Selasa, 04 September 2012

Antara Orientalisme dengan Oksidentalisme:
Dua wajah yang saling berhadapan ataukah saling berdampingan?
[1]

Oleh: Muhyi Abdurrohim

A. Pendahuluan
Oksidentalisme (al-Istighrob) adalah lawan dari Orientalisme (al-Istisyroq). Kalau Oreintalisme melihat potret kita (Timur) yang dalam tanda petik “Islam” dari kacamata Barat, maka Oksidentalisme justru sebaliknya; melihat potret Barat (Yang sangat identik dengan misi kristenisasinya) dari kacamata Timur. Misi Oksidentalisme adalah mengurai dan menetralisasi distorsi sejarah antara Timur dan Barat, dan mencoba meletakan kembali Peradaban Barat pada proporsi geografisnya. Dan tidak menutup kemungkinan untuk mengambil manfaat dari kajian-kajian ke-Islam-an (Islamologi) mereka atau paling tidak memakai metodologi mereka dalam mengkaji bahkan mengkritisi beberapa ajaran dan tradisi dalam Islam. Namun Yang terakhir inilah, yakni al-Intifa min al-Ghorb menjadi perdebatan yang mengakar antara dua kelompok (pemikiran) Islam di hampir seluruh penjuru bumi Allah ini; yaitu antara kelompok Tradisionalis dan Modernis (sekularis; julukan yang sering diberikan oleh kelompok Tradisionalis kepada kelompok kedua ini). Kelompok pertama, mewakili kelompok yang sering disebut militan-fundamentalis (terutama oleh kelompok modernis) yang mewakili bahwa kebesaran umat Islam tergantung kepada kesadaran mereka dalam melaksanakan ajaran agamanya dengan kembali kepada ajaran inti al-Qur’an dan Sunnah sebagai pernekanannya. Sementara kelompok kedua mewakili kelompok yang sering mereka namakan sendiri dengan reformis-modernis, yang meyakini bahwa Islam adalah agama hadhori (peradaban), yang karenanya harus terbuka terhadap unsur-unsur peradaban lain. Untuk itu, ajaran Islam mesti diaktualisasikan dan diperbaharui (rekontruksi dan bahkan revisi), dengan mencoba redefinisi, agar senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Namun disini, penulis tidak akan mengulas pembahasan untuk menentukan sikap penulis pribadi diantara kedua kelompok di atas. Dalam makalah singkat ini, penulis sedikit akan mengulas beberapa metode kajian para oreintalis terkenal dalam menilai Islam dan ajarannya, terutama kajian-kajian dan pandangan-pandangan mereka terhadap al-Qur’an dan otoritas al-Sunnah (Hadits Nabawi). Setelah itu penulis memberi kebebasan kepada pembaca untuk memihak kepada kelompok pertama; sebagai kelompok yang menolak Oksidentalisme atau sebaliknya; lebih condong kepada kelompok kedua yang menerima bahkan mengharuskan keberadaan Oksidentalisme. Atau bahkan menjadi kelompok arus tengah yang tawasshut, yakni La dza wa la dzak?

B. Metodologi Pendekatan Barat dalam Studi al-Qur’an
Moh. Natsir Mahmud dalam artikelnya yang berjudul “al-Qur’an di Mata Barat: Sebuah Studi Evaluatif” menerangkan bahwa ada tiga metode Barat (orientalis) dalam studi al-Qur’an, pertama, Pendekatan Historisme; muncul pada abad ke sembilanbelas dengan tokoh utamanya Lepold von Ranke (1795-1886). Historisme berpendapat bahwa suatu entitas, baik itu institusi, nilai-nilai maupun agama berasal dari lingkungan fisik, sosio klutural dan sosio riligius tempat entitas itu muncul. Penjelasan melaui entitas sudah cukup melalui penemuan asal-usulnya dan hakikat mengenai sesuatu seluruhnya dipahami dalam perkembangannya. Prinsip Historisme menurut Meinecke aalah mencari kasualitas peristiwa historis, dan kasualitas itu tidak berasal dari dunia metafisika atau trans-historis tetapi dari lingkungan empirik sensual. Munculnya pendekatan ini menurut Fuck-Frankfrut mendorong kecenderungan dalam dalam studi al-Qur’an di Barat yang mengasalakan al-Qur’an dan Islam dari kitab suci dan tradisi Yahudi dan Kristen (Moh. Natsir Mahmud, 1994: 6)
Sebagian mereka yang menggunakan pisau analisis historis cenderung menyikapi Islam dengan nilai negatif, misalnya dengan menganggap Islam tak lebih dari bid’ah kristen (M. Alfatih Suryadilaga, 2002: 211). Bahkan J. Wansbrough dalam bukunya, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (1977) menegaskan bahwa al-Qur’an belum ditetapkan secara definitif sebelum permulaan abad ke 3 H./ 9 M. Riwayat-riwayat yang menetapkan mushhaf Utsmani sebagai mushhaf resmi terlalu dibuat-buat. Ajaran tentang kemukjizatan al-Qur’an dipandang sebagai imitrasi dari tradisi Yahudi tentang Taurat Musa, sehingga kumpulan ucapan (logia) dalam al-Qur’an dinaikkan derajatnya (sehingga) menjadi kitab suci yang mutlak kebenarannya (Moh. Natsir Mahmud, 1994: 7). Secara umum karya Jhon Wansbrough memeberikan kritikan yang tajam atas kenabian Nabi Muhammad Saw. Dan al-Qur’an. Kenabian Nabi Muhammad sebagai imitasi (tiruan) dari kenabian Nabi Musa yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Arab (M. Alfatih Suryadilaga, 2002: 213). Oleh karena itu pemikrannya banyak bersebrangan dengan pemikir lainnya baik dari kalangan orientalis maupun pemikir Muslim. Namun demikian ada juga beberapa oreintalis yang menilai positif al-Qur’an dengan pisau historis ini.
Kedua, Pendekatan Fenomenologi, Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, phainestai yang berarti “menunjukan atau menampakan diri sendiri”. Sebelum Husserl, istilah tersebut telah digunakan sejumlah filosof. Dan ia menggunakn istilah ini untuk menunjukan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkan termanifestasi apa adanya tanpa memasukan katagori pemikiran kita kepadanya, atau menurut ungkapan Huserl: Zuruck zuden sachen selbt (kembalilah kepada realitas itu sendiri). Bila diterapkan dalam studi agama, berarti membiarkan agama itu berbicara sendiri. Untuk memahami sebuah agama; dipahami menurut apa yang dipahami atau diyakini oleh penganutnya. Metode ini tidak melacak asal usul suatu institusi, tetapi dengan mengidentifikasi struktur internalnya (Moh. Natsir Mahmud, 1994: 10). Ada dua trend besar dalam mengunakan pendekatan ini,yakni fenomologi esensial dan konkret yang jika dihubungkan dengan kajian keislaman, keduanya akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda; yang pertama menghasilkan pandangan monisme Islam, sedang yang kedua memberikan pemahaman pluralisme Islam (M. Alfatih Suryadilaga, 2002: 222).
Di antara oreintalis yang menggunakan metode ini adalah Marcel A. Boisard, ia tidak melihat sisi formal al-Qur’an sebagai firman Allah, tetapi sisi substansinya. Ia memandang Nabi Muhammad sebagai Nabi yang sesungguhnya. Muhammad hanya sekedar penyambung lidah wahyu abadi. Karena itu, ia memandang al-Qur’anberisi kebenaran universal dan bukan buatan manusia (Muhammad) tetapi adalah wahyu Allah (Moh. Natsir Mahmud, 1994: 11).
