METODOLOGI PEMBERSIHAN KITAB-KITAB TAFSIR
DARI
AL-DAKHIL, ISRAILIYAT DAN MAUDLU’AT
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Al-Dakhil fi Al-Tafasir
Oleh:
Muhyi Abdurrohim (082092011)
yang dibina oleh :
Bpk. Abdul Wadud Lc. M.Ei.
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) JEMBER
2011
BAB I PENDAHULUAN
Sudah
menjadi suatu yang lumrah bahwa kitab-kitab tafsir tidak terrbatas warna dan
coraknya dengan manhaj dan uslub ahli-ahli tafsir itu sendiri, dan bahkan yang lebih
menakjubkan lagi adalah kenyataan bahwa sedikit sekali dari kitab-kitab tafsir
itu yang lepas dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at yang batil dan tidak
sesuai dengan syariat agama Islam, baik itu kitab-kitab tafsir yang awal,
pertengahan maupun komtemporer
Dan yang lebih merugikan lagi adalah kitab-kitab
tafsir itu memberi pemahaman yang tidak benar bagi mayoritas umat Islam,
meskipun tingkat kesalahnya tidak merata, sesuai dengan kadar Al-Dakhil, Isroiliyat
dan Maudlu’at yang tidak sahih, akan tetapi penulis kitab-kitab tafsir yang
dipenuhi dengan Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at mendapat tempat yang mulya
di hati umat Islam, seperti kitab tafsir Imama Al-Thabary.
Bagi
kalangan yang tidak suka dengan agama Islam, kitab-kitab tafsir yang dipenuhi
dengan Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at itu dijadikan alasan dan
argumeentasi untuk memujokkan, mengolok-olok dan menghina Islam secara umum dan
Al-quran dan Hadits secara khusus dengan mengatakan bahwa pendapat yang
demikian ini di katakan oleh Imam Ibnu Jarir.
Maka
dengan alasan husnudh dhon (baik perangsangka) kebanyakan kaum Muslimin
diseluruh muka bumi menerima penafsiran al-Quran dari kitab-kitab tafsir yang
dipenuhi dengan Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at tanpa ada keritik
sedikitpun meskipun sebagian dari penafsiran itusangat bertentengan dengan
akidah umat Islan, argumentasi mereka adalah: kitab-kitab tafsir itu masih
dipelajari hingga sekarang baik di Uneversitas Al-Azhar maupun di
Uneversitas-Uneversitas yang lain, ini merupakan bencana yang besar bagi kaum
Muslimin dan cara menyelesaiknya juga tidak mudah.
Maka
dalam makalah ini penulis ingin memaparkan sedikit tentang metodologi
pembersihan kitab-kitab tafsir dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at, untuk
memenuhi tugasa mata kuliah “Al-Dakhil fi al-Tafasir”, kepada semua
pihak, khususnya pada dosen pengampu,
mohon bimbinganya, Jazakumullah khairan katsiran.
BAB
II PEMBAHASAN
1. Corak dan warna kitab-kitab tafsir
Keragaman
dalam penafsiran al-Qur'an adalah kenyataan sejarah yang tidak bisa dipungkiri.
Karena setiap mufasir (penafsir) memiliki latar belakang keilmuan dan sosial
yang berbeda-beda. Itulah sebabnya dalam khasanah penafsiran al-Qur'an dijumpai
beragaam kitab-kitab tafsir dengan corak dan kecenderungan penafsiran yang
berbeda-beda. Perbedaan penafsiran tersebut diyakini akan memperkaya khasanah
dinamika intelektual beragama.
Sudah
menjadi suatu yang lumrah dan wajar bahwa kitab-kitab tafsir tidak terrbatas
warna dan coraknya dengan manhaj dan uslub ahli-ahli tafsir itu sendiri, dan
bahkan yang lebih menakjubkan lagi adalah kenyataan bahwa sedikit sekali dari
kitab-kitab tafsir itu yang lepas dari pemahaman Isroiliyat dan Maudlu’at yang
batil dan tidak sesuai dengan syariat agama Islam, baik itu kitab-kitab tafsir
yang awal, pertengahan maupun komtemporer
A. Perkembangan dan
Penafsiran pada Masa Tabi’in
Setelah
kepemimpinan khulafatur Rosyidin berakhir, masa pemerintahan kemudian dipegang
oleh generasi berikuynya yaitu generasi Tabi’in yang tentunya segala urusan
yang terjadi pada masa sahabat berganti alih kepada masa Tabi’in. Begitu juga
mengenai hal ilmu-ilmu yang telah berkembang pada masa itu yang tentunya
diteruskan oleh para Tabi’in sesuai dengan bidangnya masing-masing. Khususnya
juga dalam hal ilmu tafsir yang akan dibahas pada makalah ini.
Dalam hal penafsiran yang pada masa ke masa
telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran
pada masa sahabat diterima baik oleh para ulama dari kaum Tabi’in di berbagai
daerah kawasan Islam. Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli
tafsir di Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya yang merupakan tempat
penyebaran agama Islam pada masa Tabi’in. Masa ini terjadi kira-kira dari tahun
100 H/723 M-181 H/812 M yang ditandai dengan wafatnya Tabi’in terakhir, yaitu
Khalaf bin Khulaifat (w.181 H), sedangkan generasi Tabi’in berakhir pada tahun
200 H.
Yang
mengetahui secara pasti soal tafsir adalah orang-orang Makkah, karena mereka
itu kebanyakan ada kedekatan persahabatan kepda ahli tafsir sebelumnya,
sehingga memudahkan mereka dalam memahami tafsir, seperti : Mujahid, ‘Atha bin
Rayyah, Ikrimah maula Ibn Abbas, Said bin Jubair, dan lain-lain.Namun tidak
menutup kemungkinan pada waktu itu para ahli tafsir berasal dari kota tersebut,
seperti halnya Abdullah bin Mas’ud yang berasal dari Iraq, Zaid bin Aslam dan
Abdurrahman bin Zaid yang berasal dari Madinah.
1. Tokoh-tokoh Ahli Tafsir pada masa Tabi’in
Seperti
halnya pada masa sahabat telah ada para ahli tafsir seperti, empat kholifah,
Ibnu Mas’ud, Ibnu abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, dan
lainnya, begitu juga pada masa Tabi’in. Banyak dari mereka yang menjadi ahli
tafsir. Di bawah ini mereka Tabi’in yang ahli tafsir al-qur’an yang tentunya
telah begitu besar pengorbanannya dalam mengembangkan ilmu tafsir pada saat
itu, mereka adalah :
1. Muhammad bin Ka’ab
2. Abil ‘Aliyah
3. Hasan Bashri
4. Qatadah
5. Al Rabi’in Anas
6. Ad Dhahhak bin Muzaahim,
7. Imam Abu Malik
8. Dan lain-lain
Mereka itulah para ulama ahli tafsir di masa
sesudah para shabat Nabi Muhammad saw dan mereka itulah oleh para ulama Islam
dikenal sebagai para tafsir yang terdahulu dan menjadi bahan rujukan pada
masa-masa selanjutnya.
2. Sumber Tafsir masa Tabi’in
Dalam mempelajari Al-Qur’an dan memahami maksud
yang terkandung di dalam ayat-ayatnya serta tafsirnya, para Tabi’in
berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan Nabi saw, dan
tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi saw serta cerita-cerita dari para
ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka
berijtihad atau menggunakan pertimbangan naluri, baik bersandaran pada
kaidah-kaidah bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain sebagaimana yang
telah dianugerahkan oleh Allah swt.
Negara
Islam pada masa ini telah membentang luas dari Negeri Cina di Timur sampai
Utara Spayol di Barat. Atau hampir sepertiga luas peta Bumi kita ini. Oleh
karena itu para Sahabat dan Tabi’in serta Tabi’it Tabi’in tidak menetap pada
suatu daerah saja. Di daerah itu sebagian dari mereka ada yang menjadi guru,
hskim, dan sebagainya. Mereka dating dengan membawa ilmu pengetahuandan
keahlian masing-masing, terutama hadits-hadits dan tafsir yang mereka terima
dari Nabi Muhammad saw.
Dari
tangan Tabi’in inilah, murid mereka itu belajar dan menimba ilmu, sehingga
selanjutnya timbulah berbgai madzhab dan perguruan tafsir pada masa
selanjutnya. Beriring meningkatnya kebutuhan akan tafsir pada masa itu, maka
para ulama membuat sebuah sekolah-sekolah tafsir bagi semua kalangan, baik non
Arab maupun dari Arab itu sendiri. Hal ini dilakukan karena kedekatan mereka
dengan sumbber risalah dan pelita kenabian.
Di
samping itu juga mereka telah semakin jauh dari masa itu sehingga kebutuhan
mereka akan tafsir meningkat. Karena semakin banyaknya penuntut ilmu, kemudian
berdirilah pusat kajian Islam seperti madrasah diniyyah yang mengajarkan tafsir
Al-Qur’an. Pusat kajian tersebut diantaranya :Kita mengetahui bahwa pada
masa generasi Tabi’in dapat kita jumpai banyak sekali pakar-pakar ahli tafsir
yang begitu terkenal kesungguhannya dalam berijtihad untuk dapat mengetahui
hakikat penafsiran ayat tertentu. Penafsiran ini terus berkembang, sehingga
ketika periode selanjutnya timbul adanya kodifikasi-kodifikasi tafsir yang
dilakukan dan dikembangkan oleh para ahli tafsir. Seperti timbulnya tafsir bil
ma’tsur dan tafsir bir-ra’yi, dan juga lainnya yang di dalam penafsirannya ada
perbedaan corak dalam penafsirannya, sehingga kadang-kadang menjadi rawan dalam
penafsirannya yang memungkinkan adanya penyimpangan dalam penafsirannya.
Secara umum kitab-kitab tafsir menginformasikan bahwa
pendapat-pendapat Tabi’in tentang tafsir yang mereka hasilkan melalui penalaran
dan ijtihad yang independen. Artinya, penafsiran mereka ini sedikitpun tidak
berasal dari Rosulullah atau dari Sahabat. Pada pembahasan sebelumnya
disebutkan bahwa tafsir yang dinukil dari Rosulullah saw dan para Sahabat tidak
mencakup semua ayat Al-Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang
sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka.
Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap
disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi Muhammad saw dan Sahabat. Maka
para Tabi’in yang menekuni bidang tafsir perlu untuk menyempurnakan sebagian
kekurangan itu. Hal ini juga terjadi pada masa-masa selanjutnya. Untuk
menyempurnakan penafsiran sebelumnya mereka mengandalkan pada pengetahuan
mereka dengan cara dalam bahasa Arab maupun cara bertutur kata, dan juga
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang
belum valid, Dengan demikian, sumber-sumber penafsiran pada zaman Tabi’in
meliputi 5 sumber, yaitu :
1. Al-Qur’an
2. Hadits-hadits Nabi
Muhammad saw
3. Tafsir dari para
Sahabat
4. Cerita-cerita dari para
ahli kitab
5. Ra’yu dan ijtihad
Dilihat dari sumber-sumbernya tersebut tafsir pada masa
Tabi’in umumnya berbentuk al-matsur, seperti halnya pada masa Sahabat. Jika
dilihat dari sudut cara penafsiran secara umum tafsitan mereka menggunakan
metode ijmali. Metode ini agak lebih luas jika dibandingkan dengan tafsir pada
masa Sahabat yang menggunakan metode tahlili. Sehingga pada masa ini mulai ada
perbedaan antara penafsiran masa Sahabat dan masa Tabi’in yang kemudian diikuti
dengan adanya tafsir bil ra’yi.
Negara Islam pada masa ini telah membentang luas dari
Negeri Cina di Timur sampai Utara Spayol di Barat. Atau hampir sepertiga luas
peta Bumi kita ini. Oleh karena itu para Sahabat dan Tabi’in serta Tabi’it
Tabi’in tidak menetap pada suatu daerah saja. Di daerah itu sebagian dari
mereka ada yang menjadi guru, hskim, dan sebagainya. Mereka dating dengan
membawa ilmu pengetahuandan keahlian masing-masing, terutama hadits-hadits dan
tafsir yang mereka terima dari Nabi Muhammad saw.
Dari tangan Tabi’in inilah, murid mereka itu belajar dan
menimba ilmu, sehingga selanjutnya timbulah berbgai madzhab dan perguruan
tafsir pada masa selanjutnya. Beriring meningkatnya kebutuhan akan tafsir pada
masa itu, maka para ulama membuat sebuah sekolah-sekolah tafsir bagi semua
kalangan, baik non Arab maupun dari Arab itu sendiri. Hal ini dilakukan karena
kedekatan mereka dengan sumbber risalah dan pelita kenabian. Di samping itu
juga mereka telah semakin jauh dari masa itu sehingga kebutuhan mereka akan
tafsir meningkat. Karena semakin banyaknya penuntut ilmu, kemudian berdirilah
pusat kajian Islam seperti madrasah diniyyah yang mengajarkan tafsir Al-Qur’an.
Pusat kajian tersebut diantaranya :
a. Di Makkah pusat kajian dipimpin oleh sahabat Abdullah
bin Abbas (w. 63 H). Timbulnya madrasah ini dari Ibnu Abbas sebagai guru
diMekah mengajarkan tafsir al-Quran kepada para tabi’in dan menjelaskan hal
yang musykil dari makna lafadz al-Quran, kemudian oleh tabi’in menambahkan
pemahamannya sendiri kemudian titafsirkan ke generasi berikutnya. Keistimewaan
madrasah ini antara lain; (1) dalam hal qira’at, madarasah ini menggunakan
qiroat yang berbeda-beda, (2) Metode penafsirannya menggunakan dasar aqliy.
Murid-murid beliau diantaranya, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn
Abbas, Thawus bin Kasan al Yamani, Atha’ bin Rabah.
b. Di Madinah pusat kajian dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab
yang banyak mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Tokoh-tokohnya diantaranya, Zaid bin
Aslam (w. 136 H), Abul Aliyah (w. 90 H), Muhammad bin Ka’ab (w. 118 H),
kemudian kepada mereka bertiga inilah para Tabi’in yang lain dan Tabi’ut
Tabi’in belajar tafsir. Munculnya madrasah ini berawal dari para sahabat yang
menetap di Madinah melakukan tadarus berjamaah dalam al-Qurn dan Sunnah diikuti
oleh tabi’in yang memfokuskan perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab yang dinilai
masyhur dalam menafsirkan al-Quran kemudian diteruskan ke generasi berikutnya.
Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) telah ada sistem penulisan naskah
dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat Rabi’ oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan
juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari
Ubay lewat Abu ‘Aliyah. (2) Telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat
al-Quran, sebagaimana diucapkan oleh Ibnu ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin
Ka’ab Al-Quradliy. (3) Penafsiran birro’yi telah digunakan. Terbukti Tokoh Zaid
bin Aslam membolehkan penafsiran bir ro’yi namun bukan seperti madzhab bidiy
pada period mutaakhiriin.
c. Di Iraq pusat kajian dipimpin oleh Abdullah ibn
Mas’ud. Meskipun di sana ada guru tafsir dari Sahabat-sahabat yang lain, Ibn
Mas’ud lah yang dianggap sebagai guru tafsir pertama di Iraq dan di Kuffah.
Madrasah ini timbul ketika Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jasin sebagai
gubernur di Kufah, Ibnu Mas’ud saat itu ditunjuk sebagai guru atau mubaligh
yang dalam penafsiran al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in Iraq disamping
kemasyhuran beliau juga karena tafsirnya banyak dinulkilkan kepada generasi
selanjutnya. Madrasah ini juga memiliki keistimewaan dianaranya; (1) Semaikin
banyak ahli ra’yi. (2) banyak masalah khilafiyah dalam penafsiran al-Quran
diakibatkan warna ro’yi tersebut. (3) Timbullah metode istid-lal sebagai
kelanjutan dari adanya khilafiyah penafsiran al-Qur’an. Ahli tafsir dari
Tabi’in Iraq yang mempelajari tafsir dan termasuk murid-murid Ibn Mas’ud di antaranya,
Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry’ dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy, Aqamah an
Nahhi, Masruq Ibn Ajda al-Hamdani, dan lain-lain.
Periode ini terjadi kurang lebih abad II H-IV H, setelah
berakhir masa Sahabat, muncul masa Tabi’in. Generasi Tabi’in ini terdiri atas
murid-murid para Sahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada pendapat
para Sahabat. Secara garis besar , para Tabi’in melakukan ijtihad dengan 2
cara, yaitu :
a. Mereka mengutamakan pendapat seorang Sahabat dari
pendapat Sahabat yang lain, bahkan kadang-kadang mengutamakan pendapat seorang
Tabi’in dari pendapat seorang Sahabat. Hal ini jika pendapat yang diutamakan
itu menurut ijtihad lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Mereka sendiri berijtihad, bahkan menurut mereka bahwa
pembentukan hokum Islam sesungguhnya secara professional dimulai pada masa
Tabi’in ini. Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin, setiap kota
memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada
perkembangan ijtihad di daerah bersangkutan. Di Makkah muncul seperti ‘Atha Ibn
Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyah, Ikrimah bin Zubair, di Basrah
muncul Muslim bin Yasir, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain. Mengenai yang
paling terkenal diantara para Tabi’in pada masa itu adalah Mujahid dan Sa’id
Ibn Jubair.
sesungguhnya secara
professional dimulai pada masa Tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad
pada masa ini semakin, setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan
memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah bersangkutan. Di
Makkah muncul seperti ‘Atha Ibn Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin
Musayyah, Ikrimah bin Zubair, di Basrah muncul Muslim bin Yasir, Muhammad bin
Sirin, dan lain-lain. Mengenai yang paling terkenal diantara para Tabi’in pada
masa itu adalah Mujahid dan Sa’id Ibn Jubair.
Secara umum keistimewaan tafsir di masa tabiin diwarnai
dengan tiga macam warna yang menjadi tolak ukur perbedaan dengan Tafsir
lainnya, yaitu diantaranya:
a. Masuknya cerita israiliyat yang dibawa oleh ahli Kitab
Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam,
b. Periwayatan terjadi antar tokoh madrasah tafsir di
suatu kota dengan murid-muridnya, dan
c. Terjadi perbedaan pendapat madzhabiyah yang timbul
karena perbedaan pemahaman para tabi’in.
B. Perkembangan dan Penafsiran
pada Masa Kodifikasi
Pada dasarnya masa kodifikasi terhadap tafsir telah
terjadi pada masa akhirnya Bani Umayyah yang diiringi bangkitnya masa Bani
Abbasiyah. Pada masa itu mulailah ahli tafsir berfikir untuk segera memasukan
tafsir ke dalam salah satu bab dalam buku-buku hadits. Namun yang
dikodifikasikan pada masa itu masih sangat sedikit, terutama yang berkaitan
dengan sebab nuzul sejumlah ayat atau keutamaan sejumlah surat dan ayat. Sampai
saat itu belum ada karya khusus tentang tafsir Al-Qur’an, baik secara
keseluruhan maupun sebagiannya.
Usaha-usaha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak lebih dari
penghimpunan sabda Rosulullah saw, pendapat Sahabat dan Tabi’in tentang tafsir.
Yang mula-mula menulis tentang hal itu adalah Yazid ibn Harun Al-Maslami (w.
117 H), Syu’bah ibn Al-Hajaj (w. 160 H), Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H), Waki’
ibn Al-Jarah (197 H), Ruh ibn Ubadah Al-Bashri (w.205 H), Aburrazzaq ibn Humam
(211 H), Abdul ibn Humaid (w. 249 H), dan lain-lain. Mereka semua merupakan
imam hadits, karena itu perhatian mereka bukanlah untuk menghimpun seluruh
tafsir sebagai ilmu tersendiri yang memang sengaja mereka himpun sejak awal,
melainkan sebagai salah satu cabangnya. Kemudian tafsir mulai memisah dari
hadits dan menjadi ilmu tersendiri. Yang mula-mula menulis tafsir sebagai ilmu
tersendiri adalah Abdul Malik ibn Juraif Al-Makki (w.150 H) yang menghimpun
tafsirnya. Dari tafsir tersebut sejumlah dilengkapi dengan riwayat dari para
Sahabat dan Tabi’in, meski ia belum memberikan komentar sedikitpun terhadap
riwayat-riwayat itu.
Berangkat dari situ, untuk lebih jelas dan memperinci, di
bawah proses kodifikasi terhadap tafsir yang dilakukan oleh para ulama
mutaqaddimin dan ulama Mutaakhirin yang merupakan para mujtahid handal yang
dapat mengembangkan serta memberikan modifikasi-modifikasi yang kemudian
diteruskan terus oleh masa-masa selanjutnya.
1. Periode Ulama
Mutaqadimin (III-VIII H/IX-XIII M)
Yang dimaksud zaman Mutaqadimin di sini adalah zaman para
penulis tfsir Al-Qur’an gelombang pertama yang memulai memisahkan tafsir dari
hadits. Boleh juga sebagai generasi kodifikasi tafsir pertama, sehingga tafsir
menjadi ilmu yang berdiri sendiri tidak lagi seperti periode sebelumnya yang
belum memisahkan tafsir dari hadits. Periode ini mulai dari zaman Tabi’in dan
Tabi’inat Tabi’in sampai akhir dinasti Abbasiyah, yaitu kira-kira dari tahun
150 H/782 M-656 H/1258 M, atau mulai abad II sampai abad VII H.
Pada periode ini tafsir Al-Qur’an mulai dikumpulkan
tersendiri, dipisahkan dari hadits Nabi Muhammad saw atau riwayat sahabat yang
lain yang tidak menyangkut bidang tafsir ayat Al-Qur’an. Penafsiran yang mereka
lakukan di atas sesuai dengan sistematik urutan ayat dari mushaf dalam
Al-Qur’an yaitu daru surat Al-Fatihah sampai suarat An Naas.
a. Sumber Tafsir pada
periode Ulama Mutaqadimin
1. Al-Qur’an
2. Hadits Nabi Muhammad saw
3. Riwayat para Sahabat
4. Riwayat para Tabi’in
5. Riwayat Tabi’inat
Tabi’in
6. Cerita ahli kitab
7. Ijtihad atau istimbat
mufasir
Dilihat dari sumber-sumber tafsir pada masa Ulama Mutaqadimin,bahwasanya
tafsir pada masa itu berbentuk tafsir al matsur dan tafsir dirayah. Mula-mula
tafsir tidak lebih dari pada tafsir bil ma’tsur. Namun seiring dengan waktu
mulai ada kodifikasi-kodifikasi yang dilakukan oleh para ahli tafsir pada masa itu.
Namun apa yang dilakukan oleh para ahli tafsir menimbulkan perselisihan dan
kekaburan(al-dakhil), karena riwayat yang shahih dan riwayat yang tidak
shahih bercampur dan mengakibatkan masuknya pemalsuan(maudlu’at) dan menerobos isra’iliyat ke dalam kitab-kitab
tafsir.
b. Tokoh-tokoh Tafsir pada
masa Ulama Mutaqadimin
Para Tokoh yang telah membawa tafsir ke dalam modifikasi
dari kalangan ulama Mutaqadimin diantaranya adalah:
1. Ali Ibn Abi Thalhah (w.
343 H)
2. Ibn Abi Hatim (w. 327
H)
3. Ibn Majah (w. 273 H)
4. Ibn Mardawah (w. 410 H)
5. Ibn Hibban al Busti (w.
354 H)
6. Ibrahim ibn Mundzir (w.
236 H)
7. Ibn Jarir al Tabari (w.
316 H)
c. Kedudukan dan
Keistimewaan Tafsir pada masa Ulama Mutaqadimin
Setelah wilayah tafsir
meluas, dan ilmu ini berkembang semakin pesat yang kemudian pembukuan semakin
sempurna. Para mufassir mulai memasuki tafsir dengan corak tafsir bir-ra’yi
yang dalam menjelaskan penafsirannya terhadap maknanya berpegang pada pemahaman
sendiri, pengambilan kesimpulan pun didasarkan pada logikanya semata. Dari
sinilah dimulai penyusunan kitab-kitab tafsir dirayah secara tersendiri.
Mengenai tafsir bir ra’yi, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan
ada juga yang membolehkan.
Sedangkan keistimewaan
tfsir pada masa itu sendiri adalah disebutkannya sanad (musnad) dari Tabi’in,
Sahabat, sampai kepada nabi Muhammad saw.
2. Tafsir Periode Ulama
Mutaakhirin (IX-XII H)
Disebut periode Mutaakhirin karena pada zaman ini
merupakan zaman para ulama mufasir periode kodifikasi kedua yang menuliskan
tafsir terpisah dari hadits. Generasi ini muncul pada zaman kemunduran Ummat
Islam yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H sampai timbulnya
kebangkitan Islam pada tahun 1286 H atau abad 7 – 13 H.
Usaha keras yang dilakukan ulama Mutaakhirin dalam
menafsirkan ayat Al Qur’an telah menghasilkan kitab tafsir yang cukup lengkap
banyak dan besar. Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang yang datang
kemudian merasa puas dengan tafsir yang telah ada. Akibatnya tidak banyak ulama
yang mau berusaha menafsirkan sendiri di samping karena mereka benar-benar
memenuhi syarat sebagai seorang musafir tidak sebanyak pada periode
Mutaqadimin. Oleh sebab itu pada zaman Mutaakhirin ini produksi baru kitab
tafsir lebih sedikit dibandingkan zaman sebelumnya.
a. Sumber Tafsir pada
periode Ulama Mutaakhirin
1. Al-Qur’an
2. Hadits dari Nabi
Muhammad saw
3. Tafsir dari Sahabat,
Tabi’in, dan Tabi’inat Tabi’in
4. Kaidah Bahasa Arab dan
segala cabangnya
5. Ilmu pengetahuan yang
berkembang
6. Ijtihad
7. Pendapat para mufasir
terdahulu
Dilihat dari sumber-sumber tafsir pada masa mutaakhirin
bahwasanya tafsir pada masa itu berbentuk izdiwaj yang berarti perpaduan antara
bentuk mat’sur dan dirayah. Sedangkan menurut metode yang digunakan adalah
menggunakan metode tahlili sama seperti periode sebelumnya yaitu masa Ulama
Mutaqadimin.
b. Tokoh-tokoh Tafsir masa
Ulama Mutaakhirin
1. Al-Baidawi (w. 692 H)
2. Fakhrudin ar Razi (w.
606 H)
3. Imam Ibrahim bin Umar
al Biqa’in (w. 885 H)
4. Imam Al Alusi (w. 1270
H)
5. Dan lain-lain
Pada masa itu para ulama memadukan antara tafsir bil
ma’tsur dan tafsir bir ra’yi. Orientasi tafsir yang muncul dan berkembang
seperti ini telah mewarnai tafsir dengan berbagai corak yang hampir-hampir
menutupinya akan fungsi dasar tafsir. Kita dapat menemukan kitab-kitab tafsir
yang mencampurkan kedalamnya ilmu-ilmu filsafat dan para penafsir bertumpu
kepada pemahaman pribadi, terminiologi ilmiah, ideology-ideologi madzhab, dan
budaya-budaya falsafi.
Dengan hal yang semacam ini, perbedaan pendapat terus meningkat,
masalah-masalah semakin berkobar, fanatisme madzhab menjadi serius, dan
ilmu-ilmu filsafat yang bercorak rasional bercampur baur dengan ilmu-ilmu
naqli, ini semua menyebabkan tafsir ternoda. Sehingga tidak heran, apabila para
mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan
mengarah keberbagai kecenderungan. Tegasnya, banyak diantara mufassir
menafsirkan Al-Qur’an menurut selera mereka sendiri dan masing-masing mufassir
mengarahkan penafsirannya sesuai keahlian mereka ke dalam cabang ilmu yang
dikuasainya, sehingga lahirlah berbagai corak tafsir yang berbeda-beda.
Di samping itu, ada juga yang bertumpu pada ilmu bahasa
Arab seperti nahwu, balaghoh, dan semisalnya, yang membuat mereka para
mufassirnya melakukan penyimpangan. Demikian pula kitab-kitab tafsir yang
mereka bukukan pada saat itu, di dalamnya bercampur aduk antara yang berguna
dengan yang berbahaya dan yang baik dengan yang buruk.
Kondisi seperti ini berlangsung sampai lama berabad-abad.
Satu hal yang cukup menonjol dari perkembangan tafsir , dengan berbagai
coraknya itu ialah munculnya fanatisme madzhab, tidak saja di kalangan fuqoha,
tetapi juga di kalangan mufassirin. Tidak mengherankan apabila keadaan ini
kemudian menyeret ummat Islam ke lembah kejumudan, karena sikap jumud itu
dimulai oleh para kaum ulama sendiri.
Pada masa-masa selanjutnya kodifikasi-kodifikasi tafsir
semakin berkembang pesat dan memiliki corak baru, yakni mengkaji
pemikiran-pemikiran modern seperti yang dilakukan oleh sebagian mufassir dengan
mengkaji teori-teori social, yang diikuti dengan adanya tafsir Al-Dhilal. Yang
lain mengorientasikan tafsirnya pada tori-teori ilmiah dan alamiah, sepeti
Al-Jawahir. Yang lain lagi mengkonsentrasikan diri pada aspek-aspek hidayah dan
pembemtukan hukum, seperti Al-Manar dan Al-Maraghi, dan masih banyak lagi corak
lainnya. Kondisi seperti itu membuat tafsir Dirayah mendesak tafsir bil-ma’tsur
yang pada akhirnya tafsir Bir ra’yi menang atas tafsir bil-ma’tsur.
Penulisan tafsir pada masa selanjutnya masih mengikuti
pola di atas. Keadaan demikian terus berlanjut sampai berabad-abad sampai
lahirnya pola baru dalam tafsir modern yaitu sekitar abad ke 19 Masehi, yakni
ketika Muhammad Abduh tampil sebagai mufassir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan
menghembuskan nafas pembaharuan yang kelihatannya berupaya memadukan antara
Islam dengan pandangan-pandangan ilmu pengetahuan.
2. Al-Dakhil, Israiliyat dan Maudlu’at
Setelah
beberapa ulama Yahudi masuk Islam, seperti : Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar,
Wahb bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul ‘Azis bin Juraij; khabar dan kisah
dari kitab-kitab Bani Israil mulai menyebar di kalangan kamu muslimin. Sebagian
mufasirin mengutip Israiliyyat ini kedalam kitab tafsir mereka. Israiliyyat ini
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Yang sesuai dengan syariat Islam, maka bisa
diterima.
2. Yang bertentangan dengan syariat Islam, maka
harus ditolak.
3. Yang didiamkan, tidak diterima dan tidak
ditolak, sebatas dijadikan wacana
Diatas telah dijelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh
para ahli tafsir Para Tokoh yang telah membawa tafsir ke dalam modifikasi dari
kalangan ulama Mutaqadimin menimbulkan perselisihan dan kekaburan, karena
riwayat yang shahih dan riwayat yang tidak shahih bercampur dan mengakibatkan
masuknya Maudlu’at (pemalsuan) dan menerobos isra’iliyat ke dalam
kitab-kitab tafsir.
Dan
yang lebih merugikan lagi adalah
kitab-kitab tafsir itu memberi pemahaman yang tidak benar bagi mayoritas umat
Islam, meskipun tingkat kesalahnya tidak sama sesuai dengan kadar Isroiliyat
dan Maudlu’at yang tidak sahih, akan tetapi penulis kitab-kitab tafsir yang
dipenuhi dengan Isroiliyat dan Maudlu’at mendapat tempat yang mulya di hati
umat Islam, seperti kitab tafsir Imama Al-Thabary.
Bagi
kalangan yang tidak suka dengan agama Islam, kitab-kitab tafsir yang dipenuhi
dengan Isroiliyat dan Maudlu’at itu dijadikan alasan dan
argumeentasi untuk memujokkan, mengolok-olok dan menghina Islam secara umum dan
Al-quran dan Hadits secara khusus dengan mengatakan bahwa pendapat yang
demikian ini di katakan oleh Imam Ibnu Jarir yang ‘Alim.
Saat
ini realita yang terjadi adalah bahwa mayoritas masyarakat yang mengaku sebagai
kaum muslimin dewasa ini berpaling dari kitabullah dan melemparkannya ke
belakang punggung mereka, tidak mengharapkan janji Allah dan tidak takut akan
ancaman-Nya, maka kami mengatahui, bahwa hal tersebut merupakan faktor yang
dapat mendorong seorang yang telah Allah berikan kepadanya ilmu akan kitab-Nya,
untuk mengarahkan semangatnya yang tinggi demi berkhidmah kepada kitab-Nya,
menjelaskan makna-maknanya, menampakkan keindahan-keindahannya, menerangkan
kesulitan yang ada padanya, menjelaskan hukum-hukumnya, serta mengajak manusia
untuk mengamalkannya dan meninggalkan segala sesuatu yang bertolak-belakang
dengan kitab itu”.
Maka
dengan alasan husnudh dhon (baik perangsangka) kebanyakan kaum Muslimin
diseluruh muka bumi menerima penafsiran al-Quran dari kitab-kitab tafsir yang
dipenuhi dengan Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at tanpa ada keritik
sedikitpun meskipun sebagian dari penafsiran itu sangat bertentengan dengan
akidah umat Islam, argumentasi mereka adalah: kitab-kitab tafsir itu masih
dipelajari hingga sekarang baik di Uneversitas Al-Azhar maupun di
Uneversitas-Uneversitas yang lain, ini merupakan bencana yang besar bagi kaum
Muslimin dan cara menyelesaiknya juga tidak mudah.
2. Metodologi pembersihan kitab-kitab
Tafsir dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at
Metodologi
pembersihan kitab-kitab Tafsir dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at harus
di lakukan beberap cara, diantaranya:
a. Harus ada upaya dari
Ulama Tafsir untuk membersihkan kitab-kitab tafsir dari Al-Dakhil, Isroiliyat
dan Maudlu’at dan mencegah untuk mecetaknya apalagi mmperbanyak, dari masa
kemasa sehingga Ummat Islam benar-benar memahami tafsir Al-Quran yang benar dan
sahih, bersih dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at, dengan demikian kita
telah menutup pintu bagi musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam
dan justru ummt Islam akan mersakan keagungan dan keberkatan agam Islam yang
masih tersimpan.
b. Mempelajari dan
mengkaji kitab-kitab tafsir yang
sahihah, dilembaga-lembaga pendidikan, di STAIN, IAIN, UIN Dll. Pengganti
kitab-kitab tafsir yang dipenuhi dengan Isroiliyat dan Maudlu’at, sehingga
generasi muslim mendapatkan ilmu yang bermanfa’at dan benar, sehingga mereka
mencapai tujuan utama dan mulya diutusnya nabi Muhammad Saw. Termasuk hal yang
sudah kita ketahui bersama bahwa pelajaran tafsir tidaklah terbatas pada sebuah
pembahasan saja, akan tetapi pelajaran tafsir adalah ilmu yang mencakup seluruh
isi al-Qur`an dan segala keumuman yang ada di dalamnya.
c. Mengadakan
diskudi-diskudi ilmiyah dengan mengedepankan dalil akli dan naqli yang sesuai
pemahaman Al-Quran dan Sunah Shahihah.
BAB III KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa;
1. Al-Dakhil, Isroiliyat
dan Maudlu’at, dimulai Setelah beberapa ulama Yahudi masuk Islam, seperti :
Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul
‘Azis bin Juraij; khabar dan kisah dari kitab-kitab Bani Israil mulai menyebar
di kalangan kamu muslimin.
2. Al-Dakhil, Isroiliyat
dan Maudlu’at, sudah ada sejak Tokoh-tokoh Ahli Tafsir pada masa Tabi’in.
3. Pembersihan
kitab-kitab Tafsir dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at adalh hal yang
wajib di lakukan untuk menyelamatkan aqidah Islam.
4. Metodologi
pembersihan kitab-kitab Tafsir dari Al-Dakhil, Isroiliyat dan Maudlu’at harus
di lakukan tiga cara.
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
Dr Abdullah, Dirasat fi al-Tanbih ala ma fi
al-tafsir Al-Dakhil wa Isroiliyat.
Abidu, Yunus Hasan. Tafsir Al-Qur’an (Sejarah dan Metode Para Mufassir). Jakarta:
Gaya Media Pratama. 2007
Ahmad Al-Syir Bashri. Qissat al Tafsir.
Bairut: Dar al Jil. 1978.
Ahmad Musthafa al Maraghi. Tafsir Al Maraghi.
Ttp: Darul Fikri.
Anwar, Rosihon. Ulumul Qur’an. Bandung: CV
Pustaka Setia. 2000.
Helfi, Philip K. History of The Arabs.
London: The Maimillan Press, 1974
Kholil, Moenawar. Al-Qur’an Dari Masa Ke Masa.
Solo: Ramadhani. 1994.
Manna Khalil Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006
Manna Khalil Al-Qaththan. Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an. Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa. 2009.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an (Ilmu-Ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an). Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra. 2002
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Jakarta: PT Bulan Bintang. 1994.
Muhammad Husaya Al-Dzahabi, Al-Tafsir Wa
Al-Mufassirun. Kairo: Dar Al-Kutub Al-Hadisah, 1961
Nawawi, Rifat Syauqi. Rasionalitas Tafsir.
Jakrta: Paramadina. 2002.
Subhi Ash Shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.
Jakarta: Pustaka Firdaus. 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar