Selasa, 04 September 2012

Rekonstruksi Orientalisme dan Oksidentalisme

Rekonstruksi Orientalisme dan Oksidentalisme

PENDAHULUAN
         Melakukan kajian tentang perkembangan pemikiran tentang orientalisme dan oksidentalisme bukanlah hal yang mudah. Meskipun kajian Orientalisme telah berkembang cukup lama, namun untuk melacak dinamika intelektualismenya harus melibatkan banyak elemen dan beberapa variabel. Karena meski akar-akar kajian orientalisme relatif sama, namun ekspresi yang ditampilkan oleh pakar-pakar orientalisme ternyata sangat beragam. Telah terjadi proses pemahaman yang kurang simpatik mengenai Barat dari sebagian umat Muslim sendiri. Di  samping faktor trauma akibat aksi kolonialisme klasik, lahirnya modernitas Barat dengan segala konsekuensinya masih dihadapi secara konservatif oleh umat Muslim yang berpandangan fundamentalis.
         Tindakan-tindakan radikal serta cara-cara kekerasan yang ditampakkan umat Muslim dalam menghadapi hegemoni Barat, seperti tampak pada demonstrasi radikal di beberapa negeri Muslim dalam menanggapi kartun Nabi, justru menjadi legitimasi bagi gagapnya sebagian umat Muslim yang kehilangan kearifan peradaban. Ketegasan yang arif dan tanpa kekerasan amat sulit ditemui. Sehingga semakin menambah keyakinan Barat atas persepsi Islam yang radikal.
         Ada beberapa statemen yang menilai bahwa orientalisme selalu berkaitan dengan kolonialisme. Tidak sedikit sarjana-sarjana yang mengklaim bahwa kemunculan orientantalis membawa sejumlah malapetaka bagi kaum timur. Akibatnya nosi-nosi ini dijadikan sebagai apologi untuk melawan orientalisme. Kajian orientalisme seperti diarahkan dan terkesan bahwa barat hanyalah berisi orang-orang yang bertujuan mendominasi Timur. Tetapi penulis mencoba mendalami kajian ini dengan integrasi dan interkoneksi dialog wacana orientalisme dan oksidentalisme menjadi sebuah pemahaman yang komperhensif agar supaya tidak ada yang perlu di perdebatkan lagi nosi-nosi yang dianggap tidak obyektif.
PEMBAHASAN
         Berbagai macam tanggapan kaum Muslimin terhadap orientalisme. Tidak sedikit dari mereka ada yang menganggap seluruh orientalis sebagai musuh Islam. Mereka bersikap ekstrim dan menolak seluruh karya-karya orientalis, tidak penting bagi mereka apakah karya itu ilmiah atau tidak. Bahkan  di antara  mereka ada yang secara emosional menyatakan bahwa orang Islam yang mempelajari tulisan karya orientalis termasuk antek-antek zionis.[1] Mereka mempunyai argumen bahwa orientalisme bersumber pada ide-ide Kristenisasi yang menurut Islam sangat merusak dan bertujuan menyerang benteng pertahanan Islam dari dalam. Karena pada faktanya tidak sedikit karya-karya orientalis yang bertolak belakang dengan Islam. H.A.R. Gibb, misalnya, dalam karyanya Mohammedanism berpendapat bahwa al-Quran hanyalah karangan Nabi Muhammad; Gibb seakan menurunkan derajat kesucian agama wahyu ini, padahal tak ada seorang Muslim pun berpendapat bahwa Islam adalah ciptaan Muhammad  SAW.[2]
         Nosi negatif yang dikemukakan oleh Ahmad Abdul Hamid Ghurab mengenai karakter Orientalisme sepertinya memberikan pemaknaan bagi yang negatif tentang orientalis yaitu: pertama, orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai relasi yang sarat dengan kolonialisme Barat; kedua, orientalisme merupakan gerakan dari Kristenisasi; ketiga, orientalisme merupakan kajian gabungan yang kuat antara kolonialisme dengan gerakan Kristenisasi yang validitas ilmiah dan obyektivitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara mutlak khususnya dalam mengutarakan kajian tentang Islam; keempat, orientalisme merupakan bentuk kajian yang dianggap paling potensial dalam politik Barat untuk melawan Islam.[3]
         Ada yang bersikap toleran dan mereka terbagi dalam dua kelompok, satu kelompok bersikap sangat berlebihan, artinya semua karya tulis kaum orientalis dinilai sangat ilmiah sehingga bagi mereka seluruh karya orientalis sangat obyektif dan dapat dipercaya. Kelompok lain bersikap hati-hati dan kritis; mereka selalu berusaha berpijak pada landasan keilmuan. Menurut mereka, cukup banyak karya tulis kaum orientalis yang berisi informasi dan analisis obyektif tentang Islam dan ummatnya, karena memang tidak semua karya orientalis bertolak belakang dengan Islam melainkan hanya sebagian kecilnya saja. Maryam Jamilah menyatakan bahwa orientalisme tidak sama sekali buruk. Sejumlah pemikir besar di Barat, telah menghabiskan umurnya untuk mengkaji Islam lantaran mereka secara jujur tertarik terhadap kajian-kajian itu. Tanpa usaha mereka, banyak di antara pengetahuan berharga dalam buku-buku Islam kuno akan hilang tanpa bekas atau tidak terjamah orang.[4]
         Pada umumnya para orientalis itu benar-benar menekuni pekerjaan penerjemahan ini. Mereka yang cenderung membatasi  cakupan   pengkajiannya hanya pada deskripsi, kadang-kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat  bermanfaat, informatif dan membuka cakrawala pemikiran baru. Persoalan timbul pada saat mereka melangkah terlalu jauh dari batas-batas yang benar dan berusaha menafsirkan Islam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Dunia Islam berdasarkan pandangan-pandangan pribadi yang tidak cocok.
         Edward W Said dalam karyanya Orientalisme. Karya Guru besar Universitas Columbia, New York, ini telah menimbulkan kehebohan dan kontroversi di lingkungan dunia akademis Barat yang biasa disebut kaum orientalis. Menurut Said, orientalisme bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan relijius. Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan Barat tentang dunia oriental bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah Muslim.[5] Dan kolonialisme Eropa tak bisa lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran Kristen.
         Ketiga kepentingan yang saling terkait  satu  sama  lain ini  tersimpul  dalam slogan yang sangat terkenal tentang  ekspansi Eropa ke kawasan dunia Islam, yang mencakup 3G yakni Glory, Gold and Gospel:  kejayaan, kekayaan ekonomi dan penginjilan. Semua motif dan kepentingan orientalisme ini secara implisit juga bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan missi pembudayaan  terhadap dunia Timur yang terbelakang, jika tidak primitif. Kritik keras Said yang sangat menusuk itu mau tak mau sangat mengguncangkan sendi-sendi kajian Barat terhadap dunia Timur. Hasilnya, di kalangan banyak sarjana Barat yang biasa disebut orientalis, istilah orientalisme menjadi sesuatu yang pejoratif, jika tidakdisgusting.[6]
Oksidentalisme Sebagai Jawaban
         Sejak penjajahan Barat, baik melalui pemikiran dan kekuatan ideologi (Kapitalisme dan Sosialisme) yang menguasai kawasan muslim, lambat laun membangkitkan umat dari tidur panjang sejarah peradaban. Modernitas telah menjadi realitas yang tidak bisa lagi ditolak kemunculannya, dan menjadi tantangan besar agama-agama dalam menjawabnya. Lalu, dalam dunia Muslim diperhadapkan pada dua masalah besar, yaitu melawan hegemoni Barat  dan menumbuhkan tradisi pemikiran dengan pendekatan ijtihad dan rasionalisme dalam metode berfikir umat menuju peradaban Islam. Oksidentalisme dan Kiri Islam Hassan Hanafi, gagasan Hassan Hanafi yang lebih banyak berorientasi pada praksis dan wacana pembebasan. Orang banyak mengkritik Hassan Hanafi karena tidak adanya metodologi yang dipakai dalam menganalisa relitas sosial dan menafsirkan teks keagamaan. Ia sering mengatakan bahwa sesungguhnya tak ada metodologi yang dipakainya. Penulis bernganggapan bahwa apa yang selama ini dilakukan olehnya adalah sebagai pembuka atas keadaan umat Islam dari keadaan inferior menjadi setara dengan Barat, dari kegelapan intelektual menuju pencerahan wacana keilmuan, untuk membangun sebuah peradaban yang baru.
         Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yang  sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yang menindas. Upaya rekonstruksi ini diawali dengan menjaga jarak terhadap Asy’arisme, prmikiran keagamaan resmi yang telah bercampur dengan tasawuf dan menajdi ideologi kekuasaan, serta mempengaruhi perilaku negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan ilham dari langit.
         Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam, dan kesatuan umat.[7] Pilar pertama adalah revitalisasi khasanah Islam klasik. Hal ini sebagian sudah dijelaskan pada paragraf di atas. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme, karena rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan Muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat. Hassan Hanafi mengingatkan bahaya imperalisme kultural Barat, dan dia mengusulkan “Oksidentalisme”, yang pembahasannya akan diulas di akhir makalah ini. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia termasuk Islam. Ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu dalam melihat realitas dunia kontemporer. Jadi, ada tiga pilar atau agenda, yaitu : sikap kita terhadap tradisi lama, sikap kita terhadap tradisi Barat, dan sikap kita terhadap realitas.
         Sebelum melangkah pada oksidentaisme, kita perlu bahas dahulu apa yang menjadi pemahaman Hassan Hanafi mengenai tradisi (turats). Tradisi, menurutnya, bukanlah sekedar barang mati yang telah ditinggalkan orang-orang terdahulu. Pernyataan ini persis sama seperti pengakuan Al-Jabiri, yaitu bahwa tradisi adalah barang hidup yang selalu menyertai kekinian kita. Tradisi adalah elemen-elemen budaya, kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup, dan masih terpendam dalam tanggung jawab generasi sesudahnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif, dan sebagai pembentuk “pandangan dunia” serta membimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang.
         Tradisi ternyata telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme dan menjadi kekuatan kekuasaan yang berkedok agama. Sehingga perlu direvitalisasi menjadi kekuatan yang membebaskan. Tradisi, pada dasarnya tidak bernilai. Kecuali jika ia dapat menjadi sarana yang dapat memberikan teori aksi negara Arab dalam merekonstruksi manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Proyek Hassan Hanafi dimaksudkan untuk merekonstruksi, menyatukan, dan mengintepretasikan seluruh ilmu peradaban Islam bedasarkan kebutuhan modern untuk dijadikan sebagai ideologi manusia, untuk menuju kesempurnaan hidup. Hassan Hanafi juga bermaksud merekonstruksi tradisi kebudayaan Barat yang dicirikannya sebagai kebudayaan murni historis, di mana wahyu Tuhan tidak dijadikan sebagai sentral peradaban.[8] Hanafi sedang mendekonstruksi bangunan pemikiran Islam klasik yang mati fungsi peradabannya, di samping juga mendekonstruksi klaim-klaim universalitas dan hegemoni wacana yang dilakukan Barat, melalui pemikiran dan kebudayaan werternis. Pandangan obyektif dan kritis dalam pemikiran Hassan Hanafi adalah bagaimana agenda “oksidentalisme” menjadi kekuatan wacana penyeimbang dalam melihat Barat dan upaya westernasasi.
         Seperti dijelaskan Hassan Hanafi, Oksdentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Orientalisme melihat Timur sebagai the other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas pada ego dengan kompleksitas superioritas pada pihak the other. Oreintalisme lama adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji terhadap obyek yang dikaji. Di sini terjadi superioritas Barat dalam melihat Timur. Hal demikian dibalikkan denganOksidentalisme, yag tugasnya yaitu mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other, menumbangkan superioritas the other Barat dengan menjadikannya sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan infererioritas kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hanya saja Oksidentalsime kali ini dibangun di atas ego yang netral dan tidak berambisi merebut kekuasaan, dan hanya menginginkan pembebasan. Ia juga tidak ingin mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui keterbentukan dan struktur peradaban Barat. Seperti diklaim oleh Hassan Hanafi, ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral dibadindingkan ego Orientalisme.
         Pemikiran Hassan Hanafi juga dilandasi oleh penafsiran secara hermeneutik terhadap teks keagamaan (tradisi keilmuan Islam lama) agar didapatkan pemahaman yang hidup dalam memberikan kontribusi bagi pembebasan. Oksidentalsime adalah bagian dari Kiri Islam, yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif umat Islam dalam membaca tradisinya sendiri dan tradisi the other. Pemikiran beliau juga bermuatan rasional, karena jika masih menggunakan baju konservatisme agama maka tradisi tidak akan berbicara apa-apa. Teks itu adalah barang mati, yang hidup adalah makna dan intepretasi baru. Tugas kita adalah bagaimana menghidupkan teks dalm tradisi itu menjadi relevan dan berguna bagi kondisi saat ini. Pemikiran Hassan Hanafi perlu diapresiasi lebih mendalam, karena ia adalah pelanjut bagi tradisi pemikiran Islam kontemporer yang kritis.
KESIMPULAN
         Orientalis lebih kental nuansa politis dan tendensi kencurigaannya terhadap Islam. Islamisis tampak lebih bersahabat. Kajiannya lebih bersifat ilmiah, daripada penyelidikan demi kepentingan imperialisme. Belakangan ini sarjana muslim mengeritik orientalisme bukan karena tesis-tesis para orientalis itu tidak lebih akurat dibandingkan antitesis mereka, tapi tak jarang justru karena mereka memang sadari awal tidak ingin mendengar pendekatan kritis dan ilmiah apapun terhadap agama. Terlebih bila kritik itu datang dari luar Islam. Padahal, faktanya tak jarang pengkajian ilmiah atas Islam yang dilakukan oleh kalangan orientalis jauh lebih bersungguh-sungguh dan bermutu dibandingkan kajian mereka yang hanya bersikap reaktif saja. Tapi sebetulnya, sejarah tanggapan yang reaktif, baik yang bersifat psikologis maupun ideologis terhadap orientalisme, baru berkembang di dunia Arab setelah tahun 1960-an. Sebelum 1960-an, reaksi terhadap orientalisme jauh lebih berbobot dan cukup positif.
         Respons yang alamiah tatkala intelektual dunia Timur juga melakukan kajian-kajian tentang peradaban Barat “sebagaimana orang Barat melakukannya terhadap Timur” dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Di samping telah menunjukkan semangat keterbukaan dan ilmiah untuk memahami orang lain, apa yang mereka lakukan juga menunjukkan bahwa dialog antarperadaban dan antarkebudayaan mungkin dilaksakan dengan cara-cara yang beradab dan ilmiah.
        Menurut saya, kesalahpahaman persepsi maupun corak pemikiran antara Barat dan umat Islam berakar dari kagagalan dialog eksistensial dan tumbuhnya prasangka yang berlebihan. Alhasil, melahirkan generasi fundamentalisme agama yang akut. Sehingga menjadi tepat bahwa yang terjadi sesungguhnya ialah fenomena benturan fundamentalisme. Maka pada dasarnya, kebesaran orientalisme dilihat dari segi historisnya dibandingkan dengan oksidentalisme yang masih baru ini dapat kita jadikan ukuran bahwa kedua masih belum selesai. Kedua-duanya tetap berkembang sesuai dengan arah kecendrungan para intelektual dalam mengkaji barat ataupun timur. Dan akhirnya, oksidentalisme turut andil dalam membangun peradaban dunia melalui transformasi lintas-kebudayaan melalui sikap saling menghargai dan egaliter. Di sinilah kerangka rekonstruksi dialog Islam dan Barat mesti diletakkan. Tentunya, persoalan ini menjadi tangung jawab kita bersama untuk membangun peradaban baru yang lebih baik dan dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Samurai, Qasim. Bukti-bukti Kebohongan Orientalis. Jakarta: Gema Insani Press. 1996.
Boullata, Issa J. Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam. Yogyakarta: LKIS, 2001.
Ghurab, Ahmad Abdul Hamid. Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993.
Jamilah, Maryam. Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik. Terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawalipers.
Rais, M. Amien. Cakrawala Islam. Bandung: Mizan. 1986.
Said, Edward W. Orientalisme. Bandaung: Pustaka Salman. 2001.
Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta: LKIS, 2001, cet. V.

[1] Qasim Al-Samurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis. Jakarta: Gema Insani Press. 1996, hlm. 1.
[2] M. Amien Rais, Cakrawala Islam. Bandung: Mizan, 1986,  hlm. 241.
[3] Ahmad Abdul Hamid Ghurab, Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993, hlm. 21.
[4] Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik. Terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawalipers, 1994, hlm. 11.
[5] Edward W Said, Orientalisme, Bandaung; Pustaka Salman. 2001, hlm. 16
[6] Azyumardi Azra, Historiografi, hlm. 187.
[7] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam. antara Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta : LKIS. 2001. cet. V, hlm. 7-8.
[8] Issa J. Boullata. Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam. Yogyakarta: LKIS, 2001. Hlm, 62.
Antara Orientalisme dengan Oksidentalisme:
Dua wajah yang saling berhadapan ataukah saling berdampingan?
[1]

Oleh: Muhyi Abdurrohim

A. Pendahuluan
Oksidentalisme (al-Istighrob) adalah lawan dari Orientalisme (al-Istisyroq). Kalau Oreintalisme melihat potret kita (Timur) yang dalam tanda petik “Islam” dari kacamata Barat, maka Oksidentalisme justru sebaliknya; melihat potret Barat (Yang sangat identik dengan misi kristenisasinya) dari kacamata Timur. Misi Oksidentalisme adalah mengurai dan menetralisasi distorsi sejarah antara Timur dan Barat, dan mencoba meletakan kembali Peradaban Barat pada proporsi geografisnya. Dan tidak menutup kemungkinan untuk mengambil manfaat dari kajian-kajian ke-Islam-an (Islamologi) mereka atau paling tidak memakai metodologi mereka dalam mengkaji bahkan mengkritisi beberapa ajaran dan tradisi dalam Islam. Namun Yang terakhir inilah, yakni al-Intifa min al-Ghorb menjadi perdebatan yang mengakar antara dua kelompok (pemikiran) Islam di hampir seluruh penjuru bumi Allah ini; yaitu antara kelompok Tradisionalis dan Modernis (sekularis; julukan yang sering diberikan oleh kelompok Tradisionalis kepada kelompok kedua ini). Kelompok pertama, mewakili kelompok yang sering disebut militan-fundamentalis (terutama oleh kelompok modernis) yang mewakili bahwa kebesaran umat Islam tergantung kepada kesadaran mereka dalam melaksanakan ajaran agamanya dengan kembali kepada ajaran inti al-Qur’an dan Sunnah sebagai pernekanannya. Sementara kelompok kedua mewakili kelompok yang sering mereka namakan sendiri dengan reformis-modernis, yang meyakini bahwa Islam adalah agama hadhori (peradaban), yang karenanya harus terbuka terhadap unsur-unsur peradaban lain. Untuk itu, ajaran Islam mesti diaktualisasikan dan diperbaharui (rekontruksi dan bahkan revisi), dengan mencoba redefinisi, agar senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Namun disini, penulis tidak akan mengulas pembahasan untuk menentukan sikap penulis pribadi diantara kedua kelompok di atas. Dalam makalah singkat ini, penulis sedikit akan mengulas beberapa metode kajian para oreintalis terkenal dalam menilai Islam dan ajarannya, terutama kajian-kajian dan pandangan-pandangan mereka terhadap al-Qur’an dan otoritas al-Sunnah (Hadits Nabawi). Setelah itu penulis memberi kebebasan kepada pembaca untuk memihak kepada kelompok pertama; sebagai kelompok yang menolak Oksidentalisme atau sebaliknya; lebih condong kepada kelompok kedua yang menerima bahkan mengharuskan keberadaan Oksidentalisme. Atau bahkan menjadi kelompok arus tengah yang tawasshut, yakni La dza wa la dzak?

B. Metodologi Pendekatan Barat dalam Studi al-Qur’an
Moh. Natsir Mahmud dalam artikelnya yang berjudul “al-Qur’an di Mata Barat: Sebuah Studi Evaluatif” menerangkan bahwa ada tiga metode Barat (orientalis) dalam studi al-Qur’an, pertama, Pendekatan Historisme; muncul pada abad ke sembilanbelas dengan tokoh utamanya Lepold von Ranke (1795-1886). Historisme berpendapat bahwa suatu entitas, baik itu institusi, nilai-nilai maupun agama berasal dari lingkungan fisik, sosio klutural dan sosio riligius tempat entitas itu muncul. Penjelasan melaui entitas sudah cukup melalui penemuan asal-usulnya dan hakikat mengenai sesuatu seluruhnya dipahami dalam perkembangannya. Prinsip Historisme menurut Meinecke aalah mencari kasualitas peristiwa historis, dan kasualitas itu tidak berasal dari dunia metafisika atau trans-historis tetapi dari lingkungan empirik sensual. Munculnya pendekatan ini menurut Fuck-Frankfrut mendorong kecenderungan dalam dalam studi al-Qur’an di Barat yang mengasalakan al-Qur’an dan Islam dari kitab suci dan tradisi Yahudi dan Kristen (Moh. Natsir Mahmud, 1994: 6)
Sebagian mereka yang menggunakan pisau analisis historis cenderung menyikapi Islam dengan nilai negatif, misalnya dengan menganggap Islam tak lebih dari bid’ah kristen (M. Alfatih Suryadilaga, 2002: 211). Bahkan J. Wansbrough dalam bukunya, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (1977) menegaskan bahwa al-Qur’an belum ditetapkan secara definitif sebelum permulaan abad ke 3 H./ 9 M. Riwayat-riwayat yang menetapkan mushhaf Utsmani sebagai mushhaf resmi terlalu dibuat-buat. Ajaran tentang kemukjizatan al-Qur’an dipandang sebagai imitrasi dari tradisi Yahudi tentang Taurat Musa, sehingga kumpulan ucapan (logia) dalam al-Qur’an dinaikkan derajatnya (sehingga) menjadi kitab suci yang mutlak kebenarannya (Moh. Natsir Mahmud, 1994: 7). Secara umum karya Jhon Wansbrough memeberikan kritikan yang tajam atas kenabian Nabi Muhammad Saw. Dan al-Qur’an. Kenabian Nabi Muhammad sebagai imitasi (tiruan) dari kenabian Nabi Musa yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Arab (M. Alfatih Suryadilaga, 2002: 213). Oleh karena itu pemikrannya banyak bersebrangan dengan pemikir lainnya baik dari kalangan orientalis maupun pemikir Muslim. Namun demikian ada juga beberapa oreintalis yang menilai positif al-Qur’an dengan pisau historis ini.
Kedua, Pendekatan Fenomenologi, Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, phainestai yang berarti “menunjukan atau menampakan diri sendiri”. Sebelum Husserl, istilah tersebut telah digunakan sejumlah filosof. Dan ia menggunakn istilah ini untuk menunjukan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkan termanifestasi apa adanya tanpa memasukan katagori pemikiran kita kepadanya, atau menurut ungkapan Huserl: Zuruck zuden sachen selbt (kembalilah kepada realitas itu sendiri). Bila diterapkan dalam studi agama, berarti membiarkan agama itu berbicara sendiri. Untuk memahami sebuah agama; dipahami menurut apa yang dipahami atau diyakini oleh penganutnya. Metode ini tidak melacak asal usul suatu institusi, tetapi dengan mengidentifikasi struktur internalnya (Moh. Natsir Mahmud, 1994: 10). Ada dua trend besar dalam mengunakan pendekatan ini,yakni fenomologi esensial dan konkret yang jika dihubungkan dengan kajian keislaman, keduanya akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda; yang pertama menghasilkan pandangan monisme Islam, sedang yang kedua memberikan pemahaman pluralisme Islam (M. Alfatih Suryadilaga, 2002: 222).
Di antara oreintalis yang menggunakan metode ini adalah Marcel A. Boisard, ia tidak melihat sisi formal al-Qur’an sebagai firman Allah, tetapi sisi substansinya. Ia memandang Nabi Muhammad sebagai Nabi yang sesungguhnya. Muhammad hanya sekedar penyambung lidah wahyu abadi. Karena itu, ia memandang al-Qur’anberisi kebenaran universal dan bukan buatan manusia (Muhammad) tetapi adalah wahyu Allah (Moh. Natsir Mahmud, 1994: 11).
Ketiga, pendekatan historisme-fenomenologis, yang merupakan penggabungan dari kedua pendekatan di atas. Pendekatan ini oleh oreintalis yang bernama W. Montgomeri Watt dilihat sebagai kegandaan sumber wahyu al-Qur’an, yaitu Tuhan (nonhistoris) dan Nabi Muhammad (sumber manusia = historis). Wahyu al-Qur’an bersumber dari Tuhan, tetapi diproduksi melalui pribadi Nabi Muhammad dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi dan Kristen). Sisi tesis yang dilakukan Watt tentang sumber wahyu dengan merujuk kepada teori alam bawah sadar kolektif dari C.G. Jung, yaitu tumpukan pengalaman masa lalu yang mengkrirstal, semakin lama semakin menkadi universal kemudian melebur ke dalam mental dan materialitas tubuh. Dalam alam bawah sadar kolektif muncul ide-ide keagamaan yang oleh Watt dimaknai sebagai wahyu. Maka Watt sangat menolak malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Wahyu hanya dalam bentuk makna, bukan dengan lafal. Karena ada peranan Nabi Muhammad dalam substansi wahyu, maka menurutnya lagi memungkinkan terjadinya kekeliruan dalam ajaran al-Qur’an adalah ajarannya yang materinya diambil dari Nabi Muhammad dan lingkungannya, seperti penolakan al-Qur’an terhadap penyaliban Yesus (Isa) adalah materi yang Nabi ambil dari lingkungannya, yakni sekte kristen Syiria yang menolak adanya penyalibab Yesus (Moh. Natsir Mahmud, 1994: 12). Dan karena sekte kristen Syiria adalah keliru (sesat) menurut Watt dan Gereja, maka al-Qur’an yang mendukung (sama) dengan pendapat sekte itu pun dianggap keliru.Dan kekeliruan ini bukan karena al-Qur’an bukan wahyu, tapi karena subyektivitas Nabi sendiri yang ikut mempostulatkan wujudnya al-Qur’an.

C. Studi Barat tentang Sunnah
Sejak pertengahan Abad ke sembilanbelas, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi pemikir keagaman Muslim. Abad itu merupakan periode ketika hegemoni Barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama masyarakat Muslim telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi kelembagaan hukum dan sosial Islam, baik untuk mengakomodasi nilai-nilai Barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam. Keprihatinan mengenai Hadits Nabi Saw. menjadi titik pusat dalam proses penggalian kembali ini. Sejumlahj aspek pengalaman kolonial mendorong perhatian istimewa terhadap Hadits Nabi Saw. Skriptualisme para misionaris Kristen Protestan jelas mempengaruhi cara orang muslim memandang hubungan antara Hadits dan Kitab Suci,karena pada abad itu merupakan periode aktivitas gencar para misionaris kristen dan perdebatan antar agama,terutama di India. Dan di akhir abad ke sembilanbelas juga merupakan periode ketika umat Islam menghadapi munculnya tantangan dari para sarjana orientalis yang baru saja bersikap kritis terhadap keotentikan literatur Hadits. Dampak ini paling terasa di India,tempat William Muir dan Alois Sprenger menjadi sarjana Barat pertama yang mempertanyakan apakah literatur Hadits benar-benar mencerminkan perbuatan dan perkataan Rasulullah Saw., apakah proses penyampaian dapat dipercaya, dan apakah metode klasik untuk menyisihkan hadits yang bisa dipercaya dan yang tidak itu absah ? (Daniel W. Brown, 2000: 37)
Dalam masalah ini mereka memusatkan penelitian dan kajiannya terhadap otoritas (kewenangan) sebuah Hadits atau Sunnah sebagai sumber Hukum Islam kedua setelah al-Qur’an dan otentisitas (Kesahehan) sebuah Sunnah atau Hadits -yang telah diakui (jumhur ulama) membentuk sebagian besar materi Hukum Islam- melalui metode atau teori yang mereka ciptakan sendiri dalam menilai kesahehan sebuah Hadits dengan mengkrtisinya konsep kesahehan sebuah Hadits menurut para ulama Muslim Tradisional, seperti Bukhori yang hanya mengandalkan pada kesahehan dan kekuatan isnadnya saja dan tanpa mempertimbangkan matan (redaksi) Hadits itu sendiri yang pada kenyataannya bertentangan dengan dengan akal sehat atau kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Adalah dimulai oleh orentalis Ignaz Goldziher (1850-1921) yang mengkaji perkembangan historis tentang literatur tradisi Islam dan asumsinya bahwa ada hukum-hukum asing dalam Hukum Islam (terutama Hukum Romawi). Kemudian dilanjutkan oleh Joseph Schacht (1902-1969) –yang juga pernah menimba ilmu dari C. Snouck Hurgonje (1857-1936) selama ia tinggal di Universitas Leiden-Belanda- dalam artikelnya yang pertama tentang Hadits “A Revolution of Islam Traditions”. Schacht menyatakan bahwa ia mengambil begitu saja gagasan Goldziher bahwa Hadits-Hadits itu “merefleksikan pendapat-pendapat yang di tulis selama dua setengah abad pertama setelah Hijrah.” (Ahmad Minhaji, 2001: 9). Dengan menggunakan metode historis-sosiologis, Schacht berusaha sekuat tenaga dengan menciptakan dua teori ilmiahnya, yaitu backward-projektion dan common link untuk mengkaburkan dan membedakan definisi antara al-Sunnah dengan al-Hadits.
Ia sampai pada satu kesimpulan bahwa sunnah Nabi pada kenyataannya bukanlah sunnah Nabi itu sendiri, tetapi merupakan tradisi yang hidup dari masyarakat muslim lokal tertentu atau sunnah tidak lebih dari “sebuah kebiasaan yang dapat dijadikan teladan, sebuah pandangan hidup.” Bahkan tradisi Arab pra Islam yang telah diambil oleh Islampun dapat disebut sebagai Sunnah. Selain itu, Schacht menegaskan kembali bahwa istilah sunnah Nabi “belum diwujudkan secara khusus kepada hadits-hadits dari Nabi”
Perkembangan doktrin terus menerus dalam aliran klasik dipercepat oleh gerakan para ahli Hadits. Sebagai akibatnya, terdapat sejumlah Hadits yang berkembang yang di klaim menjadi laporan-laporan dari saksi-saksi yang mendengar atau melihat perkkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan Nabi, yang diriwayatkan secara lisan dengan rangkaian (isnad) orang-orang terpercaya yang tidak terputus. Analisis ini membawa pada schacht kepada kesimpulan kontroversi yang meruntuhkan pemahaman muslim tradisional: “Hadits-hadits itu, sejauh berkaitan dengan persoalan-persoalan hukum agama, hampir tidak dapat dipertimbangkan sebagai hadits shoheh, karena motif-motif mulia (utama) hadits-hadits itu disebarkan oleh ahli-ahli hadits sendiri dari paruh pertama abad kedua dan selanjutnya. Dan isnad merupakan elemen kunci untuk menentukan otentisitas masing-masing Hadits. Dalam pandangan Schacht, studi isnad memiliki kecenderungan tumbuh kebelakang dan menglklaim otoritas yang lebih tinggi dan lebih tinggi hingga mereka sampai kepada Nabi.” (Ahmad Minhaji, 2001: 22).
Kritik terhadap metode isnad ini menjadi perhatiaan menarik bagi orientalis setelahnya, terutama oleh G.H.A. Juynboll yang pada tahun 1969 menerbitkan sebuah buku “The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Modern Egypt” yang telah diterbitkan terjemahannya dalm bahasa Indonesia oleh Mizan pada tahun 1999 dengan judul Kontroversi Hadits di Mesir (1890-1960). Dan ia dengan beraninya menganbil suatu kesimpulan bahwa Hadits yang mutawatir tidak semuanya dan tidak selamanya shoheh (padahal seluruh ulama ahli Hadits yang klasik atau modern telah sepakat bahwa hadits-hadits yang mutawatir adalah hadits yang paling shoheh; dan jika mengingkarinya akan hampir sederajat dengan ingkar kepada al-Qur’an yang bisa dianggap kafir). Di samping itu, ia mengangkat perdebatan yang terjadi antara ulama-ulama Mesir yang hidup di masa itu, yaitu antara ulama yang menerima Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua dan bahkan Hadits Mutawatir bisa menasakh (merevisi) hukum yang ada dalam al-Qur’an dengan ulama atau lebih tepatnya cendikiawan muslim yang hanya mau menerima sumber hukum dari al-Qur’an (perdebatan antara Syekh Musthofa al-Siba’i dengan Mahmud Abu Rayyah dan Muhammad Tawfiq Shidqi). Juga perdebatan antara kaum Modernis Mesir yang dimotori Muhammad Abduh dan muridnya Rosyid Ridha dengan ulama-ulama tradisionalis Mesir dari kampus universitas al-Azhar (yang disebut Juynboll dengan teolog-teolog ortodoks Mesir) dalam hal I’adah al-Nazhor (peninjauan ulang) terhadap Hadits-Hadits yang bertentangan dengan Rasio dan ilmu pengetahuan modern, walaupun hadits itu terdapat di dalam kitab shoheh Bukhori dan Muslim. Maka dalam masalah ini Abduh dan Ridha dapat digolongkan pada ulama yang menerima oksidentalisme dan dikembangkan untuk membenahi Islam dan menangkal serangan orientalisme dengan dua seruan pokoknya, yaitu tajdid dan anti taqlid. Adapun Muhammad Tawfiq Shidqi saya golongkan sebagai oksidentalis yang sejalan dan beriringan dengan orientalis, karena ia telah melangkah terlalu jauh dengan pendapatnya bahwa “Kaum muslim modern tidak lagi memerlukan seluruh sunnah Nabi saw.” dengan dalih bahwa hanya Al-Qur’an satu-satu sumber yang otentik yang bebas dari pemalsuan, disamping kelangkapan isinya, karena bahasanya yang yang gobal dan universal.
Sedangkan ulama-ulama modern atau lebih cocoknya disebut mufakkir muslim kontemporer yang banyak bergelut dengan kajian-kajian oreintalis ( berarti oksidentalis) khususnya dalam bidang studi al-qur’an dengan menghasilkan beberapa metodologi tafsir Modern, antara lain Muhammad Shahrur (dengan teori limit-nya dalam memaknai ulang ayat-ayat hudud), Riffat Hasan (dengan tafsir prespektif gender), Hasan Hanafi (bahkan ia yang gigih mengusulkan perlunya oksidentalisme dengan konsep kiri Islam-nya), Nasr Hamid Abu Zayd (dengan Teori Teks dalam Hermeneutik al-Qur’an), Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, dan lain-lain. Adapun para oksidentalis untuk kontek Indonesianya, sebut saja di antaranya Nur Kholis Majid, Husen Muhammad, Masdar Fuadi, M. Dawam Rahardjo atau yang sedang populer sekarang Ulil Absor Abdilah (yang tengah menyelesaikan Tafsir al-Qur’an Liberal) dengan kelompoknya yang berlebel JIL (Jaringan Islam Liberal), dan masih banyak lagi.

D. Hakikat Orientalis dan Orientalisme dimata Ulama dan Mufakkir Islam
Pandangan para ulama dan mufakkir Islam terhadap orientalis dan isme-nya sangatlah beragam,kalau boleh saya golongkan; ada dua golongan pokok, pertama, mereka yang tidak memandang Barat dan orientalismenya dengan pandangan benci (gebyah uyah -bhs. Jawa), sehingga menghalangi obyektifitasnya terhadap beberapa kajian-kajian dan jerih payah Barat dalam menyorot Islam dan ajaran-ajarannya. Di antara mereka adalah salah seorang ulama India yang sangat terkenal, yaitu Syekh Abu Hasan; Ali al-Hasni al-Nadwi dalam bukunya al-Islamiyaat: Baena Kitabaat al-Mustasyriqin wanita al-Bahitsin al-muslimin. Dalam bukunya ia mencontohkan beberapa oreintalis yang jujur dan obyektif dalam kajiannya bahkan banyak diantaranya memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap Islam dan umatnya, antara lain T.W.Arnold dengan karyanya The Preaching of Islam (Dakwah Islam), Edward William Lane dengan karyanya berupa kamus Arabic-English Lexicon yang menjadi rujukan utama para pakar bahasa dan sastra Arab Internasional, A.J. Wensinck yang telah berjasa membuat catatan indeks seluruh kitab Hadits yang terkenal yang berjumlah empatbelas macam kitab Hadits (mulai dari Bukhori, Muslim, Malik, Tirmidzi, dan seterusnya). Namun iapun mengingatkan bahwa kita harus tetap ekstra waspada terhadap karya-karya Barat tentang Islam,karena penulisan kajian-kajian mereka (orientalis) menggunakan taktik yang sangat lembut dan licik dengan bingkai analisis yang sangat ilmiah dan rasional, antara lain dengan menyebutkan sepuluh (banyak) kebaikan Islam dan juga menyebutkan satu saja kelemahan (cacat) Islam, yang pada hakekatnya satu cacat ini bisa menghilangkan dan menghabiskan sejumlah kebaikannya itu. Mereka ingin mengecoh kita, agar kita menilai mereka cukup gentel dan obyektif dengan mau menyebutkan kebaikan atau kelebihan Islam (al-Nadwi, 1985: 11-19).
Kedua, mereka yang memandang Barat (orientalis) dengan satu pandangan yang sama, yaitu salah dan buruk. Karena semua kajian dan upaya meraka dalam studi ke-Islam-an, walaupun secara lahir terlihat baik dan memberikan manfaat, namun dibelakang semuanya itu mereka (Orientalis) mempuyai satu tujuannya yang sama, yakni merongrong dan menghancurkan Islam dari dalam. Diantara ulama atau mufakkir Islam yang berasumsi seperti ini antara lain: Dr. Ahmad Abd. Rahim al-Saih, salah seorang ulama al-Azhar yang menulis buku Fi al-Ghozw al-Fikri (Perang Pemikiran/ cuci otak). Dalam bukanya ia dengan jelas menjelaskan macam-macam bentuk Ghozw Fikri yang berusaha menghancurkan Islam, seperti, gerakan Zionisme, Kristenisasi, Orientalisme, Oksidentalisme, sekulerisme, Nasionalisme, Qodianisme (Islam Ahmadiah), Bahaiyahisme (ajaran yang menggabungkan anatara Islam dan Hindu) dan lainnya. Ia menegaskan ada Lima pokok strategi gerakan-gerakan Ghozw Fikri; 1). Suntikan (masukan) sesuatu masalah (temuan Ilmiah) yang bisa mengkaburkan atau merusak tatanan Islam, seperti kasus kajian-kajian Orientalis akan studi al-Qur’an dan Hadits di atas, 2). Menghidupkan kembali debat atau perselisihan model jahiliyah, seperti ajakan nasionalisme, kesukuan, kefanatikan mazhab atau perselisiham antara Sunni dan syiah, aliran teologi Asy’ariah dan Mu’tazilah, dan lain-lain, 3). Menjauhkan para ulama dari posisi-posisi penting dalam politik, pemerintahan atau lainnya atau dengan menjauhkan kekusaan ulama (sebagai pemimpin agama) dari umatnya, sehingga fatwa atau nasehatnya tidak lagi dipedulikan umat Islam, 4). Dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, seperti memberikan pendidikan gratis di dalam atau luar negeri (Barat), membangun rumah sakit, panti asuhan , lainnya, mengirimkan penginjil-penginjil ke seluruh dunia (khususnya Arab, Asia dan Afrika), menulis dan menerbitkan buku-buku atau majalah sek (pornografi) atau bahkan Islam; baik karya orientalis atau karya ulama Arab Islam yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing dengan memutarbalikan fakta, data dan isi, mengadakan seminar-seminar kebudayaan atau keislaman dengan upaya menghidupkan kembali kajian-kajian filsafat, propaganda Barat adalah pusat kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi, mempersiapkan generasi yang budayawan dan pengagum Barat, dan lain-lain, 5). Mendirikan badan-badan sosial kemasyarakatan dan mendanainya (LSM) untuk memberikan bantuan-bantuan sosial, Beasiswa dan lainnya (Ahamad Abd. Rahim al-Saih, 1993: 64-78).
Begitu juga Ahli Sastra Arab Libia; Kholid Muflih Isa dalam bukunya al-Lughoh Arabiah: Baena al-Fushha wal ‘Amiah menegaskan bahwa pada hakikatnya perkembangan dan meluasnya Bahasa Arab ‘Amiyah di beberapa wilayah Negara Arab yang notabene berbeda satu dengan lainnya adalah salah satu stategi Zionis dan Orientalis (kristen) untuk menjauhkan generasi muda Arab khususnya dan Islam pada umumnya dari pengusaan Bahasa Arab fushha yang merupakan bahasa al-Qur’an, dengan tujuan agar umat Islam (generasi muda khususnya) semakin sulit untuk memahami Islam dari sumber aslinya, yakni al-Qur’an (Kholid Muflih Isa, 1987: 83-108).
Bahkan Dr. Abd. Adzim Mahmud al-Dieb, juga salah seorang ulama Al-Azhar-Mesir dalam karya tulisnya al-Manhaj Kitabaat al-Ghorbiyyin ‘an al-Tariekh al-Islami (Metode Tulisan-tulisan Barat tentang Sejarah Islam) disamping sangat menentang Orientalis juga ia sangat tidak setuju dan mencela oksidentalis (al-Mustaghribun); “Kepada para Oksidentalis, bukan kepada Orientalis!..yaitu kepada komunitas anak-anak bangsa kami sendiri yang berbicra dengan lisan dan bahasa kami,..yang memilki wajah dan fisik tubuh sama dengan kami,..Namun hati mereka tidak sama dengan hati kami,..merek atelah menerima peradaban dan kebudayaan asing dan terjerumus ke dalam penjara tawanan peraban asing yang tengah memerangi peradaban kita…! Apakah kalian belum cukup puas mengkaji karya-karya orientalis dengan mencurahkan segala daya upaya kalian,..Apakah tidak lebih baik jika kalian mencurahkan jerih payah kalian itu untuk membahas dan menyelesaikan berbagi problema umat kalian sendiri?…” (Abd. Adzim Mahmud al-Dieb, 1990: 36).

E. Penutup
Judul di atas masih merupakan sebuah materi pertanyaan yang masih membutuhkan satu jawaban yang pasti dan meyakinkan. Namun jawaban yang paling memuaskan pembaca adalah jawaban yang ada dan muncul dari pembaca itu sendiri. Karena memaksakan sebuah keyakinan pada orang lain adalah bagian dari penjajahan kebebasan berfikir atau bisa disebut dengan Ghazw Fikrie. Sedangkan Islam sudah memiliki satu komitmen yang harus dilaksanakna oleh seluruh umatnya yaitu La Ikroha fiddin ! Wassalam,… Wallahu A’alam.

Al-Maraji’
Al-dieb, Abd. Adzim Mahmud, al-Manhaj fi Kitabat al-Ghorbiyyin ‘an al-Tariekh al-Islami, Kitab al-Ummah, Qatar, cet. I, 1411 1990
Al-Saih, Ahmad Abd. Rahim, Fi al-Ghozw al-Fikri, Kitab al-ummah, Qatar, cet. I, 1414/ 1993
Al-Nadwi, Abu al-Hasan; Ali al-Hasni, al-Islamiyaat: Baena Kitabaat al-Mustasyriqin wanita al-Bahitsin al-Muslimin, al-Risalah, Baerut-Libanon, cet. III, 1405/ 1985
Brown, Daniel W., Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah; Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Mizan, Bandung, cet. I, 1421/ 2000
Isa, Kholid Muflih, al-Lughoh al-Arabiah: Baena al-Fushha wal ‘Amiah, al-Dar al-Jamahiriah, Libia, cet. I, 1396/ 1987
Juynboll, G.H.A., Kontroversi Hadits di Mesir (1890-1960), Penerjemah; Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, cet. I, 1420/ 1999
Mahmud, Moh. Natsir, al-Qur’an di Mata Barat: Sebuah Studi Evaluatif, Jurnal al-Hikmah, No. 12, tahun 1444/ 1994
Minhaji, Ahmad, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, Penerjemah: Ali Masrur, UII Press, Yogyakarta, cet. I, 2001
Suryadilaga, M. Alfatih, Pendekatan Historis John Wansbrough alam Studi al-Qur’an Kontemporer, Editor: Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, Tiara Wacana, Yogyakarta, cet. I, 2002.



ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME

ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME:

KAJIAN TENTANG LIYAN[1]
Oleh Zainul Maarif [2]
Pendahuluan
Orientalisme dan oksidentalisme adalah jebakan. Dorongan untuk mengafirmasi adanya esensi "Orient (Timur)" dan esensi "Occident (Barat)". Padahal dua kata tersebut tak lebih dari tanda-tanda yang sangat relatif dan sangat dependen pada liyan.
Dalam kebulatan bumi, suatu lokasi dinyatakan Timur atau Barat jika dilihat dari satu titik tertentu, di mana pandangan lain mungkin menyebutnya secara berbeda. Tugu Monumen Nasional, misalnya, disebut berada di Barat oleh orang di Pulo Gadung, sedangkan orang di Grogol menyebutnya di Timur. Orang Indonesia pantas menyebut Amerika Serikat negara Timur Laut, meskipun biasanya disebut sebagai negara Barat. Disimak dari fenomena itu, konsep Timur dan Barat yang inheren dalam Orientalisme dan Oksidentalisme, sejatinya kabur. Sedangkan Orientalisme dan Oksidentalisme tak lebih dari sudut pandang.
Dua perspektif yang mengkaji ketidakjelasan ontologis itu akan ditinjau oleh makalah ini dan bila perlu akan dilampaui. Bagaimana pandangan Orientalisme tentang Timur? Bagaimana pula pandangan Oksidentalisme tentang Barat? Adekuatkah kedua pandangan tersebut? Apa konsekuensi dari keduanya? Dan macam manakah mengkaji liyan?
Orientalisme
Mulanya Orientalisme sekadar sebutan bagi kinerja para orientalis: pengulik hal-hal terkait Asia dan Afrika yang secara sederhana disebut sebagai Timur. Di abad ke-18 istilah ini digunakan kalangan penjajah Inggris yang mau tidak mau mesti mengkaji Islam dan Hindu untuk mengetahui aturan sosial masyarakat India yang dijajah. Orientalisme selanjutnya berkembang di periode dekolonisasi (1939-1945) sebagai penanda bagi institusi kolonial-imperial yang berkepentingan tidak sekadar mengetahui melainkan menguasai Timur.[3]
Meski begitu, pondasi awalnya telah ada paling tidak sejak Konsili Vienne (Perancis) tahun 1311-1312. Di konsili ekumenikal Gereja Katholik yang ke-15 itu, Paus Clement V didukung oleh raja Perancis, Philip IV menetapkan jabatan guru besar oriental di Universitas Avignon, Universitas Paris, Universitas Oxford, Universitas Bologna dan Universitas Salamanca.[4] Dari situ, kajian tentang Timur bergerak masif bukan hanya di ruang kelas akademik, melainkan di ranah masyarakat yang lebih luas.
Masyarakat Yesus Katholik Roma, para misionaris Kristen, para peneliti, dan para pelancong sangat getol membicarakan, mencatat dan mengkaji hal-hal terkait dengan Timur. Awalnya mereka hanya ingin tahu. Hasil monumental dari hasrat mengetahui itu dicatat dengan baik oleh Barthélemy d'Herbelot de Molainville di buku Bibliothèque Orientale (1697).
Selanjutnya, studi mereka dimaksudkan untuk administrasi dan kekuasaan. Encyclopédie, ou dictionnaire raisonné des sciences, des arts et des métiers (1750) karya Denis Diderot dan kawan-kawan disinyalir sebagai representasi studi orientalis semacam itu. Mereka mengkaji Timur, sementara para penjajah memakai hasil kajian mereka untuk menguasai Timur.
Perselingkuhan antara pengetahuan dan kekuasaan itu mencapai puncaknya pada paruh kedua abad ke-18 dan ke-19. Benjamin Disraeli, novelis yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris, menggambarkan fenomena itu di novel Tancred: the New Crusade (1847) dengan pernyataan "Timur adalah karir".[5]
Saat itu, perkumpulan orientalis bermunculan bagai cendawan di musim hujan, baik di Batavia, Hindia Belanda (thn. 1781); di Paris, Perancis (Société Asiatique, 1822); di London, Inggris (Royal Asiatic Society, 1824), hingga di Amerika (American Oriental Society, 1842). Mereka pun membuat konggres orientalis. Yang pertama di Paris tahun 1873. Selanjutnya mereka menyelenggarakan 16 kali kongres semacam itu secara berpindah-pindah. Terakhir konggres orientalis diselenggarakan di Vienna, Austria, tahun 1912.[6]
Selama waktu yang demikian panjang, minimal antara abad ke-14 hingga abad ke-19, sejatinya sulit untuk menggeneralisikan semacam apa pandangan para orientalis tentang “Timur” atau tentang Asia dan Afrika. Hanya serpihan pandangan mereka yang mungkin diungkapkan tanpa perlu dinyatakan sebagai keseluruhan pandangan orientalis.
Satu di antara pandangan mereka yang dapat ditilik adalah pidato perdana Arthur John Arberry sebagai profesor oriental di Universitas Cambridge:
Pekerjaan ini kita pahami tidak hanya untuk kemajuan sastra dengan menjelaskan pengetahuan yang masih tertutup di mulut terpelajar, melainkan untuk memberi pelayanan yang baik bagi raja dan negara dalam perdagangan kita dengan bangsa-bangsa Timur, serta untuk menggunakan waktu baik yang disediakan Tuhan untuk melebarkan batas-batas Gereja dan mempropagandakan agama Kristen kepada orang-orang yang sekarang masih dalam kegelapan.[7]
Di situ pengabdian orientalis menjadi jelas: tidak sekadar pada ilmu pengetahuan, melainkan pada politik dan ekonomi kolonial dan misionaris Kristen. Pandangan orientalis tentang Timur pun tampak gamblang: Timur dihuni orang-orang yang terbelakang yang perlu dimajukan.
Pandangan semacam itu, merembes pula ke kalangan filsuf-filsuf mereka. James Mill, misalnya, memandang peradaban India perlu dicerdaskan oleh orang-orang Eropa.[8] G.W.F. Hegel juga merendahkan peradaban Timur di hadapan peradaban Barat, khususnya Jerman. Menurutnya, sejarah memang bermula dari Timur, tapi akan berakhir di Barat. Sementara peradaban Timur memulai manifestasi roh absolut, peradaban Baratlah yang menyempurnakannya. Hal itu terkait dengan peradaban Timur yang hanya menghidupkan kebebasan substansial yang mewujud di negara, tapi tidak membiarkan kebebasan subjektif tiap-tiap individu, sebagaimana dilakukan peradaban Barat.[9]
Apakah dengan begitu orientalis selalu berpandangan negatif dan ekploitatif terhadap Timur? Francesco Grabriely menampik. “Kolonialisme pernah berjaya dan merayakan kejahatan dan kemegahannya.... Ia telah mati dan dikubur sebagai sesuatu yang layak mati. Tapi fakta itu tak berpengaruh pada karya besar dan penting ilmuwan-ilmuwan Eropa yang tidak menganggap kerja mereka sebagai kontribusi untuk kepentingan politik dan perdagangan, melainkan sebagai tindakan tanpa pamrih dan bersemangat mencari kebenaran.”[10]
Profesor Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Roma itu mengakui kolonialisme merugikan bangsa Timur, namun baginya Orientalisme tidak identik dengan Kolonialisme. Untuk menguatkan argumennya, Gabrieli menyebut beberapa nama orientalis seperti Edward Granvilie Browne dan Louis Massignon, yang tidak saja intensif mencari ilmu, tapi sekaligus membela pihak jajahan dari penjajah. [11]
Di Ensiklopedia Tokoh Orientalis (2003) karya Abdurrahman Badawi disebutkan bahwa Browne dikenal sebagai orientalis Inggris di bidang sastra Persia yang membela kemerdekaan Persia (Iran), dan lebih mendukung Jerman yang tidak menjajah negeri Islam ketimbang Rusia yang sangat berambisi menguasai dunia Islam, Persia dan Asia Tengah.[12] Sedangkan Massignon selain berjasa di bidang Tasawuf dengan menyebutnya murni berasal dari sumber-sumber asli Islam bukan dari luar Islam, dia juga dikenal sebagai orientalis asal Perancis yang membela pihak Arab hingga dipukul oleh polisi kolonial.[13]
Fakta-fakta falsifikatif semacam itu memang kurang familiar. Yang lebih popular secara masif justru nuansa negatif Orientalisme. Di kalangan akademisi Asia dan Afrika, negativitas itu dikritisi sedemikian rupa hingga muncul apa yang kemudian dikenal dengan sebutan Oksidentalisme.
Oksidentalisme
Oksidentalisme merupakan antitesis Orientalisme. Para oksidentalis mengkritik orientalisme sekaligus mengkaji ulang Barat. Ibarat permainan bola, Oksidentalisme melakukan serangan balik terhadap Orientalisme. Para penyerang dari kubu Oksidentalis antara lain Edward Said, Anouar Abdel-Malek dan Hassan Hanafi.
Edward W. Said
Edward Said membombardir Orientalisme dengan pemikiran Antonio Gramci tentang hegemoni kultural dan gagasan Michel Foucault tentang pengetahuan/kekuasaan.
Di buku The Modern Prince (1957), Antonio Gramcy menyatakan bahwa hegemoni dioperasikan dalam suatu masyarakat oleh kelas penguasa (ruling class) yang didukung oleh kaum intelektual, pejabat dan aparat koersif (keamanan). Lebih spesifik dia mencatat:
Intelektual adalah 'petugas'nya kelas penguasa untuk menjalankan fungsi subordinat hegemoni sosial dan pemerintahan politik, yaitu (1) persetujuan 'spontan' dari massa besar terhadap kehidupan sosial yang dikendalikan kelas penguasa, persetujuan yang muncul secara historis dari wibawa (dan dari kepercayaan); (2) aparat koersif negara, yang secara 'legal' memastikan disiplin kelompok-kelompok yang tidak 'setuju' baik secara aktif maupun secara pasif, tetapi dibentuk untuk seluruh masyarakat dalam mengantisipasi saat-saat krisis perintah dan arah ketika persetujuan spontan melemah.[14]
Oleh Edward Said kata intelektual itu diasosiasikan pada orientalis. Para pengkaji Timur itu ditilik sebagai penasehat pejabat kolonial. Dengan masukan-masukan mereka, para pejabat kolonial dapat menghegemoni Timur. Pihak-pihak terjajah ditundukkan oleh kekuasaan pejabat kolonial yang ditopang oleh pengetahuan orientalis. Andai ketundukan kaum bumiputera berkurang, pihak kolonial telah menyiapkan aparat keamanan untuk berjaga-jaga menghadapi kondisi tanpa pijakan dan komando.
Apa yang dilakukan para orientalis itu, menurut Said, merupakan hegemoni kultural: mempengaruhi budaya tanpa koersi namun tanpa penolakan. “Hegemoni atau hasil hegemoni kulturallah yang memberi kelanggengan dan kekuatan pada Orientalisme. Orientalisme tak jauh dari pernyataan Denis Hay, yaitu gagasan Eropa, gagasan kolektif yang mengidentifikasi ‘kami’ Eropa lawan semua non-Eropa, bahkan bisa dikatakan komponen utama kebudayaan Eropa suatu hegemoni budaya di dalam dan di luar Eropa: idea tentang identatitas Eropa yang unggul dibandingkan dengan orang-orang dan budaya-budaya non-Eropa ini”.[15]
Orientalisme, dengan demikian, menghegemoni budaya dunia dengan gagasan tentang keunggulan Eropa ketimbang yang lain. Dia menentukan yang ordinan dan yang subordinan. Kebenaran dan kesalahan pun dipatok oleh pengetahuan yang dihasilkannya. Dengan pengetahuan berikut sistem kebenarannya itu, Orientalisme berkuasa di dunia.
Mengenai pengetahuan atau kebenaran dan kuasa, Said menggunakan gagasan-gagasan Michel Foucault. Filsuf dan sejarawann asal Perancis itu mendefisinisikan kebenaran (truth) sebagai “Rangkaian peraturan yang memisahkan yang benar dan yang salah, dan efek tertentu dari kuasa dilekatkan pada yang benar.”.[16]
Kebenaran, dengan kata lain, adalah suatu kriteria (criterium). Ia ukuran yang menentukan. Pasca penentuan, sang penentu menganugerahkan kuasa bagi entitas yang ditentukan. Kebenaran dengan begitu terkait erat dengan kuasa. Kebenaran dan kuasa berhubungan timbal balik. Keduanya saling menghasilkan dan saling mempertahankan, membentuk apa yang disebut Foucault sebagai rezim kebenaran (a regime of truth).[17]
Dalam pandangan Said, Orientalisme tak lain dari rezim kebenaran yang bernuansa kekuasaan. “Menyatakan bahwa Orientalisme modern merupakan aspek penting dari Imperialisme dan Kolonialisme bukanlah hal yang terlalu diperdebatkan.“[18] kata profesor sastra Inggris Universitas Columbia itu. Mudah disepakati bahwa Orientalisme memproduksi kebenaran dan pengetahuan untuk menopang kekuasaan Imperilisme dan Kolonialisme.
Di Hindia Belanda, keberadaan C. Snouck Hurgronje sebagai peneliti oriental sekaligus penasehat pemerintah kolonial merupakan salah satu bukti yang dapat menguatkan pernyataan Said tersebut. Dia mempelajari jiwa dan hal-hal yang dipelajari oleh pribumi Hindia Belanda. “Ilmu kami sebanyak mungkin berfaedah bagi pemerintah dan sesuai dengan kedudukan Belanda sebagai negara kolonial,”[19] katanya.
Yang dapat digarisbawahi dari kenyataan tersebut adalah: objektivitas kebenaran pengetahuan Orientalisme perlu dipertanyakan, mengingat perselingkuhannya dengan kekuasaan pihak kolonial dan imperial. Disamping itu, kebenaran pengetahuan Orientalisme berselimut mitos: mitos tentang ketunggalan Timur yang diidentifikasi dengan hal-hal negatif, pasif, lemah, feminim dan terbelakang. Di tulisan berjudul Shattered Myths, Said menunjukkan runtuhnya mitologi orientalis tersebut dengan fenomena perlawanan masyarakat Arab di Perang antara Arab-Israel tahun 1973 yang menunjukkan antitesis dari identifikasi orientalis tentang Timur tersebut.[20]
Anouar Abdel-Malek
Lebih lanjut, Anouar Abdel-Malek mengkritik Orientalisme di artikelnya berjudul “Orientalism in Crisis”. Sosiolog CNRS (Centre National de la Recherche Scientifique), Paris, Perancis, berkebangsaan Mesir ini mengatakan bahwa krisis Orientalisme pasca Perang Dunia ke-2 didorong oleh fenomena menangnya gerakan-gerakan pembebasan nasional di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin. Sejalan dengan kemerdekaan negeri-negeri jajahan, kontrol Orientalis-Kolonialis atas Timur pun melonggar. Itu terkait dengan dengan posisi Orientalisme sebagai ciptaan Kolonialisme. [21]
Pasca krisis, Orientalisme menurut Abdel-Malek terpecah menjadi dua: Neo-Orientalisme Eropa Barat dan Neo-Orientalisme Eropa Timur. Orientalisme Eropa Barat terbagi dua lagi, yaitu Neo-Orientalisme Perancis dan Neo-Orientalisme Anglo-Saxon. Sementara Orientalisme Eropa Timur disebut juga dengan Orientalisme Sosialis.[22]
Neo-Orientalisme Perancis direpresentasi antara lain oleh Jacques Berque. Berbeda dengan Orientalisme Tradisional pra Perang Dunia ke-2 yang mengkaji Timur sebagai objek secara berjarak, sosiolog Perancis impresionis itu mengkaji Timur secara partisipatoris yang tetap mengambil untung dari pihak yang dipartisipasi. Sedangkan Neo-Orientalisme Anglo-Saxon masih mempertahankan objektivitasi Timur versi Orientalisme Barat, tapi menghadirkan kebaruan berupa perekrutan sarjana-sarjana pribumi untuk memberi data kepada pihak orientalis yang menciptakan institusi-institusi untuk menjaga kepentingan politik ekonomi Inggris Raya dan Amerika Serikat. Dari situ, Abdel- Malek menganggap kedua turunan dari Orientalisme Eropa Barat tersebut tetap bernuansa imperialis-kolonialis.[23]
Di pihak lain, Orientalisme Eropa Timur atau Orientalisme Sosialis berupaya melayani dan membantu masyarakat Timur yang dieksplotasi untuk dapat membantu diri mereka sendiri. Upaya itu dicetuskan oleh Anastas I. Mikoyan di Kongres Orientalis ke-25 di Moskow tahun 1960 melalui pernyataannya bahwa tugas orientalis adalah “Berkontribusi dengan cara kreatif dalam menguarai masalah mendasar perjuangan bangsa-bangsa Timur untuk pembebasan nasional dan sosial dan untuk pulih dari keterbelakangan ekonomi mereka.[24] Terhadap Orientalisme yang terakhir ini Abdel-Malek tidak antipati, malah cenderung merapat.
Hassan Hanafi
Ketimbang Said dan Abdel-Malek, Hassan Hanafi terang-terangan menyebut kritikannya terhadap Orientalisme sebagai Oksidentalisme. Profesor filsafat Universitas Kairo ini pula yang membeda dengan menghadirkan Oksidentalisme bercorak filosofis.
Dengan Oksidentalisme, Hassan Hanafi berupaya membalik kedudukan Orientalisme bahkan Barat, sebagaimana tampak dalam sampul buku Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrâb, terbitan Al-Muassah al-Jami’ah li ad-Dirasat wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, Beirut, Lebanon, tahun 2000. “Dalam ‘Oksidentalisme’ neraca-neraca berbalik, peran-peran pun bergantian, ego Eropa yang dulu pengkaji hari ini menjadi objek kajian sebagaimana liyan non-Eropa yang kemarin dikaji kini menjadi subjek pengkaji.”[25] Pembalikan kedudukan itu ditujukan untuk menghilangkan kesombongan Eropa dan kerendahdirian non-Eropa.
Namun Hanafi mengantisipasi masuknya unsur-unsur Orientalisme ke dalam Oksidentalisme dalam pembalikan itu. Ia menetapkan garis-garis pembeda antara keduanya antara lain: Pertama, Oksidentalisme muncul pasca gerakan kemerdekaan nasional sehingga bernuansa pembelaan atas kemerdekaan, yang tentu saja berbeda dengan Orientalisme yang muncul bersama Kolonialisme yang merenggut kemerdekaan. Kedua, Orientalisme menggunakan metode-metode abad ke-19 bercorak positivistik, historistik, dan rasialis, sementara Oksidentalisme memanfaatkan metode-metode kontemporer yang mengkritik metode-metode tersebut di atas, seperti metode linguistik, metode fenomenologi dan metode pembebasan nasional. Ketiga, Oksidentalisme tak berkehendak untuk kuasa kecuali kehendak untuk merdeka sehingga lebih netral ketimbang Orientalisme yang berselingkuh dengan Kolonialisme.[26]
Dengan klaim netralitas dan metode-metode kontemporer, Hassan Hanafi mengkaji Eropa, khususnya kesadaran atau filsafatnya. Menurutnya, Eropa merupakan peradaban sentrifugal yang selalu menjauh dari pusat. “Peradaban Eropa berkembang tanpa membangun.”[27] Maka, metode historis dianggap lebih cocok untuk mengkajinya.
Secara historis, kesadaran Eropa pun terkuak tak universal, sebagaimana diklaim oleh Orientalisme. Ia punya sumber eksplisit, yaitu peradaban Yunani, Romawi, Yahudi dan Kristiani, serta sumber implisit, yaitu Mesir, China, India, Persia, Arab-Islam dan lingkungan Eropa. Ia pun berkembang dari mulai zaman pendeta-pendeta Gereja dan zaman Skolastik (abad ke-1 sampai abad ke-14), zaman Referomasi dan zaman Kebangkitan (abad ke-15 dan ke-16), zaman Rasionalisme dan Pencerahan (abad ke-17 dan ke-18), zaman Positivisme Ilmiah (abad ke-19) dan zaman Eksistensialisme dan Zaman analisis (abad ke-20).[28]
Di relung pergerakan sejarah kesadaran itu, Hanafi mencerap adanya tiga struktur kesadaran Eropa yang saling bersiteru, yaitu agama (Yahudi-Kristiani), filsafat (Yunani Romawi) dan ilmu pengetahuan (realitas Eropa). Oleh karena perseturuan struktural itu, Hanafi menyimpulkan struktur kesadaran Eropa sebagai struktur formatif, artinya selalu bergerak menjauh dari pusat.[29] Lebih lanjut, dia memprediksikan nasib peradaban Eropa abad ke-21 sampai abad ke-27 akan hancur.
Prediksinya didasari pada sejarah Arab-Islam dan Eropa-Kristen yang saling bertolak belakang dan saling menggantikan dalam perjalanan tiap tujuh abad. Abad ke-1 sampai abad ke-7, Eropa-Kristen maju, Arab-Islam belum ada dalam sejarah. Abad ke-7 sampai abad ke-14, Eropa-Kristen mengalami abad kegelapan, sementara Arab-Islam mengalami masa keemasan. Abad ke-14 sampai abad ke-21 Eropa-Kristen menikmati masa modernitas, sedangkan Arab-Islam mengalami keterbelakangan. Berpegang pada data historis itu, Hanafi memprediksikan tujuh abad ini Arab-Islam unggul, sedangkan Eropa-Kristen berkalang tanah.[30]
Benar atau tidaknya prediksi itu akan dibuktikan oleh kenyataan historis abad ke-21 sampai dengan abad ke-27. Yang jelas, Hanafi berupaya membuktikan tanda-tanda keruntuhan Eropa-Kristen secara khusus dan Barat secara umum dengan hegemoni filsafat nihilistik dewasa ini. Sementara bukti kebangkitan Arab-Islam secara khusus dan Timur secara umum dengan kemerdekaan mereka satu persatu disusul dengan pembangunan demi pembangunan yang kian masif.[31]
Kajian tentang Liyan
Jika diperhatikan secara seksama, baik Orientalisme maupun Oksidentalisme sama-sama kajian tentang liyan (other/âkhar/pihak yang lain). Orient liyannya Orientalisme, sedangkan Occident liyannya Oksidentalisme. Baik Orientalisme maupun Oksidentalisme memposisikan liyannya sebagai objek kajian. Kedua belah pihak sama-sama kritis terhadap sang objek.
Obyek itu dilihat berada di sana. Sesuatu yang berbeda dari yang di sini. Yang lain hendak dikenali. Itu tujuan pertama. Namun tujuan selanjutnya mungkin penguasaan, “pencerahan” atau sekadar pembongkaran.
Jika penguasaan dan pembongkaran yang dituju, tentu akan muncul penolakan dari liyan. Antagonisme potensial terjadi. Egoisme nir toleransi pun lebih mengemuka. Andai kata pencerahan liyan yang dibayangkan terjadi, penyeragamanlam yang akan menggejala karena pencerahan liyan tak lain dari upaya menyesuaikan liyan dengan ego yang dianggap lebih sempurna.
Dalam kondisi-kondisi sedemikian rupa, liyan cenderung dilecehkan. Pihak asing dikenali untuk dilucuti dan/atau dipaksa tunduk pada diri. Berelasi dengan liyan sedemikian rupa tentu tidak terpuji.
Seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger (1889—1976) mengajukan konsep "Fürsorge" sebagai alternatif cara berelasi dengan liyan. Konsep tersebut merupakan turunan dari konsep Dasein, In-der-Welt-sein, Besorge, Mitsein, dan Mitdasein. Secara sederhana, Dasein adalah eksistensi ada dalam ruang dan waktu. Keberadaannya di bumi (In-der-Welt-sein) mau tak mau memposisikannya menghadapi Besorge: dunia yang diperhatikan. Dalam pada itu, Dasein adalah Mitsein: ada bersama yang lain. Ia juga Mitdasein: ada bersama Dasein lain. "Dasein pada dasarnya ada bersama yang lain".[32] Oleh Heidegger kebersamaan Dasein dengan liyan itu tidak didorong ke arah Selbstsorge: perhatian pada diri yang menurutnya tautologis. Mitdasein itu justru digiring ke Fürsorge: perhatian pada liyan.[33] Dengan kesadaran pada liyan sebagai keniscayaan dalam Dasein, liyan diperhatikan dengan penuh kehangatan sebagai kenyataan tak terpisahkan.
Lebih lanjut Jacques Derrida menawarkan konsep "hospitalité" (kesanggrahan). Filsuf Perancis kontemporer ini mendefinisikannya dengan " Sambutan tanpa tedeng aling-aling dan tanpa kalkulasi, keterbukaan tanpa batas kepada siapa pun yang tiba".[34] Liyan diterima sebagai yang lain yang selalu melain, karena yang lain selamanya lain. “Semua liyan keseluruhannya liyan.[35]
Kita tidak pernah dapat menguasai liyan sepenuhnya. Selalu saja meleset upaya untuk meringkus liyan dalam suatu kerangkeng yang pasti. Karena itu, kesanggarahan pada liyan mau tak mau menjadi cara berelasi dengan liyan.
Berbekal konsep hospitalité Derrida dan Fürsorge Heidegger, kajian tentang liyan akan menjadi penuh gairah dan penuh keterbukaan. Bagi pengikut Muhammad melakukan kajian semacam itu sama dengan menerapkan sabda Nabi: "Hikmah adalah buruan orang beriman. Di mana hikmah berada, mukmin berhak mendapatkannya".[36] Sementara bagi orang-orang kontemporer yang melék ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, semangat keterbukaan pada liyan merupakan banalitas sehari-hari. Berdasarkan itu semua, nafsu menguasai dan/atau dendam dalam mengkaji liyan tak diperlukan, bukan?


[1] Makalah diskusi Forum Filsafat Komunitas Salihara, Jakarta, Jumat 16 April 2010.
[2] Alumnus S1 Akidah-Filsafat Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir; dan S2 Filsafat Universitas Indonesia, Depok, Indonesia, dengan tesis magister berjudul Pos-Oksidentalisme: Dekonstruksi atas Oksidentalisme Hassan Hanafi. Saat ini dia bekerja sebagai Tenaga Ahli Anggota DPR RI, di samping sebagai dosen mata kuliah-mata kuliah filsafat di IAI Al-Aqidah, Jakarta dan STIKOM Prosia, Jakarta.
[3] A.L. Macfie, Orientalism: A Reader, Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000, h. 1-2.
[4] Robert Irwin, For lust of knowing: The Orientalist and Their Enemies, New York: Penguin, 2007, h. 47-48.
[5]The East is Career”. (Benjamin Disraeli, Tancred: the New Crusade, Leipzig: Bernh Tauchnitz Jun, 1847, h. 161).
[6] Anouar Abdel-Malek, “Orientalis in Crisis”, Diogenes, no. 44, winter 1963, h. 104-1012.
[7]The work itself we conceive to tend not only to the advancement of good literature by bringing to light much knowledge which as yet is locked up in that learned tongue, but also to the good service to the King and State in our commerce with the Eastern nations, and in God's good time to the enlargement of the borders of the Church, and propagation of Christian religion to them who now sit in darkness”. (Arthur John Arberry, The Cambridge School of Arabic, inaugural lecture presented on October 30, 1947).
[8] James Mill, The History of British India, London: Baldwin, Cradock and Joy,1817, h. 66.
[9] G.W.F. Hegel, The Philosophy of History, New York: P.F. Collier & Son, 1902, h. 163-166.
[10] Colonialism has risen, it has celebrated its misdeeds and its splendors.... It is dead and buried as, everything considered, it deserved to die. But this fact has no bearing whatever on the work of the greatest and most important European scholars who did not see their work as a contribution to political or commercial interest, but as a disinterested and impassioned search for the truth. (Francesco Gabrieli, “Apology for Orientalism”, Diogenes, No. 50, Summer 1965, h. 128-136).
[11] Ibid.
[12] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Yogyakarta: LKiS, 2003, h. 49.
[13] Ibid, h. 243.
[14]Intellectuals are the ‘officers’ of the ruling class for the exercise of subordinate functions of social hegemony and political government, i.e., (1) of the ‘spontaneous’ consent given by the great masses of the population to the direction imprinted on social life by the fundamental ruling class, a consent which comes into existence ‘historically’ from the prestige’ (and hence from the trust) accruing to the ruling class from its position and its function in the world of production; (2) of the apparatus of State coercion, which ‘legally’ ensures the discipline of those groups which do not ‘consent’ either actively or passively, but is constituted for the whole of society in anticipation of moments of crisis in command and direction when spontaneous consent diminishes. (Antonio Gramsci, The Modern Prince, New York: International Publishers, 1957, h. 124).
[15] It is hegemony or rather the result of cultural hegemony at work, that gives Orientalism the durability and the strength.... Orientalism is never far from what Denys Hay has called the idea of Europe, a collective notion identiving ‘us’ Europeans as againts all ‘those’ non-Europeans, and indeed it can be argued that the major component in European culture is precisely what made that culture hegemonic both in and outside Europe: the idea of European identity as superior one in comparison with all the non-Europeans peoples and cultures. (Edward W. Said, Orientalism, New Delhi: Penguin Books, 2001 (1978), h. 7).
[16]The ensemble of rules according to which the true and the false are separated and specific effects of power attached to the true“. (Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, New York: Pantheon Books, 1980, h. 132).
[17] Ibid, h. 133.
[18]To say simply that modern Orientalism has been an aspect of both imperialism and colonialism is not to say anything very disputable”. (Edward W. Said, op.cit., h. 123).
[19] Surat C. Snouck Hurgronje kepada Menteri Daerah Jajahan yang dimuat dalam E. Gobee dan C. Andriaanse (eds.), Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939, terj. Sukarsi, Jakarta: INIS, 1990, vol. I, h. xxii-xxv).
[20] Edward W. Said, “Shattered Myths”, dalam Naseer H. Aruri (ed.), Middle East Crucible, Wilmette: Medina University Press, 1975, h. 410-427.
[21] Anouar Abdel-Malek, “Orientalism in Crisis”, Diogenes, no. 44, winter 1963, h. 104-112.
[22] Ibid, h. 111-112
[23] Ibid, h. 119.
[24]To contribute in creative manner to the elaboration of the fundamental problems of the struggle of the peoples of the Orient for their national and social liberation and to recover from their economic backwardness. (ibid, h. 122).
[25] Amma fi ‘Al-Istighrâb’ faqad inqalabat al-mawâzînu, wa tabaddalat al-adwâru, fa ashbaha al-Anâ al-Urûbiy ad-dâris bi al-ams huwa al-maudlu’ al-madrûs al-yauma kamâ ashbaha allâ ûrûbiy al-madrûs bil amsi huwa adz-dzât ad-dâris al-yauma”. (Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb, Beirut: Al-Muassah al-Jami’ah li ad-Dirasat wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, 2000, h. 24).
[26] Ibid, h. 24-25.
[27]Nasya’at hadlârah al-Urubiyyah katathawwurin duna binâ’”. (ibid, h. 15)
[28] Ibid, h. 15.
[29] Ibid, 456
[30] Ibid, h. 498-500.
[31] Ibid, h. 506-520.
[32]Dasein is essentially Being with Others”. (Mantin Heidegger, Being and Time, terj. Joan Stambaugh, Albani: State University of New York Press, 1996, h. 281).
[33] Ibid, h. 366.
[34]a welcome without reserve and without calculation, an exposure without limit to whoever arrives“. (Jacques Derrida, "Principle od Hospitality: Interview with Dominique Dhombres for Le Monde, December 2, 1997, translated by Asley Thomson, Parallax, vol. 11, no. 1, 2005, p. 6).
[35]Tout autre est tout autre.” (Jacques Derrida, The Gift of Death, terj. D. Wills, Chicago: University of Chicago Press, 1995, h. 82).
[36]Al-hikmah dlâlatul mu'min fahaitsu wajadahâ fahuwa ahaqqu bihâ. (HR. At-Tirmidzi [2/1395] dan HR. Ibnu Majah [5/51]).