Ketiga, pendekatan historisme-fenomenologis, yang merupakan penggabungan dari kedua pendekatan di atas. Pendekatan ini oleh oreintalis yang bernama W. Montgomeri Watt dilihat sebagai kegandaan sumber wahyu al-Qur’an, yaitu Tuhan (nonhistoris) dan Nabi Muhammad (sumber manusia = historis). Wahyu al-Qur’an bersumber dari Tuhan, tetapi diproduksi melalui pribadi Nabi Muhammad dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi dan Kristen). Sisi tesis yang dilakukan Watt tentang sumber wahyu dengan merujuk kepada teori alam bawah sadar kolektif dari C.G. Jung, yaitu tumpukan pengalaman masa lalu yang mengkrirstal, semakin lama semakin menkadi universal kemudian melebur ke dalam mental dan materialitas tubuh. Dalam alam bawah sadar kolektif muncul ide-ide keagamaan yang oleh Watt dimaknai sebagai wahyu. Maka Watt sangat menolak malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Wahyu hanya dalam bentuk makna, bukan dengan lafal. Karena ada peranan Nabi Muhammad dalam substansi wahyu, maka menurutnya lagi memungkinkan terjadinya kekeliruan dalam ajaran al-Qur’an adalah ajarannya yang materinya diambil dari Nabi Muhammad dan lingkungannya, seperti penolakan al-Qur’an terhadap penyaliban Yesus (Isa) adalah materi yang Nabi ambil dari lingkungannya, yakni sekte kristen Syiria yang menolak adanya penyalibab Yesus (Moh. Natsir Mahmud, 1994: 12). Dan karena sekte kristen Syiria adalah keliru (sesat) menurut Watt dan Gereja, maka al-Qur’an yang mendukung (sama) dengan pendapat sekte itu pun dianggap keliru.Dan kekeliruan ini bukan karena al-Qur’an bukan wahyu, tapi karena subyektivitas Nabi sendiri yang ikut mempostulatkan wujudnya al-Qur’an.

C. Studi Barat tentang Sunnah
Sejak pertengahan Abad ke sembilanbelas, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi pemikir keagaman Muslim. Abad itu merupakan periode ketika hegemoni Barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama masyarakat Muslim telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi kelembagaan hukum dan sosial Islam, baik untuk mengakomodasi nilai-nilai Barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam. Keprihatinan mengenai Hadits Nabi Saw. menjadi titik pusat dalam proses penggalian kembali ini. Sejumlahj aspek pengalaman kolonial mendorong perhatian istimewa terhadap Hadits Nabi Saw. Skriptualisme para misionaris Kristen Protestan jelas mempengaruhi cara orang muslim memandang hubungan antara Hadits dan Kitab Suci,karena pada abad itu merupakan periode aktivitas gencar para misionaris kristen dan perdebatan antar agama,terutama di India. Dan di akhir abad ke sembilanbelas juga merupakan periode ketika umat Islam menghadapi munculnya tantangan dari para sarjana orientalis yang baru saja bersikap kritis terhadap keotentikan literatur Hadits. Dampak ini paling terasa di India,tempat William Muir dan Alois Sprenger menjadi sarjana Barat pertama yang mempertanyakan apakah literatur Hadits benar-benar mencerminkan perbuatan dan perkataan Rasulullah Saw., apakah proses penyampaian dapat dipercaya, dan apakah metode klasik untuk menyisihkan hadits yang bisa dipercaya dan yang tidak itu absah ? (Daniel W. Brown, 2000: 37)
Dalam masalah ini mereka memusatkan penelitian dan kajiannya terhadap otoritas (kewenangan) sebuah Hadits atau Sunnah sebagai sumber Hukum Islam kedua setelah al-Qur’an dan otentisitas (Kesahehan) sebuah Sunnah atau Hadits -yang telah diakui (jumhur ulama) membentuk sebagian besar materi Hukum Islam- melalui metode atau teori yang mereka ciptakan sendiri dalam menilai kesahehan sebuah Hadits dengan mengkrtisinya konsep kesahehan sebuah Hadits menurut para ulama Muslim Tradisional, seperti Bukhori yang hanya mengandalkan pada kesahehan dan kekuatan isnadnya saja dan tanpa mempertimbangkan matan (redaksi) Hadits itu sendiri yang pada kenyataannya bertentangan dengan dengan akal sehat atau kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Adalah dimulai oleh orentalis Ignaz Goldziher (1850-1921) yang mengkaji perkembangan historis tentang literatur tradisi Islam dan asumsinya bahwa ada hukum-hukum asing dalam Hukum Islam (terutama Hukum Romawi). Kemudian dilanjutkan oleh Joseph Schacht (1902-1969) –yang juga pernah menimba ilmu dari C. Snouck Hurgonje (1857-1936) selama ia tinggal di Universitas Leiden-Belanda- dalam artikelnya yang pertama tentang Hadits “A Revolution of Islam Traditions”. Schacht menyatakan bahwa ia mengambil begitu saja gagasan Goldziher bahwa Hadits-Hadits itu “merefleksikan pendapat-pendapat yang di tulis selama dua setengah abad pertama setelah Hijrah.” (Ahmad Minhaji, 2001: 9). Dengan menggunakan metode historis-sosiologis, Schacht berusaha sekuat tenaga dengan menciptakan dua teori ilmiahnya, yaitu backward-projektion dan common link untuk mengkaburkan dan membedakan definisi antara al-Sunnah dengan al-Hadits.
Ia sampai pada satu kesimpulan bahwa sunnah Nabi pada kenyataannya bukanlah sunnah Nabi itu sendiri, tetapi merupakan tradisi yang hidup dari masyarakat muslim lokal tertentu atau sunnah tidak lebih dari “sebuah kebiasaan yang dapat dijadikan teladan, sebuah pandangan hidup.” Bahkan tradisi Arab pra Islam yang telah diambil oleh Islampun dapat disebut sebagai Sunnah. Selain itu, Schacht menegaskan kembali bahwa istilah sunnah Nabi “belum diwujudkan secara khusus kepada hadits-hadits dari Nabi”
Perkembangan doktrin terus menerus dalam aliran klasik dipercepat oleh gerakan para ahli Hadits. Sebagai akibatnya, terdapat sejumlah Hadits yang berkembang yang di klaim menjadi laporan-laporan dari saksi-saksi yang mendengar atau melihat perkkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan Nabi, yang diriwayatkan secara lisan dengan rangkaian (isnad) orang-orang terpercaya yang tidak terputus. Analisis ini membawa pada schacht kepada kesimpulan kontroversi yang meruntuhkan pemahaman muslim tradisional: “Hadits-hadits itu, sejauh berkaitan dengan persoalan-persoalan hukum agama, hampir tidak dapat dipertimbangkan sebagai hadits shoheh, karena motif-motif mulia (utama) hadits-hadits itu disebarkan oleh ahli-ahli hadits sendiri dari paruh pertama abad kedua dan selanjutnya. Dan isnad merupakan elemen kunci untuk menentukan otentisitas masing-masing Hadits. Dalam pandangan Schacht, studi isnad memiliki kecenderungan tumbuh kebelakang dan menglklaim otoritas yang lebih tinggi dan lebih tinggi hingga mereka sampai kepada Nabi.” (Ahmad Minhaji, 2001: 22).
Kritik terhadap metode isnad ini menjadi perhatiaan menarik bagi orientalis setelahnya, terutama oleh G.H.A. Juynboll yang pada tahun 1969 menerbitkan sebuah buku “The Authenticity of the Tradition Literature Discussions in Modern Egypt” yang telah diterbitkan terjemahannya dalm bahasa Indonesia oleh Mizan pada tahun 1999 dengan judul Kontroversi Hadits di Mesir (1890-1960). Dan ia dengan beraninya menganbil suatu kesimpulan bahwa Hadits yang mutawatir tidak semuanya dan tidak selamanya shoheh (padahal seluruh ulama ahli Hadits yang klasik atau modern telah sepakat bahwa hadits-hadits yang mutawatir adalah hadits yang paling shoheh; dan jika mengingkarinya akan hampir sederajat dengan ingkar kepada al-Qur’an yang bisa dianggap kafir). Di samping itu, ia mengangkat perdebatan yang terjadi antara ulama-ulama Mesir yang hidup di masa itu, yaitu antara ulama yang menerima Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua dan bahkan Hadits Mutawatir bisa menasakh (merevisi) hukum yang ada dalam al-Qur’an dengan ulama atau lebih tepatnya cendikiawan muslim yang hanya mau menerima sumber hukum dari al-Qur’an (perdebatan antara Syekh Musthofa al-Siba’i dengan Mahmud Abu Rayyah dan Muhammad Tawfiq Shidqi). Juga perdebatan antara kaum Modernis Mesir yang dimotori Muhammad Abduh dan muridnya Rosyid Ridha dengan ulama-ulama tradisionalis Mesir dari kampus universitas al-Azhar (yang disebut Juynboll dengan teolog-teolog ortodoks Mesir) dalam hal I’adah al-Nazhor (peninjauan ulang) terhadap Hadits-Hadits yang bertentangan dengan Rasio dan ilmu pengetahuan modern, walaupun hadits itu terdapat di dalam kitab shoheh Bukhori dan Muslim. Maka dalam masalah ini Abduh dan Ridha dapat digolongkan pada ulama yang menerima oksidentalisme dan dikembangkan untuk membenahi Islam dan menangkal serangan orientalisme dengan dua seruan pokoknya, yaitu tajdid dan anti taqlid. Adapun Muhammad Tawfiq Shidqi saya golongkan sebagai oksidentalis yang sejalan dan beriringan dengan orientalis, karena ia telah melangkah terlalu jauh dengan pendapatnya bahwa “Kaum muslim modern tidak lagi memerlukan seluruh sunnah Nabi saw.” dengan dalih bahwa hanya Al-Qur’an satu-satu sumber yang otentik yang bebas dari pemalsuan, disamping kelangkapan isinya, karena bahasanya yang yang gobal dan universal.
Sedangkan ulama-ulama modern atau lebih cocoknya disebut mufakkir muslim kontemporer yang banyak bergelut dengan kajian-kajian oreintalis ( berarti oksidentalis) khususnya dalam bidang studi al-qur’an dengan menghasilkan beberapa metodologi tafsir Modern, antara lain Muhammad Shahrur (dengan teori limit-nya dalam memaknai ulang ayat-ayat hudud), Riffat Hasan (dengan tafsir prespektif gender), Hasan Hanafi (bahkan ia yang gigih mengusulkan perlunya oksidentalisme dengan konsep kiri Islam-nya), Nasr Hamid Abu Zayd (dengan Teori Teks dalam Hermeneutik al-Qur’an), Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, dan lain-lain. Adapun para oksidentalis untuk kontek Indonesianya, sebut saja di antaranya Nur Kholis Majid, Husen Muhammad, Masdar Fuadi, M. Dawam Rahardjo atau yang sedang populer sekarang Ulil Absor Abdilah (yang tengah menyelesaikan Tafsir al-Qur’an Liberal) dengan kelompoknya yang berlebel JIL (Jaringan Islam Liberal), dan masih banyak lagi.

D. Hakikat Orientalis dan Orientalisme dimata Ulama dan Mufakkir Islam
Pandangan para ulama dan mufakkir Islam terhadap orientalis dan isme-nya sangatlah beragam,kalau boleh saya golongkan; ada dua golongan pokok, pertama, mereka yang tidak memandang Barat dan orientalismenya dengan pandangan benci (gebyah uyah -bhs. Jawa), sehingga menghalangi obyektifitasnya terhadap beberapa kajian-kajian dan jerih payah Barat dalam menyorot Islam dan ajaran-ajarannya. Di antara mereka adalah salah seorang ulama India yang sangat terkenal, yaitu Syekh Abu Hasan; Ali al-Hasni al-Nadwi dalam bukunya al-Islamiyaat: Baena Kitabaat al-Mustasyriqin wanita al-Bahitsin al-muslimin. Dalam bukunya ia mencontohkan beberapa oreintalis yang jujur dan obyektif dalam kajiannya bahkan banyak diantaranya memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap Islam dan umatnya, antara lain T.W.Arnold dengan karyanya The Preaching of Islam (Dakwah Islam), Edward William Lane dengan karyanya berupa kamus Arabic-English Lexicon yang menjadi rujukan utama para pakar bahasa dan sastra Arab Internasional, A.J. Wensinck yang telah berjasa membuat catatan indeks seluruh kitab Hadits yang terkenal yang berjumlah empatbelas macam kitab Hadits (mulai dari Bukhori, Muslim, Malik, Tirmidzi, dan seterusnya). Namun iapun mengingatkan bahwa kita harus tetap ekstra waspada terhadap karya-karya Barat tentang Islam,karena penulisan kajian-kajian mereka (orientalis) menggunakan taktik yang sangat lembut dan licik dengan bingkai analisis yang sangat ilmiah dan rasional, antara lain dengan menyebutkan sepuluh (banyak) kebaikan Islam dan juga menyebutkan satu saja kelemahan (cacat) Islam, yang pada hakekatnya satu cacat ini bisa menghilangkan dan menghabiskan sejumlah kebaikannya itu. Mereka ingin mengecoh kita, agar kita menilai mereka cukup gentel dan obyektif dengan mau menyebutkan kebaikan atau kelebihan Islam (al-Nadwi, 1985: 11-19).
Kedua, mereka yang memandang Barat (orientalis) dengan satu pandangan yang sama, yaitu salah dan buruk. Karena semua kajian dan upaya meraka dalam studi ke-Islam-an, walaupun secara lahir terlihat baik dan memberikan manfaat, namun dibelakang semuanya itu mereka (Orientalis) mempuyai satu tujuannya yang sama, yakni merongrong dan menghancurkan Islam dari dalam. Diantara ulama atau mufakkir Islam yang berasumsi seperti ini antara lain: Dr. Ahmad Abd. Rahim al-Saih, salah seorang ulama al-Azhar yang menulis buku Fi al-Ghozw al-Fikri (Perang Pemikiran/ cuci otak). Dalam bukanya ia dengan jelas menjelaskan macam-macam bentuk Ghozw Fikri yang berusaha menghancurkan Islam, seperti, gerakan Zionisme, Kristenisasi, Orientalisme, Oksidentalisme, sekulerisme, Nasionalisme, Qodianisme (Islam Ahmadiah), Bahaiyahisme (ajaran yang menggabungkan anatara Islam dan Hindu) dan lainnya. Ia menegaskan ada Lima pokok strategi gerakan-gerakan Ghozw Fikri; 1). Suntikan (masukan) sesuatu masalah (temuan Ilmiah) yang bisa mengkaburkan atau merusak tatanan Islam, seperti kasus kajian-kajian Orientalis akan studi al-Qur’an dan Hadits di atas, 2). Menghidupkan kembali debat atau perselisihan model jahiliyah, seperti ajakan nasionalisme, kesukuan, kefanatikan mazhab atau perselisiham antara Sunni dan syiah, aliran teologi Asy’ariah dan Mu’tazilah, dan lain-lain, 3). Menjauhkan para ulama dari posisi-posisi penting dalam politik, pemerintahan atau lainnya atau dengan menjauhkan kekusaan ulama (sebagai pemimpin agama) dari umatnya, sehingga fatwa atau nasehatnya tidak lagi dipedulikan umat Islam, 4). Dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, seperti memberikan pendidikan gratis di dalam atau luar negeri (Barat), membangun rumah sakit, panti asuhan , lainnya, mengirimkan penginjil-penginjil ke seluruh dunia (khususnya Arab, Asia dan Afrika), menulis dan menerbitkan buku-buku atau majalah sek (pornografi) atau bahkan Islam; baik karya orientalis atau karya ulama Arab Islam yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing dengan memutarbalikan fakta, data dan isi, mengadakan seminar-seminar kebudayaan atau keislaman dengan upaya menghidupkan kembali kajian-kajian filsafat, propaganda Barat adalah pusat kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi, mempersiapkan generasi yang budayawan dan pengagum Barat, dan lain-lain, 5). Mendirikan badan-badan sosial kemasyarakatan dan mendanainya (LSM) untuk memberikan bantuan-bantuan sosial, Beasiswa dan lainnya (Ahamad Abd. Rahim al-Saih, 1993: 64-78).
Begitu juga Ahli Sastra Arab Libia; Kholid Muflih Isa dalam bukunya al-Lughoh Arabiah: Baena al-Fushha wal ‘Amiah menegaskan bahwa pada hakikatnya perkembangan dan meluasnya Bahasa Arab ‘Amiyah di beberapa wilayah Negara Arab yang notabene berbeda satu dengan lainnya adalah salah satu stategi Zionis dan Orientalis (kristen) untuk menjauhkan generasi muda Arab khususnya dan Islam pada umumnya dari pengusaan Bahasa Arab fushha yang merupakan bahasa al-Qur’an, dengan tujuan agar umat Islam (generasi muda khususnya) semakin sulit untuk memahami Islam dari sumber aslinya, yakni al-Qur’an (Kholid Muflih Isa, 1987: 83-108).
Bahkan Dr. Abd. Adzim Mahmud al-Dieb, juga salah seorang ulama Al-Azhar-Mesir dalam karya tulisnya al-Manhaj Kitabaat al-Ghorbiyyin ‘an al-Tariekh al-Islami (Metode Tulisan-tulisan Barat tentang Sejarah Islam) disamping sangat menentang Orientalis juga ia sangat tidak setuju dan mencela oksidentalis (al-Mustaghribun); “Kepada para Oksidentalis, bukan kepada Orientalis!..yaitu kepada komunitas anak-anak bangsa kami sendiri yang berbicra dengan lisan dan bahasa kami,..yang memilki wajah dan fisik tubuh sama dengan kami,..Namun hati mereka tidak sama dengan hati kami,..merek atelah menerima peradaban dan kebudayaan asing dan terjerumus ke dalam penjara tawanan peraban asing yang tengah memerangi peradaban kita…! Apakah kalian belum cukup puas mengkaji karya-karya orientalis dengan mencurahkan segala daya upaya kalian,..Apakah tidak lebih baik jika kalian mencurahkan jerih payah kalian itu untuk membahas dan menyelesaikan berbagi problema umat kalian sendiri?…” (Abd. Adzim Mahmud al-Dieb, 1990: 36).

E. Penutup
Judul di atas masih merupakan sebuah materi pertanyaan yang masih membutuhkan satu jawaban yang pasti dan meyakinkan. Namun jawaban yang paling memuaskan pembaca adalah jawaban yang ada dan muncul dari pembaca itu sendiri. Karena memaksakan sebuah keyakinan pada orang lain adalah bagian dari penjajahan kebebasan berfikir atau bisa disebut dengan Ghazw Fikrie. Sedangkan Islam sudah memiliki satu komitmen yang harus dilaksanakna oleh seluruh umatnya yaitu La Ikroha fiddin ! Wassalam,… Wallahu A’alam.

Al-Maraji’
Al-dieb, Abd. Adzim Mahmud, al-Manhaj fi Kitabat al-Ghorbiyyin ‘an al-Tariekh al-Islami, Kitab al-Ummah, Qatar, cet. I, 1411 1990
Al-Saih, Ahmad Abd. Rahim, Fi al-Ghozw al-Fikri, Kitab al-ummah, Qatar, cet. I, 1414/ 1993
Al-Nadwi, Abu al-Hasan; Ali al-Hasni, al-Islamiyaat: Baena Kitabaat al-Mustasyriqin wanita al-Bahitsin al-Muslimin, al-Risalah, Baerut-Libanon, cet. III, 1405/ 1985
Brown, Daniel W., Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah; Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Mizan, Bandung, cet. I, 1421/ 2000
Isa, Kholid Muflih, al-Lughoh al-Arabiah: Baena al-Fushha wal ‘Amiah, al-Dar al-Jamahiriah, Libia, cet. I, 1396/ 1987
Juynboll, G.H.A., Kontroversi Hadits di Mesir (1890-1960), Penerjemah; Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, cet. I, 1420/ 1999
Mahmud, Moh. Natsir, al-Qur’an di Mata Barat: Sebuah Studi Evaluatif, Jurnal al-Hikmah, No. 12, tahun 1444/ 1994
Minhaji, Ahmad, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, Penerjemah: Ali Masrur, UII Press, Yogyakarta, cet. I, 2001
Suryadilaga, M. Alfatih, Pendekatan Historis John Wansbrough alam Studi al-Qur’an Kontemporer, Editor: Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, Tiara Wacana, Yogyakarta, cet. I, 2002.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar