ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME:
KAJIAN TENTANG LIYAN[1]
Oleh Zainul Maarif [2]
Pendahuluan
Orientalisme dan oksidentalisme adalah jebakan. Dorongan untuk mengafirmasi adanya esensi "Orient (Timur)" dan esensi "Occident (Barat)". Padahal dua kata tersebut tak lebih dari tanda-tanda yang sangat relatif dan sangat dependen pada liyan.
Dalam
kebulatan bumi, suatu lokasi dinyatakan Timur atau Barat jika dilihat
dari satu titik tertentu, di mana pandangan lain mungkin menyebutnya
secara berbeda. Tugu Monumen Nasional, misalnya, disebut berada di Barat
oleh orang di Pulo Gadung, sedangkan orang di Grogol menyebutnya di
Timur. Orang Indonesia pantas menyebut Amerika Serikat negara Timur
Laut, meskipun biasanya disebut sebagai negara Barat. Disimak dari
fenomena itu, konsep Timur dan Barat yang inheren dalam Orientalisme dan
Oksidentalisme, sejatinya kabur. Sedangkan Orientalisme dan
Oksidentalisme tak lebih dari sudut pandang.
Dua
perspektif yang mengkaji ketidakjelasan ontologis itu akan ditinjau
oleh makalah ini dan bila perlu akan dilampaui. Bagaimana pandangan
Orientalisme tentang Timur? Bagaimana pula pandangan Oksidentalisme
tentang Barat? Adekuatkah kedua pandangan tersebut? Apa konsekuensi dari
keduanya? Dan macam manakah mengkaji liyan?
Orientalisme
Mulanya
Orientalisme sekadar sebutan bagi kinerja para orientalis: pengulik
hal-hal terkait Asia dan Afrika yang secara sederhana disebut sebagai
Timur. Di abad ke-18 istilah ini digunakan kalangan penjajah Inggris
yang mau tidak mau mesti mengkaji Islam dan Hindu untuk mengetahui
aturan sosial masyarakat India yang dijajah. Orientalisme selanjutnya
berkembang di periode dekolonisasi (1939-1945) sebagai penanda bagi
institusi kolonial-imperial yang berkepentingan tidak sekadar mengetahui
melainkan menguasai Timur.[3]
Meski
begitu, pondasi awalnya telah ada paling tidak sejak Konsili Vienne
(Perancis) tahun 1311-1312. Di konsili ekumenikal Gereja Katholik yang
ke-15 itu, Paus Clement V didukung oleh raja Perancis, Philip IV
menetapkan jabatan guru besar oriental di Universitas Avignon,
Universitas Paris, Universitas Oxford, Universitas Bologna dan
Universitas Salamanca.[4]
Dari situ, kajian tentang Timur bergerak masif bukan hanya di ruang
kelas akademik, melainkan di ranah masyarakat yang lebih luas.
Masyarakat
Yesus Katholik Roma, para misionaris Kristen, para peneliti, dan para
pelancong sangat getol membicarakan, mencatat dan mengkaji hal-hal
terkait dengan Timur. Awalnya mereka hanya ingin tahu. Hasil monumental dari hasrat mengetahui itu dicatat dengan baik oleh Barthélemy d'Herbelot de Molainville di buku Bibliothèque Orientale (1697).
Selanjutnya, studi mereka dimaksudkan untuk administrasi dan kekuasaan. Encyclopédie, ou dictionnaire raisonné des sciences, des arts et des métiers (1750) karya
Denis Diderot dan kawan-kawan disinyalir sebagai representasi studi
orientalis semacam itu. Mereka mengkaji Timur, sementara para penjajah
memakai hasil kajian mereka untuk menguasai Timur.
Perselingkuhan
antara pengetahuan dan kekuasaan itu mencapai puncaknya pada paruh
kedua abad ke-18 dan ke-19. Benjamin Disraeli, novelis yang pernah
menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris, menggambarkan fenomena itu di
novel Tancred: the New Crusade (1847) dengan pernyataan "Timur adalah karir".[5]
Saat
itu, perkumpulan orientalis bermunculan bagai cendawan di musim hujan,
baik di Batavia, Hindia Belanda (thn. 1781); di Paris, Perancis (Société
Asiatique, 1822); di London, Inggris (Royal Asiatic Society, 1824),
hingga di Amerika (American Oriental Society, 1842). Mereka pun membuat
konggres orientalis. Yang pertama di Paris tahun 1873. Selanjutnya
mereka menyelenggarakan 16 kali kongres semacam itu secara
berpindah-pindah. Terakhir konggres orientalis diselenggarakan di
Vienna, Austria, tahun 1912.[6]
Selama
waktu yang demikian panjang, minimal antara abad ke-14 hingga abad
ke-19, sejatinya sulit untuk menggeneralisikan semacam apa pandangan
para orientalis tentang “Timur” atau tentang Asia dan Afrika. Hanya
serpihan pandangan mereka yang mungkin diungkapkan tanpa perlu
dinyatakan sebagai keseluruhan pandangan orientalis.
Satu
di antara pandangan mereka yang dapat ditilik adalah pidato perdana
Arthur John Arberry sebagai profesor oriental di Universitas Cambridge:
Pekerjaan
ini kita pahami tidak hanya untuk kemajuan sastra dengan menjelaskan
pengetahuan yang masih tertutup di mulut terpelajar, melainkan untuk
memberi pelayanan yang baik bagi raja dan negara dalam perdagangan kita
dengan bangsa-bangsa Timur, serta untuk menggunakan waktu baik yang
disediakan Tuhan untuk melebarkan batas-batas Gereja dan
mempropagandakan agama Kristen kepada orang-orang yang sekarang masih
dalam kegelapan.[7]
Di
situ pengabdian orientalis menjadi jelas: tidak sekadar pada ilmu
pengetahuan, melainkan pada politik dan ekonomi kolonial dan misionaris
Kristen. Pandangan orientalis tentang Timur pun tampak gamblang: Timur
dihuni orang-orang yang terbelakang yang perlu dimajukan.
Pandangan
semacam itu, merembes pula ke kalangan filsuf-filsuf mereka. James
Mill, misalnya, memandang peradaban India perlu dicerdaskan oleh
orang-orang Eropa.[8]
G.W.F. Hegel juga merendahkan peradaban Timur di hadapan peradaban
Barat, khususnya Jerman. Menurutnya, sejarah memang bermula dari Timur,
tapi akan berakhir di Barat. Sementara peradaban Timur memulai
manifestasi roh absolut, peradaban Baratlah yang menyempurnakannya. Hal
itu terkait dengan peradaban Timur yang hanya menghidupkan kebebasan
substansial yang mewujud di negara, tapi tidak membiarkan kebebasan
subjektif tiap-tiap individu, sebagaimana dilakukan peradaban Barat.[9]
Apakah
dengan begitu orientalis selalu berpandangan negatif dan ekploitatif
terhadap Timur? Francesco Grabriely menampik. “Kolonialisme pernah
berjaya dan merayakan kejahatan dan kemegahannya.... Ia telah mati dan
dikubur sebagai sesuatu yang layak mati. Tapi fakta itu tak berpengaruh
pada karya besar dan penting ilmuwan-ilmuwan Eropa yang tidak menganggap
kerja mereka sebagai kontribusi untuk kepentingan politik dan
perdagangan, melainkan sebagai tindakan tanpa pamrih dan bersemangat
mencari kebenaran.”[10]
Profesor
Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Roma itu mengakui kolonialisme
merugikan bangsa Timur, namun baginya Orientalisme tidak identik dengan
Kolonialisme. Untuk menguatkan argumennya, Gabrieli menyebut beberapa
nama orientalis seperti Edward Granvilie Browne dan Louis Massignon,
yang tidak saja intensif mencari ilmu, tapi sekaligus membela pihak
jajahan dari penjajah. [11]
Di Ensiklopedia Tokoh Orientalis
(2003) karya Abdurrahman Badawi disebutkan bahwa Browne dikenal sebagai
orientalis Inggris di bidang sastra Persia yang membela kemerdekaan
Persia (Iran), dan lebih mendukung Jerman yang tidak menjajah negeri
Islam ketimbang Rusia yang sangat berambisi menguasai dunia Islam,
Persia dan Asia Tengah.[12]
Sedangkan Massignon selain berjasa di bidang Tasawuf dengan menyebutnya
murni berasal dari sumber-sumber asli Islam bukan dari luar Islam, dia
juga dikenal sebagai orientalis asal Perancis yang membela pihak Arab
hingga dipukul oleh polisi kolonial.[13]
Fakta-fakta
falsifikatif semacam itu memang kurang familiar. Yang lebih popular
secara masif justru nuansa negatif Orientalisme. Di kalangan akademisi
Asia dan Afrika, negativitas itu dikritisi sedemikian rupa hingga muncul
apa yang kemudian dikenal dengan sebutan Oksidentalisme.
Oksidentalisme
Oksidentalisme
merupakan antitesis Orientalisme. Para oksidentalis mengkritik
orientalisme sekaligus mengkaji ulang Barat. Ibarat permainan bola,
Oksidentalisme melakukan serangan balik terhadap Orientalisme. Para
penyerang dari kubu Oksidentalis antara lain Edward Said, Anouar
Abdel-Malek dan Hassan Hanafi.
Edward W. Said
Edward
Said membombardir Orientalisme dengan pemikiran Antonio Gramci tentang
hegemoni kultural dan gagasan Michel Foucault tentang
pengetahuan/kekuasaan.
Di buku The Modern Prince (1957), Antonio Gramcy menyatakan bahwa hegemoni dioperasikan dalam suatu masyarakat oleh kelas penguasa (ruling class) yang didukung oleh kaum intelektual, pejabat dan aparat koersif (keamanan). Lebih spesifik dia mencatat:
Intelektual adalah 'petugas'nya kelas penguasa untuk menjalankan fungsi subordinat hegemoni sosial dan pemerintahan politik, yaitu (1) persetujuan
'spontan' dari massa besar terhadap kehidupan sosial yang dikendalikan
kelas penguasa, persetujuan yang muncul secara historis dari wibawa (dan
dari kepercayaan); (2) aparat koersif negara, yang secara 'legal'
memastikan disiplin kelompok-kelompok yang tidak 'setuju' baik secara
aktif maupun secara pasif, tetapi dibentuk untuk seluruh masyarakat
dalam mengantisipasi saat-saat krisis perintah dan arah ketika
persetujuan spontan melemah.[14]
Oleh
Edward Said kata intelektual itu diasosiasikan pada orientalis. Para
pengkaji Timur itu ditilik sebagai penasehat pejabat kolonial. Dengan
masukan-masukan mereka, para pejabat kolonial dapat menghegemoni Timur.
Pihak-pihak terjajah ditundukkan oleh kekuasaan pejabat kolonial yang
ditopang oleh pengetahuan orientalis. Andai ketundukan kaum bumiputera
berkurang, pihak kolonial telah menyiapkan aparat keamanan untuk
berjaga-jaga menghadapi kondisi tanpa pijakan dan komando.
Apa
yang dilakukan para orientalis itu, menurut Said, merupakan hegemoni
kultural: mempengaruhi budaya tanpa koersi namun tanpa penolakan.
“Hegemoni atau hasil hegemoni kulturallah yang memberi kelanggengan dan
kekuatan pada Orientalisme. Orientalisme tak jauh dari pernyataan Denis
Hay, yaitu gagasan Eropa, gagasan kolektif yang mengidentifikasi ‘kami’
Eropa lawan semua non-Eropa, bahkan bisa dikatakan komponen utama
kebudayaan Eropa suatu hegemoni budaya di dalam dan di luar Eropa: idea
tentang identatitas Eropa yang unggul dibandingkan dengan orang-orang dan budaya-budaya non-Eropa ini”.[15]
Orientalisme,
dengan demikian, menghegemoni budaya dunia dengan gagasan tentang
keunggulan Eropa ketimbang yang lain. Dia menentukan yang ordinan dan
yang subordinan. Kebenaran dan kesalahan pun dipatok oleh pengetahuan
yang dihasilkannya. Dengan pengetahuan berikut sistem kebenarannya itu,
Orientalisme berkuasa di dunia.
Mengenai
pengetahuan atau kebenaran dan kuasa, Said menggunakan gagasan-gagasan
Michel Foucault. Filsuf dan sejarawann asal Perancis itu
mendefisinisikan kebenaran (truth) sebagai “Rangkaian
peraturan yang memisahkan yang benar dan yang salah, dan efek tertentu
dari kuasa dilekatkan pada yang benar.”.[16]
Kebenaran, dengan kata lain, adalah suatu kriteria (criterium).
Ia ukuran yang menentukan. Pasca penentuan, sang penentu
menganugerahkan kuasa bagi entitas yang ditentukan. Kebenaran dengan
begitu terkait erat dengan kuasa. Kebenaran dan kuasa berhubungan timbal
balik. Keduanya saling menghasilkan dan saling mempertahankan,
membentuk apa yang disebut Foucault sebagai rezim kebenaran (a regime of truth).[17]
Dalam
pandangan Said, Orientalisme tak lain dari rezim kebenaran yang
bernuansa kekuasaan. “Menyatakan bahwa Orientalisme modern merupakan
aspek penting dari Imperialisme dan Kolonialisme bukanlah hal yang
terlalu diperdebatkan.“[18]
kata profesor sastra Inggris Universitas Columbia itu. Mudah disepakati
bahwa Orientalisme memproduksi kebenaran dan pengetahuan untuk menopang
kekuasaan Imperilisme dan Kolonialisme.
Di
Hindia Belanda, keberadaan C. Snouck Hurgronje sebagai peneliti
oriental sekaligus penasehat pemerintah kolonial merupakan salah satu
bukti yang dapat menguatkan pernyataan Said tersebut. Dia mempelajari
jiwa dan hal-hal yang dipelajari oleh pribumi Hindia Belanda. “Ilmu kami
sebanyak mungkin berfaedah bagi pemerintah dan sesuai dengan kedudukan
Belanda sebagai negara kolonial,”[19] katanya.
Yang
dapat digarisbawahi dari kenyataan tersebut adalah: objektivitas
kebenaran pengetahuan Orientalisme perlu dipertanyakan, mengingat
perselingkuhannya dengan kekuasaan pihak kolonial dan imperial.
Disamping itu, kebenaran pengetahuan Orientalisme berselimut mitos:
mitos tentang ketunggalan Timur yang diidentifikasi dengan hal-hal
negatif, pasif, lemah, feminim dan terbelakang. Di tulisan berjudul Shattered Myths,
Said menunjukkan runtuhnya mitologi orientalis tersebut dengan fenomena
perlawanan masyarakat Arab di Perang antara Arab-Israel tahun 1973 yang
menunjukkan antitesis dari identifikasi orientalis tentang Timur
tersebut.[20]
Anouar Abdel-Malek
Lebih lanjut, Anouar Abdel-Malek mengkritik Orientalisme di artikelnya berjudul “Orientalism in Crisis”. Sosiolog CNRS (Centre National de la Recherche Scientifique),
Paris, Perancis, berkebangsaan Mesir ini mengatakan bahwa krisis
Orientalisme pasca Perang Dunia ke-2 didorong oleh fenomena menangnya
gerakan-gerakan pembebasan nasional di kawasan Asia, Afrika dan Amerika
Latin. Sejalan dengan kemerdekaan negeri-negeri jajahan, kontrol
Orientalis-Kolonialis atas Timur pun melonggar. Itu terkait dengan
dengan posisi Orientalisme sebagai ciptaan Kolonialisme. [21]
Pasca
krisis, Orientalisme menurut Abdel-Malek terpecah menjadi dua:
Neo-Orientalisme Eropa Barat dan Neo-Orientalisme Eropa Timur.
Orientalisme Eropa Barat terbagi dua lagi, yaitu Neo-Orientalisme
Perancis dan Neo-Orientalisme Anglo-Saxon. Sementara Orientalisme Eropa
Timur disebut juga dengan Orientalisme Sosialis.[22]
Neo-Orientalisme
Perancis direpresentasi antara lain oleh Jacques Berque. Berbeda dengan
Orientalisme Tradisional pra Perang Dunia ke-2 yang mengkaji Timur
sebagai objek secara berjarak, sosiolog Perancis impresionis itu
mengkaji Timur secara partisipatoris yang tetap mengambil untung dari
pihak yang dipartisipasi. Sedangkan
Neo-Orientalisme Anglo-Saxon masih mempertahankan objektivitasi Timur
versi Orientalisme Barat, tapi menghadirkan kebaruan berupa perekrutan
sarjana-sarjana pribumi untuk memberi data kepada pihak orientalis yang
menciptakan institusi-institusi untuk menjaga kepentingan politik
ekonomi Inggris Raya dan Amerika Serikat. Dari situ, Abdel- Malek
menganggap kedua turunan dari Orientalisme Eropa Barat tersebut tetap
bernuansa imperialis-kolonialis.[23]
Di
pihak lain, Orientalisme Eropa Timur atau Orientalisme Sosialis
berupaya melayani dan membantu masyarakat Timur yang dieksplotasi untuk
dapat membantu diri mereka sendiri. Upaya itu dicetuskan oleh Anastas I.
Mikoyan di Kongres Orientalis ke-25 di Moskow tahun 1960 melalui
pernyataannya bahwa tugas orientalis adalah “Berkontribusi
dengan cara kreatif dalam menguarai masalah mendasar perjuangan
bangsa-bangsa Timur untuk pembebasan nasional dan sosial dan untuk pulih
dari keterbelakangan ekonomi mereka.”[24] Terhadap Orientalisme yang terakhir ini Abdel-Malek tidak antipati, malah cenderung merapat.
Hassan Hanafi
Ketimbang
Said dan Abdel-Malek, Hassan Hanafi terang-terangan menyebut
kritikannya terhadap Orientalisme sebagai Oksidentalisme. Profesor
filsafat Universitas Kairo ini pula yang membeda dengan menghadirkan
Oksidentalisme bercorak filosofis.
Dengan
Oksidentalisme, Hassan Hanafi berupaya membalik kedudukan Orientalisme
bahkan Barat, sebagaimana tampak dalam sampul buku Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrâb, terbitan
Al-Muassah al-Jami’ah li ad-Dirasat wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, Beirut,
Lebanon, tahun 2000. “Dalam ‘Oksidentalisme’ neraca-neraca berbalik,
peran-peran pun bergantian, ego Eropa yang dulu pengkaji hari ini
menjadi objek kajian sebagaimana liyan non-Eropa yang kemarin dikaji
kini menjadi subjek pengkaji.”[25] Pembalikan kedudukan itu ditujukan untuk menghilangkan kesombongan Eropa dan kerendahdirian non-Eropa.
Namun
Hanafi mengantisipasi masuknya unsur-unsur Orientalisme ke dalam
Oksidentalisme dalam pembalikan itu. Ia menetapkan garis-garis pembeda
antara keduanya antara lain: Pertama, Oksidentalisme muncul pasca
gerakan kemerdekaan nasional sehingga bernuansa pembelaan atas
kemerdekaan, yang tentu saja berbeda dengan Orientalisme yang muncul
bersama Kolonialisme yang merenggut kemerdekaan. Kedua, Orientalisme
menggunakan metode-metode abad ke-19 bercorak positivistik, historistik,
dan rasialis, sementara Oksidentalisme memanfaatkan metode-metode
kontemporer yang mengkritik metode-metode tersebut di atas, seperti
metode linguistik, metode fenomenologi dan metode pembebasan nasional.
Ketiga, Oksidentalisme tak berkehendak untuk kuasa kecuali kehendak
untuk merdeka sehingga lebih netral ketimbang Orientalisme yang
berselingkuh dengan Kolonialisme.[26]
Dengan
klaim netralitas dan metode-metode kontemporer, Hassan Hanafi mengkaji
Eropa, khususnya kesadaran atau filsafatnya. Menurutnya, Eropa merupakan
peradaban sentrifugal yang selalu menjauh dari pusat. “Peradaban Eropa
berkembang tanpa membangun.”[27] Maka, metode historis dianggap lebih cocok untuk mengkajinya.
