Rekonstruksi Orientalisme dan Oksidentalisme
PENDAHULUAN
Melakukan kajian tentang
perkembangan pemikiran tentang orientalisme dan oksidentalisme bukanlah
hal yang mudah. Meskipun kajian Orientalisme telah berkembang cukup
lama, namun untuk melacak dinamika intelektualismenya harus melibatkan
banyak elemen dan beberapa variabel. Karena meski akar-akar kajian
orientalisme relatif sama, namun ekspresi yang ditampilkan oleh
pakar-pakar orientalisme ternyata sangat beragam. Telah terjadi proses
pemahaman yang kurang simpatik mengenai Barat dari sebagian umat Muslim
sendiri. Di samping faktor trauma akibat aksi kolonialisme klasik,
lahirnya modernitas Barat dengan segala konsekuensinya masih dihadapi
secara konservatif oleh umat Muslim yang berpandangan fundamentalis.
Tindakan-tindakan radikal serta
cara-cara kekerasan yang ditampakkan umat Muslim dalam menghadapi
hegemoni Barat, seperti tampak pada demonstrasi radikal di beberapa
negeri Muslim dalam menanggapi kartun Nabi, justru menjadi legitimasi
bagi gagapnya sebagian umat Muslim yang kehilangan kearifan peradaban.
Ketegasan yang arif dan tanpa kekerasan amat sulit ditemui. Sehingga
semakin menambah keyakinan Barat atas persepsi Islam yang radikal.
Ada beberapa statemen yang
menilai bahwa orientalisme selalu berkaitan dengan kolonialisme. Tidak
sedikit sarjana-sarjana yang mengklaim bahwa kemunculan orientantalis
membawa sejumlah malapetaka bagi kaum timur. Akibatnya nosi-nosi ini
dijadikan sebagai apologi untuk melawan orientalisme. Kajian
orientalisme seperti diarahkan dan terkesan bahwa barat hanyalah berisi
orang-orang yang bertujuan mendominasi Timur. Tetapi penulis mencoba
mendalami kajian ini dengan integrasi dan interkoneksi dialog wacana
orientalisme dan oksidentalisme menjadi sebuah pemahaman yang
komperhensif agar supaya tidak ada yang perlu di perdebatkan lagi
nosi-nosi yang dianggap tidak obyektif.
PEMBAHASAN
Berbagai macam tanggapan kaum
Muslimin terhadap orientalisme. Tidak sedikit dari mereka ada yang
menganggap seluruh orientalis sebagai musuh Islam. Mereka bersikap
ekstrim dan menolak seluruh karya-karya orientalis, tidak penting bagi
mereka apakah karya itu ilmiah atau tidak. Bahkan di antara mereka ada
yang secara emosional menyatakan bahwa orang Islam yang mempelajari
tulisan karya orientalis termasuk antek-antek zionis.[1]
Mereka mempunyai argumen bahwa orientalisme bersumber pada ide-ide
Kristenisasi yang menurut Islam sangat merusak dan bertujuan menyerang
benteng pertahanan Islam dari dalam. Karena pada faktanya tidak sedikit
karya-karya orientalis yang bertolak belakang dengan Islam. H.A.R. Gibb,
misalnya, dalam karyanya Mohammedanism berpendapat bahwa
al-Quran hanyalah karangan Nabi Muhammad; Gibb seakan menurunkan derajat
kesucian agama wahyu ini, padahal tak ada seorang Muslim pun
berpendapat bahwa Islam adalah ciptaan Muhammad SAW.[2]
Nosi negatif yang dikemukakan
oleh Ahmad Abdul Hamid Ghurab mengenai karakter Orientalisme sepertinya
memberikan pemaknaan bagi yang negatif tentang orientalis yaitu: pertama, orientalisme adalah suatu kajian yang mempunyai relasi yang sarat dengan kolonialisme Barat; kedua, orientalisme merupakan gerakan dari Kristenisasi; ketiga,
orientalisme merupakan kajian gabungan yang kuat antara kolonialisme
dengan gerakan Kristenisasi yang validitas ilmiah dan obyektivitasnya
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara mutlak khususnya dalam
mengutarakan kajian tentang Islam; keempat, orientalisme merupakan bentuk kajian yang dianggap paling potensial dalam politik Barat untuk melawan Islam.[3]
Ada yang bersikap toleran dan
mereka terbagi dalam dua kelompok, satu kelompok bersikap sangat
berlebihan, artinya semua karya tulis kaum orientalis dinilai sangat
ilmiah sehingga bagi mereka seluruh karya orientalis sangat obyektif dan
dapat dipercaya. Kelompok lain bersikap hati-hati dan kritis; mereka
selalu berusaha berpijak pada landasan keilmuan. Menurut mereka, cukup
banyak karya tulis kaum orientalis yang berisi informasi dan analisis
obyektif tentang Islam dan ummatnya, karena memang tidak semua karya
orientalis bertolak belakang dengan Islam melainkan hanya sebagian
kecilnya saja. Maryam Jamilah menyatakan bahwa orientalisme tidak sama
sekali buruk. Sejumlah pemikir besar di Barat, telah menghabiskan
umurnya untuk mengkaji Islam lantaran mereka secara jujur tertarik
terhadap kajian-kajian itu. Tanpa usaha mereka, banyak di antara
pengetahuan berharga dalam buku-buku Islam kuno akan hilang tanpa bekas
atau tidak terjamah orang.[4]
Pada umumnya para orientalis itu
benar-benar menekuni pekerjaan penerjemahan ini. Mereka yang cenderung
membatasi cakupan pengkajiannya hanya pada deskripsi, kadang-kadang
berhasil menulis buku-buku yang sangat bermanfaat, informatif dan
membuka cakrawala pemikiran baru. Persoalan timbul pada saat mereka
melangkah terlalu jauh dari batas-batas yang benar dan berusaha
menafsirkan Islam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Dunia Islam
berdasarkan pandangan-pandangan pribadi yang tidak cocok.
Edward W Said dalam karyanya Orientalisme. Karya Guru
besar Universitas Columbia, New York, ini telah menimbulkan kehebohan
dan kontroversi di lingkungan dunia akademis Barat yang biasa disebut
kaum orientalis. Menurut Said, orientalisme bukan sekedar wacana
akademis tetapi juga memiliki akar-akar politis, ekonomis, dan bahkan
relijius. Secara politis, penelitian, kajian dan pandangan Barat tentang
dunia oriental bertujuan untuk kepentingan politik kolonialisme Eropa
untuk menguasai wilayah-wilayah Muslim.[5] Dan
kolonialisme Eropa tak bisa lain berkaitan dengan kepentingan ekonomi
dan sekaligus juga kepentingan keagamaan; tegasnya penyebaran Kristen.
Ketiga kepentingan yang saling
terkait satu sama lain ini tersimpul dalam slogan yang sangat
terkenal tentang ekspansi Eropa ke kawasan dunia Islam, yang mencakup
3G yakni Glory, Gold and Gospel: kejayaan, kekayaan
ekonomi dan penginjilan. Semua motif dan kepentingan orientalisme ini
secara implisit juga bersifat rasis. Dan ini tercermin dalam slogan
missi pembudayaan terhadap dunia Timur yang terbelakang, jika tidak
primitif. Kritik keras Said yang sangat menusuk itu mau tak mau sangat
mengguncangkan sendi-sendi kajian Barat terhadap dunia Timur. Hasilnya,
di kalangan banyak sarjana Barat yang biasa disebut orientalis, istilah
orientalisme menjadi sesuatu yang pejoratif, jika tidakdisgusting.[6]
Oksidentalisme Sebagai Jawaban
Sejak penjajahan Barat, baik
melalui pemikiran dan kekuatan ideologi (Kapitalisme dan Sosialisme)
yang menguasai kawasan muslim, lambat laun membangkitkan umat dari tidur
panjang sejarah peradaban. Modernitas telah menjadi realitas yang tidak
bisa lagi ditolak kemunculannya, dan menjadi tantangan besar
agama-agama dalam menjawabnya. Lalu, dalam dunia Muslim diperhadapkan
pada dua masalah besar, yaitu melawan hegemoni Barat dan menumbuhkan
tradisi pemikiran dengan pendekatan ijtihad dan rasionalisme dalam
metode berfikir umat menuju peradaban Islam. Oksidentalisme dan Kiri
Islam Hassan Hanafi, gagasan Hassan Hanafi yang lebih banyak
berorientasi pada praksis dan wacana pembebasan. Orang banyak mengkritik
Hassan Hanafi karena tidak adanya metodologi yang dipakai dalam
menganalisa relitas sosial dan menafsirkan teks keagamaan. Ia sering
mengatakan bahwa sesungguhnya tak ada metodologi yang dipakainya.
Penulis bernganggapan bahwa apa yang selama ini dilakukan olehnya adalah
sebagai pembuka atas keadaan umat Islam dari keadaan inferior menjadi
setara dengan Barat, dari kegelapan intelektual menuju pencerahan wacana
keilmuan, untuk membangun sebuah peradaban yang baru.
Kiri Islam lahir dari kesadaran
penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan
rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar
dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini
adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional
yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas
kekuasaan yang menindas. Upaya rekonstruksi ini diawali dengan menjaga
jarak terhadap Asy’arisme, prmikiran keagamaan resmi yang telah
bercampur dengan tasawuf dan menajdi ideologi kekuasaan, serta
mempengaruhi perilaku negatif rakyat untuk hanya menunggu perintah dan
ilham dari langit.
Secara singkat dapat dikatakan,
Kiri Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan
Islam, revolusi Islam, dan kesatuan umat.[7] Pilar
pertama adalah revitalisasi khasanah Islam klasik. Hal ini sebagian
sudah dijelaskan pada paragraf di atas. Hassan Hanafi menekankan
perlunya rasionalisme, karena rasionalisme merupakan keniscayaan untuk
kemajuan dan kesejahteraan Muslim serta untuk memecahkan situasi
kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang
peradaban Barat. Hassan Hanafi mengingatkan bahaya imperalisme kultural
Barat, dan dia mengusulkan “Oksidentalisme”, yang pembahasannya akan
diulas di akhir makalah ini. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas
dunia termasuk Islam. Ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu
pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu dalam melihat
realitas dunia kontemporer. Jadi, ada tiga pilar atau agenda, yaitu :
sikap kita terhadap tradisi lama, sikap kita terhadap tradisi Barat, dan
sikap kita terhadap realitas.
Sebelum melangkah pada
oksidentaisme, kita perlu bahas dahulu apa yang menjadi pemahaman Hassan
Hanafi mengenai tradisi (turats). Tradisi, menurutnya, bukanlah sekedar
barang mati yang telah ditinggalkan orang-orang terdahulu. Pernyataan
ini persis sama seperti pengakuan Al-Jabiri, yaitu bahwa tradisi adalah
barang hidup yang selalu menyertai kekinian kita. Tradisi adalah
elemen-elemen budaya, kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup, dan
masih terpendam dalam tanggung jawab generasi sesudahnya. Dia adalah
sebagai dasar argumentatif, dan sebagai pembentuk “pandangan dunia”
serta membimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang.
Tradisi ternyata telah banyak
dicemari oleh hegemoni feodalisme dan menjadi kekuatan kekuasaan yang
berkedok agama. Sehingga perlu direvitalisasi menjadi kekuatan yang
membebaskan. Tradisi, pada dasarnya tidak bernilai. Kecuali jika ia
dapat menjadi sarana yang dapat memberikan teori aksi negara Arab dalam
merekonstruksi manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Proyek Hassan
Hanafi dimaksudkan untuk merekonstruksi, menyatukan, dan
mengintepretasikan seluruh ilmu peradaban Islam bedasarkan kebutuhan
modern untuk dijadikan sebagai ideologi manusia, untuk menuju
kesempurnaan hidup. Hassan Hanafi juga bermaksud merekonstruksi tradisi
kebudayaan Barat yang dicirikannya sebagai kebudayaan murni historis, di
mana wahyu Tuhan tidak dijadikan sebagai sentral peradaban.[8] Hanafi
sedang mendekonstruksi bangunan pemikiran Islam klasik yang mati fungsi
peradabannya, di samping juga mendekonstruksi klaim-klaim universalitas
dan hegemoni wacana yang dilakukan Barat, melalui pemikiran dan
kebudayaan werternis. Pandangan obyektif dan kritis dalam pemikiran
Hassan Hanafi adalah bagaimana agenda “oksidentalisme” menjadi kekuatan
wacana penyeimbang dalam melihat Barat dan upaya westernasasi.
Seperti dijelaskan Hassan
Hanafi, Oksdentalisme adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan
dengan Orientalisme. Orientalisme melihat Timur sebagai the other, maka
Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua antara ego
dengan the other, dan dialektika antara kompleksitas inferioritas pada
ego dengan kompleksitas superioritas pada pihak the other. Oreintalisme
lama adalah pandangan ego Eropa terhadap the other non Eropa, subyek
pengkaji terhadap obyek yang dikaji. Di sini terjadi superioritas Barat
dalam melihat Timur. Hal demikian dibalikkan denganOksidentalisme, yag
tugasnya yaitu mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the
other, menumbangkan superioritas the other Barat dengan menjadikannya
sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan infererioritas kompleks ego
dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hanya saja Oksidentalsime
kali ini dibangun di atas ego yang netral dan tidak berambisi merebut
kekuasaan, dan hanya menginginkan pembebasan. Ia juga tidak ingin
mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui
keterbentukan dan struktur peradaban Barat. Seperti diklaim oleh Hassan
Hanafi, ego Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral
dibadindingkan ego Orientalisme.
Pemikiran Hassan Hanafi juga
dilandasi oleh penafsiran secara hermeneutik terhadap teks keagamaan
(tradisi keilmuan Islam lama) agar didapatkan pemahaman yang hidup dalam
memberikan kontribusi bagi pembebasan. Oksidentalsime adalah bagian
dari Kiri Islam, yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif
umat Islam dalam membaca tradisinya sendiri dan tradisi the other.
Pemikiran beliau juga bermuatan rasional, karena jika masih menggunakan
baju konservatisme agama maka tradisi tidak akan berbicara apa-apa. Teks
itu adalah barang mati, yang hidup adalah makna dan intepretasi baru.
Tugas kita adalah bagaimana menghidupkan teks dalm tradisi itu menjadi
relevan dan berguna bagi kondisi saat ini. Pemikiran Hassan Hanafi perlu
diapresiasi lebih mendalam, karena ia adalah pelanjut bagi tradisi
pemikiran Islam kontemporer yang kritis.
KESIMPULAN
Orientalis lebih kental nuansa
politis dan tendensi kencurigaannya terhadap Islam. Islamisis tampak
lebih bersahabat. Kajiannya lebih bersifat ilmiah, daripada penyelidikan
demi kepentingan imperialisme. Belakangan ini sarjana muslim mengeritik
orientalisme bukan karena tesis-tesis para orientalis itu tidak lebih
akurat dibandingkan antitesis mereka, tapi tak jarang justru karena
mereka memang sadari awal tidak ingin mendengar pendekatan kritis dan
ilmiah apapun terhadap agama. Terlebih bila kritik itu datang dari luar
Islam. Padahal, faktanya tak jarang pengkajian ilmiah atas Islam yang
dilakukan oleh kalangan orientalis jauh lebih bersungguh-sungguh dan
bermutu dibandingkan kajian mereka yang hanya bersikap reaktif saja.
Tapi sebetulnya, sejarah tanggapan yang reaktif, baik yang bersifat
psikologis maupun ideologis terhadap orientalisme, baru berkembang di
dunia Arab setelah tahun 1960-an. Sebelum 1960-an, reaksi terhadap
orientalisme jauh lebih berbobot dan cukup positif.
Respons yang alamiah tatkala
intelektual dunia Timur juga melakukan kajian-kajian tentang peradaban
Barat “sebagaimana orang Barat melakukannya terhadap Timur” dengan
segenap kelebihan dan kekurangannya. Di samping telah menunjukkan
semangat keterbukaan dan ilmiah untuk memahami orang lain, apa yang
mereka lakukan juga menunjukkan bahwa dialog antarperadaban dan
antarkebudayaan mungkin dilaksakan dengan cara-cara yang beradab dan
ilmiah.
Menurut saya, kesalahpahaman
persepsi maupun corak pemikiran antara Barat dan umat Islam berakar dari
kagagalan dialog eksistensial dan tumbuhnya prasangka yang berlebihan.
Alhasil, melahirkan generasi fundamentalisme agama yang akut. Sehingga
menjadi tepat bahwa yang terjadi sesungguhnya ialah fenomena benturan
fundamentalisme. Maka pada dasarnya, kebesaran orientalisme dilihat dari
segi historisnya dibandingkan dengan oksidentalisme yang masih baru ini
dapat kita jadikan ukuran bahwa kedua masih belum selesai. Kedua-duanya
tetap berkembang sesuai dengan arah kecendrungan para intelektual dalam
mengkaji barat ataupun timur. Dan akhirnya, oksidentalisme turut andil
dalam membangun peradaban dunia melalui transformasi lintas-kebudayaan
melalui sikap saling menghargai dan egaliter. Di sinilah kerangka
rekonstruksi dialog Islam dan Barat mesti diletakkan. Tentunya,
persoalan ini menjadi tangung jawab kita bersama untuk membangun
peradaban baru yang lebih baik dan dinamis.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Samurai, Qasim. Bukti-bukti Kebohongan Orientalis. Jakarta: Gema Insani Press. 1996.
Boullata, Issa J. Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam. Yogyakarta: LKIS, 2001.
Ghurab, Ahmad Abdul Hamid. Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993.
Jamilah, Maryam. Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik. Terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawalipers.
Rais, M. Amien. Cakrawala Islam. Bandung: Mizan. 1986.
Said, Edward W. Orientalisme. Bandaung: Pustaka Salman. 2001.
Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam, antara Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta: LKIS, 2001, cet. V.
[1] Qasim Al-Samurai, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis. Jakarta: Gema Insani Press. 1996, hlm. 1.
[2] M. Amien Rais, Cakrawala Islam. Bandung: Mizan, 1986, hlm. 241.
[3] Ahmad Abdul Hamid Ghurab, Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993, hlm. 21.
[4] Maryam Jamilah, Islam dan Orientalisme, Sebuah Kajian Analitik. Terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawalipers, 1994, hlm. 11.
[5] Edward W Said, Orientalisme, Bandaung; Pustaka Salman. 2001, hlm. 16
[6] Azyumardi Azra, Historiografi, hlm. 187.
[7] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam. antara Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta : LKIS. 2001. cet. V, hlm. 7-8.
[8] Issa J. Boullata. Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam. Yogyakarta: LKIS, 2001. Hlm, 62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar