Jumat, 11 Mei 2012

قال الامام الشاطي


ـ قال الامام الشاطي :
لابد للعالم من مال وجاه حتى لايزل لأحد ولا يحتاج إلى أحد .

Doa Kelancaran Rizqi

1. Sholat Hajat Khusus

Digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti memperoleh rejeki.
Apabila sholat hajat kita khususkan pada keinginan tertentu maka harus
disempurnakan dengan Wirid sholat hajat dan dilakukan paling utama
lewat jam 01.00 malam

2.Wirid khusus agar cepat terkabul memperoleh rejeki:

A.Sholat Hajat 4 rokaat tanpa salam dan sekali duduk
Pada rokaat pertama membaca Al-Ikhlas 10 kali
Pada rokaat kedua membaca Al-Ikhlas 20 kali
Pada rokaat ketiga membaca Al-Ikhlas 30 kali
Pada rokaat keempat membaca Al-Ikhlas 40 kali

B.Tawassul (mengirim doa surat Al Fatihah) 7 kali kepada :
Rasullulah SAW, sahabat dan keluarganya
Syekh Abdul Qadir Jailani
Syekh Hasan Sadzali
Seluruh kaum muslimin dan muslimat

C.Setelah itu membaca Istighfar sebanyak 100 kali
”Astaghfirullah Al’Azhiim”

D.Membaca Salawat Nabi sebanyak 100 kali
”Allahumma Shalli ’Alla Sayyidinaa Muhammadin
Shalaatar Ridha Wardha’an Ashhaabihii Ridha Ar Ridhaa”

E.Membaca Ayat Kursi sebanyak 165 kali
”Allaahu Laa Ilaaha Illaa Huwal Hayyul Qayyuum Laa Ta’Khudzuhuu
Sinatuw Walaa Nauum Lahuu Maa Fis Samaawaati Wal Ardh
Man Dzal Ladzii Yasyfa’u ’Indahuu Illaa Bi Idznih Ya’lamu Maa Baina
Aidiihim Wa Maa Khalfahum Walaa Yuhiithuuna Bisyai-im
Min ’Ilmihii Illaa Bimaa Syaa-a Wasi’a Kursiyyuhus Samaawaati
Wal Ardha Walaa Ya’uduhuu Hifzhuhumaa Wa Huwal ’Aliyyul ’Azhiim”

F.Membaca 4 kalimat Thayyibah sebanyak 300 kali
Yaa Kaafi - Yaa Ghany – Yaa Fattah – Yaa Razzaq

G.Setelah itu berdoa sesuai dengan apa yang diinginkan

Rabu, 09 Mei 2012

EKSEMPLAR MODERATISME ISLAM INDONESIA

Refleksi dan Retrospeksi atas Moderatisme NU dan Muhammadiyah

Oleh: Masdar Hilmy, MA., Ph.D.

(Asisten Direktur Kemahasiswaan dan Kerjasama Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, alumnus Doktoral dari the University of Melbourne Australia)
Pendahuluan
Pada sebuah konferensi tahunan ke-33 Association of Muslim Social Scientists (AMSS) yang diselenggarakan pada 24-26 September 2004 di George Mason University Law School di Arlington, Virginia, AS, dengan tema “Revisioning Modernity: Challenges and Possibilities for Islam”, sejumlah kertas kerja coba mengkritisi dan mereformulasi apa dan siapa Muslim moderat itu. Salah satu kertas kerja mengangkat tema: “Moderate Islam, Progressive Muslims, Democracy, and Post-Islamism”,[2] menggarisbawahi bahwa yang disebut Muslim “moderat” adalah mereka yang menolak pemberlakuan kekerasan sebagai garis ideolog dan perjuangannya. Dalam konteks Amerika dan Barat, konsep dan praksis moderatisme Islam boleh jadi berbeda dari konsep dan praksis yang sama di Indonesia. Di Amerika, konsep moderatisme lebih banyak menekankan pada mentalitas keberagamaan yang kritis-reflektif, pro-demokrasi dan HAM, serta mendukung ideologi sekularisme. Fitur moderatisme terakhir jelas akan problematik jika ditarik ke dalam konteks Islam Indonesia.
Kertas kerja ini hendak membongkar mitos moderatisme Islam Indonesia melalui pengamatan terhadap dua organisasi keagamaan yang selama ini dikenal sebagai “juara” moderatisme Islam: Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pertanyaan yang hendak dikembangkan adalah: apakah betul bahwa pandangan-pandangan keagamaan kedua organisasi ini moderat? Adakah moderatisme Islam yang khas Indonesia? Bagaimana—setelah membongkar mitos—membangun sebuah cetak-biru Islam Indonesia yang aplikatif dan adaptif?
Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kertas kerja ini terbagi ke dalam tiga bagian utama: (1) membahas persoalan semantik di balik nomenklatur moderatisme Islam; (2) analisis terhadap moderatisme NU-Muhammadiyah dalam lanskap Islam Indonesia, dan; (3) membangun sebah cetak-biru moderatisme Islam Indonesia yang lebih aplikatif dan adaptif di kemudian hari.
Persoalan Semantik
            Moderatisme merupakan sebuah istilah atau nomenklatur konseptual yang tidak mudah untuk didefinisikan. Hal ini karena ia menjadi istilah yang diperebutkan pemaknaannya (highly contested concept), baik di kalangan internal ummat Islam maupun eksternal. Ia dipahami secara berbeda-beda oleh banyak orang, tergantung siapa dan dalam konteks apa dia didekati dan dipahami.[3]
            Khasanah pemikiran Islam klasik memang tidak mengenal istilah ”moderatisme”. Namun demikian, penggunaan dan pemahaman atasnya biasanya merujuk pada padanan sejumlah kata dalam bahasa Arab, di antaranya al-wast, al-qist, al-tawazun, al-i’tidal, dan semacamnya. Oleh sejumlah kalangan ummat Islam, kata-kata tersebut terakhir dipakai untuk merujuk pada modus keberagamaan yang tidak melegalkan kekerasan sebagai jalan keluar untuk mengatasi berbagai persoalan teologis dalam Islam. Oleh karena moderatisme merupakan kata yang relatif dan dipahami secara subyektif oleh banyak orang, maka ia selalu mengundang kontroversi dan bias-bias subyektif. Ia juga tidak pernah netral dari berbagai macam kepentingan politik-ekonomi. Sebagai akibatnya, kepelikan semantik semacam inilah yang menyebabkan kita mengalami kesulitan untuk sampai pada tahap konklusif tentang apa dan siapa itu Islam moderat.
            Menyangkut apa dan siapa sebenarnya Muslim moderat tidak mudah dijawab. Jika kita melihat definisi moderat pada kamus bahasa Inggris, maka kita akan menjumpai kata ”moderate” yang bermakna: 1) average in amount, intensity, quality, etc; not extreme [rata-rata dalam jumlah, intensitas, kualitas, dsb; tidak ekstrem]; misalnya jumlah yang tidak banyak atau sedikit, kualitas yang tidak bagus atau jelek, intensitas yang tidak sering dan tidak pula jarang, dst; 2) of or having (usu political) opinions that are not extreme [pandangan politik yang tidak ekstrem; misalnya pandangan politik yang tidak ekstrem kiri tau ekstrem kanan; 3) keeping or kept within limits that are not excessive [menjaga dalam batas-batas yang tidak berlebihan]; makan atau minum dalam batas-batas yang tidak berlebihan.[4]
            Dalam tradisi pemikiran keagamaan, derajat moderatisme paham keberagamaan dipahami secara berbeda-beda sesuai dengan konteks masing-masing lokalitas tertentu. Sekalipun secara generik konsep moderatisme memiliki kerangka pikir yang relatif sama, jika dikaitkan dengan konteks lokalitas tertentu ia berimplikasi pada pemaknaan yang beragam. Secara generik, konsep moderatisme bermakna jalan tengah, pilihan di antara dua kutub ekstremitas pemikiran keagamaan. Dalam tradisi pemikiran keagamaan, kutub ekstremitas seringkali didefinisikan sebagai al-ghuluww –Yusuf al-Qardhawi sering menyebutnya sebagai al-mutatarrif—dan moderatisme sering disebut sebagai al-wast yang berarti jalan tengah (middle-path atau middle-way).[5]
            Jika merujuk secara spesifik pada konteks lokalitas tiap-tiap komunitas atau negara, niscaya akan didapati pemahaman yang beragam tentang konsep moderatisme. Konsep moderatisme di Negara mayoritas Muslim seperti Indonesia jelas berbeda dari konsep moderatisme di Negara minoritas Muslim seperti AS dan negara Barat lainnya. Di Indonesia, konsep moderatisme seringkali dipahami sebagai pemikiran dan paham keagamaan yang tidak mengadopsi dua kutub pemikiran: pemikiran liberal Barat di satu sisi, dan pemikiran ekstrem radikal di sisi lain. Di luar kedua kutub tersebut, setiap orang ingin diasosiasikan sebagai kelompok moderat.
            Dalam konteks pemahaman teologis, moderatisme seringkali diasosiasikan dengan konsep ”la-wa-la”, sebuah istilah yang berkonotasi pada konsep yang bermakna ”tidak-tidak”: tidak ke Barat atau Timur, tidak ekstrem kanan atau kiri, tidak literalis atau liberalis, dan seterusnya. Oleh sebagian kalangan, konsep semacam ini diartikan sebagai sebuah ketidakjelasan bersikap. Kondisi semacam ini menggambarkan absennya fundamen teologis yang semestinya dapat diidentifikasi dengan jelas dan tegas. Sebagian kalangan menolak terma ini atas argumentasi ambiguitas makna yang dikandungnya. Pertanyaan remeh tetapi menggelitik adalah; jika secara konseptual konstruk moderatisme Islam tidak Barat dan juga tidak Timur, tidak liberal dan juga tidak literal, lalu bentuk konkretnya seperti apa?
            Penolakan sebagian orang juga dilandasi oleh sebuah pemikiran bahwa Islam moderat tidak menggambarkan semangat keberagamaan (ghirah diniyah) yang kuat. Mereka menangkap kesan bahwa moderatisme tidak mencerminkan greget beragama yang kaffah. Seolah-olah Islam moderat merupakan format yang tereduksi atau terdegradasi dari model keberagamaan yang kaffah tadi. Dalam pandangan mereka, Islam moderat bukanlah Islam yang sesungguhnya atau kurang derajat keberislamannya. Kelompok semacam ini tidak menghendaki pengatribusian berbagai label yang dilekatkan ke Islam, seperti Islam literal, liberal atau moderat. Dengan demikian, pengatribusian berbagai label ke dalam Islam secara politik mengesankan bahwa realitas Islam terfragmentasi. Mereka mengkonter argumen semacam ini dengan menegaskan bahwa Islam hanya ada satu.[6]
            Sementara itu, pemahaman atas konsep moderat di AS jelas berbeda sebagai paham paham atau pemikiran Islam yang tidak mengadopsi cara-cara kekerasan dalam ber-amar makruf nahi munkar. Dalam konteks Amerika, moderatisme seringkali mengandung bias-bias ideologis-politis-ekonomi sesuai dengan kecenderungan mutakhir yang tengah berlangsung di negeri tersebut. Konteks moderatisme teologis seringkali dikaitkan dengan peristiwa September 11 yang meruntuhkan menara kembar WTC. Serangan al-Qaedah terhadap pusat-pusat peradaban dan kedigdayaan AS dianggap sebagai turning point (titik balik) perubahan paradigmatik dalam memahami konsep moderatisme. Jika sebelum September 11 konsep moderatisme banyak dipahami sebagai varian atau sikap keberagamaan yang nirkekerasan, maka setelah September 11 konsep moderatisme telah diseret sedemikian jauh ke dalam kontestasi identitas keberagamaan untuk mengidentifikasi garis demarkasi yang membedakan identitas pro-Barat dan pro-kelompok ekstremis.
Dengan demikian, bisa dipahami bahwa konsep moderatisme di AS seringkali dipahami secara tumpang-tindih dengan mereka yang mendukung demokrasi, HAM, paham sekularisme, kebijakan Amerika tentang war on terror, dan semacamnya. Di kalangan media AS, kalangan Muslim moderat seringkali diindikasikan sebagai kelompok yang pro-Barat dalam visi politiknya ataupun yang kritis dalam pemikiran keagamaannya.[7] Sementara itu, istilah Islam moderat seringkali dipakai secara pejoratif sebagai mereka yang visi keberagamaannya sekuler dan secara normatif kurang ”Islami.” Di AS, Muslim moderat adalah mereka yang menerapkan versi Islam yang lebih lunak—semacam keberislamannya John Esposito dan Karen Armstrong—yang mau hidup secara berdampingan dengan non-Muslim dan merasa nyaman dengan demokrasi dan pemisahan agama dan negara.
Konteks politik global juga sering menjadi konsideran dalam memaknai moderatisme Islam.[8] Dalam kaitannya dengan konsep moderatisme, respon politik sekelompok Muslim atas konstalasi politik global sering menjadi pertimbangan lain untuk memahami konsep moderatisme. Kelompok Muslim yang tidak merespon secara keras terhadap konflik Israel-Palestina banyak dianggap sebagai kelompok moderat. Atau, dalam konteks pendudukan pasukan multinasional di sejumlah negara berpenduduk Muslim seperti di Afghanistan dan Irak, kelompok Muslim moderat adalah mereka yang tidak menentang pendudukan tersebut, bahkan seringkali mendukungnya dengan alasan demokratisasi. Intinya, kelompok Muslim moderat adalah mereka yang tidak menunjukkan respon berlebihan terhadap konflik yang melibatkan negara berpenduduk Muslim di satu sisi, dengan pihak Barat di sisi lain.
Eksemplar Moderatisme Islam Indonesia: NU dan Muhammadiyah
Dalam konteks Indonesia, pertanyaannya adalah: apa dan bagaimana bentuk moderatisme Islam itu? Siapakah individu dan atau kelompok ummat Islam yang bisa diklasifikasikan sebagai kelompok moderat? Apakah Muhammadiyah, NU, atau organisasi dan atau individu lainnya? Sebuah pertanyaan sederhana tetapi sulit dijawab, terutama ketika kita melihat betapa variatifnya modus keberagamaan ummat Islam di Indonesia. Islam Indonesia terdiri dari hamparan spektrum ideologi, paham, pemikiran sekaligus aksi ummat Islam yang merentang jauh dari ekstrem paling kanan hingga ekstrem paling kiri.
Sebelum kita mengidentifikasi apa, siapa dan bagaimana Islam moderat dalam konteks Indonesia, tentu saja dibutuhkan sebuah kerangka kerja konseptual (conceptual framework) yang hendak digunakan untuk mengukur derajat moderatisme. Memang keragka kerja moderatisme versi Islam Indonesia boleh jadi berbeda dari kerangka kerja di belahan dunia Muslim lainnya, baik di negara Islam mayoritas maupun minoritas. Konteks sosio-politik di setiap negara jelas memiliki andil signifikan dalam membentuk dan memola pemahaman atas konsep moderatisme. Selain itu, perkembangan sebuah konsep selalu berevolusi sesuai dengan derap langkah perkembangan masyarakat bersangkutan.[9]
Memang secara umum kelompok moderat menempati titik tengah dalam spektrum pemikiran keislaman. Namun, jika diamati secara seksama, di dalam spektrum Islam moderat juga terdapat sub-spektrum yang merentang dari moderatisme-radikal, moderatisme-tengah, hingga moderatisme-lunak. Moderatisme-radikal dapat dicirikan sebagai paham, pemikiran dan atau gerakan keagamaan radikal salafi yang menganjurkan kembali kepada modus keberagamaan asali yang diambil dari sumber-sumbernya yang otentik: Al-Qur’an dan Hadith. Mereka cenderung menolak modus keberagamaan yang mendasarkan diri pada khasanah pemikiran ulama klasik.[10] Mereka juga menolak peradaban Barat dengan segala macam derivasinya seperti demokrasi, HAM, masyarakat sipil, dan semacamnya, tetapi melalui cara-cara damai, bukan kekerasan.
Menurut Erich Kolig dan Greg Fealy melalui penelitiannya masing-masing, konsep moderatisme Islam bukanlah entitas yang memiliki sekat-sekat pembatas yang tegas dan jelas.[11] Hal ini terutama karena pandangan moderatisme Islam tidak ditopang oleh sitem teologis yang benar-benar solid dan autentik. Klaim-klaim moderatisme lebih banyak disandarkan pada tiadanya ekstremitas dalam merespon atau bersikap atas sebuah pemikiran. Mayoritas kaum moderat, dalam asumsi teoretik penulis, lebih banyak dihuni oleh kalangan ”massa mengambang” (floating mass) yang tidak ditopang oleh ”narasi tebal” teologis-filosofis.[12]
Kelompok ”massa mengambang” adalah segolongan ummat yang cenderung tidak sepenuhnya memedulikan atau tidak memiliki basis argumentasi yang jelas dalam bersikap dan beragama.[13] Pendasaran dalam beragama mereka lebih banyak dilakukan melalui faktor-faktor lingkungan sosiologis yang memiliki daya koersi terhadap pengambilan keputusan kalangan mayoritas dalam mengadopsi sikap keagamaan mereka. Artinya, kecenderungan sikap beragama mereka lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan pragmatis-sosiologis belaka, bukan argumentasi atau narasi teologis yang mendalam. Sebagai akibatnya, sikap dan pandangan keagamaan mereka cenderung mengikuti arus angin, tergantung pada praktik beragama yang tengah menadi arus-utama. Secara sederana, sikap beragama semacam ini sering disebut sebagai sikap beragama ikut-ikutan atau—dalam bahasa fiqh disebut sebagai—muqallid, yakni derajat awam dalam strata masyarakat beragama yang hanya mengikuti secara membabi buta apapun yang dihasilkan oleh elit agamawan.
Hal yang sama juga berlaku dalam hal Islam radikal dan liberal. Kelompok Islam moderat sebenarnya menempati ruang tengah di antara dua kelompok mutatarrif tersebut yang memungkinkan keleluasaan bergerak bagi mereka. Secara ideologis, pemikiran Islamisme radikal dapat dengan mudah memengaruhi, mengambil simpati dan pada tahap berikutnya menambah kepenganutan dari kelompok moderat ”massa mengambang” ini. Artinya, pihak paling dekat yang dapat tertular ideologi Islamisme radikal adalah kelompok Islam moderat, bukan kelompok Islam liberal. Sebaliknya, kelompok moderat ”massa mengambang” ini tidak bisa dengan leluasa bergerak ke arah Islam liberal, karena mayoritas penganut Islam liberal dibekali dengan narasi tebal teologi liberalisme yang kuat. Memang sebagian besar penganut Islam liberal berasal dari kalangan Islam moderat, tetapi bukan dari sayap ”massa mengambang” tadi.
Sejumlah pengkaji Islam di Indonesia masih tetap pada pendirian bahwa Islam di negeri ini terdiri dari versi keberagamaan moderat.[14] Posisi moderat ini diwakili, misalnya, oleh dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini dikelompokkan ke dalam versi moderatisme Islam karena ketidaksetujuannya dengan sikap dan pandangan keagamaan kalangan garis keras yang menggunakan cara-cara kekerasan. Kedua organisasi ini juga sejak awal tidak setuju dengan negara Islam, isu laten yang disusung oleh kalangan Muslim garis keras. Bagi keduanya, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai asas ideologisnya, UUD 1945 sebagai basis konstitusinya, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyannya, dianggap sudah cukup mengakomodasi elemen-elemen substantif ajaran Islam moderat yang bervisi rahmatan lil alamin.
Dalam konteks nilai-nilai modernitas, kedua organisasi ini tidak menunjukkan sikap perlawanan terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM.[15] Demokrasi adalah nilai universal yang tidak hanya dijumpai di negara-negara demokrasi maju seperti Eropa Barat dan AS, tetapi juga bisa digali dari ajaran Islam karena pada dasarnya Islam sejalan dengan demokrasi. Demikian pula dengan HAM, kedua organisasi ini secara umum menegaskan bahwa Islam sangat mengapresiasi HAM sebagai elemen penting dalam kehidupan ummat manusia. Karena HAM pula, Islam terbukti mampu meninggalkan tradisi perbudakan pada masa lalu.
Selain penerimaan terhadap nilai-nilai modernitas, Islam di Indonesia—terutama kedua organisasi keagamaan di atas—juga dikenal dengan tradisi toleransi atas perbedaan paham keagamaan.[16] Jika ditelusuri secara genealogis, Islam Indonesia sebenarnya memiliki tradisi toleransi beragama yang kental, bahkan sejak sebelum Islam datang dan menjadi agama mayoritas di negeri ini. Islam Indonesia sejatinya memiliki mata rantai yang tidak terputus dengan tradisi toleransi yang ada pada masa Hindu-Budha, di mana persandingan antara elemen Hindu dan Budha dalam satu lokus merupakan keniscayaan sejarah, seperti kuil atau candi Hindu-Budha yang berdiri berdampingan.[17]
Pertanyaannya adalah, apakah seluruh anggota NU dan Muhammadiyah dapat dipastikan memiliki haluan pemikiran moderat seperti tergambar di atas? Mengikuti spektrum pemikiran yang telah disketsakan di atas, penulis berargumen bahwa tidak seluruh warga kedua organisasi tersebut dipastikan memiliki haluan moderat. Jika diuraikan lagi, tipologi warga dan penganut kedua organisasi tersebut dapat dipetakan menjadi tiga kelompok: 1) moderatisme-radikal, 2) moderatisme-tengah, dan 3) moderatisme-lunak.
Kelompok pertama merujuk pada sekelompok individu yang memiliki kecenderungan ideologi keagamaan puritan dan dekat dengan ideologi garis keras. Bahkan sebagian dari mereka ada yang sudah bermetamorfosis secara ideologis dengan gerakan garis keras dan menjadi bagian penting dari rank-and-file organisasi keagamaan garis keras seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), dan semacamnya. Kelompok-kelompok garis keras tersebut menjadikan penganut NU-Muhammadiyah sebagai ”lahan dakwah” ideologi mereka. Bahkan di sejumlah daerah di Jawa Timur, terdapat beberapa elit NU yang juga merangkap sebagai juru bicara HTI.[18]
Sementara itu, kelompok moderatisme-lunak merujuk pada satu segmen terbanyak dari NU-Muhammadiyah yang mayoritas diisi oleh ”massa mengambang” atau Muslim awam dengan tingkat pengetahuan keagamaan yang cukup terbatas. Kelompok kedua ini menempati segmen terbesar dari kedua organisasi tersebut. Oleh karena sikap moderatisme mereka lebih karena ikut-ikutan atau karena pertimbangan sosiologis-pragmatis belaka, maka mereka menghadapi kerentanan menjadi potential recruits bagi organisasi garis keras. Hal ini terjadi ketika mereka bertemu dengan salah seorang ustadz (murabbi) dari kelompok garis keras dan sang ustadz mampu melakukan brainwashing yang dapat berujung pada internal conversion di kalangan mereka.
Kelompok moderat ketiga adalah mereka yang secara keagamaan merupakan kelompok terpelajar (deeply-learned) dalam ilmu-ilmu keagamaan atau pesantren yang belakangan menjadi agen atau aktor perubahan sosial di lingkungan masing-masing. Mereka pada umumnya adalah para kyai alumni pesantren, baik pesantren salaf maupun khalaf, yang memiliki pengetahuan mendalam tentang khasanah keilmuan Islam klasik dan modern. Kelompok ini merepresentasikan pemain utama (makers) dalam proyek moderatisme Islam Indonesia yang mampu menggerakkan kesadaran keberagamaan bagi jutaan penganut kedua organisasi tersebut.
Secara kuantitatif jumlah kelompok ini barangkali sangat sedikit—mungkin jauh lebih sedikit dari dua kelompok sebelumnya. Namun demikian, dalam kapasitasnya sebagai agen perubahan sosial, mereka menempati struktur kelas sosial yang paling penting dalam konfigurasi moderatisme Islam Indonesia yang pada gilirannya mampu menginspirasi jutaan pengikutnya akibat gagasan-gagasan moderatisme yang kuat (powerful ideas of moderatism). Kelompok terakhir inilah yang banyak diharapkan mampu menghasilkan pemikiran atau bahkan cetak-biru moderatisme Islam Indonesia yang lebih aplikatif dan integratif.
Di luar catatan positif tentang penerimaan kedua organisasi keagamaan terbesar tersebut atas NKRI, Pancasila, UUD 1945, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, nilai-nilai demokrasi dan HAM, ada satu fitur yang seringkali menjadi penanda Islam moderat dalam konteks Barat tetapi kehadirannya ditolak oleh keduanya: sekularisme. Hampir seluruh lapisan Islam moderat di Indonesia tidak menerima kehadiran sekularisme karena ia dianggap mengandung bias-bias moderatisme khas Barat—yang sangat boleh jadi—berbeda dari konsep moderatisme Islam di Indonesia. Penolakan secara mayoritas ini memang perlu pembuktian empiris di lapangan; namun tiadanya preseden penerimaan sekularisme sepanjang sejarah ummat Islam hampir bisa dipastikan menjadi faktor penting di balik penolakan tersebut. Nomenklatur pemikiran Islam klasik hanya mengenal doktrin Islam sebagai perpaduan antara agama (din) dan negara (dawlah).[19] Dengan kata lain, sekularisme banyak dipahami sebagai ”alien” dalam lanskap pemikiran dan praktik keberagamaan Muslim Indonesia.
            Derajat moderatisme Islam Indonesia juga sering ditentukan oleh cara pandang ummat Islam terhadap teks suci (al-Qur’an da Hadith). Kalangan Muslim yang banyak bertumpu pada konteks dalam memahami ayat-ayat Allah atau Hadth Nabi sering disebut sebagai kelompok tekstualis. Kelompok inilah yang diasosiasikan sebagai penghuni utama posisi moderat. Sebaliknya, kelompok Muslim yang cenderung menggunakan pendekatan literal (harafiyah) sering diasosiasikan sebagai kelompok literalis (radikal). Penggunaan kedua pendekatan ini dapat dilihat, misalnya, dalam memahami bentuk Negara yang ideal menurut Islam. Terhadap isu ini, kelompok moderat cenderung menggunakan referensi modern dalam membangun argumentasi mereka tentang bentuk ideal sebuah Negara. Sebaliknya, kelompok literal cenderung mengambil beberapa kata atau istilah dalam kedua sumber suci tersebut yang dianggap mengindikasikan kebenaran, misalnya melalui kata khilafah untuk diterjemahkan menjadi Dawlah atau Khilafah Islamiyah, segaimana diusung oleh kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).[20]
Namun demikian, pendemarkasian antara kelompok literalis dan kontekstualis merupakan kategori yang problematis. Hal ini karena masing-masing kelompok ini tidak menerapkan pendekatan metodologisnya secara konsisten dan permanen. Penanda kedua karakteristik ini bahkan semakin memerlihatkan pembauran dan sekaligus saling bertukar. Terdapat saat-saat tertentu di mana kaum literalis lebih mengedepankan konteks dalam memahami doktrin keagamaan. Sebaliknya, ada saat-saat tertentu ketika kaum kontekstualis menghampiri teks suci secara literal. Misalnya, banyak kelompok literalis lebih mengutamakan konteks dalam tata-cara berpakaian (dress-code), sementara itu kaum kontekstualis terkadang sangat literal dalam memahami aspek ibadah.
Menuju Cetak-biru Moderatisme Islam Indonesia
Sistem berteologi yang di dalam dirinya (in itself sufficient) menopang terhadap praksis keberagamaan moderat menjadi sine qua non dalam spektrum moderatisme Islam Indonesia. Ia haruslah memancar menerangi ruang publik keberagamaan Indonesia. Jika selama ini konsep moderatisme Islam seringkali dipersandingkan dengan modalitas-modalitas eksternal seperti warisan budaya-spiritual leluhur bangsa yang digali dari anasir-anasir non-Islam, sudah saatnya ummat Islam menggali dari ajaran Islam paling autentik untuk merumuskan cetak-biru moderatisme Islam Indonesia, yakni sebuah bangunan konseptual yang berpijak pada modalitas internal.
Memang NU dan Nuhammadiyah harus diapresiasi sebagai organisasi keagamaan yang telah memelopori terbentuknya modus keberagamaan moderat, terlepas dari sulitnya me-landing-kan rumusan moderatisme ke dalam praksis kehidupan beragama. Rumusan cetak-biru kedua organisasi ini di satu sisi diinspirasi secara langsung oleh doktrin normatif Islam, namun bisa dianggap sebagai local genius aktualisasi pemikiran keagamaan yang tidak ditemukan di belahan dunia Islam lain. Dalam rumuan yang kurang lebih sama, Malaysia memiliki formula ”Islam Hadhari”, sebuah nomenklatur pemikiran Islam yang secara khsus dirancang untuk mengakomodasi pergulatan teologis antara dimensi al-asalah (autentisitas asali) dengan dimensi al-hadlarah (peradaban modern-kekinian).[21]
Agak mirip dengan format Islam hadhari versi Malaysia, di negeri ini juga sempat populer format keberagamaan ”masyarakat madani”.[22] Digagas oleh sekelompok ilmuwan-intelektual dari kalangan Muslim ”modernis” pada awal dekade 1990-an, ”masyarakat madani” segera menjadi sebuah nomenklatur politik Islam yang banyak dielu-elukan oleh banyak kalangan sebagai representasi model keadaban Islam Indonesia. ”Masyarakat madani” merepresentasikan membuncahnya kelas menengah Muslim di atas panggung politik nasional, setelah pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru mereka lebih banyak dimarginalkan oleh rezim penguasa. Lebih penting lagi, ”masyarakat madani” merepresentasikan versi keberagamaan Islam moderat yang memadukan antara dimensi modernitas dan dimensi primordialitas identitas keagamaan.
Jika dilihat dari perjalanan sejarahnya sejak penerimaan asas tunggal Pancasila pada Muktamar Situbondo 1984 yang belakangan dikenal sebagai gerakan kembali ke Khittah 26, NU sebenarnya telah memperlihatkan pergerakan pendulum keberagamaan ke tengah titik-tengah moderatisme. Perjalanan sejarah keberagamaan di kalangan NU tentu saja memperlihatkan dinamika internal yang sangat beragam dan fluktuatif, dan tantangan dari kalangan sayap kanan untuk mempertanyakan serta meruntuhkan bangunan moderatisme Islam akhir-akhir ini tidak bisa dianggap remeh.
Untuk menopang bangunan moderatisme Islam, sejumlah ulama NU kenamaan—seperti al-maghfur lahum KH. Achmad Siddiq, KH. Ali Maksum, KH. As’ad Syamsul Arifin dan lain-lain—telah merumuskan sebuah peta jalan beragama (road-map to moderate Islam) yang disebut sebagai teologi ahlussunnah wal jama’ah (sering disingkat Aswaja), yakni jalan beragama yang mengikuti Rasulullah SAW, para Sahabatnya, para Tabi’un, dan segenap al-salaf al-shalih yang diasumsikan dapat menjamin kemurnian ajaran agama.[23]
Bangunan moderatisme teologis NU ditopang oleh ”trilogi” ajaran: al-tawassuth (pertengahan), i’tidal (tegak lurus, tidak condong ke kanan atau ke kiri), dan al-tawazun (keseimbangan, tidak berat sebelah antara dimensi duniawi dan ukhrawi).[24] Konsep al-tawassuth diderivasi dari ayat al-Qur’an (Al-Baqarah: 143), konsep al-i’tidal diderivasi dari QS al-Ma’idah: 8, sementara itu konsep al-tawazun diambil dari QS al-Hadid: 25. Manifestasi ketiga prinsip dan karakter di atas, menurut sejumlah ulama NU, harus ditampakkan pada seluruh bidang ajaran Islam seperti bidang akidah, shari’ah, tasawwuf dan akhlak, bidang mu’asharah (pergaulan sosial), bidang kehidupan bernegara-bangsa, bidang kebudayaan, bidang dakwah, dan bidang-bidang lain.[25]
Sebagai sebuah modalitas, tentu saja rumusan Aswaja tersebut baru sebatas ”cikal-bakal” cetak-biru moderatisme, dan belum ceak-biru itu sendiri. Ia bukanlah rumusan ideal yang dapat mengakomodasi seluruh kecenderugan baru dalam kehidupan beragama yang jauh lebih kompleks dan menantang. Hal lain dari kosmologi keberagamaan ala NU dan pesantren adalah dipergunakannya sejumlah perangkat metodologis yang dipakai untuk menghampiri Islam melalui kedua sumbernya: al-Qur’an dan Hadith. Perangkat metodologis tersebut seperti kaidah ushuliyyah, kaidah ushul fiqh, maslahah, istihsan, istihsab, qawl sahabi, sadd al—dhara’i, dan sebagaianya.
Penggunaan sejumlah perangkat metodologis di atas dalam aras pemikiran NU dapat diibaratkan pedang bermata ganda; di satu sisi ia cenderung melanggengkan ortodoksi keagamaan akibat perujukan yang tidak langsung terhadap al-Qur’an da Hadith. Namun di sisi lain, penggunaan perangkat tersebut meruangkan eksperimentasi dan artikulasi berpikir yang dapat menumbuhkan kreativitas dan kebebasan berpikir melalui pemanfaatan metode ilhaqi dalam proses istinbath hukum Islam. Harus diakui, dari sinilah sebenarnya kecerdasan lokal yang membuahkan terobosan dan lompatan berpikir terlahr dari rahim NU. Kemunculan kecenderngan berpikir progressif, bahkan liberal, di sejumlah kalangan anak muda NU sebenarnya mereprsentasikan berfungsinya perangkat-perangkat metodologis di atas dalam dialektika pemikiran keagamaan kontemporer.[26]
Di kalagan penganut Muhammadiyah, di sisi lain, apresiasi terhadap khasanah pemikiran dan metodologi ijtihadi sebagaimana banyak dikembangkan di tubuh NU praktis kurang terawat dengan baik akibat pembakuan slogan ”al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah” (kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah nabi SAW).[27] Untuk konteks Islam Indonesia, penggunaan perangkat metodoogis bagi proses pembaruan sebenarnya diperkenalkan pertama kali oleh Muhammadiyah, bukan oleh NU. Pendirian Muhammadyah pada mulanya diinspirasi oleh keprihatinan sejumlah elit Muslim atas kondisi keterbelakangan ummat. Keprihatinan inilah yang pada tahap selanjutnya melahirkan benih-benih pembaruan pemikiran Islam (tajdid dan ijtihad), yang di kalangan NU bahkan banyak dianggap sudah tertutup.
Penerimaan dan pemanfaatan perangkat metodologis semacam ini terbukti telah mengantarkan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu par excellence dan, karenanya, mendapatkan julukan sebagai organisasi modernis—karena visi positif-responsif terhadap modernitas. Melalui gerakan tajdid, Muhammadiyah mulai melancarkan serangkaian proses pembaruan di tubuh internal ummat Islam Indonesia. Sekalipun mendapatkan perlawanan dan resistensi dari kalangan Muslim tradisionalis, gerakan pembaruan Muhammadiyah seakan berada pada jalur point of no return, dan belakangan banyak mengambil kepenganutan dari kalangan Muslim tradisionalis. Salah satu contoh gerakan pembaruan yang dilakukan oleh Muhammadiyah yang belakangan diamini dan bahkan diikuti oleh kalangan tradisionalis adalah mengubah bahasa pengantar dalam khutbah Jum’at dan dua hari raya dari bahasa Arab—sebagaimana jamak dijumpai di kalangan tradisionalis—ke bahasa lokal dan nasional.[28]
Namun ibarat pedang bermata ganda, disamping menjadi batu loncatan bagi proyek pembaruan, slogan ”kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah/Hadith Nabi” mungkin saja telah membunuh semangat pembaruan dari dalam.[29] Kejumudan berpikir menjadi isu kritis yang banyak dilontarkan kepada Muhammadiyah akhir-akhir ini, terutama ketika generasi muda yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang hendak meremajakan kembali semangat tajdid banyak ditentang oleh sebagian generasi tua. Pertentangan antar-generasi ini bahkan telah menelan ”korban.” Mohammad Shofan, salah seorang tenaga pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik, diberi sanksi berupa pemecatan sebagai dosen akibat gagasan-gagasannya yang dianggap anomali dengan paham keagamaan arus-utama di Muhammadiyah.
Berkebalikan dari apa yang dialami oeh Muhammadiyah, pemanfaatan metodologi pembaruan oleh NU masih belum cukup mengantarkan organisasi ini menjadi organisasi pembaharu, meskipun belakangan ini terjadi lompatan-lompatan paradigmatik-metodologis di kalangan generasi muda NU akibat pencerahan pendidikan. Selain itu, identitas tradisionalisme NU lebih disebabkan oleh apresiasi yang cukup berlebihan atas khasanah pemikiran ulama klasik sebagaimana terekam dalam kitab kuning.[30] Dengan demikian, apresiasi terhadap khasanah pemikiran klasik berakna bahwa NU sangat menjunjung tinggi khasanah tradisi yang belakangan menjadi modalitas organisasi ini menapaki tradisi pemikiran ”post-tradisionalisme.”
Kerja-kerja moderatisme Islam membutuhkan perluasan, pendalaman dan penggalian yang lebih autentik atas khasanah tradisi Islam klasik, mulai dai sirah Nabawiyah, kehidupan sahabat, hingga praktik al-salaf al-salih melalui perspektif modernitas. Namun, kerja-kerja moderatisme Islam pada ujungnya meniscayakan cara pandang ummat Islam terhadap al-Qur’an dan Hadith; Kapan kita harus menempatkan keduanya sebagai rujukan langsung dan kapan kita menempatkan keduanya sebatas sebagai basis etika. Memang betul bahwa Islam moderat dan Islam radikal sama-sama menempatkan al-Qur’an dan Hadith sebagai basis normatif dalam mengembangkan sikap keberagamaan mereka. Namun, istilah ”basis normatif” memiliki konotasi makna yang beragam; mulai dari rujukan langsung sampai sebatas sumber inspirasi. Ada hal-hal yang secara literal harus merujuk langsung pada kedua sumber tersebut dan, oleh karena itu, diterima serta dipraktikkan apa adanya; namun ada hal-hal yang diambil semangatnya saja. Di sinilah derajat moderatisme Islam akan dipertaruhkan.
Dalam konteks inilah, tajdid menemukan signifikansinya dalam membangun modus kebergamaan moderat. Ajaran-ajaran yang sudah anakronistik dengan semangat zaman—karena bias budaya lokal Arab, misalnya—dapat dimoderasi melalui mekanisme metodologis istinbath atau tajdid tersebut. Ajaran Islam yang mengandung dimensi hablun min Allah (ibadah ritual-vertikal) bisa diambil secara letterlijk, apa adanya. Sementara itu, dimensi ajaran hablun min al-nas (dimensi sosial-horizontal-publik) yang mengatur pola interaksi antar-sesama manusia dalam sebuah wadah institusi Negara bisa dimoderasi melalui tajdid sesuai dengan konteks perkembagan zaman atau perubahan ruang dan waktu.
Jika konsep moderatisme Islam selama ini lebih banyak berjalan secara sentripetal, maka sekarang ini sudah saatnya menarik pendulum konsep moderatisme ke arah sentrifugal ajaran Islam. Jika modus yang pertama lebih banyak mengandalkan kelenturan Islam untuk mengadaptasikan dirinya dengan aspek eksternal khasanah keindonesiaan, maka modus yang kedua lebih banyak bertumpu pada penggalian ke dalam ajaran Islam itu sendiri, untuk kemudian merelevansikannya dengan khasanah keindonesiaan. Metode dan pendekatan penggalian tersebut tidak selamanya dilakukan secara letterlijk, dalam artian menggali norma-norma ajaran Islam yang mengandung aspek moderatisme dari sumber-sumber yang paling autentik. Metode atau pendekatan dimaksud bisa berupa—meminjam kerangka metodologis Fazlur Rahman—”double movement” yang dilakukan dengn cara mengonsultasikan modernitas dengan konteks ajaran Islam normatif ketika ia diwahyukan, untuk kemudian dikembalikan lagi pada konteks sekarang.[31]
Catatan akhir
Dengan rumusan-rumusan di atas dapat disimpulan bahwa sebenarnya banyak jalan menuju moderatisme Islam Indonesia. Ummat Islam sudah saatnya menunjukkan bahwa konsep dan praksis moderatisme bukanlah sekadar mitos yang melangit, tetapi realitas yang membumi. Ummat Islam juga harus disadarkan bahwa rumusan-rumusan yang ada selama ini kurang—untuk tidak mengatakan tidak—mampu mengakomodasi arus modernitas yang begitu deras. Dalam konteks ini, fenomena internal conversion sejumlah penganut Islam moderat ke Islam garis keras harus dibaca sebagai ”tamparan” serius terhadap kalangan Islam moderat yang kurang tanggap dalam merumuskan dan menyediakan cetak-biru moderatisme Islam yang lebih aplikatif. Memang apa yang telah dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah merupakan upaya rintisan bagi proses terbentuknya versi moderat Islam Indonesia (the making of moderate Islam). Tetapi untuk merumuskan sebuah cetak-biru Islam moderat Indonesia yang lebih visibel, penggalian kembali khasanah normatif Islam menjadi pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar.



BIBLIOGRAFI
Abdillah, Masykuri (1997). Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy. Hamburg: Abera Verlag Meyer & Co. KG.
Suaidi Asy’ari (2007). “A Real Threat from Within: Muhammadiyah’s Identity Metamorphosis and the Dilemma of Democracy,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 01, No. 01 (June 2007), 18-41.
Ayubi, Nazih (1991). Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. London & New York: Routledge.
Azra, Azyumardi (2006). Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context. Jakarta: Equinox Publishing.
Bokhari, Kamran A. (2004). “Moderate Islam, Progressive Muslims, Democracy, and Post-Islamism”, kertas kerja disampaikan pada The 33rd Annual Conference of the Association of Muslim Social Scientists (AMSS) yang diselenggarakan pada 24-26 September 2004 di George Mason University Law School di Arlington, Virginia, AS.
Chalil, Moenawar (1956). Kembali kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Djakarta: Bulan Bintang.
Chong, Terence (2006). “The Emerging Politics of Islam Hadhari,” dalam Saw Swee-Hock & K. Kesavapany (Eds.), Malaysia: Recent Trends and Challenges. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Eickelman, Dale F.  and James Piscatori (1996). Muslim Politics. Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Esposito, John L. “Moderate Muslims: A Mainstream of Modernists, Islamists, Conservatives, and Traditionalists,” American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 22 (Summer 2005), No. 3.
Fealy, Greg. “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?,” Southeast Asian Affairs 2004 (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004), pp. 104-121.
Fuller, Graham E. (2005). “Freedom and Security: Necessary Conditions for Moderation” American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 22 (Summer 2005), No. 3, 21-28.
Hefner, Robert W. (2000). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.
Hilmy, Masdar (2011). “Moderatisme Islam Indonesia,” Kompas, 22 Oktober 2011, 6.
Hilmy, Masdar (2010). Islamism and democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism. Singapore: ISEAS.
Ida, Laode (2004). NU Muda: Kaum Progresif dan Sekuler Baru. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Khan, M.A. Muqtedar (2005). “Islamic Democracy and Moderate Muslims: The Straight Path Runs through the Middle,” American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 22 (Summer 2005), No. 3, 40.
Kolig, Erich (2005). “Radical Islam, Islamic Fervour, and Political Sentiments in Central Java, Indonesia,” European Journal of East Asian Studies 4, No. 1 (2005).
Mulkhan, Abdul Munir (2010). Kiai Ahmad Dahlan: jejak pembaruan sosial dan kemaanusiaan, kado satu abad. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Muzadi, KH. Abdul Muchith (2007). NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran (Refleksi 65 Th. Ikut NU). Surabaya: Khalista, 2007.
Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1994.
Piscatori, James P. (1986). Islam in a World of Nation-States. Cambridge: Cambridge University Press.
Rahardjo, M. Dawam (1999). Masyarakat madani: agama, kelas menengah, dan perubahan sosial. Jakarta: LP3ES.
Rahman, Fazlur (1984), Islam and Modernity: transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: Chicago University Press.
Ramage, Douglas (1995). Politics in Indonesia: Democracy, Islam, and the Ideology of Tolerance. London & New York: Routledge.
Ricklefs, M.C. “Six Centuries of Islamization in Java,” dalam Nehemia Levtzion (Ed.), Conversion to Islam (New York: Holmes & Meier Publishers, Inc., 1979), 100-128.
Roff, William R. (Ed.) (1987), Islam and the Political Economy of Meaning. London & New York: Routledge.
Sairin, W (1995). Gerakan Pembaruan Muhammdiyah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Salim H.S., Hairus & Muhammad Ridwan (Ed.) (1999), Kultur Hibrida: anak muda NU di jalur Kultural. Yogyakarta: LKiS.
Sholeh, Shonhadji (2004). Arus Baru NU: Perubahan pemikiran kaum muda NU dari tradisionalisme ke post-tradisionalisme. Surabaya: Jawa Pos Books.
Siddiq, KH. Achmad (2006). Khittah Nahdliyyah. Surabaya: Khalista bekerjasama dengan LTN-NU Jawa Timur.
van Bruinessen, Martin (1990). “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146 (1990), 226-269.
van Bruinessen (1995), Martin. Kitab Kuning, pesantren, dan tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Badung: Mizan.
Voll, John Obert (1994). Islam Continuity and Change in the Modern World. Syracuse, New York: Syracuse University Press.
Wehr, Hans (197). Modern Written Arabic. Gӧttingen: Otto Harrassowitz Verlag.