EKSEMPLAR MODERATISME ISLAM INDONESIA
Refleksi dan Retrospeksi atas Moderatisme NU dan Muhammadiyah
Oleh: Masdar Hilmy, MA., Ph.D.
(Asisten Direktur Kemahasiswaan dan Kerjasama Program
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, alumnus Doktoral dari the
University of Melbourne Australia)
Pendahuluan
Pada sebuah konferensi tahunan ke-33 Association of Muslim Social Scientists (AMSS) yang diselenggarakan pada 24-26 September
2004 di George Mason University Law School di Arlington, Virginia, AS,
dengan tema “Revisioning Modernity: Challenges and Possibilities for
Islam”, sejumlah kertas kerja coba mengkritisi dan mereformulasi apa dan
siapa Muslim moderat itu. Salah satu kertas kerja mengangkat tema:
“Moderate Islam, Progressive Muslims, Democracy, and Post-Islamism”,
menggarisbawahi bahwa yang disebut Muslim “moderat” adalah mereka yang
menolak pemberlakuan kekerasan sebagai garis ideolog dan perjuangannya.
Dalam konteks Amerika dan Barat, konsep dan praksis moderatisme Islam
boleh jadi berbeda dari konsep dan praksis yang sama di Indonesia. Di
Amerika, konsep moderatisme lebih banyak menekankan pada mentalitas
keberagamaan yang kritis-reflektif, pro-demokrasi dan HAM, serta
mendukung ideologi sekularisme. Fitur moderatisme terakhir jelas akan
problematik jika ditarik ke dalam konteks Islam Indonesia.
Kertas kerja ini hendak membongkar mitos moderatisme Islam
Indonesia melalui pengamatan terhadap dua organisasi keagamaan yang
selama ini dikenal sebagai “juara” moderatisme Islam: Nahdatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah. Pertanyaan yang hendak dikembangkan adalah:
apakah betul bahwa pandangan-pandangan keagamaan kedua organisasi ini
moderat? Adakah moderatisme Islam yang khas Indonesia? Bagaimana—setelah
membongkar mitos—membangun sebuah cetak-biru Islam Indonesia yang
aplikatif dan adaptif?
Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kertas
kerja ini terbagi ke dalam tiga bagian utama: (1) membahas persoalan
semantik di balik nomenklatur moderatisme Islam; (2) analisis terhadap
moderatisme NU-Muhammadiyah dalam lanskap Islam Indonesia, dan; (3)
membangun sebah cetak-biru moderatisme Islam Indonesia yang lebih
aplikatif dan adaptif di kemudian hari.
Persoalan Semantik
Moderatisme
merupakan sebuah istilah atau nomenklatur konseptual yang tidak mudah
untuk didefinisikan. Hal ini karena ia menjadi istilah yang diperebutkan
pemaknaannya (highly contested concept), baik di kalangan
internal ummat Islam maupun eksternal. Ia dipahami secara berbeda-beda
oleh banyak orang, tergantung siapa dan dalam konteks apa dia didekati
dan dipahami.
Khasanah
pemikiran Islam klasik memang tidak mengenal istilah ”moderatisme”.
Namun demikian, penggunaan dan pemahaman atasnya biasanya merujuk pada
padanan sejumlah kata dalam bahasa Arab, di antaranya al-wast, al-qist, al-tawazun, al-i’tidal,
dan semacamnya. Oleh sejumlah kalangan ummat Islam, kata-kata tersebut
terakhir dipakai untuk merujuk pada modus keberagamaan yang tidak
melegalkan kekerasan sebagai jalan keluar untuk mengatasi berbagai
persoalan teologis dalam Islam. Oleh karena moderatisme merupakan kata
yang relatif dan dipahami secara subyektif oleh banyak orang, maka ia
selalu mengundang kontroversi dan bias-bias subyektif. Ia juga tidak
pernah netral dari berbagai macam kepentingan politik-ekonomi. Sebagai
akibatnya, kepelikan semantik semacam inilah yang menyebabkan kita
mengalami kesulitan untuk sampai pada tahap konklusif tentang apa dan
siapa itu Islam moderat.
Menyangkut
apa dan siapa sebenarnya Muslim moderat tidak mudah dijawab. Jika kita
melihat definisi moderat pada kamus bahasa Inggris, maka kita akan
menjumpai kata ”moderate” yang bermakna: 1) average in amount, intensity, quality, etc; not extreme
[rata-rata dalam jumlah, intensitas, kualitas, dsb; tidak ekstrem];
misalnya jumlah yang tidak banyak atau sedikit, kualitas yang tidak
bagus atau jelek, intensitas yang tidak sering dan tidak pula jarang,
dst; 2) of or having (usu political) opinions that are not extreme [pandangan politik yang tidak ekstrem; misalnya pandangan politik yang tidak ekstrem kiri tau ekstrem kanan; 3) keeping or kept within limits that are not excessive [menjaga dalam batas-batas yang tidak berlebihan]; makan atau minum dalam batas-batas yang tidak berlebihan.
Dalam
tradisi pemikiran keagamaan, derajat moderatisme paham keberagamaan
dipahami secara berbeda-beda sesuai dengan konteks masing-masing
lokalitas tertentu. Sekalipun secara generik konsep moderatisme memiliki
kerangka pikir yang relatif sama, jika dikaitkan dengan konteks
lokalitas tertentu ia berimplikasi pada pemaknaan yang beragam. Secara
generik, konsep moderatisme bermakna jalan tengah, pilihan di antara dua
kutub ekstremitas pemikiran keagamaan. Dalam tradisi pemikiran
keagamaan, kutub ekstremitas seringkali didefinisikan sebagai al-ghuluww –Yusuf al-Qardhawi sering menyebutnya sebagai al-mutatarrif—dan moderatisme sering disebut sebagai al-wast yang berarti jalan tengah (middle-path atau middle-way).
Jika
merujuk secara spesifik pada konteks lokalitas tiap-tiap komunitas atau
negara, niscaya akan didapati pemahaman yang beragam tentang konsep
moderatisme. Konsep moderatisme di Negara mayoritas Muslim seperti
Indonesia jelas berbeda dari konsep moderatisme di Negara minoritas
Muslim seperti AS dan negara Barat lainnya. Di Indonesia, konsep
moderatisme seringkali dipahami sebagai pemikiran dan paham keagamaan
yang tidak mengadopsi dua kutub pemikiran: pemikiran liberal Barat di
satu sisi, dan pemikiran ekstrem radikal di sisi lain. Di luar kedua
kutub tersebut, setiap orang ingin diasosiasikan sebagai kelompok
moderat.
Dalam konteks pemahaman teologis, moderatisme seringkali diasosiasikan dengan konsep ”la-wa-la”,
sebuah istilah yang berkonotasi pada konsep yang bermakna
”tidak-tidak”: tidak ke Barat atau Timur, tidak ekstrem kanan atau kiri,
tidak literalis atau liberalis, dan seterusnya. Oleh sebagian kalangan,
konsep semacam ini diartikan sebagai sebuah ketidakjelasan bersikap.
Kondisi semacam ini menggambarkan absennya fundamen teologis yang
semestinya dapat diidentifikasi dengan jelas dan tegas. Sebagian
kalangan menolak terma ini atas argumentasi ambiguitas makna yang
dikandungnya. Pertanyaan remeh tetapi menggelitik adalah; jika secara
konseptual konstruk moderatisme Islam tidak Barat dan juga tidak Timur,
tidak liberal dan juga tidak literal, lalu bentuk konkretnya seperti
apa?
Penolakan sebagian orang juga dilandasi oleh sebuah pemikiran bahwa Islam moderat tidak menggambarkan semangat keberagamaan (ghirah diniyah)
yang kuat. Mereka menangkap kesan bahwa moderatisme tidak mencerminkan
greget beragama yang kaffah. Seolah-olah Islam moderat merupakan format
yang tereduksi atau terdegradasi dari model keberagamaan yang kaffah
tadi. Dalam pandangan mereka, Islam moderat bukanlah Islam yang
sesungguhnya atau kurang derajat keberislamannya. Kelompok semacam ini
tidak menghendaki pengatribusian berbagai label yang dilekatkan ke
Islam, seperti Islam literal, liberal atau moderat. Dengan demikian,
pengatribusian berbagai label ke dalam Islam secara politik mengesankan
bahwa realitas Islam terfragmentasi. Mereka mengkonter argumen semacam
ini dengan menegaskan bahwa Islam hanya ada satu.
Sementara
itu, pemahaman atas konsep moderat di AS jelas berbeda sebagai paham
paham atau pemikiran Islam yang tidak mengadopsi cara-cara kekerasan
dalam ber-amar makruf nahi munkar. Dalam konteks Amerika,
moderatisme seringkali mengandung bias-bias ideologis-politis-ekonomi
sesuai dengan kecenderungan mutakhir yang tengah berlangsung di negeri
tersebut. Konteks moderatisme teologis seringkali dikaitkan dengan
peristiwa September 11 yang meruntuhkan menara kembar WTC. Serangan
al-Qaedah terhadap pusat-pusat peradaban dan kedigdayaan AS dianggap
sebagai turning point (titik balik) perubahan paradigmatik dalam
memahami konsep moderatisme. Jika sebelum September 11 konsep
moderatisme banyak dipahami sebagai varian atau sikap keberagamaan yang
nirkekerasan, maka setelah September 11 konsep moderatisme telah diseret
sedemikian jauh ke dalam kontestasi identitas keberagamaan untuk
mengidentifikasi garis demarkasi yang membedakan identitas pro-Barat dan
pro-kelompok ekstremis.
Dengan demikian, bisa
dipahami bahwa konsep moderatisme di AS seringkali dipahami secara
tumpang-tindih dengan mereka yang mendukung demokrasi, HAM, paham
sekularisme, kebijakan Amerika tentang war on terror, dan
semacamnya. Di kalangan media AS, kalangan Muslim moderat seringkali
diindikasikan sebagai kelompok yang pro-Barat dalam visi politiknya
ataupun yang kritis dalam pemikiran keagamaannya.
Sementara itu, istilah Islam moderat seringkali dipakai secara
pejoratif sebagai mereka yang visi keberagamaannya sekuler dan secara
normatif kurang ”Islami.” Di AS, Muslim moderat adalah mereka yang
menerapkan versi Islam yang lebih lunak—semacam keberislamannya John
Esposito dan Karen Armstrong—yang mau hidup secara berdampingan dengan
non-Muslim dan merasa nyaman dengan demokrasi dan pemisahan agama dan
negara.
Konteks politik global juga sering menjadi konsideran dalam memaknai moderatisme Islam.
Dalam kaitannya dengan konsep moderatisme, respon politik sekelompok
Muslim atas konstalasi politik global sering menjadi pertimbangan lain
untuk memahami konsep moderatisme. Kelompok Muslim yang tidak merespon
secara keras terhadap konflik Israel-Palestina banyak dianggap sebagai
kelompok moderat. Atau, dalam konteks pendudukan pasukan multinasional
di sejumlah negara berpenduduk Muslim seperti di Afghanistan dan Irak,
kelompok Muslim moderat adalah mereka yang tidak menentang pendudukan
tersebut, bahkan seringkali mendukungnya dengan alasan demokratisasi.
Intinya, kelompok Muslim moderat adalah mereka yang tidak menunjukkan
respon berlebihan terhadap konflik yang melibatkan negara berpenduduk
Muslim di satu sisi, dengan pihak Barat di sisi lain.
Eksemplar Moderatisme Islam Indonesia: NU dan Muhammadiyah
Dalam konteks Indonesia,
pertanyaannya adalah: apa dan bagaimana bentuk moderatisme Islam itu?
Siapakah individu dan atau kelompok ummat Islam yang bisa
diklasifikasikan sebagai kelompok moderat? Apakah Muhammadiyah, NU, atau
organisasi dan atau individu lainnya? Sebuah pertanyaan sederhana
tetapi sulit dijawab, terutama ketika kita melihat betapa variatifnya
modus keberagamaan ummat Islam di Indonesia. Islam Indonesia terdiri
dari hamparan spektrum ideologi, paham, pemikiran sekaligus aksi ummat
Islam yang merentang jauh dari ekstrem paling kanan hingga ekstrem
paling kiri.
Sebelum kita mengidentifikasi
apa, siapa dan bagaimana Islam moderat dalam konteks Indonesia, tentu
saja dibutuhkan sebuah kerangka kerja konseptual (conceptual framework)
yang hendak digunakan untuk mengukur derajat moderatisme. Memang
keragka kerja moderatisme versi Islam Indonesia boleh jadi berbeda dari
kerangka kerja di belahan dunia Muslim lainnya, baik di negara Islam
mayoritas maupun minoritas. Konteks sosio-politik di setiap negara jelas
memiliki andil signifikan dalam membentuk dan memola pemahaman atas
konsep moderatisme. Selain itu, perkembangan sebuah konsep selalu
berevolusi sesuai dengan derap langkah perkembangan masyarakat
bersangkutan.
Memang secara umum kelompok
moderat menempati titik tengah dalam spektrum pemikiran keislaman.
Namun, jika diamati secara seksama, di dalam spektrum Islam moderat juga
terdapat sub-spektrum yang merentang dari moderatisme-radikal,
moderatisme-tengah, hingga moderatisme-lunak. Moderatisme-radikal dapat
dicirikan sebagai paham, pemikiran dan atau gerakan keagamaan radikal
salafi yang menganjurkan kembali kepada modus keberagamaan asali yang
diambil dari sumber-sumbernya yang otentik: Al-Qur’an dan Hadith. Mereka
cenderung menolak modus keberagamaan yang mendasarkan diri pada
khasanah pemikiran ulama klasik.
Mereka juga menolak peradaban Barat dengan segala macam derivasinya
seperti demokrasi, HAM, masyarakat sipil, dan semacamnya, tetapi melalui
cara-cara damai, bukan kekerasan.
Menurut Erich Kolig dan Greg
Fealy melalui penelitiannya masing-masing, konsep moderatisme Islam
bukanlah entitas yang memiliki sekat-sekat pembatas yang tegas dan
jelas.
Hal ini terutama karena pandangan moderatisme Islam tidak ditopang oleh
sitem teologis yang benar-benar solid dan autentik. Klaim-klaim
moderatisme lebih banyak disandarkan pada tiadanya ekstremitas dalam
merespon atau bersikap atas sebuah pemikiran. Mayoritas kaum moderat,
dalam asumsi teoretik penulis, lebih banyak dihuni oleh kalangan ”massa
mengambang” (floating mass) yang tidak ditopang oleh ”narasi tebal” teologis-filosofis.
Kelompok ”massa mengambang”
adalah segolongan ummat yang cenderung tidak sepenuhnya memedulikan atau
tidak memiliki basis argumentasi yang jelas dalam bersikap dan
beragama.
Pendasaran dalam beragama mereka lebih banyak dilakukan melalui
faktor-faktor lingkungan sosiologis yang memiliki daya koersi terhadap
pengambilan keputusan kalangan mayoritas dalam mengadopsi sikap
keagamaan mereka. Artinya, kecenderungan sikap beragama mereka lebih
banyak ditentukan oleh pertimbangan pragmatis-sosiologis belaka, bukan
argumentasi atau narasi teologis yang mendalam. Sebagai akibatnya, sikap
dan pandangan keagamaan mereka cenderung mengikuti arus angin,
tergantung pada praktik beragama yang tengah menadi arus-utama. Secara
sederana, sikap beragama semacam ini sering disebut sebagai sikap
beragama ikut-ikutan atau—dalam bahasa fiqh disebut sebagai—muqallid,
yakni derajat awam dalam strata masyarakat beragama yang hanya
mengikuti secara membabi buta apapun yang dihasilkan oleh elit agamawan.
Hal yang sama juga berlaku
dalam hal Islam radikal dan liberal. Kelompok Islam moderat sebenarnya
menempati ruang tengah di antara dua kelompok mutatarrif tersebut
yang memungkinkan keleluasaan bergerak bagi mereka. Secara ideologis,
pemikiran Islamisme radikal dapat dengan mudah memengaruhi, mengambil
simpati dan pada tahap berikutnya menambah kepenganutan dari kelompok
moderat ”massa mengambang” ini. Artinya, pihak paling dekat yang dapat
tertular ideologi Islamisme radikal adalah kelompok Islam moderat, bukan
kelompok Islam liberal. Sebaliknya, kelompok moderat ”massa mengambang”
ini tidak bisa dengan leluasa bergerak ke arah Islam liberal, karena
mayoritas penganut Islam liberal dibekali dengan narasi tebal teologi
liberalisme yang kuat. Memang sebagian besar penganut Islam liberal
berasal dari kalangan Islam moderat, tetapi bukan dari sayap ”massa
mengambang” tadi.
Sejumlah pengkaji Islam di
Indonesia masih tetap pada pendirian bahwa Islam di negeri ini terdiri
dari versi keberagamaan moderat.
Posisi moderat ini diwakili, misalnya, oleh dua organisasi keagamaan
terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua
organisasi ini dikelompokkan ke dalam versi moderatisme Islam karena
ketidaksetujuannya dengan sikap dan pandangan keagamaan kalangan garis
keras yang menggunakan cara-cara kekerasan. Kedua organisasi ini juga
sejak awal tidak setuju dengan negara Islam, isu laten yang disusung
oleh kalangan Muslim garis keras. Bagi keduanya, bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai asas ideologisnya,
UUD 1945 sebagai basis konstitusinya, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai
semboyannya, dianggap sudah cukup mengakomodasi elemen-elemen substantif
ajaran Islam moderat yang bervisi rahmatan lil alamin.
Dalam konteks nilai-nilai
modernitas, kedua organisasi ini tidak menunjukkan sikap perlawanan
terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM.
Demokrasi adalah nilai universal yang tidak hanya dijumpai di
negara-negara demokrasi maju seperti Eropa Barat dan AS, tetapi juga
bisa digali dari ajaran Islam karena pada dasarnya Islam sejalan dengan
demokrasi. Demikian pula dengan HAM, kedua organisasi ini secara umum
menegaskan bahwa Islam sangat mengapresiasi HAM sebagai elemen penting
dalam kehidupan ummat manusia. Karena HAM pula, Islam terbukti mampu
meninggalkan tradisi perbudakan pada masa lalu.
Selain penerimaan terhadap
nilai-nilai modernitas, Islam di Indonesia—terutama kedua organisasi
keagamaan di atas—juga dikenal dengan tradisi toleransi atas perbedaan
paham keagamaan.
Jika ditelusuri secara genealogis, Islam Indonesia sebenarnya memiliki
tradisi toleransi beragama yang kental, bahkan sejak sebelum Islam
datang dan menjadi agama mayoritas di negeri ini. Islam Indonesia
sejatinya memiliki mata rantai yang tidak terputus dengan tradisi
toleransi yang ada pada masa Hindu-Budha, di mana persandingan antara
elemen Hindu dan Budha dalam satu lokus merupakan keniscayaan sejarah,
seperti kuil atau candi Hindu-Budha yang berdiri berdampingan.
Pertanyaannya adalah, apakah
seluruh anggota NU dan Muhammadiyah dapat dipastikan memiliki haluan
pemikiran moderat seperti tergambar di atas? Mengikuti spektrum
pemikiran yang telah disketsakan di atas, penulis berargumen bahwa tidak
seluruh warga kedua organisasi tersebut dipastikan memiliki haluan
moderat. Jika diuraikan lagi, tipologi warga dan penganut kedua
organisasi tersebut dapat dipetakan menjadi tiga kelompok: 1)
moderatisme-radikal, 2) moderatisme-tengah, dan 3) moderatisme-lunak.
Kelompok pertama merujuk pada
sekelompok individu yang memiliki kecenderungan ideologi keagamaan
puritan dan dekat dengan ideologi garis keras. Bahkan sebagian dari
mereka ada yang sudah bermetamorfosis secara ideologis dengan gerakan
garis keras dan menjadi bagian penting dari rank-and-file
organisasi keagamaan garis keras seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), dan
semacamnya. Kelompok-kelompok garis keras tersebut menjadikan penganut
NU-Muhammadiyah sebagai ”lahan dakwah” ideologi mereka. Bahkan di
sejumlah daerah di Jawa Timur, terdapat beberapa elit NU yang juga
merangkap sebagai juru bicara HTI.
Sementara itu, kelompok
moderatisme-lunak merujuk pada satu segmen terbanyak dari
NU-Muhammadiyah yang mayoritas diisi oleh ”massa mengambang” atau Muslim
awam dengan tingkat pengetahuan keagamaan yang cukup terbatas. Kelompok
kedua ini menempati segmen terbesar dari kedua organisasi tersebut.
Oleh karena sikap moderatisme mereka lebih karena ikut-ikutan atau
karena pertimbangan sosiologis-pragmatis belaka, maka mereka menghadapi
kerentanan menjadi potential recruits bagi organisasi garis keras. Hal ini terjadi ketika mereka bertemu dengan salah seorang ustadz (murabbi) dari kelompok garis keras dan sang ustadz mampu melakukan brainwashing yang dapat berujung pada internal conversion di kalangan mereka.
Kelompok moderat ketiga adalah mereka yang secara keagamaan merupakan kelompok terpelajar (deeply-learned)
dalam ilmu-ilmu keagamaan atau pesantren yang belakangan menjadi agen
atau aktor perubahan sosial di lingkungan masing-masing. Mereka pada
umumnya adalah para kyai alumni pesantren, baik pesantren salaf maupun
khalaf, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang khasanah keilmuan
Islam klasik dan modern. Kelompok ini merepresentasikan pemain utama (makers)
dalam proyek moderatisme Islam Indonesia yang mampu menggerakkan
kesadaran keberagamaan bagi jutaan penganut kedua organisasi tersebut.
Secara kuantitatif jumlah
kelompok ini barangkali sangat sedikit—mungkin jauh lebih sedikit dari
dua kelompok sebelumnya. Namun demikian, dalam kapasitasnya sebagai agen
perubahan sosial, mereka menempati struktur kelas sosial yang paling
penting dalam konfigurasi moderatisme Islam Indonesia yang pada
gilirannya mampu menginspirasi jutaan pengikutnya akibat gagasan-gagasan
moderatisme yang kuat (powerful ideas of moderatism). Kelompok
terakhir inilah yang banyak diharapkan mampu menghasilkan pemikiran atau
bahkan cetak-biru moderatisme Islam Indonesia yang lebih aplikatif dan
integratif.
Di luar catatan positif
tentang penerimaan kedua organisasi keagamaan terbesar tersebut atas
NKRI, Pancasila, UUD 1945, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, nilai-nilai
demokrasi dan HAM, ada satu fitur yang seringkali menjadi penanda Islam
moderat dalam konteks Barat tetapi kehadirannya ditolak oleh keduanya:
sekularisme. Hampir seluruh lapisan Islam moderat di Indonesia tidak
menerima kehadiran sekularisme karena ia dianggap mengandung bias-bias
moderatisme khas Barat—yang sangat boleh jadi—berbeda dari konsep
moderatisme Islam di Indonesia. Penolakan secara mayoritas ini memang
perlu pembuktian empiris di lapangan; namun tiadanya preseden penerimaan
sekularisme sepanjang sejarah ummat Islam hampir bisa dipastikan
menjadi faktor penting di balik penolakan tersebut. Nomenklatur
pemikiran Islam klasik hanya mengenal doktrin Islam sebagai perpaduan
antara agama (din) dan negara (dawlah).
Dengan kata lain, sekularisme banyak dipahami sebagai ”alien” dalam
lanskap pemikiran dan praktik keberagamaan Muslim Indonesia.
Derajat
moderatisme Islam Indonesia juga sering ditentukan oleh cara pandang
ummat Islam terhadap teks suci (al-Qur’an da Hadith). Kalangan Muslim
yang banyak bertumpu pada konteks dalam memahami ayat-ayat Allah atau
Hadth Nabi sering disebut sebagai kelompok tekstualis. Kelompok inilah
yang diasosiasikan sebagai penghuni utama posisi moderat. Sebaliknya,
kelompok Muslim yang cenderung menggunakan pendekatan literal (harafiyah)
sering diasosiasikan sebagai kelompok literalis (radikal). Penggunaan
kedua pendekatan ini dapat dilihat, misalnya, dalam memahami bentuk
Negara yang ideal menurut Islam. Terhadap isu ini, kelompok moderat
cenderung menggunakan referensi modern dalam membangun argumentasi
mereka tentang bentuk ideal sebuah Negara. Sebaliknya, kelompok literal
cenderung mengambil beberapa kata atau istilah dalam kedua sumber suci
tersebut yang dianggap mengindikasikan kebenaran, misalnya melalui kata
khilafah untuk diterjemahkan menjadi Dawlah atau Khilafah Islamiyah, segaimana diusung oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Namun demikian,
pendemarkasian antara kelompok literalis dan kontekstualis merupakan
kategori yang problematis. Hal ini karena masing-masing kelompok ini
tidak menerapkan pendekatan metodologisnya secara konsisten dan
permanen. Penanda kedua karakteristik ini bahkan semakin memerlihatkan
pembauran dan sekaligus saling bertukar. Terdapat saat-saat tertentu di
mana kaum literalis lebih mengedepankan konteks dalam memahami doktrin
keagamaan. Sebaliknya, ada saat-saat tertentu ketika kaum kontekstualis
menghampiri teks suci secara literal. Misalnya, banyak kelompok
literalis lebih mengutamakan konteks dalam tata-cara berpakaian (dress-code), sementara itu kaum kontekstualis terkadang sangat literal dalam memahami aspek ibadah.
Menuju Cetak-biru Moderatisme Islam Indonesia
Sistem berteologi yang di dalam dirinya (in itself sufficient) menopang terhadap praksis keberagamaan moderat menjadi sine qua non
dalam spektrum moderatisme Islam Indonesia. Ia haruslah memancar
menerangi ruang publik keberagamaan Indonesia. Jika selama ini konsep
moderatisme Islam seringkali dipersandingkan dengan modalitas-modalitas
eksternal seperti warisan budaya-spiritual leluhur bangsa yang digali
dari anasir-anasir non-Islam, sudah saatnya ummat Islam menggali dari
ajaran Islam paling autentik untuk merumuskan cetak-biru moderatisme
Islam Indonesia, yakni sebuah bangunan konseptual yang berpijak pada
modalitas internal.
Memang NU dan Nuhammadiyah
harus diapresiasi sebagai organisasi keagamaan yang telah memelopori
terbentuknya modus keberagamaan moderat, terlepas dari sulitnya me-landing-kan
rumusan moderatisme ke dalam praksis kehidupan beragama. Rumusan
cetak-biru kedua organisasi ini di satu sisi diinspirasi secara langsung
oleh doktrin normatif Islam, namun bisa dianggap sebagai local genius
aktualisasi pemikiran keagamaan yang tidak ditemukan di belahan dunia
Islam lain. Dalam rumuan yang kurang lebih sama, Malaysia memiliki
formula ”Islam Hadhari”, sebuah nomenklatur pemikiran Islam yang secara
khsus dirancang untuk mengakomodasi pergulatan teologis antara dimensi al-asalah (autentisitas asali) dengan dimensi al-hadlarah (peradaban modern-kekinian).
Agak mirip dengan format Islam hadhari versi Malaysia, di negeri ini juga sempat populer format keberagamaan ”masyarakat madani”.
Digagas oleh sekelompok ilmuwan-intelektual dari kalangan Muslim
”modernis” pada awal dekade 1990-an, ”masyarakat madani” segera menjadi
sebuah nomenklatur politik Islam yang banyak dielu-elukan oleh banyak
kalangan sebagai representasi model keadaban Islam Indonesia.
”Masyarakat madani” merepresentasikan membuncahnya kelas menengah Muslim
di atas panggung politik nasional, setelah pada masa Orde Lama dan awal
Orde Baru mereka lebih banyak dimarginalkan oleh rezim penguasa. Lebih
penting lagi, ”masyarakat madani” merepresentasikan versi keberagamaan
Islam moderat yang memadukan antara dimensi modernitas dan dimensi
primordialitas identitas keagamaan.
Jika dilihat dari perjalanan
sejarahnya sejak penerimaan asas tunggal Pancasila pada Muktamar
Situbondo 1984 yang belakangan dikenal sebagai gerakan kembali ke
Khittah 26, NU sebenarnya telah memperlihatkan pergerakan pendulum
keberagamaan ke tengah titik-tengah moderatisme. Perjalanan sejarah
keberagamaan di kalangan NU tentu saja memperlihatkan dinamika internal
yang sangat beragam dan fluktuatif, dan tantangan dari kalangan sayap
kanan untuk mempertanyakan serta meruntuhkan bangunan moderatisme Islam
akhir-akhir ini tidak bisa dianggap remeh.
Untuk menopang bangunan moderatisme Islam, sejumlah ulama NU kenamaan—seperti al-maghfur lahum KH. Achmad Siddiq, KH. Ali Maksum, KH. As’ad Syamsul Arifin dan lain-lain—telah merumuskan sebuah peta jalan beragama (road-map to moderate Islam) yang disebut sebagai teologi ahlussunnah wal jama’ah (sering disingkat Aswaja), yakni jalan beragama yang mengikuti Rasulullah SAW, para Sahabatnya, para Tabi’un, dan segenap al-salaf al-shalih yang diasumsikan dapat menjamin kemurnian ajaran agama.
Bangunan moderatisme teologis NU ditopang oleh ”trilogi” ajaran: al-tawassuth (pertengahan), i’tidal (tegak lurus, tidak condong ke kanan atau ke kiri), dan al-tawazun (keseimbangan, tidak berat sebelah antara dimensi duniawi dan ukhrawi). Konsep al-tawassuth diderivasi dari ayat al-Qur’an (Al-Baqarah: 143), konsep al-i’tidal diderivasi dari QS al-Ma’idah: 8, sementara itu konsep al-tawazun
diambil dari QS al-Hadid: 25. Manifestasi ketiga prinsip dan karakter
di atas, menurut sejumlah ulama NU, harus ditampakkan pada seluruh
bidang ajaran Islam seperti bidang akidah, shari’ah, tasawwuf dan
akhlak, bidang mu’asharah (pergaulan sosial), bidang kehidupan bernegara-bangsa, bidang kebudayaan, bidang dakwah, dan bidang-bidang lain.
Sebagai sebuah modalitas,
tentu saja rumusan Aswaja tersebut baru sebatas ”cikal-bakal” cetak-biru
moderatisme, dan belum ceak-biru itu sendiri. Ia bukanlah rumusan ideal
yang dapat mengakomodasi seluruh kecenderugan baru dalam kehidupan
beragama yang jauh lebih kompleks dan menantang. Hal lain dari kosmologi
keberagamaan ala NU dan pesantren adalah dipergunakannya sejumlah
perangkat metodologis yang dipakai untuk menghampiri Islam melalui kedua
sumbernya: al-Qur’an dan Hadith. Perangkat metodologis tersebut seperti
kaidah ushuliyyah, kaidah ushul fiqh, maslahah, istihsan, istihsab, qawl sahabi, sadd al—dhara’i, dan sebagaianya.
Penggunaan sejumlah perangkat
metodologis di atas dalam aras pemikiran NU dapat diibaratkan pedang
bermata ganda; di satu sisi ia cenderung melanggengkan ortodoksi
keagamaan akibat perujukan yang tidak langsung terhadap al-Qur’an da
Hadith. Namun di sisi lain, penggunaan perangkat tersebut meruangkan
eksperimentasi dan artikulasi berpikir yang dapat menumbuhkan
kreativitas dan kebebasan berpikir melalui pemanfaatan metode ilhaqi
dalam proses istinbath hukum Islam. Harus diakui, dari sinilah
sebenarnya kecerdasan lokal yang membuahkan terobosan dan lompatan
berpikir terlahr dari rahim NU. Kemunculan kecenderngan berpikir
progressif, bahkan liberal, di sejumlah kalangan anak muda NU sebenarnya
mereprsentasikan berfungsinya perangkat-perangkat metodologis di atas
dalam dialektika pemikiran keagamaan kontemporer.
Di kalagan penganut
Muhammadiyah, di sisi lain, apresiasi terhadap khasanah pemikiran dan
metodologi ijtihadi sebagaimana banyak dikembangkan di tubuh NU praktis
kurang terawat dengan baik akibat pembakuan slogan ”al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” (kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah nabi SAW).
Untuk konteks Islam Indonesia, penggunaan perangkat metodoogis bagi
proses pembaruan sebenarnya diperkenalkan pertama kali oleh
Muhammadiyah, bukan oleh NU. Pendirian Muhammadyah pada mulanya
diinspirasi oleh keprihatinan sejumlah elit Muslim atas kondisi
keterbelakangan ummat. Keprihatinan inilah yang pada tahap selanjutnya
melahirkan benih-benih pembaruan pemikiran Islam (tajdid dan ijtihad), yang di kalangan NU bahkan banyak dianggap sudah tertutup.
Penerimaan dan pemanfaatan perangkat metodologis semacam ini terbukti telah mengantarkan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu par excellence
dan, karenanya, mendapatkan julukan sebagai organisasi modernis—karena
visi positif-responsif terhadap modernitas. Melalui gerakan tajdid,
Muhammadiyah mulai melancarkan serangkaian proses pembaruan di tubuh
internal ummat Islam Indonesia. Sekalipun mendapatkan perlawanan dan
resistensi dari kalangan Muslim tradisionalis, gerakan pembaruan
Muhammadiyah seakan berada pada jalur point of no return, dan
belakangan banyak mengambil kepenganutan dari kalangan Muslim
tradisionalis. Salah satu contoh gerakan pembaruan yang dilakukan oleh
Muhammadiyah yang belakangan diamini dan bahkan diikuti oleh kalangan
tradisionalis adalah mengubah bahasa pengantar dalam khutbah Jum’at dan
dua hari raya dari bahasa Arab—sebagaimana jamak dijumpai di kalangan
tradisionalis—ke bahasa lokal dan nasional.
Namun ibarat pedang bermata
ganda, disamping menjadi batu loncatan bagi proyek pembaruan, slogan
”kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah/Hadith Nabi” mungkin saja telah
membunuh semangat pembaruan dari dalam.
Kejumudan berpikir menjadi isu kritis yang banyak dilontarkan kepada
Muhammadiyah akhir-akhir ini, terutama ketika generasi muda yang
tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang
hendak meremajakan kembali semangat tajdid banyak ditentang oleh
sebagian generasi tua. Pertentangan antar-generasi ini bahkan telah
menelan ”korban.” Mohammad Shofan, salah seorang tenaga pengajar di
Universitas Muhammadiyah Gresik, diberi sanksi berupa pemecatan sebagai
dosen akibat gagasan-gagasannya yang dianggap anomali dengan paham
keagamaan arus-utama di Muhammadiyah.
Berkebalikan dari apa yang
dialami oeh Muhammadiyah, pemanfaatan metodologi pembaruan oleh NU masih
belum cukup mengantarkan organisasi ini menjadi organisasi pembaharu,
meskipun belakangan ini terjadi lompatan-lompatan
paradigmatik-metodologis di kalangan generasi muda NU akibat pencerahan
pendidikan. Selain itu, identitas tradisionalisme NU lebih disebabkan
oleh apresiasi yang cukup berlebihan atas khasanah pemikiran ulama
klasik sebagaimana terekam dalam kitab kuning.
Dengan demikian, apresiasi terhadap khasanah pemikiran klasik berakna
bahwa NU sangat menjunjung tinggi khasanah tradisi yang belakangan
menjadi modalitas organisasi ini menapaki tradisi pemikiran
”post-tradisionalisme.”
Kerja-kerja moderatisme Islam
membutuhkan perluasan, pendalaman dan penggalian yang lebih autentik
atas khasanah tradisi Islam klasik, mulai dai sirah Nabawiyah, kehidupan
sahabat, hingga praktik al-salaf al-salih melalui perspektif
modernitas. Namun, kerja-kerja moderatisme Islam pada ujungnya
meniscayakan cara pandang ummat Islam terhadap al-Qur’an dan Hadith;
Kapan kita harus menempatkan keduanya sebagai rujukan langsung dan kapan
kita menempatkan keduanya sebatas sebagai basis etika. Memang betul
bahwa Islam moderat dan Islam radikal sama-sama menempatkan al-Qur’an
dan Hadith sebagai basis normatif dalam mengembangkan sikap keberagamaan
mereka. Namun, istilah ”basis normatif” memiliki konotasi makna yang
beragam; mulai dari rujukan langsung sampai sebatas sumber inspirasi.
Ada hal-hal yang secara literal harus merujuk langsung pada kedua sumber
tersebut dan, oleh karena itu, diterima serta dipraktikkan apa adanya;
namun ada hal-hal yang diambil semangatnya saja. Di sinilah derajat
moderatisme Islam akan dipertaruhkan.
Dalam konteks inilah, tajdid
menemukan signifikansinya dalam membangun modus kebergamaan moderat.
Ajaran-ajaran yang sudah anakronistik dengan semangat zaman—karena bias
budaya lokal Arab, misalnya—dapat dimoderasi melalui mekanisme
metodologis istinbath atau tajdid tersebut. Ajaran Islam yang mengandung
dimensi hablun min Allah (ibadah ritual-vertikal) bisa diambil secara letterlijk, apa adanya. Sementara itu, dimensi ajaran hablun min al-nas
(dimensi sosial-horizontal-publik) yang mengatur pola interaksi
antar-sesama manusia dalam sebuah wadah institusi Negara bisa dimoderasi
melalui tajdid sesuai dengan konteks perkembagan zaman atau perubahan
ruang dan waktu.
Jika konsep moderatisme Islam
selama ini lebih banyak berjalan secara sentripetal, maka sekarang ini
sudah saatnya menarik pendulum konsep moderatisme ke arah sentrifugal
ajaran Islam. Jika modus yang pertama lebih banyak mengandalkan
kelenturan Islam untuk mengadaptasikan dirinya dengan aspek eksternal
khasanah keindonesiaan, maka modus yang kedua lebih banyak bertumpu pada
penggalian ke dalam ajaran Islam itu sendiri, untuk kemudian
merelevansikannya dengan khasanah keindonesiaan. Metode dan pendekatan
penggalian tersebut tidak selamanya dilakukan secara letterlijk,
dalam artian menggali norma-norma ajaran Islam yang mengandung aspek
moderatisme dari sumber-sumber yang paling autentik. Metode atau
pendekatan dimaksud bisa berupa—meminjam kerangka metodologis Fazlur
Rahman—”double movement” yang dilakukan dengn cara
mengonsultasikan modernitas dengan konteks ajaran Islam normatif ketika
ia diwahyukan, untuk kemudian dikembalikan lagi pada konteks sekarang.
Catatan akhir
Dengan rumusan-rumusan di
atas dapat disimpulan bahwa sebenarnya banyak jalan menuju moderatisme
Islam Indonesia. Ummat Islam sudah saatnya menunjukkan bahwa konsep dan
praksis moderatisme bukanlah sekadar mitos yang melangit, tetapi
realitas yang membumi. Ummat Islam juga harus disadarkan bahwa
rumusan-rumusan yang ada selama ini kurang—untuk tidak mengatakan
tidak—mampu mengakomodasi arus modernitas yang begitu deras. Dalam
konteks ini, fenomena internal conversion sejumlah penganut Islam
moderat ke Islam garis keras harus dibaca sebagai ”tamparan” serius
terhadap kalangan Islam moderat yang kurang tanggap dalam merumuskan dan
menyediakan cetak-biru moderatisme Islam yang lebih aplikatif. Memang
apa yang telah dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah merupakan upaya
rintisan bagi proses terbentuknya versi moderat Islam Indonesia (the making of moderate Islam).
Tetapi untuk merumuskan sebuah cetak-biru Islam moderat Indonesia yang
lebih visibel, penggalian kembali khasanah normatif Islam menjadi
pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar.
BIBLIOGRAFI