Secara
historis, kesadaran Eropa pun terkuak tak universal, sebagaimana
diklaim oleh Orientalisme. Ia punya sumber eksplisit, yaitu peradaban
Yunani, Romawi, Yahudi dan Kristiani, serta sumber implisit, yaitu
Mesir, China, India, Persia, Arab-Islam dan lingkungan Eropa. Ia pun
berkembang dari mulai zaman pendeta-pendeta Gereja dan zaman Skolastik
(abad ke-1 sampai abad ke-14), zaman Referomasi dan zaman Kebangkitan
(abad ke-15 dan ke-16), zaman Rasionalisme dan Pencerahan (abad ke-17
dan ke-18), zaman Positivisme Ilmiah (abad ke-19) dan zaman
Eksistensialisme dan Zaman analisis (abad ke-20).[28]
Di
relung pergerakan sejarah kesadaran itu, Hanafi mencerap adanya tiga
struktur kesadaran Eropa yang saling bersiteru, yaitu agama
(Yahudi-Kristiani), filsafat (Yunani Romawi) dan
ilmu pengetahuan (realitas Eropa). Oleh karena perseturuan struktural
itu, Hanafi menyimpulkan struktur kesadaran Eropa sebagai struktur
formatif, artinya selalu bergerak menjauh dari pusat.[29] Lebih lanjut, dia memprediksikan nasib peradaban Eropa abad ke-21 sampai abad ke-27 akan hancur.
Prediksinya
didasari pada sejarah Arab-Islam dan Eropa-Kristen yang saling bertolak
belakang dan saling menggantikan dalam perjalanan tiap tujuh abad. Abad
ke-1 sampai abad ke-7, Eropa-Kristen maju, Arab-Islam belum ada dalam
sejarah. Abad ke-7 sampai abad ke-14, Eropa-Kristen mengalami abad
kegelapan, sementara Arab-Islam mengalami masa keemasan. Abad ke-14
sampai abad ke-21 Eropa-Kristen menikmati masa modernitas, sedangkan
Arab-Islam mengalami keterbelakangan. Berpegang pada data historis itu,
Hanafi memprediksikan tujuh abad ini Arab-Islam unggul, sedangkan
Eropa-Kristen berkalang tanah.[30]
Benar
atau tidaknya prediksi itu akan dibuktikan oleh kenyataan historis abad
ke-21 sampai dengan abad ke-27. Yang jelas, Hanafi berupaya membuktikan
tanda-tanda keruntuhan Eropa-Kristen secara khusus dan Barat secara
umum dengan hegemoni filsafat nihilistik dewasa ini. Sementara bukti
kebangkitan Arab-Islam secara khusus dan Timur secara umum dengan
kemerdekaan mereka satu persatu disusul dengan pembangunan demi
pembangunan yang kian masif.[31]
Kajian tentang Liyan
Jika diperhatikan secara seksama, baik Orientalisme maupun Oksidentalisme sama-sama kajian tentang liyan (other/âkhar/pihak yang lain). Orient liyannya Orientalisme, sedangkan Occident
liyannya Oksidentalisme. Baik Orientalisme maupun Oksidentalisme
memposisikan liyannya sebagai objek kajian. Kedua belah pihak sama-sama
kritis terhadap sang objek.
Obyek
itu dilihat berada di sana. Sesuatu yang berbeda dari yang di sini.
Yang lain hendak dikenali. Itu tujuan pertama. Namun tujuan selanjutnya
mungkin penguasaan, “pencerahan” atau sekadar pembongkaran.
Jika
penguasaan dan pembongkaran yang dituju, tentu akan muncul penolakan
dari liyan. Antagonisme potensial terjadi. Egoisme nir toleransi pun
lebih mengemuka. Andai kata pencerahan liyan yang dibayangkan terjadi,
penyeragamanlam yang akan menggejala karena pencerahan liyan tak lain
dari upaya menyesuaikan liyan dengan ego yang dianggap lebih sempurna.
Dalam
kondisi-kondisi sedemikian rupa, liyan cenderung dilecehkan. Pihak
asing dikenali untuk dilucuti dan/atau dipaksa tunduk pada diri.
Berelasi dengan liyan sedemikian rupa tentu tidak terpuji.
Seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger (1889—1976) mengajukan konsep "Fürsorge" sebagai alternatif cara berelasi dengan liyan. Konsep tersebut merupakan turunan dari konsep Dasein, In-der-Welt-sein, Besorge, Mitsein, dan Mitdasein. Secara sederhana, Dasein adalah eksistensi ada dalam ruang dan waktu. Keberadaannya di bumi (In-der-Welt-sein) mau tak mau memposisikannya menghadapi Besorge: dunia yang diperhatikan. Dalam pada itu, Dasein adalah Mitsein: ada bersama yang lain. Ia juga Mitdasein: ada bersama Dasein lain. "Dasein pada dasarnya ada bersama yang lain".[32] Oleh Heidegger kebersamaan Dasein dengan liyan itu tidak didorong ke arah Selbstsorge: perhatian pada diri yang menurutnya tautologis. Mitdasein itu justru digiring ke Fürsorge: perhatian pada liyan.[33]
Dengan kesadaran pada liyan sebagai keniscayaan dalam Dasein, liyan
diperhatikan dengan penuh kehangatan sebagai kenyataan tak terpisahkan.
Lebih lanjut Jacques Derrida menawarkan konsep "hospitalité"
(kesanggrahan). Filsuf Perancis kontemporer ini mendefinisikannya
dengan " Sambutan tanpa tedeng aling-aling dan tanpa kalkulasi,
keterbukaan tanpa batas kepada siapa pun yang tiba".[34] Liyan diterima sebagai yang lain yang selalu melain, karena yang lain selamanya lain. “Semua liyan keseluruhannya liyan.”[35]
Kita
tidak pernah dapat menguasai liyan sepenuhnya. Selalu saja meleset
upaya untuk meringkus liyan dalam suatu kerangkeng yang pasti. Karena
itu, kesanggarahan pada liyan mau tak mau menjadi cara berelasi dengan
liyan.
Berbekal konsep hospitalité Derrida dan Fürsorge
Heidegger, kajian tentang liyan akan menjadi penuh gairah dan penuh
keterbukaan. Bagi pengikut Muhammad melakukan kajian semacam itu sama
dengan menerapkan sabda Nabi: "Hikmah adalah buruan orang beriman. Di
mana hikmah berada, mukmin berhak mendapatkannya".[36] Sementara bagi orang-orang kontemporer yang melék ilmu
pengetahuan, teknologi dan informasi, semangat keterbukaan pada liyan
merupakan banalitas sehari-hari. Berdasarkan itu semua, nafsu menguasai
dan/atau dendam dalam mengkaji liyan tak diperlukan, bukan?
[1] Makalah diskusi Forum Filsafat Komunitas Salihara, Jakarta, Jumat 16 April 2010.
[2]
Alumnus S1 Akidah-Filsafat Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir; dan S2
Filsafat Universitas Indonesia, Depok, Indonesia, dengan tesis magister
berjudul Pos-Oksidentalisme: Dekonstruksi atas Oksidentalisme Hassan
Hanafi. Saat ini dia bekerja sebagai Tenaga Ahli Anggota DPR RI, di
samping sebagai dosen mata kuliah-mata kuliah filsafat di IAI Al-Aqidah,
Jakarta dan STIKOM Prosia, Jakarta.
[3] A.L. Macfie, Orientalism: A Reader, Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000, h. 1-2.
[4] Robert Irwin, For lust of knowing: The Orientalist and Their Enemies, New York: Penguin, 2007, h. 47-48.
[5] “The East is Career”. (Benjamin Disraeli, Tancred: the New Crusade, Leipzig: Bernh Tauchnitz Jun, 1847, h. 161).
[6] Anouar Abdel-Malek, “Orientalis in Crisis”, Diogenes, no. 44, winter 1963, h. 104-1012.
[7] “The
work itself we conceive to tend not only to the advancement of good
literature by bringing to light much knowledge which as yet is locked up
in that learned tongue, but also to the good service to the King and
State in our commerce with the Eastern nations, and in God's good time
to the enlargement of the borders of the Church, and propagation of
Christian religion to them who now sit in darkness”. (Arthur John Arberry, The Cambridge School of Arabic, inaugural lecture presented on October 30, 1947).
[8] James Mill, The History of British India, London: Baldwin, Cradock and Joy,1817, h. 66.
[9] G.W.F. Hegel, The Philosophy of History, New York: P.F. Collier & Son, 1902, h. 163-166.
[10] “Colonialism
has risen, it has celebrated its misdeeds and its splendors.... It is
dead and buried as, everything considered, it deserved to die. But this
fact has no bearing whatever on the work of the greatest and most
important European scholars who did not see their work as a contribution
to political or commercial interest, but as a disinterested and
impassioned search for the truth.” (Francesco Gabrieli, “Apology for Orientalism”, Diogenes, No. 50, Summer 1965, h. 128-136).
[11] Ibid.
[12] Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Yogyakarta: LKiS, 2003, h. 49.
[13] Ibid, h. 243.
[14] “Intellectuals
are the ‘officers’ of the ruling class for the exercise of subordinate
functions of social hegemony and political government, i.e., (1) of the
‘spontaneous’ consent given by the great masses of the population to the
direction imprinted on social life by the fundamental ruling class, a
consent which comes into existence ‘historically’ from the prestige’
(and hence from the trust) accruing to the ruling class from its
position and its function in the world of production; (2) of the
apparatus of State coercion, which ‘legally’ ensures the discipline of
those groups which do not ‘consent’ either actively or passively, but is
constituted for the whole of society in anticipation of moments of
crisis in command and direction when spontaneous consent diminishes.” (Antonio Gramsci, The Modern Prince, New York: International Publishers, 1957, h. 124).
[15] “It
is hegemony or rather the result of cultural hegemony at work, that
gives Orientalism the durability and the strength.... Orientalism is
never far from what Denys Hay has called the idea of Europe, a
collective notion identiving ‘us’ Europeans as againts all ‘those’
non-Europeans, and indeed it can be argued that the major component in
European culture is precisely what made that culture hegemonic both in
and outside Europe: the idea of European identity as superior one in
comparison with all the non-Europeans peoples and cultures.” (Edward W. Said, Orientalism, New Delhi: Penguin Books, 2001 (1978), h. 7).
[16] “The ensemble of rules according to which the true and the false are separated and specific effects of power attached to the true“. (Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, New York: Pantheon Books, 1980, h. 132).
[17] Ibid, h. 133.
[18] “To
say simply that modern Orientalism has been an aspect of both
imperialism and colonialism is not to say anything very disputable”. (Edward W. Said, op.cit., h. 123).
[19] Surat C. Snouck Hurgronje kepada Menteri Daerah Jajahan yang dimuat dalam E. Gobee dan C. Andriaanse (eds.), Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939, terj. Sukarsi, Jakarta: INIS, 1990, vol. I, h. xxii-xxv).
[20] Edward W. Said, “Shattered Myths”, dalam Naseer H. Aruri (ed.), Middle East Crucible, Wilmette: Medina University Press, 1975, h. 410-427.
[21] Anouar Abdel-Malek, “Orientalism in Crisis”, Diogenes, no. 44, winter 1963, h. 104-112.
[22] Ibid, h. 111-112
[23] Ibid, h. 119.
[24] “To
contribute in creative manner to the elaboration of the fundamental
problems of the struggle of the peoples of the Orient for their national
and social liberation and to recover from their economic backwardness.” (ibid, h. 122).
[25] “Amma
fi ‘Al-Istighrâb’ faqad inqalabat al-mawâzînu, wa tabaddalat al-adwâru,
fa ashbaha al-Anâ al-Urûbiy ad-dâris bi al-ams huwa al-maudlu’
al-madrûs al-yauma kamâ ashbaha allâ ûrûbiy al-madrûs bil amsi huwa
adz-dzât ad-dâris al-yauma”. (Hassan Hanafi, Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb, Beirut: Al-Muassah al-Jami’ah li ad-Dirasat wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, 2000, h. 24).
[26] Ibid, h. 24-25.
[28] Ibid, h. 15.
[29] Ibid, 456
[30] Ibid, h. 498-500.
[31] Ibid, h. 506-520.
[32]“Dasein is essentially Being with Others”. (Mantin Heidegger, Being and Time, terj. Joan Stambaugh, Albani: State University of New York Press, 1996, h. 281).
[33] Ibid, h. 366.
[34] “a welcome without reserve and without calculation, an exposure without limit to whoever arrives“. (Jacques Derrida, "Principle od Hospitality: Interview with Dominique Dhombres for Le Monde, December 2, 1997, translated by Asley Thomson, Parallax, vol. 11, no. 1, 2005, p. 6).
[35] “Tout autre est tout autre.” (Jacques Derrida, The Gift of Death, terj. D. Wills, Chicago: University of Chicago Press, 1995, h. 82).
[36] “Al-hikmah dlâlatul mu'min fahaitsu wajadahâ fahuwa ahaqqu bihâ.” (HR. At-Tirmidzi [2/1395] dan HR. Ibnu Majah [5/51]).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar