.
            Kemerdekaan akal dan revolusi Abduh terhadap pola pemikiran lama ini memberikan pengaruh yang besar terhadap berbagai macam metode yang ia terapkan, termasuk dalam bidang tafsir. Diantara beberapa aspek yang membedakan Abduh dengan kebanyakan mufassirin sebelum dan sezamannya karena ia telah mengambil dasar tersendiri yang ia jadikan sebagai landasan dan alat bedah dalam menafsirkan al-Qur’an. Landasan Abduh dalam penafsirannya adalah bagaimana mendapatkan pemahaman terhadap al-Qur’an, yang merupakan pondasi dasar agama, dengan berbagai macam kandungannya yang dapat mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebab menurut Abduh, inilah tujuan tertinggi dari al-Qur’an. Adapun pembahasan-pembahasan lain yang menyertainya merupakan konsekuensi atau aksi lanjutan dan jalan untuk mencapai tujuan itu.

            Setelah Abduh menetapkan landasan dasar ini dalam ranah penafsirannya, ia beranjak mengkritik kelalaian para mufassirin dari tujuan utama ini. Yaitu tentang apa yang ada dalam al-Qur’an -dari petunjuk dan bimbingan- lalu mereka perluas pembahasan tafsir mereka kepada bentuk lain dari segi balaghah, nahwu, perbedaan-perbedaan dalam hukum fikih, dan berbagai macam maqashid yang dinilali oleh Abduh; dengan itu justru dapat menghamburkan maksud asli dari kitab suci, sekaligus mengarah kepada egoisme dan fanatisme terhadap kepentingan madzhab masing-masing. Akibat dari dominasi nafsu kepentingan tersebut dikhawatirkan akan membuat mereka alpa akan makna yang hakiki dari al-Qur’an.
            Menanggapi fenomena ini, Syeikh Muhammad Abduh mengklasifikasikan corak penafsiran menjadi dua bagian:
1. Penafsiran yang kering dan jauh dari ruh ketuhanan sekaligus kitab-Nya. Yang ia maksud di sini adalah penguraian/perincian per kata, lalu kedudukan kalimat dalam i’rab, dan penjelasan dari apa yang disiratkan oleh kandungan ungkapan-ungkapan serta isyarat dari disiplin ilmu tersebut. Abduh berkata: “model atau corak penafsiran yang seperti ini sebetulnya tidak pantas disebut sebagai tafsir. Akan tetapi ia adalah bentuk dari semacam latihan dan ujian dalam sebuah disiplin ilmu seperti nahwu, ma’ani, dan lain sebagainya.
2. Corak kedua adalah metode penafsiran yang digunakan oleh mufassir dengan memahami maksud sebuah ucapan, Hikmah at-Tasyrî’ fi al-‘Aqâ’id wa al-Ahkâm (dalam bentuk yang dapat menarik hasrat hati), lalu menggiringnya pada aktualisasi dalam perbuatan nyata dan menemukan petunjuk yang tersirat dalam setiap kalam/sabda. Maka dari sini diharapkan akan dapat merealisasikan firman Allah; al-Qur’an sebagai “Hudan wa Rahmatan” dan semisalnya, dari berbagai macam sifat al-Qur’an (yang dinyatakan oleh Abduh; “inilah tujuan utama yang tersirat dalam kegiatan membaca dan menafsirkan al-Qur’an”).
            Dengan ungkapan di atas, sejatinya Muhammad Abduh tidak lantas mengabaikan secara serta-mertra faktor-faktor balaghiyyah dan nahwiyyah dalam penafsiran al-Qur’an. Akan tetapi Abduh bermaksud agar para mufassir bisa mengambil unsur tersebut sesuai kebutuhan saja. Misalnya seorang mufassir menjelaskan dari segi balaghah dan i’rab terhadap sebuah kalimat yang masih ambigu dan bersifat multiinterpretatif, dan dalam bentuk yang sesuai dengan kaidah fashahah Qur’an dan balaghahnya, dengan tanpa berlebih-lebihan.
            Selanjutnya, secara lebih rinci Muhammad Abduh juga membagi tingkatan tafsir menjadi dua bagian:
1. Tingkatan yang terendah, adalah model tafsir yang hanya menjelaskan secara global apa yang bisa dicerna oleh hati tentang kebesaran Allah dan penyucian-Nya. Lalu dapat menghindarkan nafsu dari perbuatan jelek, dan menariknya untuk berbuat kebaikan (baca: Q.S al-Qamar: 17).
2. Adapun tingkatan yang tertinggi hanya akan tercapai setelah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
a. Memahami hakikat makna per kata yang terkandung dalam al-Qur’an, dengan syarat seorang mufassir harus mendengarnya langsung dari ahli bahasa, bukan hanya mendengarnya dari perkataan dan pemahaman seseorang (yang belum jelas.)
b. Memahami berbagai macam gaya bahasa. Dengan kemampuan ilmunya, seorang mufassir diharapkan mampu memahami gaya bahasa dalam ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang tinggi. Tingkatan ini dapat dicapai dengan mempelajari dan menerapkan rumus-rumus atau kaidah “kalam baligh” serta dibarengi dengan pendalaman corak sastra, dan menjaga agar bisa selaras dengan makna yang tekandung dalam teks.
c. Mengetahui ilmu sosiologi. Di dalam al-Qur’an banyak kita temukan ayat yang berbicara tentang kondisi sosial masyarakat , kisah-kisah sejarah umat manusia, dan sunnatullah dalam diri manusia, yang menjadikan ilmu sosiologi itu penting untuk dipelajari.
d. Mengetahui konteks dimana dan bagaimana al-Qur’an diturunkan, sehingga dapat mengetahui sisi-sisi al-Qur’an sebagai petunjuk pada masa kenabian dimana al-Qur’an diwahyukan.
e. Mengetahui sejarah perjalanan Nabi SAW dan para sahabatnya, serta keilmuan mereka dan perbuatan mereka dalam ibadah dan mu’amalah.
            Tujuan utama yang termaktub dalam kegiatan membaca tafsir adalah penggabungan syarat-syarat tersebut, agar bisa mencapai target purna yaitu mendapatkan pemahaman akan arti sebuah ungkapan Tuhan. Di samping itu juga untuk mendapatkan pemahaman tentang hikmah pensyariatan akidah dan hukum dalam bentuk yang bisa menarik hati, sekaligus mengantarkannya pada perbuatan nyata atas pantulan cahaya petunjuk yang tersimpan dalam al-Qur’an. Adapun tujuan hakiki dari semua usaha tersebut adalah untuk mencari petunjuk dari al-Qur’an al-Karim.
            Berangkat dari beberapa uraian di atas, setidaknya kita mulai dapat menyimpulkan metode seperti apa yang sebenarnya diinginkan oleh Syeikh Muhammad Abduh. Maka jika kita komparasikan dengan empat metode tafsir yang sudah ada; tahlili (analitik), ijmâli (global), muqârin (perbandingan) dan maudhu’i (tematik), kita dapat menganalisa Abduh lebih cenderung membuat metode sendiri yang tidak berkutat pada salah satu dari keempat metode itu.
            Metode tahlili; tentu saja Abduh tidak murni menggunakan satu metode ini. Karena yang dikehendaki oleh metode analitik adalah dengan menjelaskan setiap kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat; yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat; yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma ahlak dan lain sebagainya.
            Sementara metode ijmâli; metode ini sebenarnya hampir sama dengan metode pertama (dalam hal menafsirkan al-Qur’an dari ayat per ayat). Namun perbedaannya terdapat pada penjelasan yang detail dan rinci pada metode pertama, sementara metode ijmâli tidak menjelaskan per ayat secara detail dan tuntas. Maka Abduh tidak termasuk memakai metode ini karena beliau belum sempat menghasilkan kitab tafsir secara tuntas 30 juz.
            Lalu metode muqârin atau muqâranah; tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama’ tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu. Jika kita tengok ulang, maka Muhammad Abduh terlihat jarang menggunakan metode ini, terlebih dengan memberikan perbandingan antara pendapat-pendapat para ulama’ tafsir.
            Adapun metode maudhu’i; Muhammad Abduh juga tidak menempuh metode ini karena yang dimaksudkan di sini adalah penyusunan tafsir dengan mengumpulkan ayat-ayat yang se-tujuan menjadi satu bab sesuai tema/topik yang ditentukan. Sementara selama mengajar di al-Azhar beliau hanya sempat mengajarkan tafsir mulai dari awal al-Qur’an (surat al-Fatihah) pada bulan Muharram 1317 H dan selesai hingga surat an-Nisa’ ayat 126, pada pertengahan Muharram 1323 H.
            Metode penafsiran Abduh memang cukup susah untuk dianalisa dan dikategorikan. Pasalnya beliau memang belum pernah secara khusus menulis satu kitab tafsir secara utuh. Namun setidaknya kita dapat mengetahui lebih jauh tentang metodologi tafsir Muhammad Abduh lewat corak yang ia hadirkan dalam beberapa kajian tafsirnya.
            Adapun corak Kitab Tafsir al-Manar adalah Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan, corak inilah yang yang digagas dan didengungkan pertama kali oleh Syeikh Muhammad Abduh. Melalui corak ini Abduh ingin menguak dan menjelaskan petunjuk-petunjuk dari ayat al-Qur’an yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi berbagai macam penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk-petunjuk ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti, namun enak didengar.

Penutup
Demikianlah uraian sederhana seputar riwayat hidup Syeikh Muhammad Abduh dan sepak terjangnya dalam dunia tafsir. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini kecuali para Nabi dan Rosulullah yang ma’shum. Setiap orang pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Maka dengan mengenal dan mengkaji para tokoh dan ulama’-ulama’ terdahulu Islam, kita bisa mengambil ‘ibrah dan pelajaran yang baik dari mereka untuk kita teladani.

F. CONTOH PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH

            Beliau menafsirkan firman Allah:
            “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), (Qs, al-Infithar: 10-11)
            Beliau menegaskan bahwa: salah satu kewajiban kita adalah beriman yang gaib, yang diberi tahu oleh dalam kitabnya salah satunya adalah bahwa disekitar kita ada malaikat penjaga yang bertugas menulis amal-amal kita, kita tidak wajib mengetahuinya seperti apa malaikta itu atau dari apa? dan diciptakan?, atau mereka memakai buku catatan atau tidak?, kewajiban kita hanyalah beriman yang menyerahkan semuanya kepada Alllah swt.[4]


























BABI PENUTUP

            Ada beberapa poin penting yang bisa kita petik dari Syeikh Muhammad Abduh. Yang pertama, yaitu semangat beliau dalam menyebarkan dan menyegarkan ajaran islam. Dengan memberikan tasyji’ kepada umat islam untuk terus belajar dan menggali ilmu, sehingga dari situ kita tidak hanya menjadi muqallid yang kaku, namun menjadi muslim yang kaffah. Kedua, dalam sebuah ungkapannya beliau berkata : bahwa ”al-Qur’an adalah sebagai timbangan dimana nilai-nilai akidah akan diketahui dari situ. Dan beliau menyatakan bahwa, wajib bagi setiap orang yang menelaah al-Qur’an agar menjadikannya sebagai sumber atau asal-muasal dimana akidahnya itu diambil, lalu ia mengambil sebuah istinbath/keputusan dari situ”.
            Pesan tersirat dari ungkapan di atas adalah, bahwa keberadaan al-Qur’an adalah sumber dari segalanya. Maka setiap akidah, syari’at, hukum dan lain sebagainya berasal dari al-Qur’an. Dan bukanlah sebaliknya, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan dan pembenar atas klaim madzhab masing-masing ataupun aliran masing-masing.
            Ketiga, untuk menjadi seseorang yang “luar biasa”, terkadang kita memang harus siap menerima penentangan atau bahkan terasingkan tanpa terbuang atas sikap yang kita ambil. Hingga pada akhirnya kita dapat benar-benar membuktikan bahwa sikap kita itu tidak salah, bahkan mendekati ‘kebenaran’. Maka, to be different is not crime! Wallahu a’lam bisshawab….!!!












BAB IV DAFTAR PUSTAKA

Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Bairut, Lebanon, (1981).
Husein al-Dzahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun  Toha Putra Semarang, (2000).

Abu Shahbah, Israiliyyat wa al-Mawdu'at fi Kutub al-Tafsir wa al-Hadith, al Masdkhal, Bairut,   (1980).Lebanon
al-Shraniy, Kasyf al-Dzunun, Bairut,  (1984). Lebanon

Ibnu Hajar, al-Asqalaniy, Lisan al-Mizan , Bairut,  (1988).Lebanon

Ibnu Hajar, al-Asqalaniy, al-Durar al-Kaminah , Bairut,  (1992).Lebanon


Asy-Syirbashi, Ahmad. Terj. Sejarah Tafsir Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdous. 1985.
Bahasa,Tim penyusun Kamus Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2. Jakarta: Balai


[1] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad dan Rasyid Ridha, cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 11.
[2] Ibid, hal. 17
[3] Skolastisisme: teologi dan falsafah Kristen abad pertengahan yang didasarkan pada falsafahAristoteles dan menekankan dasar rasional bagi iman Kristen. Lihat Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Hal. 1079
[4] Husein al-Dzahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun  juz II hlm. 411

KITAB TAFSIR AL-MANAR, KARYA MUHAMMAD ABDUH,

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ”Perkembangan Kitab Tafsir”



Oleh:

Sagita (082092016)

 

yang dibina oleh :

H. Mawardi Abdulolah, Lc. M.Ag.


JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

2012




BABI PENDAHULUAN

            Sejak zaman Rasulullah saw, sebenarnya sudah dikenal dua cara penafsiran, yaitu penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu, dan penafsiran berdasarkan ijtihad atau ra'y. Rasulullah saw sendiri sesungguhnya sudah menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ijtihad. Akan tetapi, ijtihad Rasullah itu tentunya ditopang oleh wahyu, yaitu akan dikoreksi oleh wahyu Allah sekiranya ijtihad beliau tidak tepat. Oleh karena itu, tidak ada kekhawatiran bahwa penafsiran beliau yang bersifat ra'y akan mengalami penyimpangan.
            Di masa sahabat, sumber untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an, di samping ayat itu sendiri, juga riwayat dari Nabi dan ijtihad mereka meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas. Akan tetapi perlu dicatat bahwa para sahabat sesungguhnya sangat hati-hati. Mereka tidak berani menafsirkan ayat-ayat yang memang tidak mereka ketahui maknanya. Dengan kata lain, mereka tidak berusaha untuk membuat penafsiran berdasarkan ra'y sendiri. Kehati-hatian untuk menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra'y juga tetap dipraktekkan oleh para tabi'in. Mereka tetap konsisten dengan sikap sahabat. Dengan demikian, corak penafsiran ra'y memang belum berkembang pesat sampai pada akhir abad pertama hijriyah.
            Pada abad-abad selanjutnya, usaha penafsiran berdasarkan ra'y mulai berkembang, timbul seiring dengan perkembangan Islam di bidang politik yang ditandai dengan meluasnya wilayah-wilayah Islam. Dalam ekspansi ini, umat Islam bertemu dengan berbagai problema yang membutuhkan pemecahan-pemecahan berdasarkan al-Qur’an dan hadist. Di samping itu, umat Islam bertemu pula dengan beraneka macam budaya yang tentunya turut mempengaruhi mereka dalam memahami al-Qur’an.
            Karena problema-problema yang ditemui tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan hadis, maka para ulama pun melakukan ijtihad dengan memberikan interpretasi rasional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, penafsiran rasional terhadap ayat al-Qur’an adalah hal yang tak terhindarkan sesuai dengan perkembangan hidup dan akal pikiran manusia.
           



BAB II PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Abduh

            Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.[1] Pada tahun 1849 Masehi, beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Mahallat Nasr yang berada di kawasan al-Buhairah, Mesir. Setelah mulai menginjak usia remaja, Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha, sekitar 80 km dari Kairo, untuk belajar Tajwid al-Qur’an dengan Syaikh Mujahid yang terkenal dengan seni bacaan tajwidnya. Namun setelah beberapa saat ia belajar di sana, ia merasa bahwa metode pengajaran yang diterapkan cukup menjengkelkan dan tidak bisa ia pahami. Maka setelah 2 tahun, Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya. Namun karena itu, ia justru dinikahkan oleh orang tuanya dalam usia 16 tahun.
            Muhammad Abduh meninggal di Kairo Mesir.[2] Ia pernah diasingkan ke Syuriah karena keterlibatannya dalampemberontakan ‘Arabi sebagai gerakan pembaharuan. Dalam pemikirannya, iamengikuti Ibn Taimiyah yang mencela tahayul dan bid’ah yang telah mencemari iman. Kemerosotan kondisi Islam pada saat itu sangat mengganggu hati danpikirannya.
            Karena terus dipaksa oleh ayahnya untuk belajar di al-Ahmadi, Abduh akhirnya melarikan diri ke Syibral Khit dimana di desa ini banyak tinggal keluarga dari ayahnya. Dan di sinilah dia bertemu dengan syeikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya sendiri yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur’an dan penganut thariqah asy-Syadziliah. Selain itu Syeikh Darwisy juga telah hafal Muwaththa’ ibnu Malik dan beberapa kitab hadits lainnya.
            Berawal dari pertemuan dengan pamannya inilah Abduh mulai menemukan pencerahan akan hakikat ilmu pengetahuan dan kembali mendapat semangat untuk menimba ilmu di Mesjid Thantha. Usai dari sana, beliau melanjutkan studinya di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866. Di al-Azhar Muhammad Abduh melemparkan kritikannya tentang metode pengajaran yang diterapkan. “kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama’ terdahulu, tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan”.
            Namun demikian, di al-Azhar Abduh juga mengagumi beberapa Masyayikh. Diantaranya adalah Syaikh Hasan ath-Thawil yang mengajarkan kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles dan lain sebagianya. Abduh juga mengagumi sosok Muhammad al-Basyumi yang banyak mencurahkan perhatiannya dalam bidang sastra dan bahasa.
            Pada tahun 1871 Masehi, ketika Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir, Abduh sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang digelar oleh Syeikh Jamaluddin. Disamping itu dia juga sering mengikuti halaqah-halaqah non-formal dan mendengarkan pelajaran langsung di rumah al-Afghani. Maka secara alami, Abduh juga ikut terpengaruh dan menyebarkan corak pemikiran Afghani. Dari kedekatannya inilah Jamaluddin al-Afghani berhasil mengubah Abduh dari tasawwuf (dalam arti sempit), kepada tasawuf dalam arti lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam.
             Gagasan-gagasannya meliputi pembaharuan intelektual dan politik agama, serta unifikasi politik di bawah satu pimpinan utama. Menurutnya bahwapada dasarnya tidak ada pertentangan antara Islam dengan ilmu pengetahuan. Bahkan ia menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an secara rasional dan mengakui kekurangan skolastisisme[3] Islam.
B. Karya-karya Muhammad Abduh:
1. Ulasan ( syarah ) buku al- Bashairun Nasiriah, karangan al- Qadhi
Zainuddin, tahun 1898.
2. Risalah at-Tauhid (dalam Bidang teologi), tahun 1897
3. Al-Islam wa an-Nashraniyat ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyat tahun 1902.8
4. Risalah al-'Aridat (1837),
5. Hasyiah Syarah al-Jalal ad-Diwani Lil ‘Aqaid adh-Adhudhiyah (1875)
6. Syarah Nahjul Balaghah (Komentar menyangkut kumpulan pidato dan
ucapan Imam Ali bin Abi Thalib)
7. Menerjemahkan karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia, Ar-Raddu 'Ala ad-Dahriyyin (Bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan).
8. Syarah Maqamat Badi' az-Zaman al-Hamazani (kitab yang menyangkut
bahasa dan sastra Arab).
9. Tafsir al-Qur’an al-Hakim (belum sempurna, kemudian dirampungkan
oleh Rasyid Ridha);
10. Khasyiah ‘Ala Syarh ad-Diwani li al-‘Aqaid adh-‘Adhudhiyat9
C. Mengenal Tafsir al-Manar
            Abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, terus menerus merosot, terbelakang dan banyak negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing. Pada masa itulah muncul seorang pemimpin Islam bernama Jamaluddin Al- Afghani, mengumandangkan seruan untuk membangkitkan Muslimin. Muridnya yang pertama yang mengikuti jejaknya ialah Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam.
             Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan serta apa yang bernama kemajuan. Muhammad Rasyid Ridha murid Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke dalam majalah Al-Manar. Hal itu sebagai langkah pertama. Langkah selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama tafsir al-Manar, kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran Qur’an dengan kehidupan masyarakat, di samping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.
            Tafsir al-Manar yang berjumlah 12 jilid yang diterbitkan oleh Dar al-Manar di Kairo pada tahun 1346H. Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas al- Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad Rasyid Ridha dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Kemudian kitab ini lebih popular dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan periodik. Al-Manar terbit pertama kalinya pada tanggal 22 Syawal 1315 H atau 17 Maret 1898 M, yang dilatarbelakangi oleh keinginan Rasyid Ridha untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial-budaya dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan Muhammad Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan Indonesia.
            Tafsir Al-Manar yang bernama Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai Kitab Tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah syariah, serta Sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, di setiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslimin pada masa diterbitkannya yang berpaling dari petunjuk itu, serta membandingkan dengan keadaan para salaf yang berpegang teguh dengan tali hidayah itu.
             Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam, tetapi dapat diabaikan oleh orang-orang khusus (cendekiawan). Tafsir al- Manar pada dasarnya merupakan hasil karya 3 (tiga) orang Tokoh Islam, yaitu: Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.3 Dalam makalah ini, kami membahas dua tokoh Tafsir Al-Manar yaitu Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, karena dari Muhammad Abduh bahwa gagasan dari gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani itu dicerna, diterima dan diolah yang disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dan dari Muhammad Rasyid Ridha inilah kemudian menulis semua yang disampaikan sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.

D. METODE DAN CORAK PENAFSIRAN
            Muhammad Abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda yang pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Qur’an. untuk bidang penafsiran, ia menyatakan bahwa dialog Al-Qur’an bukan saja di peruntukkan bagi masyarakat Arab yang tidak tahu baca tulis tetapi berlaku umum untuk setiapmasa dan generasi.
            Menurut Abduh, mempelajari dan menggali tafsir al-Qur’an secara mendalam bukanlah sesuatu yang mudah. Bahkan ia termasuk bidang yang paling sulit namun sangat penting. Titik kesulitan tersebut menurutnya karena disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah; karena al-Qur’an merupakan “kalâm samâwi” atau “sabda langit” yang diturunkan dari haribaan Tuhan semesta alam kepada hati penutup para nabi, Muhammad SAW, dan ia mengandung begitu banyak pelajaran dan ilmu pengetahuan yang agung. Maka tidak akan mungkin bisa menemukan mutiara hikmah yang terkandung di dalamnya, kecuali orang-orang yang mempunyai hati bersih dan akal yang cemerlang.
            Meskipun demikian, dalam hal ini Muhammad Abduh adalah satu-satunya ulama’, diantara sekian banyak ulama’ al-Azhar, yang secara terang-terangan menyerukan dakwahnya kepada pembaharuan dan pembebasan diri dari belenggu taqlid. Maka ia menggunakan kebebasan akalnya dalam setiap tulisan-tulisannya maupun penelitiannya. Abduh tidak menempuh dan mengikuti terhadap sesuatu yang ia anggap baku dan kaku dari pemikiran serta statemen-statemen para pendahulunya. Sehingga dari situ muncullah gagasan-gagasan serta ide Abduh yang dianggap kontroversial dan sangat kontras dengan pemikiran para ulama’ sebelumnya. Banyak dari kalangan ulama’ Mesir yang marah dan geram dengan sikap Abduh tersebut. Namun tidak sedikit pula para pengikut dan muridnya yang telah banyak mengikuti jejaknya.
            Kemerdekaan akal dan revolusi Abduh terhadap pola pemikiran lama ini memberikan pengaruh yang besar terhadap berbagai macam metode yang ia terapkan, termasuk dalam bidang tafsir. Diantara beberapa aspek yang membedakan Abduh dengan kebanyakan mufassirin sebelum dan sezamannya karena ia telah mengambil dasar tersendiri yang ia jadikan sebagai landasan dan alat bedah dalam menafsirkan al-Qur’an. Landasan Abduh dalam penafsirannya adalah bagaimana mendapatkan pemahaman terhadap al-Qur’an, yang merupakan pondasi dasar agama, dengan berbagai macam kandungannya yang dapat mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebab menurut Abduh, inilah tujuan tertinggi dari al-Qur’an. Adapun pembahasan-pembahasan lain yang menyertainya merupakan konsekuensi atau aksi lanjutan dan jalan untuk mencapai tujuan itu.

            Setelah Abduh menetapkan landasan dasar ini dalam ranah penafsirannya, ia beranjak mengkritik kelalaian para mufassirin dari tujuan utama ini. Yaitu tentang apa yang ada dalam al-Qur’an -dari petunjuk dan bimbingan- lalu mereka perluas pembahasan tafsir mereka kepada bentuk lain dari segi balaghah, nahwu, perbedaan-perbedaan dalam hukum fikih, dan berbagai macam maqashid yang dinilali oleh Abduh; dengan itu justru dapat menghamburkan maksud asli dari kitab suci, sekaligus mengarah kepada egoisme dan fanatisme terhadap kepentingan madzhab masing-masing. Akibat dari dominasi nafsu kepentingan tersebut dikhawatirkan akan membuat mereka alpa akan makna yang hakiki dari al-Qur’an.
            Menanggapi fenomena ini, Syeikh Muhammad Abduh mengklasifikasikan corak penafsiran menjadi dua bagian:
1. Penafsiran yang kering dan jauh dari ruh ketuhanan sekaligus kitab-Nya. Yang ia maksud di sini adalah penguraian/perincian per kata, lalu kedudukan kalimat dalam i’rab, dan penjelasan dari apa yang disiratkan oleh kandungan ungkapan-ungkapan serta isyarat dari disiplin ilmu tersebut. Abduh berkata: “model atau corak penafsiran yang seperti ini sebetulnya tidak pantas disebut sebagai tafsir. Akan tetapi ia adalah bentuk dari semacam latihan dan ujian dalam sebuah disiplin ilmu seperti nahwu, ma’ani, dan lain sebagainya.
2. Corak kedua adalah metode penafsiran yang digunakan oleh mufassir dengan memahami maksud sebuah ucapan, Hikmah at-Tasyrî’ fi al-‘Aqâ’id wa al-Ahkâm (dalam bentuk yang dapat menarik hasrat hati), lalu menggiringnya pada aktualisasi dalam perbuatan nyata dan menemukan petunjuk yang tersirat dalam setiap kalam/sabda. Maka dari sini diharapkan akan dapat merealisasikan firman Allah; al-Qur’an sebagai “Hudan wa Rahmatan” dan semisalnya, dari berbagai macam sifat al-Qur’an (yang dinyatakan oleh Abduh; “inilah tujuan utama yang tersirat dalam kegiatan membaca dan menafsirkan al-Qur’an”).
            Dengan ungkapan di atas, sejatinya Muhammad Abduh tidak lantas mengabaikan secara serta-mertra faktor-faktor balaghiyyah dan nahwiyyah dalam penafsiran al-Qur’an. Akan tetapi Abduh bermaksud agar para mufassir bisa mengambil unsur tersebut sesuai kebutuhan saja. Misalnya seorang mufassir menjelaskan dari segi balaghah dan i’rab terhadap sebuah kalimat yang masih ambigu dan bersifat multiinterpretatif, dan dalam bentuk yang sesuai dengan kaidah fashahah Qur’an dan balaghahnya, dengan tanpa berlebih-lebihan.
            Selanjutnya, secara lebih rinci Muhammad Abduh juga membagi tingkatan tafsir menjadi dua bagian:
1. Tingkatan yang terendah, adalah model tafsir yang hanya menjelaskan secara global apa yang bisa dicerna oleh hati tentang kebesaran Allah dan penyucian-Nya. Lalu dapat menghindarkan nafsu dari perbuatan jelek, dan menariknya untuk berbuat kebaikan (baca: Q.S al-Qamar: 17).
2. Adapun tingkatan yang tertinggi hanya akan tercapai setelah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
a. Memahami hakikat makna per kata yang terkandung dalam al-Qur’an, dengan syarat seorang mufassir harus mendengarnya langsung dari ahli bahasa, bukan hanya mendengarnya dari perkataan dan pemahaman seseorang (yang belum jelas.)
b. Memahami berbagai macam gaya bahasa. Dengan kemampuan ilmunya, seorang mufassir diharapkan mampu memahami gaya bahasa dalam ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang tinggi. Tingkatan ini dapat dicapai dengan mempelajari dan menerapkan rumus-rumus atau kaidah “kalam baligh” serta dibarengi dengan pendalaman corak sastra, dan menjaga agar bisa selaras dengan makna yang tekandung dalam teks.
c. Mengetahui ilmu sosiologi. Di dalam al-Qur’an banyak kita temukan ayat yang berbicara tentang kondisi sosial masyarakat , kisah-kisah sejarah umat manusia, dan sunnatullah dalam diri manusia, yang menjadikan ilmu sosiologi itu penting untuk dipelajari.
d. Mengetahui konteks dimana dan bagaimana al-Qur’an diturunkan, sehingga dapat mengetahui sisi-sisi al-Qur’an sebagai petunjuk pada masa kenabian dimana al-Qur’an diwahyukan.
e. Mengetahui sejarah perjalanan Nabi SAW dan para sahabatnya, serta keilmuan mereka dan perbuatan mereka dalam ibadah dan mu’amalah.
            Tujuan utama yang termaktub dalam kegiatan membaca tafsir adalah penggabungan syarat-syarat tersebut, agar bisa mencapai target purna yaitu mendapatkan pemahaman akan arti sebuah ungkapan Tuhan. Di samping itu juga untuk mendapatkan pemahaman tentang hikmah pensyariatan akidah dan hukum dalam bentuk yang bisa menarik hati, sekaligus mengantarkannya pada perbuatan nyata atas pantulan cahaya petunjuk yang tersimpan dalam al-Qur’an. Adapun tujuan hakiki dari semua usaha tersebut adalah untuk mencari petunjuk dari al-Qur’an al-Karim.
            Berangkat dari beberapa uraian di atas, setidaknya kita mulai dapat menyimpulkan metode seperti apa yang sebenarnya diinginkan oleh Syeikh Muhammad Abduh. Maka jika kita komparasikan dengan empat metode tafsir yang sudah ada; tahlili (analitik), ijmâli (global), muqârin (perbandingan) dan maudhu’i (tematik), kita dapat menganalisa Abduh lebih cenderung membuat metode sendiri yang tidak berkutat pada salah satu dari keempat metode itu.
            Metode tahlili; tentu saja Abduh tidak murni menggunakan satu metode ini. Karena yang dikehendaki oleh metode analitik adalah dengan menjelaskan setiap kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat; yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat; yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma ahlak dan lain sebagainya.
            Sementara metode ijmâli; metode ini sebenarnya hampir sama dengan metode pertama (dalam hal menafsirkan al-Qur’an dari ayat per ayat). Namun perbedaannya terdapat pada penjelasan yang detail dan rinci pada metode pertama, sementara metode ijmâli tidak menjelaskan per ayat secara detail dan tuntas. Maka Abduh tidak termasuk memakai metode ini karena beliau belum sempat menghasilkan kitab tafsir secara tuntas 30 juz.
            Lalu metode muqârin atau muqâranah; tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama’ tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu. Jika kita tengok ulang, maka Muhammad Abduh terlihat jarang menggunakan metode ini, terlebih dengan memberikan perbandingan antara pendapat-pendapat para ulama’ tafsir.
            Adapun metode maudhu’i; Muhammad Abduh juga tidak menempuh metode ini karena yang dimaksudkan di sini adalah penyusunan tafsir dengan mengumpulkan ayat-ayat yang se-tujuan menjadi satu bab sesuai tema/topik yang ditentukan. Sementara selama mengajar di al-Azhar beliau hanya sempat mengajarkan tafsir mulai dari awal al-Qur’an (surat al-Fatihah) pada bulan Muharram 1317 H dan selesai hingga surat an-Nisa’ ayat 126, pada pertengahan Muharram 1323 H.
            Metode penafsiran Abduh memang cukup susah untuk dianalisa dan dikategorikan. Pasalnya beliau memang belum pernah secara khusus menulis satu kitab tafsir secara utuh. Namun setidaknya kita dapat mengetahui lebih jauh tentang metodologi tafsir Muhammad Abduh lewat corak yang ia hadirkan dalam beberapa kajian tafsirnya.
            Adapun corak Kitab Tafsir al-Manar adalah Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan, corak inilah yang yang digagas dan didengungkan pertama kali oleh Syeikh Muhammad Abduh. Melalui corak ini Abduh ingin menguak dan menjelaskan petunjuk-petunjuk dari ayat al-Qur’an yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi berbagai macam penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk-petunjuk ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti, namun enak didengar.

Penutup
Demikianlah uraian sederhana seputar riwayat hidup Syeikh Muhammad Abduh dan sepak terjangnya dalam dunia tafsir. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini kecuali para Nabi dan Rosulullah yang ma’shum. Setiap orang pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Maka dengan mengenal dan mengkaji para tokoh dan ulama’-ulama’ terdahulu Islam, kita bisa mengambil ‘ibrah dan pelajaran yang baik dari mereka untuk kita teladani.

F. CONTOH PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH

            Beliau menafsirkan firman Allah:
            “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), (Qs, al-Infithar: 10-11)
            Beliau menegaskan bahwa: salah satu kewajiban kita adalah beriman yang gaib, yang diberi tahu oleh dalam kitabnya salah satunya adalah bahwa disekitar kita ada malaikat penjaga yang bertugas menulis amal-amal kita, kita tidak wajib mengetahuinya seperti apa malaikta itu atau dari apa? dan diciptakan?, atau mereka memakai buku catatan atau tidak?, kewajiban kita hanyalah beriman yang menyerahkan semuanya kepada Alllah swt.[4]


























BABI PENUTUP

            Ada beberapa poin penting yang bisa kita petik dari Syeikh Muhammad Abduh. Yang pertama, yaitu semangat beliau dalam menyebarkan dan menyegarkan ajaran islam. Dengan memberikan tasyji’ kepada umat islam untuk terus belajar dan menggali ilmu, sehingga dari situ kita tidak hanya menjadi muqallid yang kaku, namun menjadi muslim yang kaffah. Kedua, dalam sebuah ungkapannya beliau berkata : bahwa ”al-Qur’an adalah sebagai timbangan dimana nilai-nilai akidah akan diketahui dari situ. Dan beliau menyatakan bahwa, wajib bagi setiap orang yang menelaah al-Qur’an agar menjadikannya sebagai sumber atau asal-muasal dimana akidahnya itu diambil, lalu ia mengambil sebuah istinbath/keputusan dari situ”.
            Pesan tersirat dari ungkapan di atas adalah, bahwa keberadaan al-Qur’an adalah sumber dari segalanya. Maka setiap akidah, syari’at, hukum dan lain sebagainya berasal dari al-Qur’an. Dan bukanlah sebaliknya, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan dan pembenar atas klaim madzhab masing-masing ataupun aliran masing-masing.
            Ketiga, untuk menjadi seseorang yang “luar biasa”, terkadang kita memang harus siap menerima penentangan atau bahkan terasingkan tanpa terbuang atas sikap yang kita ambil. Hingga pada akhirnya kita dapat benar-benar membuktikan bahwa sikap kita itu tidak salah, bahkan mendekati ‘kebenaran’. Maka, to be different is not crime! Wallahu a’lam bisshawab….!!!












BAB IV DAFTAR PUSTAKA

Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Bairut, Lebanon, (1981).
Husein al-Dzahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun  Toha Putra Semarang, (2000).

Abu Shahbah, Israiliyyat wa al-Mawdu'at fi Kutub al-Tafsir wa al-Hadith, al Masdkhal, Bairut,   (1980).Lebanon
al-Shraniy, Kasyf al-Dzunun, Bairut,  (1984). Lebanon

Ibnu Hajar, al-Asqalaniy, Lisan al-Mizan , Bairut,  (1988).Lebanon

Ibnu Hajar, al-Asqalaniy, al-Durar al-Kaminah , Bairut,  (1992).Lebanon


Asy-Syirbashi, Ahmad. Terj. Sejarah Tafsir Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdous. 1985.
Bahasa,Tim penyusun Kamus Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2. Jakarta: Balai


[1] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad dan Rasyid Ridha, cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 11.
[2] Ibid, hal. 17
[3] Skolastisisme: teologi dan falsafah Kristen abad pertengahan yang didasarkan pada falsafahAristoteles dan menekankan dasar rasional bagi iman Kristen. Lihat Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2. (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Hal. 1079
[4] Husein al-Dzahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun  juz II hlm. 411