Selasa, 04 September 2012

Rekonstruksi Orientalisme dan Oksidentalisme

Rekonstruksi Orientalisme dan Oksidentalisme

PENDAHULUAN
         Melakukan kajian tentang perkembangan pemikiran tentang orientalisme dan oksidentalisme bukanlah hal yang mudah. Meskipun kajian Orientalisme telah berkembang cukup lama, namun untuk melacak dinamika intelektualismenya harus melibatkan banyak elemen dan beberapa variabel. Karena meski akar-akar kajian orientalisme relatif sama, namun ekspresi yang ditampilkan oleh pakar-pakar orientalisme ternyata sangat beragam. Telah terjadi proses pemahaman yang kurang simpatik mengenai Barat dari sebagian umat Muslim sendiri. Di  samping faktor trauma akibat aksi kolonialisme klasik, lahirnya modernitas Barat dengan segala konsekuensinya masih dihadapi secara konservatif oleh umat Muslim yang berpandangan fundamentalis.
         Tindakan-tindakan radikal serta cara-cara kekerasan yang ditampakkan umat Muslim dalam menghadapi hegemoni Barat, seperti tampak pada demonstrasi radikal di beberapa negeri Muslim dalam menanggapi kartun Nabi, justru menjadi legitimasi bagi gagapnya sebagian umat Muslim yang kehilangan kearifan peradaban. Ketegasan yang arif dan tanpa kekerasan amat sulit ditemui. Sehingga semakin menambah keyakinan Barat atas persepsi Islam yang radikal.
         Ada beberapa statemen yang menilai bahwa orientalisme selalu berkaitan dengan kolonialisme. Tidak sedikit sarjana-sarjana yang mengklaim bahwa kemunculan orientantalis membawa sejumlah malapetaka bagi kaum timur. Akibatnya nosi-nosi ini dijadikan sebagai apologi untuk melawan orientalisme. Kajian orientalisme seperti diarahkan dan terkesan bahwa barat hanyalah berisi orang-orang yang bertujuan mendominasi Timur. Tetapi penulis mencoba mendalami kajian ini dengan integrasi dan interkoneksi dialog wacana orientalisme dan oksidentalisme menjadi sebuah pemahaman yang komperhensif agar supaya tidak ada yang perlu di perdebatkan lagi nosi-nosi yang dianggap tidak obyektif.
PEMBAHASAN
         Berbagai macam tanggapan kaum Muslimin terhadap orientalisme. Tidak sedikit dari mereka ada yang menganggap seluruh orientalis sebagai musuh Islam. Mereka bersikap ekstrim dan menolak seluruh karya-karya orientalis, tidak penting bagi mereka apakah karya itu ilmiah atau tidak. Bahkan  di antara  mereka ada yang secara emosional menyatakan bahwa orang Islam yang mempelajari tulisan karya orientalis termasuk antek-antek zionis.[1] Mereka mempunyai argumen bahwa orientalisme bersumber pada ide-ide Kristenisasi yang menurut Islam sangat merusak dan bertujuan menyerang benteng pertahanan Islam dari dalam. Karena pada faktanya tidak sedikit karya-karya orientalis yang bertolak belakang dengan Islam. H.A.R. Gibb, misalnya, dalam karyanya Mohammedanism berpendapat bahwa al-Quran hanyalah karangan Nabi Muhammad; Gibb seakan menurunkan derajat kesucian agama wahyu ini, padahal tak ada seorang Muslim pun berpendapat bahwa Islam adalah ciptaan Muhammad  SAW.[2]
         Nosi negatif yang dikemukakan oleh Ahmad Abdul Hamid Ghurab mengenai karakter Orientalisme sepertinya memberikan pemaknaan bagi yang negatif tentang orientalis yaitu: pertama, orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai relasi yang sarat dengan kolonialisme Barat; kedua, orientalisme merupakan gerakan dari Kristenisasi; ketiga, orientalisme merupakan kajian gabungan yang kuat antara kolonialisme dengan gerakan Kristenisasi yang validitas ilmiah dan obyektivitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara mutlak khususnya dalam mengutarakan kajian tentang Islam; keempat, orientalisme merupakan bentuk kajian yang dianggap paling potensial dalam politik Barat untuk melawan Islam.[3]
         Ada yang bersikap toleran dan mereka terbagi dalam dua kelompok, satu kelompok bersikap sangat berlebihan, artinya semua karya tulis kaum orientalis dinilai sangat ilmiah sehingga bagi mereka seluruh karya orientalis sangat obyektif dan dapat dipercaya. Kelompok lain bersikap hati-hati dan kritis; mereka selalu berusaha berpijak pada landasan keilmuan. Menurut mereka, cukup banyak karya tulis kaum orientalis yang berisi informasi dan analisis obyektif tentang Islam dan ummatnya, karena memang tidak semua karya orientalis bertolak belakang dengan Islam melainkan hanya sebagian kecilnya saja. Maryam Jamilah menyatakan bahwa orientalisme tidak sama sekali buruk. Sejumlah pemikir besar di Barat, telah menghabiskan umurnya untuk mengkaji Islam lantaran mereka secara jujur tertarik terhadap kajian-kajian itu. Tanpa usaha mereka, banyak di antara pengetahuan berharga dalam buku-buku Islam kuno akan hilang tanpa bekas atau tidak terjamah orang.[4]
         Pada umumnya para orientalis itu benar-benar menekuni pekerjaan penerjemahan ini. Mereka yang cenderung membatasi  cakupan   pengkajiannya hanya pada deskripsi, kadang-kadang berhasil menulis buku-buku yang sangat  bermanfaat, informatif dan membuka cakrawala pemikiran baru. Persoalan timbul pada saat mereka melangkah terlalu jauh dari batas-batas yang benar dan berusaha menafsirkan Islam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Dunia Islam berdasarkan pandangan-pandangan pribadi yang tidak cocok.
         Edward W Said dalam karyanya Orientalisme. Karya Guru besar Universitas Columbia, New York, ini telah menimbulkan kehebohan dan kontroversi di lingkungan dunia akademis Barat yang biasa disebut kaum orientalis. Menurut Said, orientalisme bukan sekedar wacana akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan relijius. Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan Barat tentang dunia oriental bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa untuk menguasai wilayah-wilayah Muslim.[5] Dan kolonialisme Eropa tak bisa lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran Kristen.
         Ketiga kepentingan yang saling terkait  satu  sama  lain ini  tersimpul  dalam slogan yang sangat terkenal tentang  ekspansi Eropa ke kawasan dunia Islam, yang mencakup 3G yakni Glory, Gold and Gospel:  kejayaan, kekayaan ekonomi dan penginjilan. Semua motif dan kepentingan orientalisme ini secara implisit juga bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan missi pembudayaan  terhadap dunia Timur yang terbelakang, jika tidak primitif. Kritik keras Said yang sangat menusuk itu mau tak mau sangat mengguncangkan sendi-sendi kajian Barat terhadap dunia Timur. Hasilnya, di kalangan banyak sarjana Barat yang biasa disebut orientalis, istilah orientalisme menjadi sesuatu yang pejoratif, jika tidakdisgusting.[6]
Oksidentalisme Sebagai Jawaban
         Sejak penjajahan Barat, baik melalui pemikiran dan kekuatan ideologi (Kapitalisme dan Sosialisme) yang menguasai kawasan muslim, lambat laun membangkitkan umat dari tidur panjang sejarah peradaban. Modernitas telah menjadi realitas yang tidak bisa lagi ditolak kemunculannya, dan menjadi tantangan besar agama-agama dalam menjawabnya. Lalu, dalam dunia Muslim diperhadapkan pada dua masalah besar, yaitu melawan hegemoni Barat  dan menumbuhkan tradisi pemikiran dengan pendekatan ijtihad dan rasionalisme dalam metode berfikir umat menuju peradaban Islam. Oksidentalisme dan Kiri Islam Hassan Hanafi, gagasan Hassan Hanafi yang lebih banyak berorientasi pada praksis dan wacana pembebasan. Orang banyak mengkritik Hassan Hanafi karena tidak adanya metodologi yang dipakai dalam menganalisa relitas sosial dan menafsirkan teks keagamaan. Ia sering mengatakan bahwa sesungguhnya tak ada metodologi yang dipakainya. Penulis bernganggapan bahwa apa yang selama ini dilakukan olehnya adalah sebagai pembuka atas keadaan umat Islam dari keadaan inferior menjadi setara dengan Barat, dari kegelapan intelektual menuju pencerahan wacana keilmuan, untuk membangun sebuah peradaban yang baru.
         Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yang  sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yang menindas. Upaya rekonstruksi ini diawali dengan menjaga jarak terhadap Asy’arisme, prmikiran keagamaan resmi yang telah bercampur dengan tasawuf dan menajdi ideologi kekuasaan, serta mempengaruhi perilaku negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan ilham dari langit.
         Secara singkat dapat dikatakan, Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam, dan kesatuan umat.[7] Pilar pertama adalah revitalisasi khasanah Islam klasik. Hal ini sebagian sudah dijelaskan pada paragraf di atas. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme, karena rasionalisme merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan Muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang peradaban Barat. Hassan Hanafi mengingatkan bahaya imperalisme kultural Barat, dan dia mengusulkan “Oksidentalisme”, yang pembahasannya akan diulas di akhir makalah ini. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia termasuk Islam. Ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu dalam melihat realitas dunia kontemporer. Jadi, ada tiga pilar atau agenda, yaitu : sikap kita terhadap tradisi lama, sikap kita terhadap tradisi Barat, dan sikap kita terhadap realitas.
         Sebelum melangkah pada oksidentaisme, kita perlu bahas dahulu apa yang menjadi pemahaman Hassan Hanafi mengenai tradisi (turats). Tradisi, menurutnya, bukanlah sekedar barang mati yang telah ditinggalkan orang-orang terdahulu. Pernyataan ini persis sama seperti pengakuan Al-Jabiri, yaitu bahwa tradisi adalah barang hidup yang selalu menyertai kekinian kita. Tradisi adalah elemen-elemen budaya, kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup, dan masih terpendam dalam tanggung jawab generasi sesudahnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif, dan sebagai pembentuk “pandangan dunia” serta membimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang.
         Tradisi ternyata telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme dan menjadi kekuatan kekuasaan yang berkedok agama. Sehingga perlu direvitalisasi menjadi kekuatan yang membebaskan. Tradisi, pada dasarnya tidak bernilai. Kecuali jika ia dapat menjadi sarana yang dapat memberikan teori aksi negara Arab dalam merekonstruksi manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Proyek Hassan Hanafi dimaksudkan untuk merekonstruksi, menyatukan, dan mengintepretasikan seluruh ilmu peradaban Islam bedasarkan kebutuhan modern untuk dijadikan sebagai ideologi manusia, untuk menuju kesempurnaan hidup. Hassan Hanafi juga bermaksud merekonstruksi tradisi kebudayaan Barat yang dicirikannya sebagai kebudayaan murni historis, di mana wahyu Tuhan tidak dijadikan sebagai sentral peradaban.[8] Hanafi sedang mendekonstruksi bangunan pemikiran Islam klasik yang mati fungsi peradabannya, di samping juga mendekonstruksi klaim-klaim universalitas dan hegemoni wacana yang dilakukan Barat, melalui pemikiran dan kebudayaan werternis. Pandangan obyektif dan kritis dalam pemikiran Hassan Hanafi adalah bagaimana agenda “oksidentalisme” menjadi kekuatan wacana penyeimbang dalam melihat Barat dan upaya westernasasi.
         Seperti dijelaskan Hassan Hanafi, Oksdentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Orientalisme melihat Timur sebagai the other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas pada ego dengan kompleksitas superioritas pada pihak the other. Oreintalisme lama adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji terhadap obyek yang dikaji. Di sini terjadi superioritas Barat dalam melihat Timur. Hal demikian dibalikkan denganOksidentalisme, yag tugasnya yaitu mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other, menumbangkan superioritas the other Barat dengan menjadikannya sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan infererioritas kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hanya saja Oksidentalsime kali ini dibangun di atas ego yang netral dan tidak berambisi merebut kekuasaan, dan hanya menginginkan pembebasan. Ia juga tidak ingin mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui keterbentukan dan struktur peradaban Barat. Seperti diklaim oleh Hassan Hanafi, ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral dibadindingkan ego Orientalisme.
         Pemikiran Hassan Hanafi juga dilandasi oleh penafsiran secara hermeneutik terhadap teks keagamaan (tradisi keilmuan Islam lama) agar didapatkan pemahaman yang hidup dalam memberikan kontribusi bagi pembebasan. Oksidentalsime adalah bagian dari Kiri Islam, yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif umat Islam dalam membaca tradisinya sendiri dan tradisi the other. Pemikiran beliau juga bermuatan rasional, karena jika masih menggunakan baju konservatisme agama maka tradisi tidak akan berbicara apa-apa. Teks itu adalah barang mati, yang hidup adalah makna dan intepretasi baru. Tugas kita adalah bagaimana menghidupkan teks dalm tradisi itu menjadi relevan dan berguna bagi kondisi saat ini. Pemikiran Hassan Hanafi perlu diapresiasi lebih mendalam, karena ia adalah pelanjut bagi tradisi pemikiran Islam kontemporer yang kritis.
KESIMPULAN
         Orientalis lebih kental nuansa politis dan tendensi kencurigaannya terhadap Islam. Islamisis tampak lebih bersahabat. Kajiannya lebih bersifat ilmiah, daripada penyelidikan demi kepentingan imperialisme. Belakangan ini sarjana muslim mengeritik orientalisme bukan karena tesis-tesis para orientalis itu tidak lebih akurat dibandingkan antitesis mereka, tapi tak jarang justru karena mereka memang sadari awal tidak ingin mendengar pendekatan kritis dan ilmiah apapun terhadap agama. Terlebih bila kritik itu datang dari luar Islam. Padahal, faktanya tak jarang pengkajian ilmiah atas Islam yang dilakukan oleh kalangan orientalis jauh lebih bersungguh-sungguh dan bermutu dibandingkan kajian mereka yang hanya bersikap reaktif saja. Tapi sebetulnya, sejarah tanggapan yang reaktif, baik yang bersifat psikologis maupun ideologis terhadap orientalisme, baru berkembang di dunia Arab setelah tahun 1960-an. Sebelum 1960-an, reaksi terhadap orientalisme jauh lebih berbobot dan cukup positif.
         Respons yang alamiah tatkala intelektual dunia Timur juga melakukan kajian-kajian tentang peradaban Barat “sebagaimana orang Barat melakukannya terhadap Timur” dengan segenap kelebihan dan kekurangannya. Di samping telah menunjukkan semangat keterbukaan dan ilmiah untuk memahami orang lain, apa yang mereka lakukan juga menunjukkan bahwa dialog antarperadaban dan antarkebudayaan mungkin dilaksakan dengan cara-cara yang beradab dan ilmiah.
        Menurut saya, kesalahpahaman persepsi maupun corak pemikiran antara Barat dan umat Islam berakar dari kagagalan dialog eksistensial dan tumbuhnya prasangka yang berlebihan. Alhasil, melahirkan generasi fundamentalisme agama yang akut. Sehingga menjadi tepat bahwa yang terjadi sesungguhnya ialah fenomena benturan fundamentalisme. Maka pada dasarnya, kebesaran orientalisme dilihat dari segi historisnya dibandingkan dengan oksidentalisme yang masih baru ini dapat kita jadikan ukuran bahwa kedua masih belum selesai. Kedua-duanya tetap berkembang sesuai dengan arah kecendrungan para intelektual dalam mengkaji barat ataupun timur. Dan akhirnya, oksidentalisme turut andil dalam membangun peradaban dunia melalui transformasi lintas-kebudayaan melalui sikap saling menghargai dan egaliter. Di sinilah kerangka rekonstruksi dialog Islam dan Barat mesti diletakkan. Tentunya, persoalan ini menjadi tangung jawab kita bersama untuk membangun peradaban baru yang lebih baik dan dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Samurai, Qasim. Bukti-bukti Kebohongan Orientalis. Jakarta: Gema Insani Press. 1996.
Boullata, Issa J. Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam. Yogyakarta: LKIS, 2001.
Ghurab, Ahmad Abdul Hamid. Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993.
Jamilah, Maryam. Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik. Terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawalipers.
Rais, M. Amien. Cakrawala Islam. Bandung: Mizan. 1986.
Said, Edward W. Orientalisme. Bandaung: Pustaka Salman. 2001.
Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta: LKIS, 2001, cet. V.

[1] Qasim Al-Samurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis. Jakarta: Gema Insani Press. 1996, hlm. 1.
[2] M. Amien Rais, Cakrawala Islam. Bandung: Mizan, 1986,  hlm. 241.
[3] Ahmad Abdul Hamid Ghurab, Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993, hlm. 21.
[4] Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik. Terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawalipers, 1994, hlm. 11.
[5] Edward W Said, Orientalisme, Bandaung; Pustaka Salman. 2001, hlm. 16
[6] Azyumardi Azra, Historiografi, hlm. 187.
[7] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam. antara Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta : LKIS. 2001. cet. V, hlm. 7-8.
[8] Issa J. Boullata. Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam. Yogyakarta: LKIS, 2001. Hlm, 62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar