Kamis, 29 Maret 2012

METODOLOGI PEMBERSIHAN KITAB-KITAB TAFSIR DARI AL-DAKHIL, ISRAILIYAT DAN MAUDLU’AT


METODOLOGI PEMBERSIHAN KITAB-KITAB TAFSIR

DARI AL-DAKHIL, ISRAILIYAT DAN MAUDLU’AT

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Dakhil fi Al-Tafasir



Oleh:

Muhyi Abdurrohim (082092011)

 

yang dibina oleh :

Bpk. Abdul Wadud Lc. M.Ei.



JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

2011


BAB I PENDAHULUAN

            Sudah menjadi suatu yang lumrah bahwa kitab-kitab tafsir tidak terrbatas warna dan coraknya dengan manhaj dan uslub ahli-ahli tafsir itu sendiri, dan bahkan yang lebih menakjubkan lagi adalah kenyataan bahwa sedikit sekali dari kitab-kitab tafsir itu yang lepas dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at yang batil dan tidak sesuai dengan syariat agama Islam, baik itu kitab-kitab tafsir yang awal, pertengahan maupun komtemporer
            Dan  yang lebih merugikan lagi adalah kitab-kitab tafsir itu memberi pemahaman yang tidak benar bagi mayoritas umat Islam, meskipun tingkat kesalahnya tidak merata, sesuai dengan kadar Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at yang tidak sahih, akan tetapi penulis kitab-kitab tafsir yang dipenuhi dengan Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at mendapat tempat yang mulya di hati umat Islam, seperti kitab tafsir Imama Al-Thabary.
            Bagi kalangan yang tidak suka dengan agama Islam, kitab-kitab tafsir yang dipenuhi dengan Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at itu dijadikan alasan dan argumeentasi untuk memujokkan, mengolok-olok dan menghina Islam secara umum dan Al-quran dan Hadits secara khusus dengan mengatakan bahwa pendapat yang demikian ini di katakan oleh Imam Ibnu Jarir.
            Maka dengan alasan husnudh dhon (baik perangsangka) kebanyakan kaum Muslimin diseluruh muka bumi menerima penafsiran al-Quran dari kitab-kitab tafsir yang dipenuhi dengan Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at tanpa ada keritik sedikitpun meskipun sebagian dari penafsiran itusangat bertentengan dengan akidah umat Islan, argumentasi mereka adalah: kitab-kitab tafsir itu masih dipelajari hingga sekarang baik di Uneversitas Al-Azhar maupun di Uneversitas-Uneversitas yang lain, ini merupakan bencana yang besar bagi kaum Muslimin dan cara menyelesaiknya juga tidak mudah.
            Maka dalam makalah ini penulis ingin memaparkan sedikit tentang metodologi pembersihan kitab-kitab tafsir dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at, untuk memenuhi tugasa mata kuliah “Al-Dakhil fi al-Tafasir”, kepada semua pihak, khususnya pada dosen pengampu,  mohon bimbinganya, Jazakumullah khairan katsiran.





BAB II PEMBAHASAN
1. Corak dan warna kitab-kitab tafsir
            Keragaman dalam penafsiran al-Qur'an adalah kenyataan sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Karena setiap mufasir (penafsir) memiliki latar belakang keilmuan dan sosial yang berbeda-beda. Itulah sebabnya dalam khasanah penafsiran al-Qur'an dijumpai beragaam kitab-kitab tafsir dengan corak dan kecenderungan penafsiran yang berbeda-beda. Perbedaan penafsiran tersebut diyakini akan memperkaya khasanah dinamika intelektual beragama.
            Sudah menjadi suatu yang lumrah dan wajar bahwa kitab-kitab tafsir tidak terrbatas warna dan coraknya dengan manhaj dan uslub ahli-ahli tafsir itu sendiri, dan bahkan yang lebih menakjubkan lagi adalah kenyataan bahwa sedikit sekali dari kitab-kitab tafsir itu yang lepas dari pemahaman Isroiliyat dan Maudlu’at yang batil dan tidak sesuai dengan syariat agama Islam, baik itu kitab-kitab tafsir yang awal, pertengahan maupun komtemporer
A. Perkembangan dan Penafsiran pada Masa Tabi’in
            Setelah kepemimpinan khulafatur Rosyidin berakhir, masa pemerintahan kemudian dipegang oleh generasi berikuynya yaitu generasi Tabi’in yang tentunya segala urusan yang terjadi pada masa sahabat berganti alih kepada masa Tabi’in. Begitu juga mengenai hal ilmu-ilmu yang telah berkembang pada masa itu yang tentunya diteruskan oleh para Tabi’in sesuai dengan bidangnya masing-masing. Khususnya juga dalam hal ilmu tafsir yang akan dibahas pada makalah ini.
             Dalam hal penafsiran yang pada masa ke masa telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat diterima baik oleh para ulama dari kaum Tabi’in di berbagai daerah kawasan Islam. Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya yang merupakan tempat penyebaran agama Islam pada masa Tabi’in. Masa ini terjadi kira-kira dari tahun 100 H/723 M-181 H/812 M yang ditandai dengan wafatnya Tabi’in terakhir, yaitu Khalaf bin Khulaifat (w.181 H), sedangkan generasi Tabi’in berakhir pada tahun 200 H.
            Yang mengetahui secara pasti soal tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka itu kebanyakan ada kedekatan persahabatan kepda ahli tafsir sebelumnya, sehingga memudahkan mereka dalam memahami tafsir, seperti : Mujahid, ‘Atha bin Rayyah, Ikrimah maula Ibn Abbas, Said bin Jubair, dan lain-lain.Namun tidak menutup kemungkinan pada waktu itu para ahli tafsir berasal dari kota tersebut, seperti halnya Abdullah bin Mas’ud yang berasal dari Iraq, Zaid bin Aslam dan Abdurrahman bin Zaid yang berasal dari Madinah.
1. Tokoh-tokoh Ahli Tafsir pada masa Tabi’in
            Seperti halnya pada masa sahabat telah ada para ahli tafsir seperti, empat kholifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, dan lainnya, begitu juga pada masa Tabi’in. Banyak dari mereka yang menjadi ahli tafsir. Di bawah ini mereka Tabi’in yang ahli tafsir al-qur’an yang tentunya telah begitu besar pengorbanannya dalam mengembangkan ilmu tafsir pada saat itu, mereka adalah :
1. Muhammad bin Ka’ab
2. Abil ‘Aliyah
3. Hasan Bashri
4. Qatadah
5. Al Rabi’in Anas
6. Ad Dhahhak bin Muzaahim,
7. Imam Abu Malik
8. Dan lain-lain
Mereka itulah para ulama ahli tafsir di masa sesudah para shabat Nabi Muhammad saw dan mereka itulah oleh para ulama Islam dikenal sebagai para tafsir yang terdahulu dan menjadi bahan rujukan pada masa-masa selanjutnya.
2. Sumber Tafsir masa Tabi’in
Dalam mempelajari Al-Qur’an dan memahami maksud yang terkandung di dalam ayat-ayatnya serta tafsirnya, para Tabi’in berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan Nabi saw, dan tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi saw serta cerita-cerita dari para ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan naluri, baik bersandaran pada kaidah-kaidah bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh Allah swt.
                        Negara Islam pada masa ini telah membentang luas dari Negeri Cina di Timur sampai Utara Spayol di Barat. Atau hampir sepertiga luas peta Bumi kita ini. Oleh karena itu para Sahabat dan Tabi’in serta Tabi’it Tabi’in tidak menetap pada suatu daerah saja. Di daerah itu sebagian dari mereka ada yang menjadi guru, hskim, dan sebagainya. Mereka dating dengan membawa ilmu pengetahuandan keahlian masing-masing, terutama hadits-hadits dan tafsir yang mereka terima dari Nabi Muhammad saw.
            Dari tangan Tabi’in inilah, murid mereka itu belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya timbulah berbgai madzhab dan perguruan tafsir pada masa selanjutnya. Beriring meningkatnya kebutuhan akan tafsir pada masa itu, maka para ulama membuat sebuah sekolah-sekolah tafsir bagi semua kalangan, baik non Arab maupun dari Arab itu sendiri. Hal ini dilakukan karena kedekatan mereka dengan sumbber risalah dan pelita kenabian.
            Di samping itu juga mereka telah semakin jauh dari masa itu sehingga kebutuhan mereka akan tafsir meningkat. Karena semakin banyaknya penuntut ilmu, kemudian berdirilah pusat kajian Islam seperti madrasah diniyyah yang mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Pusat kajian tersebut diantaranya :Kita mengetahui bahwa pada masa generasi Tabi’in dapat kita jumpai banyak sekali pakar-pakar ahli tafsir yang begitu terkenal kesungguhannya dalam berijtihad untuk dapat mengetahui hakikat penafsiran ayat tertentu. Penafsiran ini terus berkembang, sehingga ketika periode selanjutnya timbul adanya kodifikasi-kodifikasi tafsir yang dilakukan dan dikembangkan oleh para ahli tafsir. Seperti timbulnya tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir-ra’yi, dan juga lainnya yang di dalam penafsirannya ada perbedaan corak dalam penafsirannya, sehingga kadang-kadang menjadi rawan dalam penafsirannya yang memungkinkan adanya penyimpangan dalam penafsirannya.
            Secara umum kitab-kitab tafsir menginformasikan bahwa pendapat-pendapat Tabi’in tentang tafsir yang mereka hasilkan melalui penalaran dan ijtihad yang independen. Artinya, penafsiran mereka ini sedikitpun tidak berasal dari Rosulullah atau dari Sahabat. Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa tafsir yang dinukil dari Rosulullah saw dan para Sahabat tidak mencakup semua ayat Al-Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka.
            Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi Muhammad saw dan Sahabat. Maka para Tabi’in yang menekuni bidang tafsir perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan itu. Hal ini juga terjadi pada masa-masa selanjutnya. Untuk menyempurnakan penafsiran sebelumnya mereka mengandalkan pada pengetahuan mereka dengan cara dalam bahasa Arab maupun cara bertutur kata, dan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang belum valid, Dengan demikian, sumber-sumber penafsiran pada zaman Tabi’in meliputi 5 sumber, yaitu :
1. Al-Qur’an
2. Hadits-hadits Nabi Muhammad saw
3. Tafsir dari para Sahabat
4. Cerita-cerita dari para ahli kitab
5. Ra’yu dan ijtihad
            Dilihat dari sumber-sumbernya tersebut tafsir pada masa Tabi’in umumnya berbentuk al-matsur, seperti halnya pada masa Sahabat. Jika dilihat dari sudut cara penafsiran secara umum tafsitan mereka menggunakan metode ijmali. Metode ini agak lebih luas jika dibandingkan dengan tafsir pada masa Sahabat yang menggunakan metode tahlili. Sehingga pada masa ini mulai ada perbedaan antara penafsiran masa Sahabat dan masa Tabi’in yang kemudian diikuti dengan adanya tafsir bil ra’yi.
            Negara Islam pada masa ini telah membentang luas dari Negeri Cina di Timur sampai Utara Spayol di Barat. Atau hampir sepertiga luas peta Bumi kita ini. Oleh karena itu para Sahabat dan Tabi’in serta Tabi’it Tabi’in tidak menetap pada suatu daerah saja. Di daerah itu sebagian dari mereka ada yang menjadi guru, hskim, dan sebagainya. Mereka dating dengan membawa ilmu pengetahuandan keahlian masing-masing, terutama hadits-hadits dan tafsir yang mereka terima dari Nabi Muhammad saw.
            Dari tangan Tabi’in inilah, murid mereka itu belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya timbulah berbgai madzhab dan perguruan tafsir pada masa selanjutnya. Beriring meningkatnya kebutuhan akan tafsir pada masa itu, maka para ulama membuat sebuah sekolah-sekolah tafsir bagi semua kalangan, baik non Arab maupun dari Arab itu sendiri. Hal ini dilakukan karena kedekatan mereka dengan sumbber risalah dan pelita kenabian. Di samping itu juga mereka telah semakin jauh dari masa itu sehingga kebutuhan mereka akan tafsir meningkat. Karena semakin banyaknya penuntut ilmu, kemudian berdirilah pusat kajian Islam seperti madrasah diniyyah yang mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Pusat kajian tersebut diantaranya :
            a. Di Makkah pusat kajian dipimpin oleh sahabat Abdullah bin Abbas (w. 63 H). Timbulnya madrasah ini dari Ibnu Abbas sebagai guru diMekah mengajarkan tafsir al-Quran kepada para tabi’in dan menjelaskan hal yang musykil dari makna lafadz al-Quran, kemudian oleh tabi’in menambahkan pemahamannya sendiri kemudian titafsirkan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) dalam hal qira’at, madarasah ini menggunakan qiroat yang berbeda-beda, (2) Metode penafsirannya menggunakan dasar aqliy. Murid-murid beliau diantaranya, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn Abbas, Thawus bin Kasan al Yamani, Atha’ bin Rabah.
            b. Di Madinah pusat kajian dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab yang banyak mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Tokoh-tokohnya diantaranya, Zaid bin Aslam (w. 136 H), Abul Aliyah (w. 90 H), Muhammad bin Ka’ab (w. 118 H), kemudian kepada mereka bertiga inilah para Tabi’in yang lain dan Tabi’ut Tabi’in belajar tafsir. Munculnya madrasah ini berawal dari para sahabat yang menetap di Madinah melakukan tadarus berjamaah dalam al-Qurn dan Sunnah diikuti oleh tabi’in yang memfokuskan perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab yang dinilai masyhur dalam menafsirkan al-Quran kemudian diteruskan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) telah ada sistem penulisan naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat Rabi’ oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah. (2) Telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Quran, sebagaimana diucapkan oleh Ibnu ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradliy. (3) Penafsiran birro’yi telah digunakan. Terbukti Tokoh Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran bir ro’yi namun bukan seperti madzhab bidiy pada period mutaakhiriin.
            c. Di Iraq pusat kajian dipimpin oleh Abdullah ibn Mas’ud. Meskipun di sana ada guru tafsir dari Sahabat-sahabat yang lain, Ibn Mas’ud lah yang dianggap sebagai guru tafsir pertama di Iraq dan di Kuffah. Madrasah ini timbul ketika Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jasin sebagai gubernur di Kufah, Ibnu Mas’ud saat itu ditunjuk sebagai guru atau mubaligh yang dalam penafsiran al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in Iraq disamping kemasyhuran beliau juga karena tafsirnya banyak dinulkilkan kepada generasi selanjutnya. Madrasah ini juga memiliki keistimewaan dianaranya; (1) Semaikin banyak ahli ra’yi. (2) banyak masalah khilafiyah dalam penafsiran al-Quran diakibatkan warna ro’yi tersebut. (3) Timbullah metode istid-lal sebagai kelanjutan dari adanya khilafiyah penafsiran al-Qur’an. Ahli tafsir dari Tabi’in Iraq yang mempelajari tafsir dan termasuk murid-murid Ibn Mas’ud di antaranya, Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry’ dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy, Aqamah an Nahhi, Masruq Ibn Ajda al-Hamdani, dan lain-lain.
            Periode ini terjadi kurang lebih abad II H-IV H, setelah berakhir masa Sahabat, muncul masa Tabi’in. Generasi Tabi’in ini terdiri atas murid-murid para Sahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada pendapat para Sahabat. Secara garis besar , para Tabi’in melakukan ijtihad dengan 2 cara, yaitu :
            a. Mereka mengutamakan pendapat seorang Sahabat dari pendapat Sahabat yang lain, bahkan kadang-kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang Sahabat. Hal ini jika pendapat yang diutamakan itu menurut ijtihad lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
            b. Mereka sendiri berijtihad, bahkan menurut mereka bahwa pembentukan hokum Islam sesungguhnya secara professional dimulai pada masa Tabi’in ini. Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin, setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah bersangkutan. Di Makkah muncul seperti ‘Atha Ibn Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyah, Ikrimah bin Zubair, di Basrah muncul Muslim bin Yasir, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain. Mengenai yang paling terkenal diantara para Tabi’in pada masa itu adalah Mujahid dan Sa’id Ibn Jubair.
sesungguhnya secara professional dimulai pada masa Tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin, setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah bersangkutan. Di Makkah muncul seperti ‘Atha Ibn Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyah, Ikrimah bin Zubair, di Basrah muncul Muslim bin Yasir, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain. Mengenai yang paling terkenal diantara para Tabi’in pada masa itu adalah Mujahid dan Sa’id Ibn Jubair.
            Secara umum keistimewaan tafsir di masa tabiin diwarnai dengan tiga macam warna yang menjadi tolak ukur perbedaan dengan Tafsir lainnya, yaitu diantaranya:
            a. Masuknya cerita israiliyat yang dibawa oleh ahli Kitab Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam,
            b. Periwayatan terjadi antar tokoh madrasah tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya, dan
            c. Terjadi perbedaan pendapat madzhabiyah yang timbul karena perbedaan pemahaman para tabi’in.
B. Perkembangan dan Penafsiran pada Masa Kodifikasi
            Pada dasarnya masa kodifikasi terhadap tafsir telah terjadi pada masa akhirnya Bani Umayyah yang diiringi bangkitnya masa Bani Abbasiyah. Pada masa itu mulailah ahli tafsir berfikir untuk segera memasukan tafsir ke dalam salah satu bab dalam buku-buku hadits. Namun yang dikodifikasikan pada masa itu masih sangat sedikit, terutama yang berkaitan dengan sebab nuzul sejumlah ayat atau keutamaan sejumlah surat dan ayat. Sampai saat itu belum ada karya khusus tentang tafsir Al-Qur’an, baik secara keseluruhan maupun sebagiannya.
            Usaha-usaha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak lebih dari penghimpunan sabda Rosulullah saw, pendapat Sahabat dan Tabi’in tentang tafsir. Yang mula-mula menulis tentang hal itu adalah Yazid ibn Harun Al-Maslami (w. 117 H), Syu’bah ibn Al-Hajaj (w. 160 H), Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H), Waki’ ibn Al-Jarah (197 H), Ruh ibn Ubadah Al-Bashri (w.205 H), Aburrazzaq ibn Humam (211 H), Abdul ibn Humaid (w. 249 H), dan lain-lain. Mereka semua merupakan imam hadits, karena itu perhatian mereka bukanlah untuk menghimpun seluruh tafsir sebagai ilmu tersendiri yang memang sengaja mereka himpun sejak awal, melainkan sebagai salah satu cabangnya. Kemudian tafsir mulai memisah dari hadits dan menjadi ilmu tersendiri. Yang mula-mula menulis tafsir sebagai ilmu tersendiri adalah Abdul Malik ibn Juraif Al-Makki (w.150 H) yang menghimpun tafsirnya. Dari tafsir tersebut sejumlah dilengkapi dengan riwayat dari para Sahabat dan Tabi’in, meski ia belum memberikan komentar sedikitpun terhadap riwayat-riwayat itu.
            Berangkat dari situ, untuk lebih jelas dan memperinci, di bawah proses kodifikasi terhadap tafsir yang dilakukan oleh para ulama mutaqaddimin dan ulama Mutaakhirin yang merupakan para mujtahid handal yang dapat mengembangkan serta memberikan modifikasi-modifikasi yang kemudian diteruskan terus oleh masa-masa selanjutnya.
1. Periode Ulama Mutaqadimin (III-VIII H/IX-XIII M)
            Yang dimaksud zaman Mutaqadimin di sini adalah zaman para penulis tfsir Al-Qur’an gelombang pertama yang memulai memisahkan tafsir dari hadits. Boleh juga sebagai generasi kodifikasi tafsir pertama, sehingga tafsir menjadi ilmu yang berdiri sendiri tidak lagi seperti periode sebelumnya yang belum memisahkan tafsir dari hadits. Periode ini mulai dari zaman Tabi’in dan Tabi’inat Tabi’in sampai akhir dinasti Abbasiyah, yaitu kira-kira dari tahun 150 H/782 M-656 H/1258 M, atau mulai abad II sampai abad VII H.
            Pada periode ini tafsir Al-Qur’an mulai dikumpulkan tersendiri, dipisahkan dari hadits Nabi Muhammad saw atau riwayat sahabat yang lain yang tidak menyangkut bidang tafsir ayat Al-Qur’an. Penafsiran yang mereka lakukan di atas sesuai dengan sistematik urutan ayat dari mushaf dalam Al-Qur’an yaitu daru surat Al-Fatihah sampai suarat An Naas.
a. Sumber Tafsir pada periode Ulama Mutaqadimin
1. Al-Qur’an
2.  Hadits Nabi Muhammad saw
3.  Riwayat para Sahabat
4.  Riwayat para Tabi’in
5. Riwayat Tabi’inat Tabi’in
6. Cerita ahli kitab
7. Ijtihad atau istimbat mufasir
            Dilihat dari sumber-sumber tafsir pada masa Ulama Mutaqadimin,bahwasanya tafsir pada masa itu berbentuk tafsir al matsur dan tafsir dirayah. Mula-mula tafsir tidak lebih dari pada tafsir bil ma’tsur. Namun seiring dengan waktu mulai ada kodifikasi-kodifikasi yang dilakukan oleh para ahli tafsir pada masa itu. Namun apa yang dilakukan oleh para ahli tafsir menimbulkan perselisihan dan kekaburan(al-dakhil), karena riwayat yang shahih dan riwayat yang tidak shahih bercampur dan mengakibatkan masuknya pemalsuan(maudlu’at)  dan menerobos isra’iliyat ke dalam kitab-kitab tafsir.
b. Tokoh-tokoh Tafsir pada masa Ulama Mutaqadimin
            Para Tokoh yang telah membawa tafsir ke dalam modifikasi dari kalangan ulama Mutaqadimin diantaranya adalah:
1. Ali Ibn Abi Thalhah (w. 343 H)
2. Ibn Abi Hatim (w. 327 H)
3. Ibn Majah (w. 273 H)
4. Ibn Mardawah (w. 410 H)
5. Ibn Hibban al Busti (w. 354 H)
6. Ibrahim ibn Mundzir (w. 236 H)
7. Ibn Jarir al Tabari (w. 316 H)
c. Kedudukan dan Keistimewaan Tafsir pada masa Ulama Mutaqadimin
Setelah wilayah tafsir meluas, dan ilmu ini berkembang semakin pesat yang kemudian pembukuan semakin sempurna. Para mufassir mulai memasuki tafsir dengan corak tafsir bir-ra’yi yang dalam menjelaskan penafsirannya terhadap maknanya berpegang pada pemahaman sendiri, pengambilan kesimpulan pun didasarkan pada logikanya semata. Dari sinilah dimulai penyusunan kitab-kitab tafsir dirayah secara tersendiri. Mengenai tafsir bir ra’yi, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan ada juga yang membolehkan.
Sedangkan keistimewaan tfsir pada masa itu sendiri adalah disebutkannya sanad (musnad) dari Tabi’in, Sahabat, sampai kepada nabi Muhammad saw.
2. Tafsir Periode Ulama Mutaakhirin (IX-XII H)
            Disebut periode Mutaakhirin karena pada zaman ini merupakan zaman para ulama mufasir periode kodifikasi kedua yang menuliskan tafsir terpisah dari hadits. Generasi ini muncul pada zaman kemunduran Ummat Islam yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H sampai timbulnya kebangkitan Islam pada tahun 1286 H atau abad 7 – 13 H.
            Usaha keras yang dilakukan ulama Mutaakhirin dalam menafsirkan ayat Al Qur’an telah menghasilkan kitab tafsir yang cukup lengkap banyak dan besar. Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang yang datang kemudian merasa puas dengan tafsir yang telah ada. Akibatnya tidak banyak ulama yang mau berusaha menafsirkan sendiri di samping karena mereka benar-benar memenuhi syarat sebagai seorang musafir tidak sebanyak pada periode Mutaqadimin. Oleh sebab itu pada zaman Mutaakhirin ini produksi baru kitab tafsir lebih sedikit dibandingkan zaman sebelumnya.
a. Sumber Tafsir pada periode Ulama Mutaakhirin
1. Al-Qur’an
2. Hadits dari Nabi Muhammad saw
3. Tafsir dari Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’inat Tabi’in
4. Kaidah Bahasa Arab dan segala cabangnya
5. Ilmu pengetahuan yang berkembang
6. Ijtihad
7. Pendapat para mufasir terdahulu
            Dilihat dari sumber-sumber tafsir pada masa mutaakhirin bahwasanya tafsir pada masa itu berbentuk izdiwaj yang berarti perpaduan antara bentuk mat’sur dan dirayah. Sedangkan menurut metode yang digunakan adalah menggunakan metode tahlili sama seperti periode sebelumnya yaitu masa Ulama Mutaqadimin.
b. Tokoh-tokoh Tafsir masa Ulama Mutaakhirin
1. Al-Baidawi (w. 692 H)
2. Fakhrudin ar Razi (w. 606 H)
3. Imam Ibrahim bin Umar al Biqa’in (w. 885 H)
4. Imam Al Alusi (w. 1270 H)
5. Dan lain-lain
            Pada masa itu para ulama memadukan antara tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi. Orientasi tafsir yang muncul dan berkembang seperti ini telah mewarnai tafsir dengan berbagai corak yang hampir-hampir menutupinya akan fungsi dasar tafsir. Kita dapat menemukan kitab-kitab tafsir yang mencampurkan kedalamnya ilmu-ilmu filsafat dan para penafsir bertumpu kepada pemahaman pribadi, terminiologi ilmiah, ideology-ideologi madzhab, dan budaya-budaya falsafi.
            Dengan hal yang semacam ini, perbedaan pendapat terus meningkat, masalah-masalah semakin berkobar, fanatisme madzhab menjadi serius, dan ilmu-ilmu filsafat yang bercorak rasional bercampur baur dengan ilmu-ilmu naqli, ini semua menyebabkan tafsir ternoda. Sehingga tidak heran, apabila para mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah keberbagai kecenderungan. Tegasnya, banyak diantara mufassir menafsirkan Al-Qur’an menurut selera mereka sendiri dan masing-masing mufassir mengarahkan penafsirannya sesuai keahlian mereka ke dalam cabang ilmu yang dikuasainya, sehingga lahirlah berbagai corak tafsir yang berbeda-beda.
            Di samping itu, ada juga yang bertumpu pada ilmu bahasa Arab seperti nahwu, balaghoh, dan semisalnya, yang membuat mereka para mufassirnya melakukan penyimpangan. Demikian pula kitab-kitab tafsir yang mereka bukukan pada saat itu, di dalamnya bercampur aduk antara yang berguna dengan yang berbahaya dan yang baik dengan yang buruk.
            Kondisi seperti ini berlangsung sampai lama berabad-abad. Satu hal yang cukup menonjol dari perkembangan tafsir , dengan berbagai coraknya itu ialah munculnya fanatisme madzhab, tidak saja di kalangan fuqoha, tetapi juga di kalangan mufassirin. Tidak mengherankan apabila keadaan ini kemudian menyeret ummat Islam ke lembah kejumudan, karena sikap jumud itu dimulai oleh para kaum ulama sendiri.
            Pada masa-masa selanjutnya kodifikasi-kodifikasi tafsir semakin berkembang pesat dan memiliki corak baru, yakni mengkaji pemikiran-pemikiran modern seperti yang dilakukan oleh sebagian mufassir dengan mengkaji teori-teori social, yang diikuti dengan adanya tafsir Al-Dhilal. Yang lain mengorientasikan tafsirnya pada tori-teori ilmiah dan alamiah, sepeti Al-Jawahir. Yang lain lagi mengkonsentrasikan diri pada aspek-aspek hidayah dan pembemtukan hukum, seperti Al-Manar dan Al-Maraghi, dan masih banyak lagi corak lainnya. Kondisi seperti itu membuat tafsir Dirayah mendesak tafsir bil-ma’tsur yang pada akhirnya tafsir Bir ra’yi menang atas tafsir bil-ma’tsur.
            Penulisan tafsir pada masa selanjutnya masih mengikuti pola di atas. Keadaan demikian terus berlanjut sampai berabad-abad sampai lahirnya pola baru dalam tafsir modern yaitu sekitar abad ke 19 Masehi, yakni ketika Muhammad Abduh tampil sebagai mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menghembuskan nafas pembaharuan yang kelihatannya berupaya memadukan antara Islam dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan.  
2. Al-Dakhil, Israiliyat dan Maudlu’at       
            Setelah beberapa ulama Yahudi masuk Islam, seperti : Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul ‘Azis bin Juraij; khabar dan kisah dari kitab-kitab Bani Israil mulai menyebar di kalangan kamu muslimin. Sebagian mufasirin mengutip Israiliyyat ini kedalam kitab tafsir mereka. Israiliyyat ini dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Yang sesuai dengan syariat Islam, maka bisa diterima.
2. Yang bertentangan dengan syariat Islam, maka harus ditolak.
3. Yang didiamkan, tidak diterima dan tidak ditolak, sebatas dijadikan wacana
            Diatas telah dijelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh para ahli tafsir Para Tokoh yang telah membawa tafsir ke dalam modifikasi dari kalangan ulama Mutaqadimin menimbulkan perselisihan dan kekaburan, karena riwayat yang shahih dan riwayat yang tidak shahih bercampur dan mengakibatkan masuknya Maudlu’at (pemalsuan) dan menerobos isra’iliyat ke dalam kitab-kitab tafsir.
            Dan  yang lebih merugikan lagi adalah kitab-kitab tafsir itu memberi pemahaman yang tidak benar bagi mayoritas umat Islam, meskipun tingkat kesalahnya tidak sama sesuai dengan kadar Isroiliyat dan Maudlu’at yang tidak sahih, akan tetapi penulis kitab-kitab tafsir yang dipenuhi dengan Isroiliyat dan Maudlu’at mendapat tempat yang mulya di hati umat Islam, seperti kitab tafsir Imama Al-Thabary.
            Bagi kalangan yang tidak suka dengan agama Islam, kitab-kitab tafsir yang dipenuhi dengan Isroiliyat dan Maudlu’at itu dijadikan alasan dan argumeentasi untuk memujokkan, mengolok-olok dan menghina Islam secara umum dan Al-quran dan Hadits secara khusus dengan mengatakan bahwa pendapat yang demikian ini di katakan oleh Imam Ibnu Jarir yang ‘Alim.
            Saat ini realita yang terjadi adalah bahwa mayoritas masyarakat yang mengaku sebagai kaum muslimin dewasa ini berpaling dari kitabullah dan melemparkannya ke belakang punggung mereka, tidak mengharapkan janji Allah dan tidak takut akan ancaman-Nya, maka kami mengatahui, bahwa hal tersebut merupakan faktor yang dapat mendorong seorang yang telah Allah berikan kepadanya ilmu akan kitab-Nya, untuk mengarahkan semangatnya yang tinggi demi berkhidmah kepada kitab-Nya, menjelaskan makna-maknanya, menampakkan keindahan-keindahannya, menerangkan kesulitan yang ada padanya, menjelaskan hukum-hukumnya, serta mengajak manusia untuk mengamalkannya dan meninggalkan segala sesuatu yang bertolak-belakang dengan kitab itu”.
            Maka dengan alasan husnudh dhon (baik perangsangka) kebanyakan kaum Muslimin diseluruh muka bumi menerima penafsiran al-Quran dari kitab-kitab tafsir yang dipenuhi dengan Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at tanpa ada keritik sedikitpun meskipun sebagian dari penafsiran itu sangat bertentengan dengan akidah umat Islam, argumentasi mereka adalah: kitab-kitab tafsir itu masih dipelajari hingga sekarang baik di Uneversitas Al-Azhar maupun di Uneversitas-Uneversitas yang lain, ini merupakan bencana yang besar bagi kaum Muslimin dan cara menyelesaiknya juga tidak mudah.
2. Metodologi pembersihan kitab-kitab Tafsir dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at
            Metodologi pembersihan kitab-kitab Tafsir dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at harus di lakukan beberap cara, diantaranya:
a.       Harus ada upaya dari Ulama Tafsir untuk membersihkan kitab-kitab tafsir dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at dan mencegah untuk mecetaknya apalagi mmperbanyak, dari masa kemasa sehingga Ummat Islam benar-benar memahami tafsir Al-Quran yang benar dan sahih, bersih dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at, dengan demikian kita telah menutup pintu bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam dan justru ummt Islam akan mersakan keagungan dan keberkatan agam Islam yang masih tersimpan.
b.      Mempelajari dan mengkaji  kitab-kitab tafsir yang sahihah, dilembaga-lembaga pendidikan, di STAIN, IAIN, UIN Dll. Pengganti kitab-kitab tafsir yang dipenuhi dengan Isroiliyat dan Maudlu’at, sehingga generasi muslim mendapatkan ilmu yang bermanfa’at dan benar, sehingga mereka mencapai tujuan utama dan mulya diutusnya nabi Muhammad Saw. Termasuk hal yang sudah kita ketahui bersama bahwa pelajaran tafsir tidaklah terbatas pada sebuah pembahasan saja, akan tetapi pelajaran tafsir adalah ilmu yang mencakup seluruh isi al-Qur`an dan segala keumuman yang ada di dalamnya.
c.       Mengadakan diskudi-diskudi ilmiyah dengan mengedepankan dalil akli dan naqli yang sesuai pemahaman Al-Quran dan Sunah Shahihah.


BAB III KESIMPULAN

            Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa;
1.      Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at, dimulai Setelah beberapa ulama Yahudi masuk Islam, seperti : Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul ‘Azis bin Juraij; khabar dan kisah dari kitab-kitab Bani Israil mulai menyebar di kalangan kamu muslimin.
2.      Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at, sudah ada sejak Tokoh-tokoh Ahli Tafsir pada masa Tabi’in.
3.      Pembersihan kitab-kitab Tafsir dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at adalh hal yang wajib di lakukan untuk menyelamatkan aqidah Islam.
4.      Metodologi pembersihan kitab-kitab Tafsir dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at harus di lakukan tiga cara.



























BAB IV DAFTAR PUSTAKA

Dr Abdullah, Dirasat fi al-Tanbih ala ma fi al-tafsir Al-Dakhil wa Isroiliyat.
Abidu, Yunus Hasan. Tafsir Al-Qur’an  (Sejarah dan Metode Para Mufassir).     Jakarta:
Gaya Media Pratama. 2007
Ahmad Al-Syir Bashri. Qissat al Tafsir. Bairut: Dar al Jil. 1978.
Ahmad Musthafa al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. Ttp: Darul Fikri.
Anwar, Rosihon. Ulumul Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia. 2000.
Helfi, Philip K. History of The Arabs. London: The Maimillan Press, 1974
Kholil, Moenawar. Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa. Solo: Ramadhani. 1994.
Manna Khalil Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006
Manna Khalil Al-Qaththan. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa. 2009.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an). Semarang: PT Pustaka Rizki Putra. 2002
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Jakarta: PT Bulan Bintang. 1994.
Muhammad Husaya Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun. Kairo: Dar Al-Kutub Al-Hadisah, 1961
Nawawi, Rifat Syauqi. Rasionalitas Tafsir. Jakrta: Paramadina. 2002.
Subhi Ash Shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar