Rabu, 09 Mei 2012

PENDIDIKAN ISLAM DI ERA INDUSTRIALISASI (KAJIAN SOSIO-HISTORIS)[1]
Oleh: Dr. Masdar Hilmy, MA
(Dosen IAIN Sunan Ampel dan Asisten Direktur Kemahasiswaan dan Kerjasama Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)
 Pendahuluan
Dalam sejumlah literatur sosiologi, pendidikan sering digambarkan sebagai entitas tidak terpisahkan dari dunia industri. Keduanya ibarat dua sisi dari stu mata uang yang sama dan membentuk sebuah mata-rantai yang saling terhubung, saling menciptakan dan tergantung. Dunia pendidikan menciptakan industri dan industri menginspirasi pendidikan. Cetak biru indutrialisasi yang dimulai sejak revolusi industri di Inggris pada awal abad kesembilanbelas merupakan aktualisasi sejarah yang dirancang di rung-ruang belajar yang berawal dari sebuah paradigma keilmuan tertentu yang inspiratif dan kondusif bagi kelahiran peradaban industri. Sebaliknya, dunia industri selalu merangsang dunia pendidikan untuk selalu responsif terhadap kebutuhan industri. Dengan kata lain, di Eropa dan dunia Barat pada umumnya, di mana mentalitas dan peradaban industrial modern terlahir, jalinan industri-pendidikan bersifat saling mengandaikan satu sama lain.
Namun jika ditelusuri secara genealogis, sejarah industri dan industrialisasi sebenarnya bisa kita temukan di tiap-tiap relung peradaban ummat manusia, mulai dari peradaban purba-primitif hingga peradaban modern-pascamodern; Mohenjodaro dan Harappa, Mesopotamia, Babilonia, Mesir kuno, Aztec, Yunani, Persi, peradaban Muslim, hingga peradaban Barat modern saat ini. Dalam derajat dan manifestasi yang berbeda-beda, niscaya kita dengan mudah akan menemukan nucleus pola kehidupan industri yang menopang kehidupan masing-masing peradaban tersebut. Konsep industri dalam pengertian ini kita tarik dalam konteksnya yang lebih makro dan generik sebagai pandangan dunia setiap individu dan kolektif dalam babakan sejarah tertentu untuk memaknai dan mengatasi kesulitan-kesulitan hidup yang mereka hadapi. Penyiasatan dan solusi terhadap kesulitan tersebut pada gilirannya melahirkan kosmologi dan epistemologi teknikalitas dalam pengertiannya yang paling generik sebagai basis pengembangan teknologi dan industri pada zaman masing-masing. Dalam konteks inilah kita bisa mengatakan bahwa akar sejarah industri dan industrialisasi telah hadir sejak manusia itu ada. Ia bukan semata-mata menyangkut sistem pengetahuan dan keterampilan yang menjadi motor utama industri, tetapi menyangkut sikap mental setiap individu dan kolektif masyarakat pada era masing-masing. Hanya saja, derajat kerumitannya barangkali cukup beragam.
Bagi ummat Islam, kehidupan modern dengan industrialisasinya sebagai penopang utama memiliki relasi yang cukup rumit dan menantang. Pertama, pola relasi di antara keduanya menimbulkan respon dan reaksi yang cukup beragam, mulai dari resistensi hingga akomodasi. Ia tidak jarang dipersepsi secara diametral dalam oposisi biner yang saling bertentangan dan menegasikan satu sama lain. Hal ini terjadi manakala industrialisasi diyakini bukan berasal dari Islam, atau Islam tidak memiliki nucleus kehidupan industri. Industri dan proses idustrialisasi, dalam konteks ini, dipahami sebagai sebuah konsep dan praktik non-Islam, terutama Barat, yang membawa implikasi-implikasi nilai yang khas Barat. Indutrialisasi pada gilirannya dianggap hanya akan menggerus identitas keberagamaan dan meluruhkan nilai-nilai Islam. Jika ini yang terjadi, sikap yang dimunculkan oleh ummat Islam atas industrialisasi niscaya bersifat resisten atau perlawanan.
Spektrum kedua diisi oleh individu-individu yang memilih akomodatif terhadap industri dan industralisasi, melalui penerimaan secara total atas industrialisasi sebagai jalan menyejahterakan ummat manusia. Namun yang perlu dicatat adalah, jikapun sikap yang hendak dibangun komunitas Muslim bersifat akomodatif-responsif terhadap industrialisasi, acapkali mereka mengalami kesulitan besar ketika hendak merumuskan bagaimana cetak-biru industrialisasi yang relevan bagi pola kehidupan Muslim dengan segala atribut, karakter dan identitas keberagamaannya. Tantangan inilah yang hendak dielaborasi dan dijawab melalui kertas kerja ini, dalam segala keterbatasannya. Menurut penulis, membincangkan masalah pendidikan Islam dalam konteks industrialisasi bukanlah persoalan mudah. Ada banyak kepelikan ketika kita hendak mengurai benang kusut di antara keduanya.
 Industrialisasi sebagai Nomenklatur
Kepelikan pertama muncul ketika kita hendak mendekati, mempersepsi dan memahami apa itu industrialisasi. Hal ini penting karena industrialisasi sebagai sebuah konsep tidak pernah dipahami secara monolitik oleh kalangan akademisi. Ia selalu merefleksikan banyak pandangan yang tentu saja berimplikasi pada perbedaan perlakuan atas fenomena idustrialisasi tersebut. Di sinilah diperlukan sikap kehati-hatian agar kita tidak terjebak pada gejala reduksionisme akademik yang berakibat pada misrepresentasi makna atas industrialisasi. Sebab pemaknaan yang salah atas sebuah entitas hanya akan melahirkan efek domino yang kontraproduktif dalam menyikapi sebuah masalah. Inilah persoalan pertama yang harus dijernihkan terlebih dahulu, sebelum kita bergerak pada persoalan industrialisasi dalam kaitannya dengan pendidikan Islam.
Menurut Hewitt, industrialisasi dapat didefinisikan ke dalam tiga cara; (1) sebagai ”the production of all material goods not grown directly on the land” [segala modus produksi barang-barang material yang tidak bisa tumbuh di daerah itu sendiri]; (2) the economic sector comprising mining, manufacturing and energy [sektor kehidupan ekonomi yang terdiri dari pertambangan, industri manufaktur dan energy], dan; (3) ”a particular way of organizing production and assumes there is a constant process of technical and social change which continually increases society’s capacity to produce a wide range of goods” [cara tertentu menyusun poduksi yang di dalamnya mengasumsikan adanya sebuah proses teknik dan perubahan sosial yang berlangsung secara terus-menerus dalam rangka meningkatkan kapasitas masyarakat untuk melakukan produksi sejumlah barang-barang].[2] Dalam definisi yang terakhir ini, industrialisasi dilihat sebagai sebuah proses yang total, berdampak pada kehidupan sosial kemasyarakatan melalui peningkatan kapasitas dan volume barang dan jasa.[3]
Dalam konteks Dunia ketiga, industrialisasi diartikan sebagai “an icrease in the share of the gross domestic product (GDP) contributed by the manufacturing sector” [penambahan pendapatan kotor yang disumbangkan oleh sektor manufaktur].[4] Kosekuensi dari definisi ini adalah kenyataan banyaknya ilmuwan yang mengidentikkan industrialisasi dengan pembangunan yang ditandai dengan meningkatnya GNP, dan berasumsi bahwa peningkatan kesejahteraan ekonomi akan berimplikasi pada trickle-down-effect pada peningkatan kesejahteraan masyarakat akar rumput. Banyak kalangan membantah argumentasi ini. Pertama, industrialisasi tidak sebangun-sejalan dengan pembangunan, karena industrialisasi menimbulkan banyak persoalan baru yang justru merusak lingkungan. Kedua, industrialisasi tidak secara otomatis menciptakan trickle-down-effect. Pada praktiknya, industrialisasi bahkan seringkali menciptakan kesenjangan dan berbagai macam deprivasi sosial-ekonomi masyarakat kelas bawah. 
Selain itu, industrialisasi juga sering dikaitkan dengan dimensi teknokalitas dan ekonomi. Kerr et al. menegaskan bahwa industrialisasi ”tends under any political and economic system to raise materially the level of wages, to reduce the hours of work, and to raise living standards as measured by such conventional means as life expectancy, health and education.”[5] Definisi industrialisasi semacam ini juga belakangan banyak dikritik akibat perspektif monolitik yang menganggap indutrialisasi sebagai persoalan melulu barang-barang keras (hardware minded). Memang, sejarah kesarjanaan yang panjang terlanjur menganggap industrialisasi sebagai bagian dari isu teknologis yang berimplikasi pada nilai-nilai masyarakat. Hal ini terutama karena teknologilah yang membentuk masyarakat. Tetapi, yang lain berargumen bahwa teknologi menyangkut pola relasi sosial dan, karena itu, keputusan untuk mengadopsi teknologi baru merupakan pilihan politis. Artinya, selalu ada dimensi-dimensi sosial-politik-budaya di balik kebijakan negara untuk mengadopsi pilihan-pilihan kebijakan teknologi. Selain itu, tidak ada kebijakan aplikasi teknologi atauu industrialisasi yang secara aksiologis berifat netral.[6] Penerapan teknologi selalu mengandaikan munculnya persoalan ikutan lain yang tidak kalah kompleksnya.
Pandangan terakhir adalah tentang kaitan antara industrialisasi dengan ekonomi global atau globalisasi ekonomi. Pandangan ini meniscayakan kegiatan industrialisasi sebagai bagian tidak terpisahkan dari proyek globalisasi yang—lagi-lagi—diluncurkan oleh peradaban Barat sebagai produsen. Sementara itu, belahan dunia yang lain, termasuk ummat Islam, tidak memiliki pilihan lain kecuali sebagai pihak konsumen yang hanya menerima saja apapun yang diproduksi oleh globalisasi. Modus produksi yang ada di balik kegiatan industrialisasi ini berimplikasi pada ketercerabutan dunia Muslim untuk menerima keuntungan langsung dari kegiatan industrialisasi ini, bukan semata-mata karena industrialisasi berasal dari Barat, teapi lebih karena ummat Islam seringkali menjadi pihak yang mengalami berbagai macam deprivasi, dari deprivasi ekonomi, sosial, budaya, hingga politik. Dari sinilah menggelinding wacana untuk tetap menempatkan fenomena industrialisasi dalam perspektif pola relasi antar berbagai pihak yang terlibat di dalamnya, terutama pihak produsen dan konsumen.
 Pendidikan Islam sebagai Nomenklatur
Kepelikan kedua adalah ketika kita hendak mendekati, mempersepsi dan memahami apa itu pendidikan Islam. Pemahaman yang salah tentang pendidikan Islam jelas akan berimplikasi pada perlakuan yang salah terhadapnya. Jika kita memperlakukan pendidikan Islam secara salah, implikasinya adalah kesalahan pada tingkatan praksis-operasional. Banyak pihak memahami pendidikan Islam sebagai proses transfer of knowedge dalam bentuk proses belajar mengajar (learning instruction) saja. Memang pendidikan Islam mencakup juga proses belajar mengajar. Tetapi, proses belajar mengajar hanya sebagian kecil saja dari pendidikan Islam. Pendefinisian semacam ini diakibatkan oleh penderivasian pendidikan Islam dari sebuah kosa kata dalam bahasa Arab ta’lim, yakni mentransmisikan ilmu pengetahua dari guru kepada murid. Padahal entitas pendidikan Islam yang sesungguhnya lebih dari sekadar proses belajar mengajar. Ada banyak aspek lain dalam pendidikan Islam yang harus mendapatkan perhatian seperti institusi, materi (content), evaluasi (meliputi: aspek kognitif, afektif dan psikomotorik), sikap masyarakat, kebijakan Negara, dan semacamnya.
Kosakata lain dalam bahasa Arab yang seringkali diasosiasikan dengan pendidikan Islam adalah tarbiyah dan ta’dib.[7] Kedua kata ini dianggap lebih representatif untuk menggambarkan konsep pendidikan Islam yang lebih utuh. Tarbiyah (berasal dari akar kata rabba-yurabbi-tarbiyatan) berarti membimbing anak didik oleh seorang guru dalam berbagai aspeknya, baik spiritual maupun material. Sementara itu, kata ta’dib (berasal dari akar kata addaba-yu’addibu-ta’diban) berkonotasi pembimbingan anak didik oleh seorang pendidik, terutama dalam hal akhlakul karimah.[8]
Ketiga kosakata di atas, jika ditelusuri secara semantik, memiliki implikasi pemaknaan yang berbeda, baik dalam tataran konsep maupun praksis. Secara konseptual, ketiga-ketiganya berimplikasi pada proses dan content yang berbeda. Jika kata ta’lim berimplikasi pada makna pendidikan Islam yang sempit sebagai sekadar proses belajar mengajar, maka kedua kata terakhir berimplikasi pada pemaknaan pendidikan Islam yang lebih luas dan generik, yakni sebagai sebuah proses belajar mengajar yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat ruang waktu. Isi dan metode pembelajaran di balik kedua konsep tersebut bersifat cair (fluid), fleksibel, dan serba-mencakup (all-encompassing).
Kerumitan lain dalam mendekati dan memahami entitas pendidikan Islam terletak pada betapa variatifnya praksis pendidikan Islam akibat pengalaman sejarah dan subyektivitas internal ummat Islam dalam memaknai ilmu pengetahuan dan agama. Hal ini terkait dengan pengalaman kolonialisme yang melanda ummat Islam di masa lalu yang melahirkan dualisme atau dikotomi keilmuan yang masih dirasakan hingga saat ini. Pengalaman kolonialisme ini meninggalkan tradisi yang beragam tentang bagaimana ummat Islam menempatkan pendidikan Islam. Di samping itu, sejarah kolonialisme meninggalkan trauma tersendiri dalam memori kolektif ummat Islam akan kondisi inferioritas mereka, terutama dalam penguasaan ilmu dan teknologi.
Di Indonesia, manifestasi lembaga pendidikan Islam sangat beragam; mulai dari lembaga pendidikan formal, nonfomal, hingga informal. Dalam konteks lembaga pendidikan formal, ditemukan sekurangnya dua model; model madrasah dan sekolah. Keduanya memiliki preseden historis yang berbeda. Jika madrasah banyak dikembangkan oleh kalangan Muslim tradisionalis, maka sekolah dikembangkan oleh kalangan Muslim modernis. Dalam konteks pendidikan nonformal, ditemukan model pesantren dan madrasah diniyah—baik takmiliyah maupun salafiyah.[9] Sementara itu, dalam konteks informal, model pembelajaran berlangsung secara privat atau mandiri, terutama di lingkungan keluarga Muslim.
Kondisi pembelajaran dikotomik direspon secara berbeda-beda di kalangan ummat Islam. Sejumlah kalangan modernis, misalnya, memandang perlunya mendobrak dikotomi keilmuan tersebut dengan cara mengadopsi sistem pendidikan non-dikotomik melalui pendirian sekolah-sekoah umum, dengan porsi materi keagamaan tambahan seperlunya. Jenis sekolah semacam ini memberikan embrio bagi kelahiran pendidikan Islam yang berbasis pendidikan umum, namun secara perlahan mengadopsi kebijakan integratif dengan memasukkan unsur-unsur kurikulum agama. Jenis sekolah semacam inilah yang melahirkan sekolah-sekolah keagamaan modern yang kurikulumnya merupakan perpaduan antara materi-materi umum dan ilmu-ilmu agama.  
Kalangan kedua, kaum tradisionalis, merespon realitas dikotomik ilmu pengetahuan dengan mendirikan madrasah-madrasah—dari tingkat dasar, menengah, hingga pergurruan tinggi—yang pada mulanya merupakan lembaga pendidikan agama di bawah naungan pesantren atau berafiliasi dengan pesantren. Basis material jenis pendidikan Islam semacam ini adalah disiplin ilmu-ilmu keislaman yang kemudian memperluas mandatnya dengan memasukkan materi-materi umum. Belakangan, dengan terbitnya SKB Tiga Menteri—Menteri Agama, menteri dalam negeri, dan menteri pendidikan dan Kebudayaan—pada tahun 1975, membalikkan komposisi kurikulum madrasah Negeri dari yang asalnya 70 persen agama dan 30% umum, dibalik menjadi 30% agama dan 70% umum.
Dengan dua model pendidikan di atas, realitas pendidikan Islam di Indonesia menghadapi varian yang cukup beragam. Itu semua bermula dari satu keinginan ummat Islam; menggapai kejayaan ummat dengan cara menyatukan materi keagamaan dan materi ilmu-ilmu umum. Kedua model di atas, pada awalnya, merepresentasikan dua dunia pendidikan yang berbeda. Namun demikian, terlihat kecenderungan pergerakan pendulum yang semakin menyatukan dua model tersebut. Model pertama, dengan basis ilmu-ilmu umum, semakin bergerak ke arah Islamisasi dan spiritualisasi. Sementara itu, model kedua, bergerak ke arah pengembangan ilmu-ilmu umum. Dalam bayak hal, tampilan model pertama tidak jarang terlihat lebih ”agamis” atau ”Islami” ketimbang tampilan model kedua yang terlihat semakin ”sekuler”. Kondisi semacam inilah yang menggiring pada realitas dijumpainya banyak siswa di sekolah-sekolah Islam terpadu dengan penguasaan ilmu-ilmu agama lebih baik dibanding mereka yang bersekolah di madrasah-madrasah keagamaan.
 Posisi Pendidikan Islam
            Pertanyaan mendasar yang relevan untuk dijawab adalah, bagaimana posisi pendidikan Islam menghadapi era industrialisasi? Bagaimana ummat Islam merespon industrialisasi dan menyiapkan sebuah cetak-biru yang mampu mengatasi era industrialisasi itu? Menjawab pertanyaan ini, sekurangnya ada dua model utama yang bisa dikembangkan pendidikan Islam; Pertama, model partisipatif. Model ini bertumpu pada pengembangan cetak-biru pendidikan Islam yang mampu mengatasi era industrialisasi. Langkah-langkah alternatif yang bisa dilakukan oleh pendidikan Islam adalah; (1) menyiapkan paradigma pendidikan yang sejalan dengan semangat industrialisasi. Yang dimaksud dengan paradigma pendidikan adalah kerangka dasar epistemologis yang melandasi rangkaian konsep-implementasi-evaluasi secara menyeluruh.
Jika diterjemahkan secara struktural, kerangka paradigmatik ini akan menghasilkan struktur kurikulum yang akomodatif terhadap tuntutan industrialisasi, yakni sebuah struktur yang lebih menekankan pada terciptanya kompetensi know-how dan know-why, ketimbang know-what. Di tingkat pendidikan dasar dan menengah, maka struktur semacam ini lebih tepat diturunkan menjadi pendidikan vokasional. Di tingkat perguruan tinggi, maka struktur kurikulum semacam ini lebih bisa mengakomodasi pengembangan nalar teknologi terapan.
Jika dikontekstualisasikan dengan realitas pendidikan Islam, maka struktur kurikulum dan materi pembelajaran harus mengapresiasi pengembangan nalar ”burhani” yang menjadi basis pengetahuan inquiry, baik di tingkat penalaran dasar maupun di tingkat terapan. Harus diakui, struktur kurikulum pendidikan Islam sementara ini lebih banyak mengapresiasi pengembangan nalar ”bayani” dan ”irfani”, ketimbang ”burhani”. Jika nalar ”burhani” lebih banyak melatih peserta didik untuk berpikir secara induktif dan berbasis pada penalaran empiris (Cartesian), maka nalar ”bayani” dan ”irfani” lebih banyak mengedepankan kemampuan berpkir deduktif, dengan cara menurunkan wahyu yang bersifat doktriner menjadi sebuah sistem pengetahuan yang miskin penalaran. Hal ini bisa dipahami mengingat lembaga pendidikan Islam selama ini lebih banyak berfungsi sebagai perangkat transfer of knowledge dan religious values, belum banyak bergerak ke arah pengembangan pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah (problem-based learning).[10]
Di tingkat operasional, maka pembukaan jurusan-jurusan teknis dan vokasinal menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan. Lembaga pendidikan Islam di bawah naungan Kementerian Agama—baik yang negeri maupun yang swasta—lebih banyak menggunakan madrasah atau sekolah Islam terpadu. Selain itu, lembaga pendidikan Islam di tingkat dasar dan menengah lebih banyak mengembangkan ilmu-ilmu murni semacam ilmu-ilmu kealaman dan sosial. Jika struktur kurikulum vokasional ini diperkenalkan di lembaga pendidikan Islam, maka pengarusutamaan kemampuan teknis menjadi sebuah keniscayaan. Konsekuensinya, ilmu-ilmu murni harus diintegrasikan dengan iilmu-ilmu terapan. Jika perlu, pembukaan jurusan-jurusan dan bahkan sekolah vokasional (semacam SMK Islam) menjadi sebuah pilihan mendesak dalam rangka menyongsong tantangan era industrialisasi.
Sementara itu, di tingkat perguran tinggi, PTAIN/Swasta harus membuka diri terhadap pembaruan kurikulum yang mengarah pada pengembangan kemampuan vokasinal. Hal ini berlaku bagi ilmu-ilmu murni—baik ilmu alam maupun sosial—terlebih lagi ilmu terapan. Konsekuensinya, pembukaan jurusan, program studi, bahkan fakultas yang mengembangkan ilmu-ilmu vokasinal/terapan menjadi keharusan. Di lembaga PTAI, terutama UIN, pengembangan ilmu-ilmu vokasional harus lebih eksplisit ketimbang di IAIN/STAIN. Hal ini karena secara kelembagaan IAIN/STAIN hanya diberi mandat untuk mengembangkan satu disiplin keilmuan saja.[11] Hal ini sebenarnya bisa disiasati dengan menyelipkan kompetensi soft-skill vokasional dalam struktur kurikulum IAIN/STAIN, baik sebagai mata kuliah mandiri maupun dalam bentuk pengintegrasian ke dalam mata kuliah tertentu.
Lantas, dimana letak perbedaan antara lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam? Haruskah lembaga pendidikan Islam mengembangkan disiplin keilmuan vokasional/terapan yang sama persis dengan apa yang dikembangkan di lembaga pendidikan umum? Inilah tantangan pertama setelah kita sepakat perlunya pembaruan pendidikan Islam untuk mengakomodasi kemampuan know-how dan know-why yang bersifat induktif-inquiry tersebut.
Pertanyaan di atas penting diajukan dalam rangka memperhitungkan kekuatan-kelemahan pendidikan Islam untuk menyongsong era industrialisasi. Penting untuk dicatat, lembaga pendidikan Islam tidak dalam posisi untuk bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan umum yang sudah lama menggeluti dunia vokasional/terapan. Sebab jika dianalisis secara obyektif, lembaga pendidikan Islam tidak berada dalam kondisi ”siap tempur” luar-dalam. Harus diakui, kondisi pendidikan Islam masih kalah jauh dalam hal ”jam terbang” dibandingkan dengan lembaga pendidikan di bawah Kemendikbud. Bukannya pendidikan Islam ”kalah sebelum bertanding”. Tetapi kita harus realistis menghadapi kenyataan betapa kondisi pendidikan Islam masih menghadapi berbagai persoalan yang multikompleks, mulai dari persoalan paradigmatik, struktural hingga operasional.
            Memang, pendidikan Islam perlu dan harus berbeda dari pendidian vokasional yang ada di bawah naungan Kemendikbud. Hal ini dalam rangka menghadirkan sesuatu yang distingtif kepada masyarakat luas akan nilai tambah atau keunggulan komparatif yang mungkin bisa dimiliki oleh lembaga pendidikan Islam. Jika hal ini bisa diwujudkan, bukan tidak mungkin pendulum animo masyarakat akan bergerak ke lembaga-lembaga pendidikan Islam ketimbang ke pendidikan umum. Bagaimanapun juga, reputasi lembaga pendidikan Islam selama ini terletak pada pembelajaran ilmu-ilmu agama yang disertai dengan penanaman values. Sementara itu, lembaga pendidikan umum memiliki track record yang jauh lebih baik dalam pembelajaran ilmu-ilmu umum, terlebih ilmu-ilmu vokasional/terapan. Dengan mandat yang lebih diperluas (wider mandate) ke arah pembelajaran ilmu-ilmu vokasional/terapan, lembaga pendidikan Islam diasumsikan akan jauh lebih diminati oleh masyarakat ketimbang lembaga pendidikan umum, lantaran atribut keislaman yang disandangnya.
Salah satu keunggulan komparatif yang barangkali bisa ditawarkan kepada masyarakat adalah sistem nilai dan dimensi spiritualitas yang menjadi basis pengembangan ilmu-ilmu vokasional. Di tingkat operasional, pengembangan sistem nilai Islam harus bersifat integratif dengan struktur kurikulum vokasional, sehingga garis pembeda antara muatan ilmu-ilmu vokasional dengan muatan sistem nilai susah dikenali lagi karena telah melebur menjadi kesatuan. Dengan sistem nilai dan dimensi spiritual yang dikembangkan, masyarakat jauh lebih tertarik untuk menyekolahkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan Islam ketimbang ke lembaga pendidikan umum. Tentang sejauhmana lembaga pendidikan Islam berhasil meyakinkan khalayak, akan sangat tergantung pada kesiapan, kesungguhan dan komitmen seluruh pemangku kepentingan, terutama pihak Kementerian Agama RI.  
 Identifikasi Kesenjangan
Selain model partisipatif di atas, ada model lain yang bisa dippertimbangkan sebagai bagian dari respon pendidikan Islam terhadap fenomena industrialisasi. Model tersebut dinamakan model responsif dengan cara megidentifikasi kesenjangan yang ditinggalkan oleh industrialisasi. Dalam konteks ini, tugas pendidikan adalah mengidentifikasi celah-celah mana yang menjadi kelemahan proyek industrialisasi, untuk selanjutnya diisi oleh pendidikan Islam. Kesenjangan ini berfungsi sebagai entry-point bagi pendidikan Islam untuk menjalankan perannya yang produktif di tengah era indutrialisasi.
Jika mengamati bagaimana era industrialisasi bergulir di tengah masyarakat Muslim, ada banyak kesenjangan yang mungkin bisa diisi oleh pendidikan Islam. Kesenjangan tersebut berjalan berkelindan di tiga level sekaligus; (1) level ontologis, (2) level eisemologis dan level (3) aksiologis.[12] Secara ontologis, konsep industrialisasi yang banyak dikembangkan di berbagai belahan dunia ini cenderung mengedepankan kemampuan know-how yang bertumpu pada kekuatan nalar positivistik. Akibatnya, manusia hanya dijadikan sebagai obyek industrialisasi yang tidak jarang dirugikan oleh dampak industrialisasi yang destruktif. Di sinilah kita perlu mengidentifikasi kesenjangan akibat proyek industralisasi, yakni tercerabutnya konsep kebudayaan dan peradaban dari nalar besar idustrialisasi tersebut. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mampu menghadirkan dimensi lain dari kelemahan industrialisasi untuk selanjutnya menyempurnakannya sesuai dengan nalar pendidikan Islam.
Berbeda dari model partisipatif yang lebih banyak memberikan ruang bagi penalaran Cartesian-burhani, model kedua ini lebih mendistribusikan ketiga nalar secara adil dan merata; bayani, burhani, terebih lagi, irfani.[13] Konsekuensinya, fenomena industrialisasi dilihat dalam konteks yang khas wilayah tertentu, misalnya Barat, yang— sangat boleh jadi—berbeda dari industrialisasi dalam konteks masyarakat Muslim. Kasus industrialisasi tidak harus bersandar pada pandangan Barat-sentris. Banyak kebutuhan di Barat yang secara sosial dan historis merupakan realitas yang terkonstruksi dan barangkali tidak berlaku untuk belahan dunia lainnya, terutama dunia Islam.
Kritik populis atas industrialisasi berakar pada dampak sosial industrialisasi di awal abad ke 19 di Eropa, terutama Inggris.[14] Industralisasi telah menciptakan apa yang dalam ungkapan Herbert Marcuse disebut sebagai ”one-dimensional man” yang ditandai dengan gejala split-personality antara dimensi fisik dari non-fisik.[15] Seiring dengan laju perkembangan sains dan teknologi, masyarakat industri mensyaratkan penerapan perangkat ekonomi dan sosial dan penyerahan diri pada rezim dominasi dan administrasi. Menurutnya, kondisi demikian akan menciptakan ”mechanics of conformity” yang segera menyebar ke seluruh masyarakat, sebuah kondisi di mana setiap individu dituntut untuk menggunakan tata pikir dan perilaku seragam sebagai implikasi dari dominasi rezim industri tersebut. Individu-individu yang tidak mampu menghindarkan diri dari terjangan rezim tersebut, dan oleh karena itu, hidup di bawah naungannya, akan mengalami gejala satu dimensi dimaksud.[16]
Jika menilik dampak yang ditimbulkan oleh industrialisasi yang begitu kompleks, sebenarnya pendidikan Islam memiliki ruang yang sangat luas untuk memainkan dirinya dalam rangka menutupi celah kekurangan industrialisasi tersebut. Celah industrialisasi bisa dilihat pada implikasi atau dampak industrialisasi yang dapat mengakibatkan tergerusnya dimensi kemanusiaan pelaku industri. Berikut dampak atau implikasi industrialisasi sebagaimana dikutip dari Rajesh Chandra: (1) Spread of industrial techniques to other sectors; (2) New social classes emerge; (3) Environmental deterioration; (4) Increase in the share of the manufacturing sector in the GDP; (5) Increase in inter-industrial transaction; (6) Increase in sophistication of technology and emphasis in society on science and technology; (7) Higher capital intensity; (8) Rise in worker productivity in the manufacturing sector relative to workers in other sectors; (9) Enlarged, impersonal unit of production; (10) Rural to urban migration; (11) Urbanization; (12) Increased interaction with regional and international systems; (13) Increased specialization, dan; (14) Attitudes become more material.[17]
Dari keempatbelas dampak sebagaimana tersebut di atas, pendidikan Islam bisa bermain hampir di setiap poin. Pada poin pertama, misalnya, pendidikan Islam bisa bermain dalam hal diseminasi kemampuan know-how kepada masyarakat, terutama peserta didik. Secara berurutan, pendidikan Islam bisa memainkan peran counter-argument terhadap keempatbelas implikasi di atas: (2) menanggulangi class-conflict dengan mengaksentuasi paham kesederajatan relasi sesama manusia; (3) menggugah semangat eko-industrialization, yakni modus industrialisasi dalam kerangka menjaga harmoni lingkungan dan alam semesta; (4) memaksimalkan distribusi kekayaan agar tidak terjadi deprivasi ekonomi dan ketimpangan sosial. Pada poin (5) membekali pebisnis dalam bertransaksi secara jujur dan adil; (6) memberikan semangat kebudayaan dan peradaban pada kehidupan teknologi dan industri agar tidak terjadi dehumanisasi; (7) menekankan perlunya CSR—melalui zakat corporate—untuk mengindari penumpukan kapital sekaligus mengurai kesenjangan sosial-ekonomi warga; (8) memacu tingkat kedisiplinan dan etos kerja yang tinggi di kalangan pekerja; (9) menekankan unit produksi yang lebih manusiawi; (10) mencegah migrasi besar-besaran melalui distribusi konsentrasi unit-unit industrialisasi; (11) menekan urbanisasi; (12) meningkatkan pola-relasi internasional yang sederajat, bermartabat dan saling menghargai; (13) menekankan spesifikasi keterampilan vokasional, dan; (14) mengurangi dampak hedonisme-konsumtivisme akibat industrialisasi. Keempatbelas counter-argument tersebut sebenarnya dapat diringkas menjadi satu frasa: industrialisasi berbasis etika Islam. Formula etika Islam ini bersifat sublim, dalam pengertian merasuk dan menyemangati setiap poin tersebut.

Catatan Penutup
Demikianlah, uraian di muka pada intinya menekankan langkah progresif pendidikan Islam dalam merespon era industrialisasi. Tidak ada pilihan lain bagi ummat Islam kecuali menghadapi dengan tegar era ini. Yang perlu dipersiapkan adalah bagaimana ummat Islam mendesain model pembelajaran yang sesuai dengan tantangan dan tuntutan industrialisasi, tanpa harus mengorbankan idealisme dan tatanan nilai yang selama ini dibangun. Pengembangan desain pendidikan Islam yang sejalan dengan tuntutan era industrialisasi, pada akhirnya, tidak mencerabut manusia sebagai subyek pembangunan. Selain itu, ia menempatkan harmoni relasi antar tiga elemen di jagat raya ini: manusia-alam, manusia-Tuhan, dan manusia-manusia.
Hanya melalui reformulasi model pendidikan Islam semacam ini, ummat Islam akan memiliki kesiapan psikologis dan sosiologis dalam menyongsong datangnya era industrialisasi. Dengan cara demikian pula, ummat Islam tidak terjebak dalam sikap latah dalam merespon era industrialisasi; latah menolak atau latah menerima mentah-mentah secara tidak kritis. Wallahu a’lam bishawab
                                                                       
                                                                                                Surabaya, 2 April 2012




DAFTAR PUSTAKA
 Al-Abrasyi, Athiyah (1975). al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Flsafatuha. Kairo: Isa babi al-Halabi.
al-Attas, S.M.N. (1980). The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia.
Chandra, Rajesh (1992). Industrialization and Development in the Third World. London: Routledge.
Herbert Marcuse, Herbert (1964). One-dimensional man. London: Routledge & Kegan Paul.
Hewitt, Tom, et. al., (1992). Industrialization and Development. Oxford: Oxford University Press.
Hidayat, Komaruddin & Hendro Prasetyo (eds.) (2000). Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI.
Hilmy, Masdar (2009). Membaca Agama: Islam sebagai Realitas Terkonstruksi. Yogyakarta: IMPULSE.
Kerr, Clark et al., (1962). Industrialism and Industrial Man. London: Heinemann.
Kiely, Ray. (1998). Industrialization and development: a comparative analysis. London: UCL Press.
Kitching, G.N. (1982). Development and underdevelopment in historical perspective: Populism, nationalism, and industrialization. London & New York: Methuen.
Marcuse, Herbert (1989). “From Ontology to Technology: Fundamental Tendencies of Industrial Society,” dalam Stephen Bronner & Douglas Kellner (eds.), Critical Theory and Society: A Reader. New York and London: Routledge.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Suriasumantri, Jujun S. (2005). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Wielemans, Willy and Pauline Choi-Ping Chan (1992). “The Expansive Industrial Mentality”, dalam Willy Wielemans and Pauline Choi-Ping Chan (eds.), Education and Culture in Industrializing Asia. Leuven: Leuven University Press.


[1] Kertas kerja disampaikan dalam seminar “Pendidikan Islam di Indonesia menatap era Industrialisasi”, diselenggarakan oleh Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 4 April 2012.
[2] Tom Hewitt et. Al., Industralization and Development (Oxford: Oxford University Press, 1992), 3-6.
[3] Ray Kiely, Industrialization and development: a comparative analysis (London: UCL Press, 1998), 3.
[4] Rajesh Chandra, Industrialization and Development in the Third World (London: Routledge, 1992), 3-4.
[5] Clark Kerr et al., Industrialism and Industrial Man (London: Heinemann, 1962), 29.
[6] Willy Wielemans and Pauline Choi-Ping Chan, “The Expansive Industrial mentality”, dalam Willy Wielemans and Pauline Choi-Ping Chan (ed.s), Education and Culture in Industrializing Asia (Leuven: Leuven University Press, 1992), 9.
[7] Lebih jauh tentang perbedaan dan persamaan ketiga konsep dalam pendidikan Islam ini, baca, misalnya, S.M.N. al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1980).
[8] Athiyah Al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Flsafatuha (Kairo: Isa babi al-Halabi, 1975), 110.
[9] Lihat, Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

[10] Lihat, Masdar Hilmy, Membaca Agama: Islam sebagai Realitas Terkonstruksi (Yogyakarta: IMPULSE, 2009), terutama pada bagian “Epistemologi Pendidikan Islam Kontemporer: Proliferasi Metodologis menuju Epistemologi Alternatif”, hal. 145-158.
[11] Lebih jauh tentang IAIN, lihat, misalnya, Komaruddin Hidayat & Hendro Prasetyo (eds.), Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2000).
[12] Ketiga dimensi ini dipinjam dari kerangka dasar Filsafat imu. Lihat, misalnya, Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005).
[13] Masdar Hilmy, Membaca Agama, 157.
[14] G.N. Kitching, Development and underdevelopment in historical perspective: Populism, nationalism, and industrialization (London & New York: Methuen, 1982).
[15] Herbert Marcuse, One-dimensional man (London: Routledge & Kegan Paul, 1964).
[16] Baca juga, Herbert Marcuse, “From Ontology to Technology: Fundamental Tendencies of Industrial Society,” dalam Stephen Bronner & Douglas Kellner (eds.), Critical Theory and Society: A Reader (New York and London: Routledge, 1989).
[17] Rajesh Chandra, Industrialization and Development in the Third World (London: Routledge, 1992), 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar