Pemikiran Edward Said : Kolonilaisasi sebagai Bentuk Orientalisme Barat terhadap Dunia Timur
A. Era Kolonialisme
Kolonialisasi
adalah contoh paling nyata akan bukti kemunduran harga diri bangsa
Timur. Pada waktu itu, selama berabad-abad umat Islam berhasil
menaklukkan berbagai belahan dunia dari Eropa Timur, Afrika, Timur
Tengah hingga Asia tunduk di bawah kekuasaan Islam. Namun, kemenangan
itu kini hanya menjadi sejarah. Diawali abad ke-19 umat
Islam dipaksa tunduk di bawah Adikuasa kolonial Barat. Harapan terakhir
umat Islam bertumpu pada kekhalifahan Turki Utsmani, Namun tahun 1942
kekhalifahan itu diruntuhkan Kemal attaturk, bangsa Turki sendiri yang
menganti sistem khalifah menjadi negara repubrik yang sekular.
Runtuhnya
kekhalifahan Turki Utsmani serta koalisi bersama Jerman di Perang
Dunia, justru semakin memperparah keadaan, Sehingga praktik
kolonialisasi Barat terhadap Timur semakin merajalela. Saudi Arabia
berusaha membebaskan diri justru dipatahkan oleh Turki. Libanon dan
Palestina dirampas Inggris, r tahun 1789 Napoleon datang ke Mesir,
Belanda mendarat di Malaka tahun 1602. Inggris dan Perancis pun
berebutan tanah kekuasaan di Afrika. Hingga pada tahun 1914, wilayah
Timur menjadi lahan subur adikuasa Barat. Pada Abad ke-18
Eropa mulai masuk menembus perekonomian dan politik. Sejalan dengan itu
pula, negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda dan Perancis saling
berebut tanah kekuasaan di negara-negara yang berpenduduk Islam. Seperti
India, dan sebelah selatan timur Asia, termasuk Indonesia.
Abad
ke-19, adalah abad di mana orientalis mencapai puncaknya dalam
membentuk kebudayaan Barat. Orientalis menkaji hampir semua disiplin
ilmu seperti eksotika, ekonomi, historis, dan teks politik. Secara umum,
orientalis telah berhasil menjadi bagian signifikan dari kemajuan
budaya dan peradaban Barat. Kolonialisme dan imperialisme di Indonesia
adalah fakta sejarah sekian puluh tahun lalu yang tak bisa dibantah.
Kolonialisme pada mulanya adalah penguasaan rempah rempah dan hasil bumi
untuk memperkaya negeri penjajah dalam meluaskan kekuasaannya. Inggris,
Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis adalah sebagian dari negeri
penjajah itu. Mereka menjarah dan menguasai. Tak salah jika tujuan
penguasaan barat ke timur disimbolkan pertama dengan gold, selain gospel
dan glory.
Pada
fase selanjutnya, kolonialisme tak hanya berpusat pada rempah, nasi,
dan sagu, melainkan juga penguasaan masyarakat atau hegemoni. Hegemoni
berjalan pada wilayah kesadaran, bahwa dominasi tidak harus diatur
dengan senjata dan kekerasan, tetapi juga bisa ditata dengan peraturan,
undang undang, dan kebijakan, yang pada hakekatnya adalah menjajah tapi
tak terasa dijajah. Sehingga masyarakat tanpa terasa terpaksa
mengikutinya.
Kebijakan
politik etis: edukasi, irigasi, dan transmigrasi, sebetulnya adalah
sebentuk hegemoni yang diluncurkan kolonial Belanda untuk meredam bangsa
pribumi. Politik etis dirancang agar tingkah laku inlander sesuai
dengan apa yang dikehendaki. Selanjutnya, kolonialisme berganti menjadi
orientalisme. Tepatnya, orientalisme adalah bentuk halus dari penguasaan
gaya baru di jaman yang lebih maju. Edward W Said dalam magnus
opus-nya, Orientalisme, menjelaskan tentang bagaimana barat mengatur
kehidupan timur dengan melacak akar historis, etnografis, antropologis,
bahasa, adat istiadat dan lain-lain, kemudian memberi stereotype
terhadapnya.[1]
Buku ini secara nyata menunjukkan bahwa Timur yang dikaji adalah hasil
dari imajinasi geografis dari Barat sebagai objek pengkaji. Said
menyebutnya sebagai Orientalis. dalam konteks keindonesiaan kita
menyebutnya sebagai “ketimuran”.
Penguasaan
kolonial Belanda dalam Sejarah Indonesia dicatat selama 350 tahun, hal
ini membuktikan bahwa masa lalu Indonesia sebenarnya terletak di
Belanda. Dengan telaten dan tekun, Belanda melalui para orientalis dan
lembaga lembaga kajian timur secara intensif mengupas dan mempelajari
aspek-aspek nusantata. Dalam hal ini Said, menemukan adanya hubungan
antara pengetahuan kolonial, yang dilahirkan oleh orientalisme, dengan
kekuasaan kolonial di negara-negara koloninya. Pada awalnya orientalisme
ini seperti gerakan ilmu pengetahuan biasa yang mengkaji masyarakat,
budayanya, struktur bahasanya, dll. Tetapi dalam praktiknya pengetahuan
ini digunakan untuk melanggengkan kolonialisme. Bahkan Nyoman Kuta Ratna
dalam buku Poskolonialisme Indonesia relevansi sastra menyebutkan
'orientalisme tidak berbeda dengan kolonialisme atau imperialisme itu
sendiri'.[2]
Kata Said 'orientalisme adalah gaya barat menundukkan timur. Sejarawan,
antropolog, sosiolog, sastrawan dan ilmuwan barat dengan kekuatan
wacana mengkonstruksi timur sebagai inferior'.[3]
Konstruksi itulah yang masih tersisa dari proses pengulang-ulangan
pengetahuan tentang 'inferioritas' timur oleh orientalisme dalam bentuk
mental Inlander. Kolonialisme membentuk orientalisme ini seperti
mengerahkan alam pikir negara kolonial untuk menundukkan warga pribumi
yang dikoloni. Mereka memproduksi pengetahuan, kebiasaan-kebiasaan, gaya
hidup, dan secara jangka pajang membangun nalar pribumi.
Hal
inilah yang ingin dibongkar oleh Said. Meruntuhkan hegemoni teori
pengetahuan barat yang ternyata tidak pernah netral, namun memuat
struktur ideologi tertentu yang disusupkan dengan data-data ilmiah.
Mungkin Said ingin berpesan bahwa sudah saatnya dunia (kususnya dunia
yang dikatakan timur, dunia ketiga atau negara berkembang) membuka mata
akan kepalsuan metodologis barat. Dibanding terlalu memuja barat, akan
lebih baik meletakkannya dalam persoalan yang lebih kritis.
Pengalaman
dengan kolonialisme menyisakan banyak hal yang berubah dari kebudayaan,
tradisi, nalar dan sejarah masyarakat yang dikoloni. Karena itu, lepas
dari kolonialisme secara fisik bukanlah berarti bangsa Indonesia merdeka
seratus persen, tetapi malah harus berusaha untuk keluar dari belenggu
kolonialitas, atau minimal sisa-sisa dari kolonialisme.
B. Pasca Kolonialisme (Post-Kolonialisme)
Negara
bangsa yang baru merdeka hanya membagikan buah secara selektif dan
timpang kepada rakyat. Digulingkannya pemerintahan kolonial tidak secara
otomatis membawa perubahan ke arah perbaikan status perempuan, kelas
pekerja, atau petani di kebanyakan negara jajahan. Oleh sebab kenyataan
bahwa “banyak hal yang belum selesai” dari proses pemerdekaan kita maka
berkembanglah study poskolonial. Bahwa perjumpaan dengan kolonialisme
menghasilkan peruabahn dalam struktur kebudayaan dan nalar suatu
masyarakat yang pernah dijajah. Dan berkembangnya suatu pendekatan baru
negara kolonial untuk melanjutkan imperialismenya dalam bentuk yang
lain, yakni penguasaan pikiran.
Sebagaimana istilah-istilah akademis lainnya yang kerap menggunakan istilah post
seperti post-modernisme, post-strukturalisme, maka post-kolonialisme
juga berarti “setelah” kolonialisme. Semangat wacana post-colonial
hendak menunjukkan kepada Barat (sebagai penjajah) perlawanan negara
non-Barat sebagai bekas koloni. Jika wacana postcolonial ditelaah, maka
secara akademis ide-idenya banyak dipengaruhi oleh kritik-kritik
post-strukturalisme, lewat dekonstruksi-nya. Upaya dekonstruksi itu
menjadi penting, sebagaimana dikutip Madhan Sarup, yakni sebagai upaya
untuk:
“…
menemukan teks marginal yang menjanjikan, menyingkap, membongkar momen
yang tidak dapat dipastikan dengan alat penanda yang positif,
membalikkan hierarki yang ada, agar dapat diganti;, agar dapat membangun
kembali apa yang selalu telah tertulis.”[4]
Dengan
dekonstruksi, postkolonialisme menjadi kritik atas “kerangka pikiran”
Barat yang mapan, superiorior, maju, beradab terhadap dunia non-Barat
yang terbelakang sehingga mesti diarahkan, dicerahkan, diterjemahkan
menurut standar “humanisme Barat”. Upaya pem-barat-an ini dilakukan
secara lembut, dari kurikulum pendidikan di sekolah hingga narasi
ekonomi-politik-globalisasi internasional oleh imperialisme. Eksploitasi
intelektual dan mental “Dunia Ketiga” diarahakan dengan sistematis oleh
“Dunia Pertama”. Misalnya dengan mengontrol buku teks, majalah, surat
kabar, televisi, dan media lainnya. Media Barat mencuci otak negara
bekas jajahan. Bagaimana MTv dan pop culture lainnya dengan mudahnya
masuk dan melakukan penetrasi ke dalam relung-relung kesadaran anak muda
di negara Dunia Ketiga.
Contoh
kasus dalam masyarakat Indonesia yaitu hiburan di berbagai media
elektronik Indonesia, beberapa tahun terakhir ini berkembang
keistimewaan kepada wajah Indo atau campuran. Para artis yang punya
wajah indo menjadi idola publik di dunia entertainment. Ini menunjukkan
bahwa mentalitas kolonial masih melekat dalam wacana budaya Indonesia. Selain
itu, akhir-akhir ini juga berkembang keistimewaan penguasaan bahasa
Inggris ketimbang bahasa lokal ataupun bahasa Indonesia. Kondisi ini pun
tidak jauh berbeda dengan zaman kolonial Belanda, di mana bahasa
Belanda lebih istimewa dan menunjukkan status sosial dibandingkan bahasa
Melayu (Indonesia). Terbukti misalnya menjadi bahan perdebatan di Budi
Utomo, apakah setiap pembicaraan formal dalam organisasi mesti
menggunakan bahasa Belanda.
Kota
besar di Indonesia kini sekolah-sekolah, baik negeri ataupun swasta,
berlomba-lomba menjadi sekolah internasional yang menggunakan bahasa
Inggris. Alasannya sederhana, anak-anak yang unggul sudah semestinya
menguasai bahasa Inggris untuk dapat bersaing di kancah internasional.
Mental berikutnya adalah kecenderungan pop culture anak muda, yang
mengarah pada music rock, rap, hip metal, punk, menggunakan pakaian dengan merek internasionalisasi merek seperti Nike, Adidas dan lain sebagainya, makanan (Coca Cola), nongkrong di kafe, dan gaya hidup kebarat-baratan lainnya.
Pembongkaran bagaimana bekerjanya imperialisme Barat (Eropa dan Amerika) terhadap dunia Islam, Timur Tengah dan Timur hingga kini misalnya, oleh Edward Said menjadi bukti akan hal ini. Karya besarnya Orientalism
menunjukkan bagaimana ia men-dekonstruksi perilaku kultural dan
epistemologis Barat yang ingin terus menguasai Timur. Kerja keras Said
terutama karena upayanya membongkar muatan idiologis di balik konsep
Timur atau Orient yang direproduksi oleh Barat.
Menurut
Said, “Timur” yang primitif dipakai sebagai cermin untuk membesarkan
citra Eropa sebagai pelopor peradaban. Selain itu, mitos dan stereotipe
tentang Timur dimanfaatkan sebagai sarana pembenaran Eropa untuk
melakukan kolonialisasi: menguasai, menjinakkan, dan mengontrol
keberadaan the others. Upaya pelanjangan politik jahat orientalisme yang
dilakukan Said merangsang kesadaran baru bagi negara-negara berkembang
untuk bangkit melawan. Sejak tahun 80-an para intelektual terlibat dalam
diskusi intensif mempertimbangkan gagasan Said yang mengkritik
bekerjanya kolonialisme modern.
Study
poskolonial dimaknai sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi
kolonialisme dan warisan kolonialisme. Pada masa ini era globalisasi
harus diakui telah membawa pengaruh luar biasa terhadap perkembangan
teknologi, tak terkecuali bagi industri komunikasi modern. Dampak-dampak
itu adalah subversi kebudayaan dan ideologi Barat. Dampak nyata
globalisasi media adalah sistem kepemilikan global yang menjadi tren
industri media massa modern. Kekuatan modal asing mampu berpenetrasi
dalam struktur media lokal atau nasional yang pada akhirnya berpengaruh
pada masalah transmisi kebudayaan global ke tingkat lebih rendah dalam
hal ini nasional dan lokal. Ancaman media global tidak berhenti pada
masalah sosial politik saja tetapi masuk dalam nilai-nilai budaya
masyarakat.
Orientalisme
menggabungkan kekuasaan dengan pembentukan ilmu pengetahuan kolonial.
Oleh karena kolonialisme adalah pemaksaan kekuasaan secara penuh
terhadap tanah jajahan, maka orientalisme melibatkan satu program
pembentukan cara pikir yang bukan saja untuk kepentingan kolonial tetapi
juga dapat melahirkan ilmu kolonial. Budaya masyarakat jajahan
dirancang sedemikian rupa supaya sesuai dengan keinginan penguasa
kolonial. Budaya masyarakat di tanah jajahan itu mengikuti skema terori
evolusi, dimana budaya masyarakat yang satu dengan yang lainnya dibangun
menurut kelas evolusi. Dalam konteks ini budaya nusantara yaitu sebuah
entitas yang sangat kecil dilihat sebagai penyerap unsur-unsur budaya
yang lebih tinggi dan besar. Dalam hal ini masyarakat sekarang ini
adalah bentuk dari penanaman alam pikir kolonial barat, dan lupa akan
identitasnya sendiri sebagai masyarakat nusantara.
Dafrat Referensi
Ashcroft, Bill dan Pall Ahluwaliya. 2001. Edward Said. Taylor & Francis e-Library dalam www.literature.routledge.com.
Sarup, Madhan. 2004. “Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis”. Yogyakarta: Jendela. hal 85-86 dalam www.nasirsiregar.com Nalar dan Praktek Post-kolonial di Indonesia Oleh Nasir diakses 2 Juli 2010 pukul 21.35.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. “Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,. Hal. 27 dalam www.carabaca.blogspot.com Sastra Poskolonial, Sastra Pembebasan Oleh: Muhammad Ridha. Diakses 2 Juli 2010 pukul 21:43.
Said, Edward. 1979. Orientalism. New York : Vintage Books dalam www.edelmensch.blogspot.com diakses 2 Juli 2010 pukul 22:35.
Disarikan dari berbagai sumber
[1] Said, Edward. 1979. Orientalism. New York : Vintage Books dalam www.edelmensch.blogspot.com diakses 2 Juli 2010 pukul 22:35.
[2] Nyoman Kutha Ratna. 2008. Post-Kolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta :Pustaka Pelajar,. Hal. 27 dalam www.carabaca.blogspot.com “Sastra Poskolonial, Sastra Pembebasan” Oleh: Muhammad Ridha. Diakses 2 Juli 2010 pukul 21:43.
[3] Ibid. hal. 32
[4] Sarup, Madhan. 2004. Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta: Jendela. hal 85-86 dalam www.nasirsiregar.com “Nalar dan Praktek Post-kolonial di Indonesia” Oleh Nasir diakses 2 Juli 2010 pukul 21.35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar