KITAB TAFSIR AL-MANAR, KARYA MUHAMMAD
ABDUH,
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ”Perkembangan Kitab Tafsir”
Oleh:
Sagita (082092016)
yang dibina oleh :
H. Mawardi Abdulolah, Lc. M.Ag.
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) JEMBER
2012
BABI PENDAHULUAN
Sejak
zaman Rasulullah saw, sebenarnya sudah dikenal dua cara penafsiran, yaitu
penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu, dan penafsiran berdasarkan ijtihad atau
ra'y. Rasulullah saw sendiri sesungguhnya sudah menafsirkan al-Qur’an
berdasarkan ijtihad. Akan tetapi, ijtihad Rasullah itu tentunya ditopang oleh
wahyu, yaitu akan dikoreksi oleh wahyu Allah sekiranya ijtihad beliau tidak
tepat. Oleh karena itu, tidak ada kekhawatiran bahwa penafsiran beliau yang
bersifat ra'y akan mengalami penyimpangan.
Di masa sahabat, sumber untuk
memahami ayat-ayat al-Qur’an, di samping ayat itu sendiri, juga riwayat dari
Nabi dan ijtihad mereka meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas. Akan tetapi
perlu dicatat bahwa para sahabat sesungguhnya sangat hati-hati. Mereka tidak
berani menafsirkan ayat-ayat yang memang tidak mereka ketahui maknanya. Dengan
kata lain, mereka tidak berusaha untuk membuat penafsiran berdasarkan ra'y
sendiri. Kehati-hatian untuk menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra'y juga tetap
dipraktekkan oleh para tabi'in. Mereka tetap konsisten dengan sikap sahabat.
Dengan demikian, corak penafsiran ra'y memang belum berkembang pesat sampai
pada akhir abad pertama hijriyah.
Pada abad-abad selanjutnya, usaha penafsiran
berdasarkan ra'y mulai berkembang, timbul seiring dengan perkembangan Islam di
bidang politik yang ditandai dengan meluasnya wilayah-wilayah Islam. Dalam
ekspansi ini, umat Islam bertemu dengan berbagai problema yang membutuhkan
pemecahan-pemecahan berdasarkan al-Qur’an dan hadist. Di samping itu, umat
Islam bertemu pula dengan beraneka macam budaya yang tentunya turut
mempengaruhi mereka dalam memahami al-Qur’an.
Karena problema-problema yang
ditemui tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam al-Qur’an dan
hadis, maka para ulama pun melakukan ijtihad dengan memberikan interpretasi
rasional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, penafsiran rasional
terhadap ayat al-Qur’an adalah hal yang tak terhindarkan sesuai dengan perkembangan
hidup dan akal pikiran manusia.
BAB
II PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad
Abduh
Muhammad Abduh adalah Muhammad bin
Abduh bin Hasan Khairullah.[1] Pada
tahun 1849 Masehi, beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Mahallat Nasr yang
berada di kawasan al-Buhairah, Mesir. Setelah mulai menginjak usia remaja,
Abduh dikirim oleh ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha, sekitar 80 km dari
Kairo, untuk belajar Tajwid al-Qur’an dengan Syaikh Mujahid yang terkenal
dengan seni bacaan tajwidnya. Namun setelah beberapa saat ia belajar di sana,
ia merasa bahwa metode pengajaran yang diterapkan cukup menjengkelkan dan tidak
bisa ia pahami. Maka setelah 2 tahun, Abduh memutuskan untuk kembali ke
desanya. Namun karena itu, ia justru dinikahkan oleh orang tuanya dalam usia 16
tahun.
Muhammad Abduh meninggal di Kairo
Mesir.[2] Ia
pernah diasingkan ke Syuriah karena keterlibatannya dalampemberontakan ‘Arabi
sebagai gerakan pembaharuan. Dalam pemikirannya, iamengikuti Ibn Taimiyah yang
mencela tahayul dan bid’ah yang telah mencemari iman. Kemerosotan kondisi Islam
pada saat itu sangat mengganggu hati danpikirannya.
Karena terus dipaksa oleh ayahnya
untuk belajar di al-Ahmadi, Abduh akhirnya melarikan diri ke Syibral Khit
dimana di desa ini banyak tinggal keluarga dari ayahnya. Dan di sinilah dia
bertemu dengan syeikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya sendiri yang
mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur’an dan penganut thariqah asy-Syadziliah.
Selain itu Syeikh Darwisy juga telah hafal Muwaththa’ ibnu Malik dan beberapa
kitab hadits lainnya.
Berawal dari pertemuan dengan
pamannya inilah Abduh mulai menemukan pencerahan akan hakikat ilmu pengetahuan
dan kembali mendapat semangat untuk menimba ilmu di Mesjid Thantha. Usai dari
sana, beliau melanjutkan studinya di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866.
Di al-Azhar Muhammad Abduh melemparkan kritikannya tentang metode pengajaran
yang diterapkan. “kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat
para ulama’ terdahulu, tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian,
perbandingan dan pentarjihan”.
Namun demikian, di al-Azhar Abduh
juga mengagumi beberapa Masyayikh. Diantaranya adalah Syaikh Hasan ath-Thawil
yang mengajarkan kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles
dan lain sebagianya. Abduh juga mengagumi sosok Muhammad al-Basyumi yang banyak
mencurahkan perhatiannya dalam bidang sastra dan bahasa.
Pada tahun 1871 Masehi, ketika
Jamaluddin al-Afghani tiba di Mesir, Abduh sering menghadiri
pertemuan-pertemuan ilmiah yang digelar oleh Syeikh Jamaluddin. Disamping itu
dia juga sering mengikuti halaqah-halaqah non-formal dan mendengarkan pelajaran
langsung di rumah al-Afghani. Maka secara alami, Abduh juga ikut terpengaruh
dan menyebarkan corak pemikiran Afghani. Dari kedekatannya inilah Jamaluddin
al-Afghani berhasil mengubah Abduh dari tasawwuf (dalam arti sempit), kepada
tasawuf dalam arti lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan masyarakat dan
membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam.
Gagasan-gagasannya meliputi pembaharuan
intelektual dan politik agama, serta unifikasi politik di bawah satu pimpinan
utama. Menurutnya bahwapada dasarnya tidak ada pertentangan antara Islam dengan
ilmu pengetahuan. Bahkan ia menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an secara rasional
dan mengakui kekurangan skolastisisme[3]
Islam.
B.
Karya-karya Muhammad Abduh:
1. Ulasan (
syarah ) buku al- Bashairun Nasiriah, karangan al- Qadhi
Zainuddin, tahun
1898.
2. Risalah
at-Tauhid (dalam Bidang teologi), tahun 1897
3. Al-Islam wa
an-Nashraniyat ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyat tahun 1902.8
4. Risalah
al-'Aridat (1837),
5. Hasyiah
Syarah al-Jalal ad-Diwani Lil ‘Aqaid adh-Adhudhiyah (1875)
6. Syarah Nahjul
Balaghah (Komentar menyangkut kumpulan pidato dan
ucapan Imam Ali
bin Abi Thalib)
7. Menerjemahkan
karangan Jamaluddin al-Afghani dari bahasa Persia, Ar-Raddu 'Ala ad-Dahriyyin
(Bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan).
8. Syarah
Maqamat Badi' az-Zaman al-Hamazani (kitab yang menyangkut
bahasa dan
sastra Arab).
9. Tafsir
al-Qur’an al-Hakim (belum sempurna, kemudian dirampungkan
oleh Rasyid
Ridha);
10. Khasyiah
‘Ala Syarh ad-Diwani li al-‘Aqaid adh-‘Adhudhiyat9
C. Mengenal
Tafsir al-Manar
Abad ke-19 dunia Islam mengalami
masa suram, terus menerus merosot, terbelakang dan banyak negara muslimin yang
sedang menghadapi pendudukan asing. Pada masa itulah muncul seorang pemimpin
Islam bernama Jamaluddin Al- Afghani, mengumandangkan seruan untuk
membangkitkan Muslimin. Muridnya yang pertama yang mengikuti jejaknya ialah
Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan
pengertian Islam.
Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan
kehidupan modern, dan membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan
dengan peradaban, kehidupan serta apa yang bernama kemajuan. Muhammad Rasyid
Ridha murid Muhammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya
ke dalam majalah Al-Manar. Hal itu sebagai langkah pertama. Langkah selanjutnya
ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang
diberi nama tafsir al-Manar, kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan
sesuai dengan perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran
Qur’an dengan kehidupan masyarakat, di samping membuktikan bahwa Islam adalah
agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan,
waktu dan tempat.
Tafsir al-Manar yang berjumlah 12
jilid yang diterbitkan oleh Dar al-Manar di Kairo pada tahun 1346H. Tafsir ini
bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang
disampaikan di Universitas al- Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun
1905) oleh Muhammad Rasyid Ridha dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim.
Kemudian kitab ini lebih popular dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah
diterbitkan secara serial dan periodik. Al-Manar terbit pertama kalinya pada
tanggal 22 Syawal 1315 H atau 17 Maret 1898 M, yang dilatarbelakangi oleh
keinginan Rasyid Ridha untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah
masalah-masalah sosial-budaya dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang
ketiga dengan Muhammad Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman
dan ternyata mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara
Arab sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan Indonesia.
Tafsir Al-Manar yang bernama Tafsir
Al-Qur’an Al-Hakim memperkenalkan dirinya sebagai Kitab Tafsir satu-satunya
yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang
menjelaskan hikmah syariah, serta Sunnatullah (hukum Allah yang berlaku) terhadap
manusia, dan menjelaskan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk seluruh
manusia, di setiap waktu dan tempat, serta membandingkan antara petunjuknya
dengan keadaan kaum Muslimin pada masa diterbitkannya yang berpaling dari
petunjuk itu, serta membandingkan dengan keadaan para salaf yang berpegang
teguh dengan tali hidayah itu.
Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah
sambil berusaha menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat
dimengerti oleh orang awam, tetapi dapat diabaikan oleh orang-orang khusus
(cendekiawan). Tafsir al- Manar pada dasarnya merupakan hasil karya 3 (tiga)
orang Tokoh Islam, yaitu: Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad
Rasyid Ridha.3 Dalam makalah ini, kami membahas dua tokoh Tafsir Al-Manar yaitu
Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, karena dari Muhammad Abduh bahwa
gagasan dari gurunya yaitu Jamaluddin al-Afghani itu dicerna, diterima dan
diolah yang disampaikan melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur'an dan dari
Muhammad Rasyid Ridha inilah kemudian menulis semua yang disampaikan sahabat
dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.
D. METODE DAN
CORAK PENAFSIRAN
Muhammad Abduh menilai kitab-kitab
tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan
berbagai pendapat ulama yang saling berbeda yang pada akhirnya menjauh dari
tujuan diturunkannya Al-Qur’an. untuk bidang penafsiran, ia menyatakan bahwa
dialog Al-Qur’an bukan saja di peruntukkan bagi masyarakat Arab yang tidak tahu
baca tulis tetapi berlaku umum untuk setiapmasa dan generasi.
Menurut Abduh, mempelajari dan
menggali tafsir al-Qur’an secara mendalam bukanlah sesuatu yang mudah. Bahkan
ia termasuk bidang yang paling sulit namun sangat penting. Titik kesulitan
tersebut menurutnya karena disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah;
karena al-Qur’an merupakan “kalâm samâwi” atau “sabda langit” yang diturunkan
dari haribaan Tuhan semesta alam kepada hati penutup para nabi, Muhammad SAW,
dan ia mengandung begitu banyak pelajaran dan ilmu pengetahuan yang agung. Maka
tidak akan mungkin bisa menemukan mutiara hikmah yang terkandung di dalamnya,
kecuali orang-orang yang mempunyai hati bersih dan akal yang cemerlang.
Meskipun demikian, dalam hal ini
Muhammad Abduh adalah satu-satunya ulama’, diantara sekian banyak ulama’
al-Azhar, yang secara terang-terangan menyerukan dakwahnya kepada pembaharuan
dan pembebasan diri dari belenggu taqlid. Maka ia menggunakan kebebasan akalnya
dalam setiap tulisan-tulisannya maupun penelitiannya. Abduh tidak menempuh dan
mengikuti terhadap sesuatu yang ia anggap baku dan kaku dari pemikiran serta
statemen-statemen para pendahulunya. Sehingga dari situ muncullah
gagasan-gagasan serta ide Abduh yang dianggap kontroversial dan sangat kontras
dengan pemikiran para ulama’ sebelumnya. Banyak dari kalangan ulama’ Mesir yang
marah dan geram dengan sikap Abduh tersebut. Namun tidak sedikit pula para
pengikut dan muridnya yang telah banyak mengikuti jejaknya.
Kemerdekaan akal dan revolusi Abduh
terhadap pola pemikiran lama ini memberikan pengaruh yang besar terhadap
berbagai macam metode yang ia terapkan, termasuk dalam bidang tafsir. Diantara
beberapa aspek yang membedakan Abduh dengan kebanyakan mufassirin sebelum dan
sezamannya karena ia telah mengambil dasar tersendiri yang ia jadikan sebagai
landasan dan alat bedah dalam menafsirkan al-Qur’an. Landasan Abduh dalam
penafsirannya adalah bagaimana mendapatkan pemahaman terhadap al-Qur’an, yang
merupakan pondasi dasar agama, dengan berbagai macam kandungannya yang dapat
mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebab menurut Abduh,
inilah tujuan tertinggi dari al-Qur’an. Adapun pembahasan-pembahasan lain yang
menyertainya merupakan konsekuensi atau aksi lanjutan dan jalan untuk mencapai
tujuan itu.
Setelah Abduh menetapkan landasan
dasar ini dalam ranah penafsirannya, ia beranjak mengkritik kelalaian para
mufassirin dari tujuan utama ini. Yaitu tentang apa yang ada dalam al-Qur’an
-dari petunjuk dan bimbingan- lalu mereka perluas pembahasan tafsir mereka
kepada bentuk lain dari segi balaghah, nahwu, perbedaan-perbedaan dalam hukum
fikih, dan berbagai macam maqashid yang dinilali oleh Abduh; dengan itu justru
dapat menghamburkan maksud asli dari kitab suci, sekaligus mengarah kepada
egoisme dan fanatisme terhadap kepentingan madzhab masing-masing. Akibat dari
dominasi nafsu kepentingan tersebut dikhawatirkan akan membuat mereka alpa akan
makna yang hakiki dari al-Qur’an.
Menanggapi fenomena ini, Syeikh
Muhammad Abduh mengklasifikasikan corak penafsiran menjadi dua bagian:
1. Penafsiran
yang kering dan jauh dari ruh ketuhanan sekaligus kitab-Nya. Yang ia maksud di
sini adalah penguraian/perincian per kata, lalu kedudukan kalimat dalam i’rab,
dan penjelasan dari apa yang disiratkan oleh kandungan ungkapan-ungkapan serta
isyarat dari disiplin ilmu tersebut. Abduh berkata: “model atau corak
penafsiran yang seperti ini sebetulnya tidak pantas disebut sebagai tafsir.
Akan tetapi ia adalah bentuk dari semacam latihan dan ujian dalam sebuah
disiplin ilmu seperti nahwu, ma’ani, dan lain sebagainya.
2. Corak kedua
adalah metode penafsiran yang digunakan oleh mufassir dengan memahami maksud
sebuah ucapan, Hikmah at-Tasyrî’ fi al-‘Aqâ’id wa al-Ahkâm (dalam bentuk yang
dapat menarik hasrat hati), lalu menggiringnya pada aktualisasi dalam perbuatan
nyata dan menemukan petunjuk yang tersirat dalam setiap kalam/sabda. Maka dari
sini diharapkan akan dapat merealisasikan firman Allah; al-Qur’an sebagai
“Hudan wa Rahmatan” dan semisalnya, dari berbagai macam sifat al-Qur’an (yang
dinyatakan oleh Abduh; “inilah tujuan utama yang tersirat dalam kegiatan
membaca dan menafsirkan al-Qur’an”).
Dengan ungkapan di atas, sejatinya
Muhammad Abduh tidak lantas mengabaikan secara serta-mertra faktor-faktor
balaghiyyah dan nahwiyyah dalam penafsiran al-Qur’an. Akan tetapi Abduh bermaksud
agar para mufassir bisa mengambil unsur tersebut sesuai kebutuhan saja.
Misalnya seorang mufassir menjelaskan dari segi balaghah dan i’rab terhadap
sebuah kalimat yang masih ambigu dan bersifat multiinterpretatif, dan dalam
bentuk yang sesuai dengan kaidah fashahah Qur’an dan balaghahnya, dengan tanpa
berlebih-lebihan.
Selanjutnya, secara lebih rinci
Muhammad Abduh juga membagi tingkatan tafsir menjadi dua bagian:
1. Tingkatan
yang terendah, adalah model tafsir yang hanya menjelaskan secara global apa
yang bisa dicerna oleh hati tentang kebesaran Allah dan penyucian-Nya. Lalu
dapat menghindarkan nafsu dari perbuatan jelek, dan menariknya untuk berbuat
kebaikan (baca: Q.S al-Qamar: 17).
2. Adapun
tingkatan yang tertinggi hanya akan tercapai setelah memenuhi beberapa syarat
berikut ini:
a. Memahami
hakikat makna per kata yang terkandung dalam al-Qur’an, dengan syarat seorang
mufassir harus mendengarnya langsung dari ahli bahasa, bukan hanya mendengarnya
dari perkataan dan pemahaman seseorang (yang belum jelas.)
b. Memahami
berbagai macam gaya bahasa. Dengan kemampuan ilmunya, seorang mufassir
diharapkan mampu memahami gaya bahasa dalam ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang
tinggi. Tingkatan ini dapat dicapai dengan mempelajari dan menerapkan
rumus-rumus atau kaidah “kalam baligh” serta dibarengi dengan pendalaman corak
sastra, dan menjaga agar bisa selaras dengan makna yang tekandung dalam teks.
c. Mengetahui
ilmu sosiologi. Di dalam al-Qur’an banyak kita temukan ayat yang berbicara
tentang kondisi sosial masyarakat , kisah-kisah sejarah umat manusia, dan
sunnatullah dalam diri manusia, yang menjadikan ilmu sosiologi itu penting
untuk dipelajari.
d. Mengetahui
konteks dimana dan bagaimana al-Qur’an diturunkan, sehingga dapat mengetahui
sisi-sisi al-Qur’an sebagai petunjuk pada masa kenabian dimana al-Qur’an
diwahyukan.
e. Mengetahui
sejarah perjalanan Nabi SAW dan para sahabatnya, serta keilmuan mereka dan
perbuatan mereka dalam ibadah dan mu’amalah.
Tujuan utama yang termaktub dalam
kegiatan membaca tafsir adalah penggabungan syarat-syarat tersebut, agar bisa
mencapai target purna yaitu mendapatkan pemahaman akan arti sebuah ungkapan
Tuhan. Di samping itu juga untuk mendapatkan pemahaman tentang hikmah
pensyariatan akidah dan hukum dalam bentuk yang bisa menarik hati, sekaligus
mengantarkannya pada perbuatan nyata atas pantulan cahaya petunjuk yang
tersimpan dalam al-Qur’an. Adapun tujuan hakiki dari semua usaha tersebut
adalah untuk mencari petunjuk dari al-Qur’an al-Karim.
Berangkat dari beberapa uraian di
atas, setidaknya kita mulai dapat menyimpulkan metode seperti apa yang
sebenarnya diinginkan oleh Syeikh Muhammad Abduh. Maka jika kita komparasikan
dengan empat metode tafsir yang sudah ada; tahlili (analitik), ijmâli (global),
muqârin (perbandingan) dan maudhu’i (tematik), kita dapat menganalisa Abduh
lebih cenderung membuat metode sendiri yang tidak berkutat pada salah satu dari
keempat metode itu.
Metode tahlili; tentu saja Abduh
tidak murni menggunakan satu metode ini. Karena yang dikehendaki oleh metode
analitik adalah dengan menjelaskan setiap kosa kata dan lafadz, menjelaskan
arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat; yaitu
unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa
yang dapat diambil dari ayat; yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara
bahasa, norma-norma ahlak dan lain sebagainya.
Sementara metode ijmâli; metode ini
sebenarnya hampir sama dengan metode pertama (dalam hal menafsirkan al-Qur’an
dari ayat per ayat). Namun perbedaannya terdapat pada penjelasan yang detail
dan rinci pada metode pertama, sementara metode ijmâli tidak menjelaskan per
ayat secara detail dan tuntas. Maka Abduh tidak termasuk memakai metode ini
karena beliau belum sempat menghasilkan kitab tafsir secara tuntas 30 juz.
Lalu metode muqârin atau muqâranah;
tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat
dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama’ tafsir dengan
menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu. Jika kita
tengok ulang, maka Muhammad Abduh terlihat jarang menggunakan metode ini,
terlebih dengan memberikan perbandingan antara pendapat-pendapat para ulama’
tafsir.
Adapun metode maudhu’i; Muhammad
Abduh juga tidak menempuh metode ini karena yang dimaksudkan di sini adalah
penyusunan tafsir dengan mengumpulkan ayat-ayat yang se-tujuan menjadi satu bab
sesuai tema/topik yang ditentukan. Sementara selama mengajar di al-Azhar beliau
hanya sempat mengajarkan tafsir mulai dari awal al-Qur’an (surat al-Fatihah)
pada bulan Muharram 1317 H dan selesai hingga surat an-Nisa’ ayat 126, pada
pertengahan Muharram 1323 H.
Metode penafsiran Abduh memang cukup
susah untuk dianalisa dan dikategorikan. Pasalnya beliau memang belum pernah
secara khusus menulis satu kitab tafsir secara utuh. Namun setidaknya kita
dapat mengetahui lebih jauh tentang metodologi tafsir Muhammad Abduh lewat
corak yang ia hadirkan dalam beberapa kajian tafsirnya.
Adapun corak Kitab Tafsir al-Manar adalah
Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan, corak inilah yang yang digagas dan
didengungkan pertama kali oleh Syeikh Muhammad Abduh. Melalui corak ini Abduh
ingin menguak dan menjelaskan petunjuk-petunjuk dari ayat al-Qur’an yang
bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk
menanggulangi berbagai macam penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan
petunjuk-petunjuk ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang
mudah dimengerti, namun enak didengar.
Penutup
Demikianlah
uraian sederhana seputar riwayat hidup Syeikh Muhammad Abduh dan sepak
terjangnya dalam dunia tafsir. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini kecuali
para Nabi dan Rosulullah yang ma’shum. Setiap orang pasti mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Maka dengan mengenal dan mengkaji para tokoh dan ulama’-ulama’
terdahulu Islam, kita bisa mengambil ‘ibrah dan pelajaran yang baik dari mereka
untuk kita teladani.
F. CONTOH
PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH
Beliau menafsirkan firman Allah:
“Padahal sesungguhnya bagi kamu
ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),”
(Qs, al-Infithar: 10-11)
Beliau menegaskan bahwa: salah satu kewajiban
kita adalah beriman yang gaib, yang diberi tahu oleh dalam kitabnya salah
satunya adalah bahwa disekitar kita ada malaikat penjaga yang bertugas menulis
amal-amal kita, kita tidak wajib mengetahuinya seperti apa malaikta itu atau
dari apa? dan diciptakan?, atau mereka memakai buku catatan atau tidak?,
kewajiban kita hanyalah beriman yang menyerahkan semuanya kepada Alllah swt.[4]
BABI PENUTUP
Ada beberapa poin penting yang bisa
kita petik dari Syeikh Muhammad Abduh. Yang pertama, yaitu semangat beliau
dalam menyebarkan dan menyegarkan ajaran islam. Dengan memberikan tasyji’
kepada umat islam untuk terus belajar dan menggali ilmu, sehingga dari situ
kita tidak hanya menjadi muqallid yang kaku, namun menjadi muslim yang kaffah.
Kedua, dalam sebuah ungkapannya beliau berkata : bahwa ”al-Qur’an adalah
sebagai timbangan dimana nilai-nilai akidah akan diketahui dari situ. Dan
beliau menyatakan bahwa, wajib bagi setiap orang yang menelaah al-Qur’an agar
menjadikannya sebagai sumber atau asal-muasal dimana akidahnya itu diambil,
lalu ia mengambil sebuah istinbath/keputusan dari situ”.
Pesan tersirat dari ungkapan di atas
adalah, bahwa keberadaan al-Qur’an adalah sumber dari segalanya. Maka setiap
akidah, syari’at, hukum dan lain sebagainya berasal dari al-Qur’an. Dan
bukanlah sebaliknya, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan dan pembenar
atas klaim madzhab masing-masing ataupun aliran masing-masing.
Ketiga, untuk menjadi seseorang yang
“luar biasa”, terkadang kita memang harus siap menerima penentangan atau bahkan
terasingkan tanpa terbuang atas sikap yang kita ambil. Hingga pada akhirnya
kita dapat benar-benar membuktikan bahwa sikap kita itu tidak salah, bahkan
mendekati ‘kebenaran’. Maka, to be different is not crime! Wallahu a’lam
bisshawab….!!!
BAB IV DAFTAR
PUSTAKA
Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih
al-Ghaib, Bairut, Lebanon, (1981).
Husein al-Dzahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun Toha Putra Semarang, (2000).
Abu
Shahbah, Israiliyyat
wa al-Mawdu'at fi Kutub al-Tafsir wa al-Hadith, al Masdkhal, Bairut, (1980).Lebanon
al-Shraniy, Kasyf al-Dzunun, Bairut, (1984). Lebanon
Ibnu Hajar, al-Asqalaniy, Lisan al-Mizan , Bairut, (1988).Lebanon
Ibnu Hajar, al-Asqalaniy, al-Durar al-Kaminah , Bairut,
(1992).Lebanon
Asy-Syirbashi,
Ahmad. Terj. Sejarah Tafsir Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdous. 1985.
Bahasa,Tim
penyusun Kamus Pusat. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2. Jakarta:
Balai
[1] M.
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad dan
Rasyid Ridha, cet. I (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 11.
[2] Ibid,
hal. 17
[3]
Skolastisisme: teologi dan falsafah Kristen abad pertengahan yang didasarkan
pada falsafahAristoteles dan menekankan dasar rasional bagi iman Kristen. Lihat
Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3. –cet. 2.
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Hal. 1079
Tidak ada komentar:
Posting Komentar