Antara Orientalisme dengan Oksidentalisme:
Dua wajah yang saling berhadapan ataukah saling berdampingan?[1]
Oleh: Muhyi Abdurrohim
A. Pendahuluan
Oksidentalisme
(al-Istighrob) adalah lawan dari Orientalisme (al-Istisyroq). Kalau
Oreintalisme melihat potret kita (Timur) yang dalam tanda petik “Islam”
dari kacamata Barat, maka Oksidentalisme justru sebaliknya; melihat
potret Barat (Yang sangat identik dengan misi kristenisasinya) dari
kacamata Timur. Misi Oksidentalisme adalah mengurai dan menetralisasi
distorsi sejarah antara Timur dan Barat, dan mencoba meletakan kembali
Peradaban Barat pada proporsi geografisnya. Dan tidak menutup
kemungkinan untuk mengambil manfaat dari kajian-kajian ke-Islam-an
(Islamologi) mereka atau paling tidak memakai metodologi mereka dalam
mengkaji bahkan mengkritisi beberapa ajaran dan tradisi dalam Islam.
Namun Yang terakhir inilah, yakni al-Intifa min al-Ghorb menjadi
perdebatan yang mengakar antara dua kelompok (pemikiran) Islam di hampir
seluruh penjuru bumi Allah ini; yaitu antara kelompok Tradisionalis dan
Modernis (sekularis; julukan yang sering diberikan oleh kelompok
Tradisionalis kepada kelompok kedua ini). Kelompok pertama, mewakili
kelompok yang sering disebut militan-fundamentalis (terutama oleh
kelompok modernis) yang mewakili bahwa kebesaran umat Islam tergantung
kepada kesadaran mereka dalam melaksanakan ajaran agamanya dengan
kembali kepada ajaran inti al-Qur’an dan Sunnah sebagai pernekanannya.
Sementara kelompok kedua mewakili kelompok yang sering mereka namakan
sendiri dengan reformis-modernis, yang meyakini bahwa Islam adalah agama
hadhori (peradaban), yang karenanya harus terbuka terhadap unsur-unsur
peradaban lain. Untuk itu, ajaran Islam mesti diaktualisasikan dan
diperbaharui (rekontruksi dan bahkan revisi), dengan mencoba redefinisi,
agar senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Namun disini,
penulis tidak akan mengulas pembahasan untuk menentukan sikap penulis
pribadi diantara kedua kelompok di atas. Dalam makalah singkat ini,
penulis sedikit akan mengulas beberapa metode kajian para oreintalis
terkenal dalam menilai Islam dan ajarannya, terutama kajian-kajian dan
pandangan-pandangan mereka terhadap al-Qur’an dan otoritas al-Sunnah
(Hadits Nabawi). Setelah itu penulis memberi kebebasan kepada pembaca
untuk memihak kepada kelompok pertama; sebagai kelompok yang menolak
Oksidentalisme atau sebaliknya; lebih condong kepada kelompok kedua yang
menerima bahkan mengharuskan keberadaan Oksidentalisme. Atau bahkan
menjadi kelompok arus tengah yang tawasshut, yakni La dza wa la dzak?
B. Metodologi Pendekatan Barat dalam Studi al-Qur’an
Moh.
Natsir Mahmud dalam artikelnya yang berjudul “al-Qur’an di Mata Barat:
Sebuah Studi Evaluatif” menerangkan bahwa ada tiga metode Barat
(orientalis) dalam studi al-Qur’an, pertama, Pendekatan Historisme;
muncul pada abad ke sembilanbelas dengan tokoh utamanya Lepold von Ranke
(1795-1886). Historisme berpendapat bahwa suatu entitas, baik itu
institusi, nilai-nilai maupun agama berasal dari lingkungan fisik, sosio
klutural dan sosio riligius tempat entitas itu muncul. Penjelasan
melaui entitas sudah cukup melalui penemuan asal-usulnya dan hakikat
mengenai sesuatu seluruhnya dipahami dalam perkembangannya. Prinsip
Historisme menurut Meinecke aalah mencari kasualitas peristiwa historis,
dan kasualitas itu tidak berasal dari dunia metafisika atau
trans-historis tetapi dari lingkungan empirik sensual. Munculnya
pendekatan ini menurut Fuck-Frankfrut mendorong kecenderungan dalam
dalam studi al-Qur’an di Barat yang mengasalakan al-Qur’an dan Islam
dari kitab suci dan tradisi Yahudi dan Kristen (Moh. Natsir Mahmud,
1994: 6)
Sebagian mereka yang menggunakan pisau analisis historis
cenderung menyikapi Islam dengan nilai negatif, misalnya dengan
menganggap Islam tak lebih dari bid’ah kristen (M. Alfatih Suryadilaga,
2002: 211). Bahkan J. Wansbrough dalam bukunya, Quranic Studies: Sources
and Methods of Scriptural Interpretation (1977) menegaskan bahwa
al-Qur’an belum ditetapkan secara definitif sebelum permulaan abad ke 3
H./ 9 M. Riwayat-riwayat yang menetapkan mushhaf Utsmani sebagai mushhaf
resmi terlalu dibuat-buat. Ajaran tentang kemukjizatan al-Qur’an
dipandang sebagai imitrasi dari tradisi Yahudi tentang Taurat Musa,
sehingga kumpulan ucapan (logia) dalam al-Qur’an dinaikkan derajatnya
(sehingga) menjadi kitab suci yang mutlak kebenarannya (Moh. Natsir
Mahmud, 1994: 7). Secara umum karya Jhon Wansbrough memeberikan kritikan
yang tajam atas kenabian Nabi Muhammad Saw. Dan al-Qur’an. Kenabian
Nabi Muhammad sebagai imitasi (tiruan) dari kenabian Nabi Musa yang
dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Arab
(M. Alfatih Suryadilaga, 2002: 213). Oleh karena itu pemikrannya banyak
bersebrangan dengan pemikir lainnya baik dari kalangan orientalis maupun
pemikir Muslim. Namun demikian ada juga beberapa oreintalis yang
menilai positif al-Qur’an dengan pisau historis ini.
Kedua,
Pendekatan Fenomenologi, Istilah ini berasal dari bahasa Yunani,
phainestai yang berarti “menunjukan atau menampakan diri sendiri”.
Sebelum Husserl, istilah tersebut telah digunakan sejumlah filosof. Dan
ia menggunakn istilah ini untuk menunjukan apa yang tampak dalam
kesadaran kita dengan membiarkan termanifestasi apa adanya tanpa
memasukan katagori pemikiran kita kepadanya, atau menurut ungkapan
Huserl: Zuruck zuden sachen selbt (kembalilah kepada realitas itu
sendiri). Bila diterapkan dalam studi agama, berarti membiarkan agama
itu berbicara sendiri. Untuk memahami sebuah agama; dipahami menurut apa
yang dipahami atau diyakini oleh penganutnya. Metode ini tidak melacak
asal usul suatu institusi, tetapi dengan mengidentifikasi struktur
internalnya (Moh. Natsir Mahmud, 1994: 10). Ada dua trend besar dalam
mengunakan pendekatan ini,yakni fenomologi esensial dan konkret yang
jika dihubungkan dengan kajian keislaman, keduanya akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda; yang pertama menghasilkan pandangan monisme
Islam, sedang yang kedua memberikan pemahaman pluralisme Islam (M.
Alfatih Suryadilaga, 2002: 222).
Di antara oreintalis yang
menggunakan metode ini adalah Marcel A. Boisard, ia tidak melihat sisi
formal al-Qur’an sebagai firman Allah, tetapi sisi substansinya. Ia
memandang Nabi Muhammad sebagai Nabi yang sesungguhnya. Muhammad hanya
sekedar penyambung lidah wahyu abadi. Karena itu, ia memandang
al-Qur’anberisi kebenaran universal dan bukan buatan manusia (Muhammad)
tetapi adalah wahyu Allah (Moh. Natsir Mahmud, 1994: 11).
Ketiga,
pendekatan historisme-fenomenologis, yang merupakan penggabungan dari
kedua pendekatan di atas. Pendekatan ini oleh oreintalis yang bernama W.
Montgomeri Watt dilihat sebagai kegandaan sumber wahyu al-Qur’an, yaitu
Tuhan (nonhistoris) dan Nabi Muhammad (sumber manusia = historis).
Wahyu al-Qur’an bersumber dari Tuhan, tetapi diproduksi melalui pribadi
Nabi Muhammad dalam konteks lingkungan dan sosio-religius (Yahudi dan
Kristen). Sisi tesis yang dilakukan Watt tentang sumber wahyu dengan
merujuk kepada teori alam bawah sadar kolektif dari C.G. Jung, yaitu
tumpukan pengalaman masa lalu yang mengkrirstal, semakin lama semakin
menkadi universal kemudian melebur ke dalam mental dan materialitas
tubuh. Dalam alam bawah sadar kolektif muncul ide-ide keagamaan yang
oleh Watt dimaknai sebagai wahyu. Maka Watt sangat menolak malaikat
Jibril sebagai pembawa wahyu. Wahyu hanya dalam bentuk makna, bukan
dengan lafal. Karena ada peranan Nabi Muhammad dalam substansi wahyu,
maka menurutnya lagi memungkinkan terjadinya kekeliruan dalam ajaran
al-Qur’an adalah ajarannya yang materinya diambil dari Nabi Muhammad dan
lingkungannya, seperti penolakan al-Qur’an terhadap penyaliban Yesus
(Isa) adalah materi yang Nabi ambil dari lingkungannya, yakni sekte
kristen Syiria yang menolak adanya penyalibab Yesus (Moh. Natsir Mahmud,
1994: 12). Dan karena sekte kristen Syiria adalah keliru (sesat)
menurut Watt dan Gereja, maka al-Qur’an yang mendukung (sama) dengan
pendapat sekte itu pun dianggap keliru.Dan kekeliruan ini bukan karena
al-Qur’an bukan wahyu, tapi karena subyektivitas Nabi sendiri yang ikut
mempostulatkan wujudnya al-Qur’an.
C. Studi Barat tentang Sunnah
Sejak
pertengahan Abad ke sembilanbelas, definisi otoritas Rasulullah menjadi
masalah penting bagi pemikir keagaman Muslim. Abad itu merupakan
periode ketika hegemoni Barat yang berkaitan dengan kelemahan politik
dan agama masyarakat Muslim telah menciptakan dorongan kuat diadakannya
reformasi kelembagaan hukum dan sosial Islam, baik untuk mengakomodasi
nilai-nilai Barat maupun untuk memulihkan kekuatan Islam. Keprihatinan
mengenai Hadits Nabi Saw. menjadi titik pusat dalam proses penggalian
kembali ini. Sejumlahj aspek pengalaman kolonial mendorong perhatian
istimewa terhadap Hadits Nabi Saw. Skriptualisme para misionaris Kristen
Protestan jelas mempengaruhi cara orang muslim memandang hubungan
antara Hadits dan Kitab Suci,karena pada abad itu merupakan periode
aktivitas gencar para misionaris kristen dan perdebatan antar
agama,terutama di India. Dan di akhir abad ke sembilanbelas juga
merupakan periode ketika umat Islam menghadapi munculnya tantangan dari
para sarjana orientalis yang baru saja bersikap kritis terhadap
keotentikan literatur Hadits. Dampak ini paling terasa di India,tempat
William Muir dan Alois Sprenger menjadi sarjana Barat pertama yang
mempertanyakan apakah literatur Hadits benar-benar mencerminkan
perbuatan dan perkataan Rasulullah Saw., apakah proses penyampaian dapat
dipercaya, dan apakah metode klasik untuk menyisihkan hadits yang bisa
dipercaya dan yang tidak itu absah ? (Daniel W. Brown, 2000: 37)
Dalam
masalah ini mereka memusatkan penelitian dan kajiannya terhadap
otoritas (kewenangan) sebuah Hadits atau Sunnah sebagai sumber Hukum
Islam kedua setelah al-Qur’an dan otentisitas (Kesahehan) sebuah Sunnah
atau Hadits -yang telah diakui (jumhur ulama) membentuk sebagian besar
materi Hukum Islam- melalui metode atau teori yang mereka ciptakan
sendiri dalam menilai kesahehan sebuah Hadits dengan mengkrtisinya
konsep kesahehan sebuah Hadits menurut para ulama Muslim Tradisional,
seperti Bukhori yang hanya mengandalkan pada kesahehan dan kekuatan
isnadnya saja dan tanpa mempertimbangkan matan (redaksi) Hadits itu
sendiri yang pada kenyataannya bertentangan dengan dengan akal sehat
atau kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Adalah dimulai
oleh orentalis Ignaz Goldziher (1850-1921) yang mengkaji perkembangan
historis tentang literatur tradisi Islam dan asumsinya bahwa ada
hukum-hukum asing dalam Hukum Islam (terutama Hukum Romawi). Kemudian
dilanjutkan oleh Joseph Schacht (1902-1969) –yang juga pernah menimba
ilmu dari C. Snouck Hurgonje (1857-1936) selama ia tinggal di
Universitas Leiden-Belanda- dalam artikelnya yang pertama tentang Hadits
“A Revolution of Islam Traditions”. Schacht menyatakan bahwa ia
mengambil begitu saja gagasan Goldziher bahwa Hadits-Hadits itu
“merefleksikan pendapat-pendapat yang di tulis selama dua setengah abad
pertama setelah Hijrah.” (Ahmad Minhaji, 2001: 9). Dengan menggunakan
metode historis-sosiologis, Schacht berusaha sekuat tenaga dengan
menciptakan dua teori ilmiahnya, yaitu backward-projektion dan common
link untuk mengkaburkan dan membedakan definisi antara al-Sunnah dengan
al-Hadits.
Ia sampai pada satu kesimpulan bahwa sunnah Nabi pada
kenyataannya bukanlah sunnah Nabi itu sendiri, tetapi merupakan tradisi
yang hidup dari masyarakat muslim lokal tertentu atau sunnah tidak lebih
dari “sebuah kebiasaan yang dapat dijadikan teladan, sebuah pandangan
hidup.” Bahkan tradisi Arab pra Islam yang telah diambil oleh Islampun
dapat disebut sebagai Sunnah. Selain itu, Schacht menegaskan kembali
bahwa istilah sunnah Nabi “belum diwujudkan secara khusus kepada
hadits-hadits dari Nabi”
Perkembangan doktrin terus menerus dalam
aliran klasik dipercepat oleh gerakan para ahli Hadits. Sebagai
akibatnya, terdapat sejumlah Hadits yang berkembang yang di klaim
menjadi laporan-laporan dari saksi-saksi yang mendengar atau melihat
perkkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan Nabi, yang diriwayatkan
secara lisan dengan rangkaian (isnad) orang-orang terpercaya yang tidak
terputus. Analisis ini membawa pada schacht kepada kesimpulan
kontroversi yang meruntuhkan pemahaman muslim tradisional:
“Hadits-hadits itu, sejauh berkaitan dengan persoalan-persoalan hukum
agama, hampir tidak dapat dipertimbangkan sebagai hadits shoheh, karena
motif-motif mulia (utama) hadits-hadits itu disebarkan oleh ahli-ahli
hadits sendiri dari paruh pertama abad kedua dan selanjutnya. Dan isnad
merupakan elemen kunci untuk menentukan otentisitas masing-masing
Hadits. Dalam pandangan Schacht, studi isnad memiliki kecenderungan
tumbuh kebelakang dan menglklaim otoritas yang lebih tinggi dan lebih
tinggi hingga mereka sampai kepada Nabi.” (Ahmad Minhaji, 2001: 22).
Kritik
terhadap metode isnad ini menjadi perhatiaan menarik bagi orientalis
setelahnya, terutama oleh G.H.A. Juynboll yang pada tahun 1969
menerbitkan sebuah buku “The Authenticity of the Tradition Literature
Discussions in Modern Egypt” yang telah diterbitkan terjemahannya dalm
bahasa Indonesia oleh Mizan pada tahun 1999 dengan judul Kontroversi
Hadits di Mesir (1890-1960). Dan ia dengan beraninya menganbil suatu
kesimpulan bahwa Hadits yang mutawatir tidak semuanya dan tidak
selamanya shoheh (padahal seluruh ulama ahli Hadits yang klasik atau
modern telah sepakat bahwa hadits-hadits yang mutawatir adalah hadits
yang paling shoheh; dan jika mengingkarinya akan hampir sederajat dengan
ingkar kepada al-Qur’an yang bisa dianggap kafir). Di samping itu, ia
mengangkat perdebatan yang terjadi antara ulama-ulama Mesir yang hidup
di masa itu, yaitu antara ulama yang menerima Hadits sebagai sumber
hukum Islam yang kedua dan bahkan Hadits Mutawatir bisa menasakh
(merevisi) hukum yang ada dalam al-Qur’an dengan ulama atau lebih
tepatnya cendikiawan muslim yang hanya mau menerima sumber hukum dari
al-Qur’an (perdebatan antara Syekh Musthofa al-Siba’i dengan Mahmud Abu
Rayyah dan Muhammad Tawfiq Shidqi). Juga perdebatan antara kaum Modernis
Mesir yang dimotori Muhammad Abduh dan muridnya Rosyid Ridha dengan
ulama-ulama tradisionalis Mesir dari kampus universitas al-Azhar (yang
disebut Juynboll dengan teolog-teolog ortodoks Mesir) dalam hal I’adah
al-Nazhor (peninjauan ulang) terhadap Hadits-Hadits yang bertentangan
dengan Rasio dan ilmu pengetahuan modern, walaupun hadits itu terdapat
di dalam kitab shoheh Bukhori dan Muslim. Maka dalam masalah ini Abduh
dan Ridha dapat digolongkan pada ulama yang menerima oksidentalisme dan
dikembangkan untuk membenahi Islam dan menangkal serangan orientalisme
dengan dua seruan pokoknya, yaitu tajdid dan anti taqlid. Adapun
Muhammad Tawfiq Shidqi saya golongkan sebagai oksidentalis yang sejalan
dan beriringan dengan orientalis, karena ia telah melangkah terlalu
jauh dengan pendapatnya bahwa “Kaum muslim modern tidak lagi memerlukan
seluruh sunnah Nabi saw.” dengan dalih bahwa hanya Al-Qur’an satu-satu
sumber yang otentik yang bebas dari pemalsuan, disamping kelangkapan
isinya, karena bahasanya yang yang gobal dan universal.
Sedangkan
ulama-ulama modern atau lebih cocoknya disebut mufakkir muslim
kontemporer yang banyak bergelut dengan kajian-kajian oreintalis (
berarti oksidentalis) khususnya dalam bidang studi al-qur’an dengan
menghasilkan beberapa metodologi tafsir Modern, antara lain Muhammad
Shahrur (dengan teori limit-nya dalam memaknai ulang ayat-ayat hudud),
Riffat Hasan (dengan tafsir prespektif gender), Hasan Hanafi (bahkan ia
yang gigih mengusulkan perlunya oksidentalisme dengan konsep kiri
Islam-nya), Nasr Hamid Abu Zayd (dengan Teori Teks dalam Hermeneutik
al-Qur’an), Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, dan lain-lain. Adapun para
oksidentalis untuk kontek Indonesianya, sebut saja di antaranya Nur
Kholis Majid, Husen Muhammad, Masdar Fuadi, M. Dawam Rahardjo atau yang
sedang populer sekarang Ulil Absor Abdilah (yang tengah menyelesaikan
Tafsir al-Qur’an Liberal) dengan kelompoknya yang berlebel JIL (Jaringan
Islam Liberal), dan masih banyak lagi.
D. Hakikat Orientalis dan Orientalisme dimata Ulama dan Mufakkir Islam
Pandangan
para ulama dan mufakkir Islam terhadap orientalis dan isme-nya
sangatlah beragam,kalau boleh saya golongkan; ada dua golongan pokok,
pertama, mereka yang tidak memandang Barat dan orientalismenya dengan
pandangan benci (gebyah uyah -bhs. Jawa), sehingga menghalangi
obyektifitasnya terhadap beberapa kajian-kajian dan jerih payah Barat
dalam menyorot Islam dan ajaran-ajarannya. Di antara mereka adalah salah
seorang ulama India yang sangat terkenal, yaitu Syekh Abu Hasan; Ali
al-Hasni al-Nadwi dalam bukunya al-Islamiyaat: Baena Kitabaat
al-Mustasyriqin wanita al-Bahitsin al-muslimin. Dalam bukunya ia
mencontohkan beberapa oreintalis yang jujur dan obyektif dalam kajiannya
bahkan banyak diantaranya memberikan sumbangan yang cukup besar
terhadap Islam dan umatnya, antara lain T.W.Arnold dengan karyanya The
Preaching of Islam (Dakwah Islam), Edward William Lane dengan karyanya
berupa kamus Arabic-English Lexicon yang menjadi rujukan utama para
pakar bahasa dan sastra Arab Internasional, A.J. Wensinck yang telah
berjasa membuat catatan indeks seluruh kitab Hadits yang terkenal yang
berjumlah empatbelas macam kitab Hadits (mulai dari Bukhori, Muslim,
Malik, Tirmidzi, dan seterusnya). Namun iapun mengingatkan bahwa kita
harus tetap ekstra waspada terhadap karya-karya Barat tentang
Islam,karena penulisan kajian-kajian mereka (orientalis) menggunakan
taktik yang sangat lembut dan licik dengan bingkai analisis yang sangat
ilmiah dan rasional, antara lain dengan menyebutkan sepuluh (banyak)
kebaikan Islam dan juga menyebutkan satu saja kelemahan (cacat) Islam,
yang pada hakekatnya satu cacat ini bisa menghilangkan dan menghabiskan
sejumlah kebaikannya itu. Mereka ingin mengecoh kita, agar kita menilai
mereka cukup gentel dan obyektif dengan mau menyebutkan kebaikan atau
kelebihan Islam (al-Nadwi, 1985: 11-19).
Kedua, mereka yang memandang
Barat (orientalis) dengan satu pandangan yang sama, yaitu salah dan
buruk. Karena semua kajian dan upaya meraka dalam studi ke-Islam-an,
walaupun secara lahir terlihat baik dan memberikan manfaat, namun
dibelakang semuanya itu mereka (Orientalis) mempuyai satu tujuannya yang
sama, yakni merongrong dan menghancurkan Islam dari dalam. Diantara
ulama atau mufakkir Islam yang berasumsi seperti ini antara lain: Dr.
Ahmad Abd. Rahim al-Saih, salah seorang ulama al-Azhar yang menulis buku
Fi al-Ghozw al-Fikri (Perang Pemikiran/ cuci otak). Dalam bukanya ia
dengan jelas menjelaskan macam-macam bentuk Ghozw Fikri yang berusaha
menghancurkan Islam, seperti, gerakan Zionisme, Kristenisasi,
Orientalisme, Oksidentalisme, sekulerisme, Nasionalisme, Qodianisme
(Islam Ahmadiah), Bahaiyahisme (ajaran yang menggabungkan anatara Islam
dan Hindu) dan lainnya. Ia menegaskan ada Lima pokok strategi
gerakan-gerakan Ghozw Fikri; 1). Suntikan (masukan) sesuatu masalah
(temuan Ilmiah) yang bisa mengkaburkan atau merusak tatanan Islam,
seperti kasus kajian-kajian Orientalis akan studi al-Qur’an dan Hadits
di atas, 2). Menghidupkan kembali debat atau perselisihan model
jahiliyah, seperti ajakan nasionalisme, kesukuan, kefanatikan mazhab
atau perselisiham antara Sunni dan syiah, aliran teologi Asy’ariah dan
Mu’tazilah, dan lain-lain, 3). Menjauhkan para ulama dari posisi-posisi
penting dalam politik, pemerintahan atau lainnya atau dengan menjauhkan
kekusaan ulama (sebagai pemimpin agama) dari umatnya, sehingga fatwa
atau nasehatnya tidak lagi dipedulikan umat Islam, 4). Dalam bidang
pendidikan dan kebudayaan, seperti memberikan pendidikan gratis di dalam
atau luar negeri (Barat), membangun rumah sakit, panti asuhan ,
lainnya, mengirimkan penginjil-penginjil ke seluruh dunia (khususnya
Arab, Asia dan Afrika), menulis dan menerbitkan buku-buku atau majalah
sek (pornografi) atau bahkan Islam; baik karya orientalis atau karya
ulama Arab Islam yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing dengan
memutarbalikan fakta, data dan isi, mengadakan seminar-seminar
kebudayaan atau keislaman dengan upaya menghidupkan kembali
kajian-kajian filsafat, propaganda Barat adalah pusat kemajuan ilmu
pengatahuan dan teknologi, mempersiapkan generasi yang budayawan dan
pengagum Barat, dan lain-lain, 5). Mendirikan badan-badan sosial
kemasyarakatan dan mendanainya (LSM) untuk memberikan bantuan-bantuan
sosial, Beasiswa dan lainnya (Ahamad Abd. Rahim al-Saih, 1993: 64-78).
Begitu juga Ahli Sastra Arab Libia; Kholid Muflih Isa dalam bukunya
al-Lughoh Arabiah: Baena al-Fushha wal ‘Amiah menegaskan bahwa pada
hakikatnya perkembangan dan meluasnya Bahasa Arab ‘Amiyah di beberapa
wilayah Negara Arab yang notabene berbeda satu dengan lainnya adalah
salah satu stategi Zionis dan Orientalis (kristen) untuk menjauhkan
generasi muda Arab khususnya dan Islam pada umumnya dari pengusaan
Bahasa Arab fushha yang merupakan bahasa al-Qur’an, dengan tujuan agar
umat Islam (generasi muda khususnya) semakin sulit untuk memahami Islam
dari sumber aslinya, yakni al-Qur’an (Kholid Muflih Isa, 1987: 83-108).
Bahkan
Dr. Abd. Adzim Mahmud al-Dieb, juga salah seorang ulama Al-Azhar-Mesir
dalam karya tulisnya al-Manhaj Kitabaat al-Ghorbiyyin ‘an al-Tariekh
al-Islami (Metode Tulisan-tulisan Barat tentang Sejarah Islam) disamping
sangat menentang Orientalis juga ia sangat tidak setuju dan mencela
oksidentalis (al-Mustaghribun); “Kepada para Oksidentalis, bukan kepada
Orientalis!..yaitu kepada komunitas anak-anak bangsa kami sendiri yang
berbicra dengan lisan dan bahasa kami,..yang memilki wajah dan fisik
tubuh sama dengan kami,..Namun hati mereka tidak sama dengan hati
kami,..merek atelah menerima peradaban dan kebudayaan asing dan
terjerumus ke dalam penjara tawanan peraban asing yang tengah memerangi
peradaban kita…! Apakah kalian belum cukup puas mengkaji karya-karya
orientalis dengan mencurahkan segala daya upaya kalian,..Apakah tidak
lebih baik jika kalian mencurahkan jerih payah kalian itu untuk membahas
dan menyelesaikan berbagi problema umat kalian sendiri?…” (Abd. Adzim
Mahmud al-Dieb, 1990: 36).
E. Penutup
Judul di atas masih
merupakan sebuah materi pertanyaan yang masih membutuhkan satu jawaban
yang pasti dan meyakinkan. Namun jawaban yang paling memuaskan pembaca
adalah jawaban yang ada dan muncul dari pembaca itu sendiri. Karena
memaksakan sebuah keyakinan pada orang lain adalah bagian dari
penjajahan kebebasan berfikir atau bisa disebut dengan Ghazw Fikrie.
Sedangkan Islam sudah memiliki satu komitmen yang harus dilaksanakna
oleh seluruh umatnya yaitu La Ikroha fiddin ! Wassalam,… Wallahu A’alam.
Al-Maraji’
Al-dieb,
Abd. Adzim Mahmud, al-Manhaj fi Kitabat al-Ghorbiyyin ‘an al-Tariekh
al-Islami, Kitab al-Ummah, Qatar, cet. I, 1411 1990
Al-Saih, Ahmad Abd. Rahim, Fi al-Ghozw al-Fikri, Kitab al-ummah, Qatar, cet. I, 1414/ 1993
Al-Nadwi,
Abu al-Hasan; Ali al-Hasni, al-Islamiyaat: Baena Kitabaat
al-Mustasyriqin wanita al-Bahitsin al-Muslimin, al-Risalah,
Baerut-Libanon, cet. III, 1405/ 1985
Brown, Daniel W., Menyoal
Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah; Jaziar Radianti dan
Entin Sriani Muslim, Mizan, Bandung, cet. I, 1421/ 2000
Isa, Kholid Muflih, al-Lughoh al-Arabiah: Baena al-Fushha wal ‘Amiah, al-Dar al-Jamahiriah, Libia, cet. I, 1396/ 1987
Juynboll, G.H.A., Kontroversi Hadits di Mesir (1890-1960), Penerjemah; Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, cet. I, 1420/ 1999
Mahmud, Moh. Natsir, al-Qur’an di Mata Barat: Sebuah Studi Evaluatif, Jurnal al-Hikmah, No. 12, tahun 1444/ 1994
Minhaji,
Ahmad, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht,
Penerjemah: Ali Masrur, UII Press, Yogyakarta, cet. I, 2001
Suryadilaga,
M. Alfatih, Pendekatan Historis John Wansbrough alam Studi al-Qur’an
Kontemporer, Editor: Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, Tiara Wacana,
Yogyakarta, cet. I, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar