Oleh: Dr. Masdar Hilmy, MA
(Dosen IAIN Sunan Ampel dan Asisten Direktur Kemahasiswaan dan Kerjasama Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Pendahuluan
Dalam sejumlah literatur sosiologi, pendidikan sering digambarkan sebagai entitas
tidak terpisahkan dari dunia industri. Keduanya ibarat dua sisi dari
stu mata uang yang sama dan membentuk sebuah mata-rantai yang saling
terhubung, saling menciptakan dan tergantung. Dunia pendidikan
menciptakan industri dan industri menginspirasi pendidikan. Cetak biru
indutrialisasi yang dimulai sejak revolusi industri di Inggris pada awal
abad kesembilanbelas merupakan aktualisasi sejarah yang dirancang di
rung-ruang belajar yang berawal dari sebuah paradigma keilmuan tertentu
yang inspiratif dan kondusif bagi kelahiran peradaban industri.
Sebaliknya, dunia industri selalu merangsang dunia pendidikan untuk
selalu responsif terhadap kebutuhan industri. Dengan kata lain, di Eropa
dan dunia Barat pada umumnya, di mana mentalitas dan peradaban
industrial modern terlahir, jalinan industri-pendidikan bersifat saling
mengandaikan satu sama lain.
Namun
jika ditelusuri secara genealogis, sejarah industri dan industrialisasi
sebenarnya bisa kita temukan di tiap-tiap relung peradaban ummat
manusia, mulai dari peradaban purba-primitif hingga peradaban
modern-pascamodern; Mohenjodaro dan Harappa, Mesopotamia, Babilonia,
Mesir kuno, Aztec, Yunani, Persi, peradaban Muslim, hingga peradaban
Barat modern saat ini. Dalam derajat dan manifestasi yang berbeda-beda,
niscaya kita dengan mudah akan menemukan nucleus pola kehidupan
industri yang menopang kehidupan masing-masing peradaban tersebut.
Konsep industri dalam pengertian ini kita tarik dalam konteksnya yang
lebih makro dan generik sebagai pandangan dunia setiap individu dan
kolektif dalam babakan sejarah tertentu untuk memaknai dan mengatasi
kesulitan-kesulitan hidup yang mereka hadapi. Penyiasatan dan solusi
terhadap kesulitan tersebut pada gilirannya melahirkan kosmologi dan
epistemologi teknikalitas dalam pengertiannya yang paling generik
sebagai basis pengembangan teknologi dan industri pada zaman
masing-masing. Dalam konteks inilah kita bisa mengatakan bahwa akar
sejarah industri dan industrialisasi telah hadir sejak manusia itu ada.
Ia bukan semata-mata menyangkut sistem pengetahuan dan keterampilan yang
menjadi motor utama industri, tetapi menyangkut sikap mental setiap
individu dan kolektif masyarakat pada era masing-masing. Hanya saja,
derajat kerumitannya barangkali cukup beragam.
Bagi
ummat Islam, kehidupan modern dengan industrialisasinya sebagai
penopang utama memiliki relasi yang cukup rumit dan menantang. Pertama,
pola relasi di antara keduanya menimbulkan respon dan reaksi yang cukup
beragam, mulai dari resistensi hingga akomodasi. Ia tidak jarang
dipersepsi secara diametral dalam oposisi biner yang saling bertentangan
dan menegasikan satu sama lain. Hal ini terjadi manakala
industrialisasi diyakini bukan berasal dari Islam, atau Islam tidak
memiliki nucleus kehidupan industri. Industri dan proses
idustrialisasi, dalam konteks ini, dipahami sebagai sebuah konsep dan
praktik non-Islam, terutama Barat, yang membawa implikasi-implikasi
nilai yang khas Barat. Indutrialisasi pada gilirannya dianggap hanya
akan menggerus identitas keberagamaan dan meluruhkan nilai-nilai Islam.
Jika ini yang terjadi, sikap yang dimunculkan oleh ummat Islam atas
industrialisasi niscaya bersifat resisten atau perlawanan.
Spektrum
kedua diisi oleh individu-individu yang memilih akomodatif terhadap
industri dan industralisasi, melalui penerimaan secara total atas
industrialisasi sebagai jalan menyejahterakan ummat manusia. Namun yang
perlu dicatat adalah, jikapun sikap yang hendak dibangun komunitas
Muslim bersifat akomodatif-responsif terhadap industrialisasi, acapkali
mereka mengalami kesulitan besar ketika hendak merumuskan bagaimana
cetak-biru industrialisasi yang relevan bagi pola kehidupan Muslim
dengan segala atribut, karakter dan identitas keberagamaannya. Tantangan
inilah yang hendak dielaborasi dan dijawab melalui kertas kerja ini,
dalam segala keterbatasannya. Menurut penulis, membincangkan masalah
pendidikan Islam dalam konteks industrialisasi bukanlah persoalan mudah.
Ada banyak kepelikan ketika kita hendak mengurai benang kusut di antara
keduanya.
Industrialisasi sebagai Nomenklatur
Kepelikan
pertama muncul ketika kita hendak mendekati, mempersepsi dan memahami
apa itu industrialisasi. Hal ini penting karena industrialisasi sebagai
sebuah konsep tidak pernah dipahami secara monolitik oleh kalangan
akademisi. Ia selalu merefleksikan banyak pandangan yang tentu saja
berimplikasi pada perbedaan perlakuan atas fenomena idustrialisasi
tersebut. Di sinilah diperlukan sikap kehati-hatian agar kita tidak
terjebak pada gejala reduksionisme akademik yang berakibat pada
misrepresentasi makna atas industrialisasi. Sebab pemaknaan yang salah
atas sebuah entitas hanya akan melahirkan efek domino yang
kontraproduktif dalam menyikapi sebuah masalah. Inilah persoalan pertama
yang harus dijernihkan terlebih dahulu, sebelum kita bergerak pada
persoalan industrialisasi dalam kaitannya dengan pendidikan Islam.
Menurut Hewitt, industrialisasi dapat didefinisikan ke dalam tiga cara; (1)
sebagai ”the production of all material goods not grown directly on the
land” [segala modus produksi barang-barang material yang tidak bisa
tumbuh di daerah itu sendiri]; (2) the economic sector comprising
mining, manufacturing and energy [sektor kehidupan ekonomi yang terdiri
dari pertambangan, industri manufaktur dan energy], dan; (3) ”a
particular way of organizing production and assumes there is a constant
process of technical and social change which continually increases
society’s capacity to produce a wide range of goods” [cara tertentu
menyusun poduksi yang di dalamnya mengasumsikan adanya sebuah proses
teknik dan perubahan sosial yang berlangsung secara terus-menerus dalam
rangka meningkatkan kapasitas masyarakat untuk melakukan produksi
sejumlah barang-barang].[2] Dalam
definisi yang terakhir ini, industrialisasi dilihat sebagai sebuah
proses yang total, berdampak pada kehidupan sosial kemasyarakatan
melalui peningkatan kapasitas dan volume barang dan jasa.[3]
Dalam
konteks Dunia ketiga, industrialisasi diartikan sebagai “an icrease in
the share of the gross domestic product (GDP) contributed by the
manufacturing sector” [penambahan pendapatan kotor yang disumbangkan
oleh sektor manufaktur].[4] Kosekuensi
dari definisi ini adalah kenyataan banyaknya ilmuwan yang mengidentikkan
industrialisasi dengan pembangunan yang ditandai dengan meningkatnya
GNP, dan berasumsi bahwa peningkatan kesejahteraan ekonomi akan
berimplikasi pada trickle-down-effect pada peningkatan kesejahteraan masyarakat akar rumput. Banyak kalangan membantah argumentasi ini. Pertama,
industrialisasi tidak sebangun-sejalan dengan pembangunan, karena
industrialisasi menimbulkan banyak persoalan baru yang justru merusak
lingkungan. Kedua, industrialisasi tidak secara otomatis menciptakan trickle-down-effect.
Pada praktiknya, industrialisasi bahkan seringkali menciptakan
kesenjangan dan berbagai macam deprivasi sosial-ekonomi masyarakat kelas
bawah.
Selain
itu, industrialisasi juga sering dikaitkan dengan dimensi teknokalitas
dan ekonomi. Kerr et al. menegaskan bahwa industrialisasi ”tends under
any political and economic system to raise materially the level of
wages, to reduce the hours of work, and to raise living standards as
measured by such conventional means as life expectancy, health and
education.”[5]
Definisi industrialisasi semacam ini juga belakangan banyak dikritik
akibat perspektif monolitik yang menganggap indutrialisasi sebagai
persoalan melulu barang-barang keras (hardware minded). Memang,
sejarah kesarjanaan yang panjang terlanjur menganggap industrialisasi
sebagai bagian dari isu teknologis yang berimplikasi pada nilai-nilai
masyarakat. Hal ini terutama karena teknologilah yang membentuk
masyarakat. Tetapi, yang lain berargumen bahwa teknologi menyangkut pola
relasi sosial dan, karena itu, keputusan untuk mengadopsi teknologi
baru merupakan pilihan politis. Artinya, selalu ada dimensi-dimensi
sosial-politik-budaya di balik kebijakan negara untuk mengadopsi
pilihan-pilihan kebijakan teknologi. Selain itu, tidak ada kebijakan
aplikasi teknologi atauu industrialisasi yang secara aksiologis berifat
netral.[6] Penerapan teknologi selalu mengandaikan munculnya persoalan ikutan lain yang tidak kalah kompleksnya.
Pandangan
terakhir adalah tentang kaitan antara industrialisasi dengan ekonomi
global atau globalisasi ekonomi. Pandangan ini meniscayakan kegiatan
industrialisasi sebagai bagian tidak terpisahkan dari proyek globalisasi
yang—lagi-lagi—diluncurkan oleh peradaban Barat sebagai produsen.
Sementara itu, belahan dunia yang lain, termasuk ummat Islam, tidak
memiliki pilihan lain kecuali sebagai pihak konsumen yang hanya menerima
saja apapun yang diproduksi oleh globalisasi. Modus produksi yang ada
di balik kegiatan industrialisasi ini berimplikasi pada ketercerabutan
dunia Muslim untuk menerima keuntungan langsung dari kegiatan
industrialisasi ini, bukan semata-mata karena industrialisasi berasal
dari Barat, teapi lebih karena ummat Islam seringkali menjadi pihak yang
mengalami berbagai macam deprivasi, dari deprivasi ekonomi, sosial,
budaya, hingga politik. Dari sinilah menggelinding wacana untuk tetap
menempatkan fenomena industrialisasi dalam perspektif pola relasi antar
berbagai pihak yang terlibat di dalamnya, terutama pihak produsen dan
konsumen.
Pendidikan Islam sebagai Nomenklatur
Kepelikan
kedua adalah ketika kita hendak mendekati, mempersepsi dan memahami apa
itu pendidikan Islam. Pemahaman yang salah tentang pendidikan Islam
jelas akan berimplikasi pada perlakuan yang salah terhadapnya. Jika kita
memperlakukan pendidikan Islam secara salah, implikasinya adalah
kesalahan pada tingkatan praksis-operasional. Banyak pihak memahami
pendidikan Islam sebagai proses transfer of knowedge dalam bentuk proses belajar mengajar (learning instruction)
saja. Memang pendidikan Islam mencakup juga proses belajar mengajar.
Tetapi, proses belajar mengajar hanya sebagian kecil saja dari
pendidikan Islam. Pendefinisian semacam ini diakibatkan oleh
penderivasian pendidikan Islam dari sebuah kosa kata dalam bahasa Arab ta’lim,
yakni mentransmisikan ilmu pengetahua dari guru kepada murid. Padahal
entitas pendidikan Islam yang sesungguhnya lebih dari sekadar proses
belajar mengajar. Ada banyak aspek lain dalam pendidikan Islam yang
harus mendapatkan perhatian seperti institusi, materi (content), evaluasi (meliputi: aspek kognitif, afektif dan psikomotorik), sikap masyarakat, kebijakan Negara, dan semacamnya.
Kosakata lain dalam bahasa Arab yang seringkali diasosiasikan dengan pendidikan Islam adalah tarbiyah dan ta’dib.[7] Kedua kata ini dianggap lebih representatif untuk menggambarkan konsep pendidikan Islam yang lebih utuh. Tarbiyah (berasal dari akar kata rabba-yurabbi-tarbiyatan) berarti membimbing anak didik oleh seorang guru dalam berbagai aspeknya, baik spiritual maupun material. Sementara itu, kata ta’dib (berasal dari akar kata addaba-yu’addibu-ta’diban) berkonotasi pembimbingan anak didik oleh seorang pendidik, terutama dalam hal akhlakul karimah.[8]
Ketiga
kosakata di atas, jika ditelusuri secara semantik, memiliki implikasi
pemaknaan yang berbeda, baik dalam tataran konsep maupun praksis. Secara
konseptual, ketiga-ketiganya berimplikasi pada proses dan content yang berbeda. Jika kata ta’lim
berimplikasi pada makna pendidikan Islam yang sempit sebagai sekadar
proses belajar mengajar, maka kedua kata terakhir berimplikasi pada
pemaknaan pendidikan Islam yang lebih luas dan generik, yakni sebagai
sebuah proses belajar mengajar yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat
ruang waktu. Isi dan metode pembelajaran di balik kedua konsep tersebut
bersifat cair (fluid), fleksibel, dan serba-mencakup (all-encompassing).
Kerumitan
lain dalam mendekati dan memahami entitas pendidikan Islam terletak
pada betapa variatifnya praksis pendidikan Islam akibat pengalaman
sejarah dan subyektivitas internal ummat Islam dalam memaknai ilmu
pengetahuan dan agama. Hal ini terkait dengan pengalaman kolonialisme
yang melanda ummat Islam di masa lalu yang melahirkan dualisme atau
dikotomi keilmuan yang masih dirasakan hingga saat ini. Pengalaman
kolonialisme ini meninggalkan tradisi yang beragam tentang bagaimana
ummat Islam menempatkan pendidikan Islam. Di samping itu, sejarah
kolonialisme meninggalkan trauma tersendiri dalam memori kolektif ummat
Islam akan kondisi inferioritas mereka, terutama dalam penguasaan ilmu
dan teknologi.
Di
Indonesia, manifestasi lembaga pendidikan Islam sangat beragam; mulai
dari lembaga pendidikan formal, nonfomal, hingga informal. Dalam konteks
lembaga pendidikan formal, ditemukan sekurangnya dua model; model
madrasah dan sekolah. Keduanya memiliki preseden historis yang berbeda.
Jika madrasah banyak dikembangkan oleh kalangan Muslim tradisionalis,
maka sekolah dikembangkan oleh kalangan Muslim modernis. Dalam konteks
pendidikan nonformal, ditemukan model pesantren dan madrasah
diniyah—baik takmiliyah maupun salafiyah.[9] Sementara itu,
dalam konteks informal, model pembelajaran berlangsung secara privat
atau mandiri, terutama di lingkungan keluarga Muslim.
Kondisi
pembelajaran dikotomik direspon secara berbeda-beda di kalangan ummat
Islam. Sejumlah kalangan modernis, misalnya, memandang perlunya
mendobrak dikotomi keilmuan tersebut dengan cara mengadopsi sistem
pendidikan non-dikotomik melalui pendirian sekolah-sekoah umum, dengan
porsi materi keagamaan tambahan seperlunya. Jenis sekolah semacam ini
memberikan embrio bagi kelahiran pendidikan Islam yang berbasis
pendidikan umum, namun secara perlahan mengadopsi kebijakan integratif
dengan memasukkan unsur-unsur kurikulum agama. Jenis sekolah semacam
inilah yang melahirkan sekolah-sekolah keagamaan modern yang
kurikulumnya merupakan perpaduan antara materi-materi umum dan ilmu-ilmu
agama.
Kalangan
kedua, kaum tradisionalis, merespon realitas dikotomik ilmu pengetahuan
dengan mendirikan madrasah-madrasah—dari tingkat dasar, menengah,
hingga pergurruan tinggi—yang pada mulanya merupakan lembaga pendidikan
agama di bawah naungan pesantren atau berafiliasi dengan pesantren.
Basis material jenis pendidikan Islam semacam ini adalah disiplin
ilmu-ilmu keislaman yang kemudian memperluas mandatnya dengan memasukkan
materi-materi umum. Belakangan, dengan terbitnya SKB Tiga
Menteri—Menteri Agama, menteri dalam negeri, dan menteri pendidikan dan
Kebudayaan—pada tahun 1975, membalikkan komposisi kurikulum madrasah
Negeri dari yang asalnya 70 persen agama dan 30% umum, dibalik menjadi
30% agama dan 70% umum.
Dengan
dua model pendidikan di atas, realitas pendidikan Islam di Indonesia
menghadapi varian yang cukup beragam. Itu semua bermula dari satu
keinginan ummat Islam; menggapai kejayaan ummat dengan cara menyatukan
materi keagamaan dan materi ilmu-ilmu umum. Kedua model di atas, pada
awalnya, merepresentasikan dua dunia pendidikan yang berbeda. Namun
demikian, terlihat kecenderungan pergerakan pendulum yang semakin
menyatukan dua model tersebut. Model pertama, dengan basis ilmu-ilmu
umum, semakin bergerak ke arah Islamisasi dan spiritualisasi. Sementara
itu, model kedua, bergerak ke arah pengembangan ilmu-ilmu umum. Dalam
bayak hal, tampilan model pertama tidak jarang terlihat lebih ”agamis”
atau ”Islami” ketimbang tampilan model kedua yang terlihat semakin
”sekuler”. Kondisi semacam inilah yang menggiring pada realitas
dijumpainya banyak siswa di sekolah-sekolah Islam terpadu dengan
penguasaan ilmu-ilmu agama lebih baik dibanding mereka yang bersekolah
di madrasah-madrasah keagamaan.
Posisi Pendidikan Islam
Pertanyaan
mendasar yang relevan untuk dijawab adalah, bagaimana posisi pendidikan
Islam menghadapi era industrialisasi? Bagaimana ummat Islam merespon
industrialisasi dan menyiapkan sebuah cetak-biru yang mampu mengatasi
era industrialisasi itu? Menjawab pertanyaan ini, sekurangnya ada dua
model utama yang bisa dikembangkan pendidikan Islam; Pertama,
model partisipatif. Model ini bertumpu pada pengembangan cetak-biru
pendidikan Islam yang mampu mengatasi era industrialisasi.
Langkah-langkah alternatif yang bisa dilakukan oleh pendidikan Islam
adalah; (1) menyiapkan paradigma pendidikan yang sejalan dengan semangat
industrialisasi. Yang dimaksud dengan paradigma pendidikan adalah
kerangka dasar epistemologis yang melandasi rangkaian
konsep-implementasi-evaluasi secara menyeluruh.
Jika
diterjemahkan secara struktural, kerangka paradigmatik ini akan
menghasilkan struktur kurikulum yang akomodatif terhadap tuntutan
industrialisasi, yakni sebuah struktur yang lebih menekankan pada
terciptanya kompetensi know-how dan know-why, ketimbang know-what.
Di tingkat pendidikan dasar dan menengah, maka struktur semacam ini
lebih tepat diturunkan menjadi pendidikan vokasional. Di tingkat
perguruan tinggi, maka struktur kurikulum semacam ini lebih bisa
mengakomodasi pengembangan nalar teknologi terapan.
Jika
dikontekstualisasikan dengan realitas pendidikan Islam, maka struktur
kurikulum dan materi pembelajaran harus mengapresiasi pengembangan nalar
”burhani” yang menjadi basis pengetahuan inquiry, baik di
tingkat penalaran dasar maupun di tingkat terapan. Harus diakui,
struktur kurikulum pendidikan Islam sementara ini lebih banyak
mengapresiasi pengembangan nalar ”bayani” dan ”irfani”, ketimbang
”burhani”. Jika nalar ”burhani” lebih banyak melatih peserta didik untuk
berpikir secara induktif dan berbasis pada penalaran empiris
(Cartesian), maka nalar ”bayani” dan ”irfani” lebih banyak mengedepankan
kemampuan berpkir deduktif, dengan cara menurunkan wahyu yang bersifat
doktriner menjadi sebuah sistem pengetahuan yang miskin penalaran. Hal
ini bisa dipahami mengingat lembaga pendidikan Islam selama ini lebih
banyak berfungsi sebagai perangkat transfer of knowledge dan religious values, belum banyak bergerak ke arah pengembangan pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah (problem-based learning).[10]
Di
tingkat operasional, maka pembukaan jurusan-jurusan teknis dan
vokasinal menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan. Lembaga
pendidikan Islam di bawah naungan Kementerian Agama—baik yang negeri
maupun yang swasta—lebih banyak menggunakan madrasah atau sekolah Islam
terpadu. Selain itu, lembaga pendidikan Islam di tingkat dasar dan
menengah lebih banyak mengembangkan ilmu-ilmu murni semacam ilmu-ilmu
kealaman dan sosial. Jika struktur kurikulum vokasional ini
diperkenalkan di lembaga pendidikan Islam, maka pengarusutamaan
kemampuan teknis menjadi sebuah keniscayaan. Konsekuensinya, ilmu-ilmu
murni harus diintegrasikan dengan iilmu-ilmu terapan. Jika perlu,
pembukaan jurusan-jurusan dan bahkan sekolah vokasional (semacam SMK
Islam) menjadi sebuah pilihan mendesak dalam rangka menyongsong
tantangan era industrialisasi.
Sementara
itu, di tingkat perguran tinggi, PTAIN/Swasta harus membuka diri
terhadap pembaruan kurikulum yang mengarah pada pengembangan kemampuan
vokasinal. Hal ini berlaku bagi ilmu-ilmu murni—baik ilmu alam maupun
sosial—terlebih lagi ilmu terapan. Konsekuensinya, pembukaan jurusan,
program studi, bahkan fakultas yang mengembangkan ilmu-ilmu
vokasinal/terapan menjadi keharusan. Di lembaga PTAI, terutama UIN,
pengembangan ilmu-ilmu vokasional harus lebih eksplisit ketimbang di
IAIN/STAIN. Hal ini karena secara kelembagaan IAIN/STAIN hanya diberi
mandat untuk mengembangkan satu disiplin keilmuan saja.[11] Hal ini sebenarnya bisa disiasati dengan menyelipkan kompetensi soft-skill
vokasional dalam struktur kurikulum IAIN/STAIN, baik sebagai mata
kuliah mandiri maupun dalam bentuk pengintegrasian ke dalam mata kuliah
tertentu.
Lantas,
dimana letak perbedaan antara lembaga-lembaga pendidikan di bawah
naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan
lembaga-lembaga pendidikan Islam? Haruskah lembaga pendidikan Islam
mengembangkan disiplin keilmuan vokasional/terapan yang sama persis
dengan apa yang dikembangkan di lembaga pendidikan umum? Inilah
tantangan pertama setelah kita sepakat perlunya pembaruan pendidikan
Islam untuk mengakomodasi kemampuan know-how dan know-why yang bersifat induktif-inquiry tersebut.
Pertanyaan
di atas penting diajukan dalam rangka memperhitungkan
kekuatan-kelemahan pendidikan Islam untuk menyongsong era
industrialisasi. Penting untuk dicatat, lembaga pendidikan Islam tidak
dalam posisi untuk bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan umum yang
sudah lama menggeluti dunia vokasional/terapan. Sebab jika dianalisis
secara obyektif, lembaga pendidikan Islam tidak berada dalam kondisi
”siap tempur” luar-dalam. Harus diakui, kondisi pendidikan Islam masih
kalah jauh dalam hal ”jam terbang” dibandingkan dengan lembaga
pendidikan di bawah Kemendikbud. Bukannya pendidikan Islam ”kalah
sebelum bertanding”. Tetapi kita harus realistis menghadapi kenyataan
betapa kondisi pendidikan Islam masih menghadapi berbagai persoalan yang
multikompleks, mulai dari persoalan paradigmatik, struktural hingga
operasional.
Memang,
pendidikan Islam perlu dan harus berbeda dari pendidian vokasional yang
ada di bawah naungan Kemendikbud. Hal ini dalam rangka menghadirkan
sesuatu yang distingtif kepada masyarakat luas akan nilai tambah atau
keunggulan komparatif yang mungkin bisa dimiliki oleh lembaga pendidikan
Islam. Jika hal ini bisa diwujudkan, bukan tidak mungkin pendulum animo
masyarakat akan bergerak ke lembaga-lembaga pendidikan Islam ketimbang
ke pendidikan umum. Bagaimanapun juga, reputasi lembaga pendidikan Islam
selama ini terletak pada pembelajaran ilmu-ilmu agama yang disertai
dengan penanaman values. Sementara itu, lembaga pendidikan umum memiliki track record
yang jauh lebih baik dalam pembelajaran ilmu-ilmu umum, terlebih
ilmu-ilmu vokasional/terapan. Dengan mandat yang lebih diperluas (wider mandate)
ke arah pembelajaran ilmu-ilmu vokasional/terapan, lembaga pendidikan
Islam diasumsikan akan jauh lebih diminati oleh masyarakat ketimbang
lembaga pendidikan umum, lantaran atribut keislaman yang disandangnya.
Salah
satu keunggulan komparatif yang barangkali bisa ditawarkan kepada
masyarakat adalah sistem nilai dan dimensi spiritualitas yang menjadi
basis pengembangan ilmu-ilmu vokasional. Di tingkat operasional,
pengembangan sistem nilai Islam harus bersifat integratif dengan
struktur kurikulum vokasional, sehingga garis pembeda antara muatan
ilmu-ilmu vokasional dengan muatan sistem nilai susah dikenali lagi
karena telah melebur menjadi kesatuan. Dengan sistem nilai dan dimensi
spiritual yang dikembangkan, masyarakat jauh lebih tertarik untuk
menyekolahkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan Islam ketimbang ke
lembaga pendidikan umum. Tentang sejauhmana lembaga pendidikan Islam
berhasil meyakinkan khalayak, akan sangat tergantung pada kesiapan,
kesungguhan dan komitmen seluruh pemangku kepentingan, terutama pihak
Kementerian Agama RI.
Identifikasi Kesenjangan
Selain
model partisipatif di atas, ada model lain yang bisa dippertimbangkan
sebagai bagian dari respon pendidikan Islam terhadap fenomena
industrialisasi. Model tersebut dinamakan model responsif dengan cara
megidentifikasi kesenjangan yang ditinggalkan oleh industrialisasi.
Dalam konteks ini, tugas pendidikan adalah mengidentifikasi celah-celah
mana yang menjadi kelemahan proyek industrialisasi, untuk selanjutnya
diisi oleh pendidikan Islam. Kesenjangan ini berfungsi sebagai entry-point bagi pendidikan Islam untuk menjalankan perannya yang produktif di tengah era indutrialisasi.
Jika
mengamati bagaimana era industrialisasi bergulir di tengah masyarakat
Muslim, ada banyak kesenjangan yang mungkin bisa diisi oleh pendidikan
Islam. Kesenjangan tersebut berjalan berkelindan di tiga level
sekaligus; (1) level ontologis, (2) level eisemologis dan level (3)
aksiologis.[12]
Secara ontologis, konsep industrialisasi yang banyak dikembangkan di
berbagai belahan dunia ini cenderung mengedepankan kemampuan know-how
yang bertumpu pada kekuatan nalar positivistik. Akibatnya, manusia
hanya dijadikan sebagai obyek industrialisasi yang tidak jarang
dirugikan oleh dampak industrialisasi yang destruktif. Di sinilah kita
perlu mengidentifikasi kesenjangan akibat proyek industralisasi, yakni
tercerabutnya konsep kebudayaan dan peradaban dari nalar besar
idustrialisasi tersebut. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus mampu
menghadirkan dimensi lain dari kelemahan industrialisasi untuk
selanjutnya menyempurnakannya sesuai dengan nalar pendidikan Islam.
Berbeda
dari model partisipatif yang lebih banyak memberikan ruang bagi
penalaran Cartesian-burhani, model kedua ini lebih mendistribusikan
ketiga nalar secara adil dan merata; bayani, burhani, terebih lagi,
irfani.[13]
Konsekuensinya, fenomena industrialisasi dilihat dalam konteks yang
khas wilayah tertentu, misalnya Barat, yang— sangat boleh jadi—berbeda
dari industrialisasi dalam konteks masyarakat Muslim. Kasus
industrialisasi tidak harus bersandar pada pandangan Barat-sentris.
Banyak kebutuhan di Barat yang secara sosial dan historis merupakan
realitas yang terkonstruksi dan barangkali tidak berlaku untuk belahan
dunia lainnya, terutama dunia Islam.
Kritik populis atas industrialisasi berakar pada dampak sosial industrialisasi di awal abad ke 19 di Eropa, terutama Inggris.[14] Industralisasi
telah menciptakan apa yang dalam ungkapan Herbert Marcuse disebut
sebagai ”one-dimensional man” yang ditandai dengan gejala split-personality antara dimensi fisik dari non-fisik.[15] Seiring dengan
laju perkembangan sains dan teknologi, masyarakat industri mensyaratkan
penerapan perangkat ekonomi dan sosial dan penyerahan diri pada rezim
dominasi dan administrasi. Menurutnya, kondisi demikian akan menciptakan
”mechanics of conformity” yang segera menyebar ke seluruh
masyarakat, sebuah kondisi di mana setiap individu dituntut untuk
menggunakan tata pikir dan perilaku seragam sebagai implikasi dari
dominasi rezim industri tersebut. Individu-individu yang tidak mampu
menghindarkan diri dari terjangan rezim tersebut, dan oleh karena itu,
hidup di bawah naungannya, akan mengalami gejala satu dimensi dimaksud.[16]
Jika
menilik dampak yang ditimbulkan oleh industrialisasi yang begitu
kompleks, sebenarnya pendidikan Islam memiliki ruang yang sangat luas
untuk memainkan dirinya dalam rangka menutupi celah kekurangan
industrialisasi tersebut. Celah industrialisasi bisa dilihat pada
implikasi atau dampak industrialisasi yang dapat mengakibatkan
tergerusnya dimensi kemanusiaan pelaku industri. Berikut dampak atau
implikasi industrialisasi sebagaimana dikutip dari Rajesh Chandra: (1) Spread of industrial techniques to other sectors; (2) New social classes emerge; (3) Environmental deterioration; (4) Increase in the share of the manufacturing sector in the GDP; (5) Increase in inter-industrial transaction; (6) Increase in sophistication of technology and emphasis in society on science and technology; (7) Higher capital intensity; (8) Rise in worker productivity in the manufacturing sector relative to workers in other sectors; (9) Enlarged, impersonal unit of production; (10) Rural to urban migration; (11) Urbanization; (12) Increased interaction with regional and international systems; (13) Increased specialization, dan; (14) Attitudes become more material.[17]
Dari
keempatbelas dampak sebagaimana tersebut di atas, pendidikan Islam bisa
bermain hampir di setiap poin. Pada poin pertama, misalnya, pendidikan
Islam bisa bermain dalam hal diseminasi kemampuan know-how kepada masyarakat, terutama peserta didik. Secara berurutan, pendidikan Islam bisa memainkan peran counter-argument terhadap keempatbelas implikasi di atas: (2) menanggulangi class-conflict
dengan mengaksentuasi paham kesederajatan relasi sesama manusia; (3)
menggugah semangat eko-industrialization, yakni modus industrialisasi
dalam kerangka menjaga harmoni lingkungan dan alam semesta; (4)
memaksimalkan distribusi kekayaan agar tidak terjadi deprivasi ekonomi
dan ketimpangan sosial. Pada poin (5) membekali pebisnis dalam
bertransaksi secara jujur dan adil; (6) memberikan semangat kebudayaan
dan peradaban pada kehidupan teknologi dan industri agar tidak terjadi
dehumanisasi; (7) menekankan perlunya CSR—melalui zakat corporate—untuk
mengindari penumpukan kapital sekaligus mengurai kesenjangan
sosial-ekonomi warga; (8) memacu tingkat kedisiplinan dan etos kerja
yang tinggi di kalangan pekerja; (9) menekankan unit produksi yang lebih
manusiawi; (10) mencegah migrasi besar-besaran melalui distribusi
konsentrasi unit-unit industrialisasi; (11) menekan urbanisasi; (12)
meningkatkan pola-relasi internasional yang sederajat, bermartabat dan
saling menghargai; (13) menekankan spesifikasi keterampilan vokasional,
dan; (14) mengurangi dampak hedonisme-konsumtivisme akibat
industrialisasi. Keempatbelas counter-argument tersebut
sebenarnya dapat diringkas menjadi satu frasa: industrialisasi berbasis
etika Islam. Formula etika Islam ini bersifat sublim, dalam pengertian
merasuk dan menyemangati setiap poin tersebut.
Catatan Penutup
Demikianlah,
uraian di muka pada intinya menekankan langkah progresif pendidikan
Islam dalam merespon era industrialisasi. Tidak ada pilihan lain bagi
ummat Islam kecuali menghadapi dengan tegar era ini. Yang perlu
dipersiapkan adalah bagaimana ummat Islam mendesain model pembelajaran
yang sesuai dengan tantangan dan tuntutan industrialisasi, tanpa harus
mengorbankan idealisme dan tatanan nilai yang selama ini dibangun.
Pengembangan desain pendidikan Islam yang sejalan dengan tuntutan era
industrialisasi, pada akhirnya, tidak mencerabut manusia sebagai subyek
pembangunan. Selain itu, ia menempatkan harmoni relasi antar tiga elemen
di jagat raya ini: manusia-alam, manusia-Tuhan, dan manusia-manusia.
Hanya
melalui reformulasi model pendidikan Islam semacam ini, ummat Islam
akan memiliki kesiapan psikologis dan sosiologis dalam menyongsong
datangnya era industrialisasi. Dengan cara demikian pula, ummat Islam
tidak terjebak dalam sikap latah dalam merespon era industrialisasi;
latah menolak atau latah menerima mentah-mentah secara tidak kritis. Wallahu a’lam bishawab…
Surabaya, 2 April 2012
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Athiyah (1975). al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Flsafatuha. Kairo: Isa babi al-Halabi.
al-Attas, S.M.N. (1980). The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia.
Chandra, Rajesh (1992). Industrialization and Development in the Third World. London: Routledge.
Herbert Marcuse, Herbert (1964). One-dimensional man. London: Routledge & Kegan Paul.
Hewitt, Tom, et. al., (1992). Industrialization and Development. Oxford: Oxford University Press.
Hidayat, Komaruddin & Hendro Prasetyo (eds.) (2000). Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI.
Hilmy, Masdar (2009). Membaca Agama: Islam sebagai Realitas Terkonstruksi. Yogyakarta: IMPULSE.
Kerr, Clark et al., (1962). Industrialism and Industrial Man. London: Heinemann.
Kiely, Ray. (1998). Industrialization and development: a comparative analysis. London: UCL Press.
Kitching, G.N. (1982). Development and underdevelopment in historical perspective: Populism, nationalism, and industrialization. London & New York: Methuen.
Marcuse,
Herbert (1989). “From Ontology to Technology: Fundamental Tendencies of
Industrial Society,” dalam Stephen Bronner & Douglas Kellner
(eds.), Critical Theory and Society: A Reader. New York and London: Routledge.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Suriasumantri, Jujun S. (2005). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Wielemans,
Willy and Pauline Choi-Ping Chan (1992). “The Expansive Industrial
Mentality”, dalam Willy Wielemans and Pauline Choi-Ping Chan (eds.), Education and Culture in Industrializing Asia. Leuven: Leuven University Press.
[1] Kertas
kerja disampaikan dalam seminar “Pendidikan Islam di Indonesia menatap
era Industrialisasi”, diselenggarakan oleh Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang, 4 April 2012.
[2] Tom Hewitt et. Al., Industralization and Development (Oxford: Oxford University Press, 1992), 3-6.
[3] Ray Kiely, Industrialization and development: a comparative analysis (London: UCL Press, 1998), 3.
[4] Rajesh Chandra, Industrialization and Development in the Third World (London: Routledge, 1992), 3-4.
[5] Clark Kerr et al., Industrialism and Industrial Man (London: Heinemann, 1962), 29.
[6] Willy
Wielemans and Pauline Choi-Ping Chan, “The Expansive Industrial
mentality”, dalam Willy Wielemans and Pauline Choi-Ping Chan (ed.s), Education and Culture in Industrializing Asia (Leuven: Leuven University Press, 1992), 9.
[7] Lebih jauh tentang perbedaan dan persamaan ketiga konsep dalam pendidikan Islam ini, baca, misalnya, S.M.N. al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, 1980).
[8] Athiyah Al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Flsafatuha (Kairo: Isa babi al-Halabi, 1975), 110.
[9] Lihat, Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
[10] Lihat, Masdar Hilmy, Membaca Agama: Islam sebagai Realitas Terkonstruksi
(Yogyakarta: IMPULSE, 2009), terutama pada bagian “Epistemologi
Pendidikan Islam Kontemporer: Proliferasi Metodologis menuju
Epistemologi Alternatif”, hal. 145-158.
[11] Lebih jauh tentang IAIN, lihat, misalnya, Komaruddin Hidayat & Hendro Prasetyo (eds.), Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2000).
[12] Ketiga dimensi ini dipinjam dari kerangka dasar Filsafat imu. Lihat, misalnya, Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005).
[13] Masdar Hilmy, Membaca Agama, 157.
[14] G.N. Kitching, Development and underdevelopment in historical perspective: Populism, nationalism, and industrialization (London & New York: Methuen, 1982).
[15] Herbert Marcuse, One-dimensional man (London: Routledge & Kegan Paul, 1964).
[16] Baca
juga, Herbert Marcuse, “From Ontology to Technology: Fundamental
Tendencies of Industrial Society,” dalam Stephen Bronner & Douglas
Kellner (eds.), Critical Theory and Society: A Reader (New York and London: Routledge, 1989).
[17] Rajesh Chandra, Industrialization and Development in the Third World (London: Routledge, 1992), 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar