MUKHTALIF AL-HADITS
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumu Hadits
Oleh:
Muhsinun (082092010)
yang dibina oleh :
Bpk. Kasman M.Fil.
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) JEMBER
2010
BAB I PENDAHULUAN
Hadits adalah sumber hukum kedua
bagi umat Islam. Kedudukannya merupakan penjelas bagi al-Quran. Umat Islam tidak bisa
menerapkan ajaran dari
al-Quran tanpa petunjuk secara rinci dari hadits. Berbagai ibadah utama dalam Islam
perintahnya ada dalam al-Quran, seperti shalat, puasa,
zakat dan lain-lain. Perintah itu berbentuk
umum, sementara hadits datang dengan
rincian yang jelas. Hadits sangat diperlukan untuk dapat
mengamalkan ajaran Islam secara sempurna. Ibadah shalat lima waktu perintahnya dalam al-Qur’an,
teknis pelaksanaanya hadis yang menjelaskan. Pengamalan perintah al-Quran tidakbisaterlepasdarihadis.
Hadits Nabi Muhammad yang sampai pada kita hari ini banyak jumlahnya. Tidak semuanya hadits Nabi itu dapat kita terima secara mutlak. Hal ini disebabkan hadits Nabi tersebut masih terbagi ke dalam berbagai bentuk hadits; seperti hadits mutawatir, sahih, hasan dan dhaif serta maudhu’. Untuk sebagai hujjah, hanya hadits mutawatir, sahih dan hasan yang bisa dipedomani. Ke tiga hadits ini adalah maqbul, diterima sebagai hujjah.
Tentunya kita sepakat bahwa hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah adalah hadits yang termasuk kategori maqbul.
Hadits Nabi Muhammad yang sampai pada kita hari ini banyak jumlahnya. Tidak semuanya hadits Nabi itu dapat kita terima secara mutlak. Hal ini disebabkan hadits Nabi tersebut masih terbagi ke dalam berbagai bentuk hadits; seperti hadits mutawatir, sahih, hasan dan dhaif serta maudhu’. Untuk sebagai hujjah, hanya hadits mutawatir, sahih dan hasan yang bisa dipedomani. Ke tiga hadits ini adalah maqbul, diterima sebagai hujjah.
Tentunya kita sepakat bahwa hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah adalah hadits yang termasuk kategori maqbul.
Namun hadtis maqbul tidak dapat
diterima begitu saja karena pada hadits maqbul terdapat persoalan-persoalan
yang meragukan untuk dijadikan sebagai hujjah dalam menyelesaikan masalah.
Persoalannya adalah terdapatnya pada hadits maqbul riwayat-riwayat yang antara
satu dengan yang lainnya tampak saling bertentangan artinya menyangkut masalah
yang dihadapi tersebut disatu pihak ditemukan hadits dengan ketentuan hukum
yang membolehkan atau bahkan memerintahkan. Sedangkan dipihak lain ditemukan
pula hadis dengan ketentuan hukum yang melarang.
Supaya kita tidak terjebak di dalam memahami hadits yang kelihatannya bertentangan, maka kita perlu membahas suatu kajian hadis yaitu hadis mukhtalif dan penyelesaiannya. Dalam makalah ini dibahas pengertian hadis mukhtalif, sebab terjadinya hadis mukhtalif, urgensi ilmu mukhtalif hadits, dan metode penyelesaian hadits mukhtalif.
HaditsMukhtalif
Supaya kita tidak terjebak di dalam memahami hadits yang kelihatannya bertentangan, maka kita perlu membahas suatu kajian hadis yaitu hadis mukhtalif dan penyelesaiannya. Dalam makalah ini dibahas pengertian hadis mukhtalif, sebab terjadinya hadis mukhtalif, urgensi ilmu mukhtalif hadits, dan metode penyelesaian hadits mukhtalif.
HaditsMukhtalif
BAB II PEMBAHASAN
A. PengertianHadisMukhtalif
Secara etimologi adalah isim faa’il yang bisa diidhafatkan dengan isim lainnya (dalam hal ini hadits) yang berasal dari kata kerja yang berarti (menjadikan sesuatu berada di belakangnya atau dengan makna lain menjadikan sesuatu bertolak belakang dengannya). Pengertian secara terminology, dapat dikemukakan beberapa pendapat ulamahadits,diantaranya:
1.Pendapat An-Nawawi yang dikutip oleh al-Suyuthiy:
“ Hadits-hadits mukhtalif ialah dua buah hadits yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya ( namun makna sebenarnya bukanlah bertentangan, untuk mengetahui makna sebenarnya tersebut) maka keduanya dikompromikan atau ditarjih (untukmengetahuimanayangkuatdiantaranya).”
2.Pendapatal-Tahanuwiymenjelaskanbahwa:
“Dua buah hadis ( sama-sama dalam kategori) maqbul yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya (namun sebenarnya bukanlah bertentangan karena) maksud yang dituju oleh satu dengan lainnya dapat dikompromikan dengan cara yangwajar(tidakdicari-cari).”
3. Pendapat Edi Safri, menjelaskan bahwa:
Hadis-hadis mukhtalif adalah hadis sahih atau hadis hasan yang secara lahiriah tampak saling bertentangan dengan hadis sahih atau hadis hasan lainnya. Namun makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya sebenarnya dapat dikompromikan atau dicari penyelesaiannya dalambentuk nashatau tarjih.
Dari berbagai pengertian hadits mukhtalif di atas dapat dipahami bahwa hadits mukhtalif adalah dua buah hadis yang sama-sama maqbul (hadis shahih atau hadis hasan) yang tampak secara lahiriah bertentangan namun sebenarnya bukanlah bertentangan dan penyelesaianyadapatdikompromikanatauditarjih.
Secara etimologi adalah isim faa’il yang bisa diidhafatkan dengan isim lainnya (dalam hal ini hadits) yang berasal dari kata kerja yang berarti (menjadikan sesuatu berada di belakangnya atau dengan makna lain menjadikan sesuatu bertolak belakang dengannya). Pengertian secara terminology, dapat dikemukakan beberapa pendapat ulamahadits,diantaranya:
1.Pendapat An-Nawawi yang dikutip oleh al-Suyuthiy:
“ Hadits-hadits mukhtalif ialah dua buah hadits yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya ( namun makna sebenarnya bukanlah bertentangan, untuk mengetahui makna sebenarnya tersebut) maka keduanya dikompromikan atau ditarjih (untukmengetahuimanayangkuatdiantaranya).”
2.Pendapatal-Tahanuwiymenjelaskanbahwa:
“Dua buah hadis ( sama-sama dalam kategori) maqbul yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya (namun sebenarnya bukanlah bertentangan karena) maksud yang dituju oleh satu dengan lainnya dapat dikompromikan dengan cara yangwajar(tidakdicari-cari).”
3. Pendapat Edi Safri, menjelaskan bahwa:
Hadis-hadis mukhtalif adalah hadis sahih atau hadis hasan yang secara lahiriah tampak saling bertentangan dengan hadis sahih atau hadis hasan lainnya. Namun makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya sebenarnya dapat dikompromikan atau dicari penyelesaiannya dalambentuk nashatau tarjih.
Dari berbagai pengertian hadits mukhtalif di atas dapat dipahami bahwa hadits mukhtalif adalah dua buah hadis yang sama-sama maqbul (hadis shahih atau hadis hasan) yang tampak secara lahiriah bertentangan namun sebenarnya bukanlah bertentangan dan penyelesaianyadapatdikompromikanatauditarjih.
B.Sebab terjadinya hadits Mukhtalif
Nabi Muhammad adalah sumber ilmu bagi sahabat. Beliau sering diminta petunjuknya dalam kehidupan sehari-hari oleh sahabat. Hal ini berlangsung selama kehidupan Nabi. Segala persoalan sahabat beliau berikan penyelesaian dengan tuntas. Nasehat yang diberikan kepada seseorang kadangkala belum dipahami secara penuh oleh sahabat. Di samping itu sahabat juga mengamati perbuatan rasul dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian sahabat melihat perbuatan rasul dalam kaitannya dengan sebuah ibadah sekilas bertentangan dengan hadits yang disampaikannya dengan lisan. Sehingga pemahaman yang tidak secara komprehensif ini menjadikan dua buah hadits dalam tema yangsamaseolahbertentangan.
C. Syarat-syarat terjadinya hadits Mukhtalif
1.Hadits lebih dari satu
2.Sama-sama hadits maqbul
3.Konstek hadits dalam persoalan yang sama
4.Hadis-hadis tersebut secara lahiriah bertentangan
5.Dapat dikompromikan sehingga keduanya dapat diamalkan.
D. Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Kajian tentang masalah-masalah yang menyangkut dengan hadis-hadis mukhtalif ternyata telah melahirkan suatu cabang ilmu dalam disiplin ilmu hadis yang disebut ilmu Mukhtalif hadits. ‘Ajjaj al-Khatib mendefenisikan ilmu Mukhtalif al-Hadis ini sebagai:
“ Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, di samping membahas hadits yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.”
Menurut Zulhedi, ilmu mukhtalif hadits adalah teori atau cara-cara yang dirumuskan oleh para ulama untuk menyelesaikan hadits-hadits yang secara lahiriah tampak saling bertentangan agar dapat ditemukan pengkompromianya atau penyelesaianya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh hadits-hadits itu dapat dipahami dengan baik.
Jadi dengan demikian ilmu mukhtalif hadits merupakan salah satu cabang ilmu hadits yang perlu diketahui oleh semua golongan ulama karena ilmu ini memiliki fungsi sebagai alat panduan bagi seseorang dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Hal ini dapat membantu terhindarnya ulama dari kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ajaran-ajaran yang dikandung oleh hadits-hadits mukhtalif. Sebagai salah satu cabang ilmu hadits, ilmu mukhtalif hadits tidaklah berdiri sendiri. Dengan demikian terdapat ilmu-ilmu lain yang mempunyai hubungan erat dengan ilmu mukhtalif hadits, yaitu:
1.Ilmu Gharib Hadits, yaitu ilmu yang mempelajari kata-kata yang sulit dipahami maknanya
2. Ilmu asbab Wurud al-Hadis, yaitu ilmu yang mempelajari sebab-sebab yang melatarbelakangi muncul suatu hadis
3.Ilmu Nasikh al-Hadis wa Mansukh, yakni ilmu untuk mempelajari mana hadits yang telah di-nasakh-kan (mansukh) dan mana yang me-nasakh-kan (nasikh).
4.Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqh
Nabi Muhammad adalah sumber ilmu bagi sahabat. Beliau sering diminta petunjuknya dalam kehidupan sehari-hari oleh sahabat. Hal ini berlangsung selama kehidupan Nabi. Segala persoalan sahabat beliau berikan penyelesaian dengan tuntas. Nasehat yang diberikan kepada seseorang kadangkala belum dipahami secara penuh oleh sahabat. Di samping itu sahabat juga mengamati perbuatan rasul dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian sahabat melihat perbuatan rasul dalam kaitannya dengan sebuah ibadah sekilas bertentangan dengan hadits yang disampaikannya dengan lisan. Sehingga pemahaman yang tidak secara komprehensif ini menjadikan dua buah hadits dalam tema yangsamaseolahbertentangan.
C. Syarat-syarat terjadinya hadits Mukhtalif
1.Hadits lebih dari satu
2.Sama-sama hadits maqbul
3.Konstek hadits dalam persoalan yang sama
4.Hadis-hadis tersebut secara lahiriah bertentangan
5.Dapat dikompromikan sehingga keduanya dapat diamalkan.
D. Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Kajian tentang masalah-masalah yang menyangkut dengan hadis-hadis mukhtalif ternyata telah melahirkan suatu cabang ilmu dalam disiplin ilmu hadis yang disebut ilmu Mukhtalif hadits. ‘Ajjaj al-Khatib mendefenisikan ilmu Mukhtalif al-Hadis ini sebagai:
“ Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, di samping membahas hadits yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.”
Menurut Zulhedi, ilmu mukhtalif hadits adalah teori atau cara-cara yang dirumuskan oleh para ulama untuk menyelesaikan hadits-hadits yang secara lahiriah tampak saling bertentangan agar dapat ditemukan pengkompromianya atau penyelesaianya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh hadits-hadits itu dapat dipahami dengan baik.
Jadi dengan demikian ilmu mukhtalif hadits merupakan salah satu cabang ilmu hadits yang perlu diketahui oleh semua golongan ulama karena ilmu ini memiliki fungsi sebagai alat panduan bagi seseorang dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Hal ini dapat membantu terhindarnya ulama dari kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ajaran-ajaran yang dikandung oleh hadits-hadits mukhtalif. Sebagai salah satu cabang ilmu hadits, ilmu mukhtalif hadits tidaklah berdiri sendiri. Dengan demikian terdapat ilmu-ilmu lain yang mempunyai hubungan erat dengan ilmu mukhtalif hadits, yaitu:
1.Ilmu Gharib Hadits, yaitu ilmu yang mempelajari kata-kata yang sulit dipahami maknanya
2. Ilmu asbab Wurud al-Hadis, yaitu ilmu yang mempelajari sebab-sebab yang melatarbelakangi muncul suatu hadis
3.Ilmu Nasikh al-Hadis wa Mansukh, yakni ilmu untuk mempelajari mana hadits yang telah di-nasakh-kan (mansukh) dan mana yang me-nasakh-kan (nasikh).
4.Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqh
Untuk menguasai ilmu hadits
mukhtalif dengan baik, ilmu pembantu di atas
haruslah dikuasai dengan baik. Hal ini bertujuan
agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami hadis rasulullah, sehingga
dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat.
Menurut ‘Ajjaj al-Khatib para Ulama telah memberikan perhatian yang serius terhadap ilmu Mukhtalif al-Hadits sejak masa sahabat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadits, menjelaskan dan menerangkan maksudnya.
Menurut ‘Ajjaj al-Khatib para Ulama telah memberikan perhatian yang serius terhadap ilmu Mukhtalif al-Hadits sejak masa sahabat. Mereka melakukan ijtihad mengenai berbagai hukum, memadukan antar berbagai hadits, menjelaskan dan menerangkan maksudnya.
Kemudian generasi demi generasi
mengikuti jejak mereka, mengkompromikan
antar hadits yang tampak
saling bertentangan
dan menghilangkan kesulitan dalam memahaminya. Bukti dari keseriusan
ulama tentang masalah ini, mereka telah menulis karya-karya dalam bidang ini.
Di antara karya-karya yang terpopuler dalam bidang ini
adalah:
1. Ikhtilaf al-Hadis karya Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i (150-204 H)
2. Ta’wil Mukhtalif al-Hadis karya Imam al-Hafidz Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaibah ad-Dainuri (213-276 H)
3. Musykil al-Atsar karya Imam al-Muhaddis al-Faqih Abu Ja’far Ahmad Ibn Muhammad ath- Thahawiy ( 239-321 H )
4. Musykil al-Hadis wa Bayanuhu karya Imam al-Muaddis Abu Bakar Muhammad Ibn al-Hasan (Ibn Furak) al- Anshari al- Ashbahaniy yang wafat tahun 406 H.
E. Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif
Metode penyelesaian Hadits mukhtalif adalah cara atau tata kerja ilmu Mukhtalif Hadis dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat di dalam hadits-hadits mukhtalif. Ada beberapa cara kerja ilmu Mukhtalif Hadits ini, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama di bawah kepeloporan Imam asy-Syafi’i.
Imam asy-Syafi’i telah menetapkan suatu kaidah dalam ilmu Mukhtalif al-Hadis yang selanjutnya diikuti oleh para ulama lainnya. Kaidah tersebut berbunyi:
„ Janganlah sekali-kali mempertentangkan hadits-hadits Rasulullah yang satu dengan hadtis yang lainnya selama mungkin ditemukan jalan ( untuk mengkompromikannya) agar hadis-hadis tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan terlantar suatu hadis disebabkan hadis lainnya karena kita punnya kewajiban yang sama untuk mengamalkan masing-masingnya. Oleh karena itu jangan jadikan (nilai) hadis-hadis sebagai pertentangan kecuali apabila tidak mungkin diamalkan selain harus meninggalkan salah satunya.“
Hal ini dilakukan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasul menyampaikan suatu ajaran (hadits-hadits) yang antara satu dengan yang lainnya bertentangan. Jika bertemu dua buah hadits saling bertentangan, maka akan ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ada kekeliruan di dalam menilai hadits, mungkin saja salah satu di antaranya bukanlah hadits maqbul. Kemungkinan ke dua, barangkali di antarat hadits-hadits ini adalah hadits ghair al-ma’mul ( hadits yang tidak diperintahkan untuk mengamalkannya).
Jika ketemu dua buah hadits yang termasuk dalam kategori maqbul sementara keduanya kelihatan bertentangan, ulama hadits memberikan alternatif penyelesaian, di antaranya adalah:
1. Menurut Imam Suyuti, penyelesaiannya adalah:
a. Mengkompromikan kedua dalil yang berlawanan
b. Mentarjih salah satu dalil bila kompromi tidak mungkin dilakukan
2. Menurut Muhammad Thahhan penyelesaiannya adalah:
a. Dilakukan kompromi antara keduanya jika mungkin dilakukan
b. Bila kompromi tidak mungkin, dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:
1. Bila diketahui salah satunya nasikh, maka didahulukan dan diamalkan yang
1. Ikhtilaf al-Hadis karya Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i (150-204 H)
2. Ta’wil Mukhtalif al-Hadis karya Imam al-Hafidz Abdullah Ibn Muslim Ibn Qutaibah ad-Dainuri (213-276 H)
3. Musykil al-Atsar karya Imam al-Muhaddis al-Faqih Abu Ja’far Ahmad Ibn Muhammad ath- Thahawiy ( 239-321 H )
4. Musykil al-Hadis wa Bayanuhu karya Imam al-Muaddis Abu Bakar Muhammad Ibn al-Hasan (Ibn Furak) al- Anshari al- Ashbahaniy yang wafat tahun 406 H.
E. Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif
Metode penyelesaian Hadits mukhtalif adalah cara atau tata kerja ilmu Mukhtalif Hadis dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat di dalam hadits-hadits mukhtalif. Ada beberapa cara kerja ilmu Mukhtalif Hadits ini, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ulama di bawah kepeloporan Imam asy-Syafi’i.
Imam asy-Syafi’i telah menetapkan suatu kaidah dalam ilmu Mukhtalif al-Hadis yang selanjutnya diikuti oleh para ulama lainnya. Kaidah tersebut berbunyi:
„ Janganlah sekali-kali mempertentangkan hadits-hadits Rasulullah yang satu dengan hadtis yang lainnya selama mungkin ditemukan jalan ( untuk mengkompromikannya) agar hadis-hadis tersebut dapat sama-sama diamalkan. Jangan terlantar suatu hadis disebabkan hadis lainnya karena kita punnya kewajiban yang sama untuk mengamalkan masing-masingnya. Oleh karena itu jangan jadikan (nilai) hadis-hadis sebagai pertentangan kecuali apabila tidak mungkin diamalkan selain harus meninggalkan salah satunya.“
Hal ini dilakukan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasul menyampaikan suatu ajaran (hadits-hadits) yang antara satu dengan yang lainnya bertentangan. Jika bertemu dua buah hadits saling bertentangan, maka akan ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ada kekeliruan di dalam menilai hadits, mungkin saja salah satu di antaranya bukanlah hadits maqbul. Kemungkinan ke dua, barangkali di antarat hadits-hadits ini adalah hadits ghair al-ma’mul ( hadits yang tidak diperintahkan untuk mengamalkannya).
Jika ketemu dua buah hadits yang termasuk dalam kategori maqbul sementara keduanya kelihatan bertentangan, ulama hadits memberikan alternatif penyelesaian, di antaranya adalah:
1. Menurut Imam Suyuti, penyelesaiannya adalah:
a. Mengkompromikan kedua dalil yang berlawanan
b. Mentarjih salah satu dalil bila kompromi tidak mungkin dilakukan
2. Menurut Muhammad Thahhan penyelesaiannya adalah:
a. Dilakukan kompromi antara keduanya jika mungkin dilakukan
b. Bila kompromi tidak mungkin, dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:
1. Bila diketahui salah satunya nasikh, maka didahulukan dan diamalkan yang
nasikh, sedangkan yang
mansukh ditinggalkan.
2. Jika tidak diketahui adanya nasikh, maka ditarjih salah satunya dengan
2. Jika tidak diketahui adanya nasikh, maka ditarjih salah satunya dengan
metode tarjih yang lazim
dipakai
3. Kalau tarjih tidak dapat dilakukan, maka ditangguhkan beramal dengan
3. Kalau tarjih tidak dapat dilakukan, maka ditangguhkan beramal dengan
hadits mukhtalif itu
sampai ditemukan adanya dalil yang lebih kuat.
3. Menurut asy-Syafi’i sebagaimana dijelaskan
dalam tulisan Edi Safri,
bahwa penyelesaiannya adalah:
a. Penyelelesaian dalam bentuk kompromi
b. Penyelesaian dalam bentuk nasakh
c. Penyelesaian dalam bentuk tarjih
Pendapat di atas pada dasarnya sama, bahwa metode penyelesaian Hadits Mukhtalif dapat dilakukan dengan bentuk kompromi, jika tidak mungkin dengan kompromi maka dilakukan dengan cara nasakh, kalau nasakh tidak dapat maka dilakukan tarjih. Berikut ini akan dibicarakan satu persatu metode penyelesaian hadits Mukhtalif.
1. Penyelesaian dalam bentuk kompromi
Maksud dari penyelesaian dalam bentuk kompromi (al-jam’u wa al-taufiq) ini adalah penyelesaian dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masing sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh hadits-hadits itu dapat dikompromikan. Dengan kata lain, mencari pemahaman yang tepat tentang hadis-hadis yang menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntunan. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Menggunakan kaidah ushul
Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan pendekatan kaidah ushul adalah memahami hadits-hadits Rasulullah dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan atau kaidah-kaidah ushul terkait yang telah dirumuskan oleh para ulama (ushul al-Fiqh). Hal ini sangat perlu mendapat perhatian sebab masalah bagaimana harusnya memahami maksud hadits atau mengistinbath-kan hukum-hukum yang dikandungnya dengan baik, merupakan masalah yang menjadi objek kajian dari ilmu ushul.
Di dalam bahasa Arab ada ungkapan dengan redaksi yang umum untuk tujuan umum pula. Namun juga ada redaksi umum untuk maksud yang khusus. Pendekatan ini dirasakan sangat tepat karena pada umumnya persoalan yang muncul pada hadits-hadits semacam ini hannya menyangkut permasalahan ‘am (umum) dan khas (khusus) serta muthlaq dan muqayyad.
Contoh masalah hadits zakat pertanian:
Artinya: Hadits dari Salim ibn Abdillah, dari Bapaknya dari Nabi SAW, Beliau bersabda, “Hasil pertanian yang diairi dengan air hujan dengan mata air atau genangan (sumber) air alami lainnya zakatnya sepuluh persen. Dan yang diairi (disirami) dengan menggunakan bantuan unta zakatnya lima persen.(HR. Bukhari)
Hadits dari Abu Sa’id al-Khudhariy
Artinya: Dari Nabi SAW, Beliau bersabda, “ Tidak ada wajib zakat pada hasil pertanian yang tidak mencapai lima wasq. (HR. Bukhari)
Penyelesaiannya:
Hadits pertama mengatakan wajib zakat hasil pertanian secara umum, baik hasilnya banyak maupun sedikit tanpa ada perbedaan atau batasan. Hal ini tampak bertentangan dengan hadits ke dua yang menyatakan tidak ada wajib zakat pada hasil pertanian yang banyaknya tidak mencapai lima wasq. Penyelesaiannya adalah dengan mentakhsis-kan hadits pertama dengan hadits ke dua. Jadi umum hadits pertama diberlakukan terhadap hasil pertanian yang melebihi batasan yang disebut hadits ke dua (lima wasq ke atas). Dengan demikian, hadits-hadits tersebut dapat ditemukan pengkompromiannya dengan menarik suatu kesimpulan bahwa hasil pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang banyaknya mencapai lima wasq ke atas (berdasarkan hadis pertama). Dan tidak wajib zakat jika hasilnya tidak mencapai lima wasq (berdasarkan hadis ke dua)
b. Penyelesaian berdasarkan pemahaman konstektual
Sebagian hadits-hadits Rasulullah muncul dengan dilatarbelakangi oleh peristiwa atau situasi tertentu yang lazim disebut dengan sabab wurud al-hadits. Dalam hal ini disebut dengan istilah konteks. Pemahaman kontekstual yang dimaksud adalah memahami hadis-hadits Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadits-hadits tersebut.
Contoh: hadits pinang meminang.
1. Hadits dari Ibn Umar
Artinya : Dari ‘Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Janganlah salah seorang kamu meminang pinangan saudaranya. (HR. Syafi’i)
2. Hadits dari Fatimah binti Qays: bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila engkau telah habis iddah, beritahulah aku”. Kata Fatimah, “ setelah habis iddahku, akupun memberitahu Rasulullah bahwa Muawiyah dan Abu Jahm meminangku.: Kata Rasulullah Muawiyah adalah laki-laki miskin, sedangkan Abu Jahm adalah laki-laki yang sering memukul istrinya. Oleh karena itu, nikahlah dengan Usamah ibn Zaid. Kata Fatimah, “ akan tetapi aku kurang senang kepadanya.” Kata Rasulullah lagi, “ Nikahlah anda dengan Usamah”. Kata Fatimah lebih lanjut maka akupun menikah denganya, Allah pun memberkahi perkawinan kami dan akupun bahagia denganya.
Penyelesaiannya:
Dalam hadits pertama Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Akan tetapi hal ini tampak bertentangan hadis ke dua, sebab dalam hadis ke dua justru Rasulullah sendiri meminang Fatimah binti Qais untuk Usamah ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Muawiyah dan Abu Jahm.
Penyelesaiannya perlu diketahui latar belakang munculnya ke dua hadits tersebut. Latar belakang hadits pertama menurut Syafi’i, bahwa Rasul ditannya tentang seseorang yang meminang perempuan, pinangannya diterima oleh perempuan tersebut. akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik perempuan dan ingin membatalkan pinangan pertama.
a. Penyelelesaian dalam bentuk kompromi
b. Penyelesaian dalam bentuk nasakh
c. Penyelesaian dalam bentuk tarjih
Pendapat di atas pada dasarnya sama, bahwa metode penyelesaian Hadits Mukhtalif dapat dilakukan dengan bentuk kompromi, jika tidak mungkin dengan kompromi maka dilakukan dengan cara nasakh, kalau nasakh tidak dapat maka dilakukan tarjih. Berikut ini akan dibicarakan satu persatu metode penyelesaian hadits Mukhtalif.
1. Penyelesaian dalam bentuk kompromi
Maksud dari penyelesaian dalam bentuk kompromi (al-jam’u wa al-taufiq) ini adalah penyelesaian dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masing sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh hadits-hadits itu dapat dikompromikan. Dengan kata lain, mencari pemahaman yang tepat tentang hadis-hadis yang menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntunan. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Menggunakan kaidah ushul
Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan pendekatan kaidah ushul adalah memahami hadits-hadits Rasulullah dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan atau kaidah-kaidah ushul terkait yang telah dirumuskan oleh para ulama (ushul al-Fiqh). Hal ini sangat perlu mendapat perhatian sebab masalah bagaimana harusnya memahami maksud hadits atau mengistinbath-kan hukum-hukum yang dikandungnya dengan baik, merupakan masalah yang menjadi objek kajian dari ilmu ushul.
Di dalam bahasa Arab ada ungkapan dengan redaksi yang umum untuk tujuan umum pula. Namun juga ada redaksi umum untuk maksud yang khusus. Pendekatan ini dirasakan sangat tepat karena pada umumnya persoalan yang muncul pada hadits-hadits semacam ini hannya menyangkut permasalahan ‘am (umum) dan khas (khusus) serta muthlaq dan muqayyad.
Contoh masalah hadits zakat pertanian:
Artinya: Hadits dari Salim ibn Abdillah, dari Bapaknya dari Nabi SAW, Beliau bersabda, “Hasil pertanian yang diairi dengan air hujan dengan mata air atau genangan (sumber) air alami lainnya zakatnya sepuluh persen. Dan yang diairi (disirami) dengan menggunakan bantuan unta zakatnya lima persen.(HR. Bukhari)
Hadits dari Abu Sa’id al-Khudhariy
Artinya: Dari Nabi SAW, Beliau bersabda, “ Tidak ada wajib zakat pada hasil pertanian yang tidak mencapai lima wasq. (HR. Bukhari)
Penyelesaiannya:
Hadits pertama mengatakan wajib zakat hasil pertanian secara umum, baik hasilnya banyak maupun sedikit tanpa ada perbedaan atau batasan. Hal ini tampak bertentangan dengan hadits ke dua yang menyatakan tidak ada wajib zakat pada hasil pertanian yang banyaknya tidak mencapai lima wasq. Penyelesaiannya adalah dengan mentakhsis-kan hadits pertama dengan hadits ke dua. Jadi umum hadits pertama diberlakukan terhadap hasil pertanian yang melebihi batasan yang disebut hadits ke dua (lima wasq ke atas). Dengan demikian, hadits-hadits tersebut dapat ditemukan pengkompromiannya dengan menarik suatu kesimpulan bahwa hasil pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah yang banyaknya mencapai lima wasq ke atas (berdasarkan hadis pertama). Dan tidak wajib zakat jika hasilnya tidak mencapai lima wasq (berdasarkan hadis ke dua)
b. Penyelesaian berdasarkan pemahaman konstektual
Sebagian hadits-hadits Rasulullah muncul dengan dilatarbelakangi oleh peristiwa atau situasi tertentu yang lazim disebut dengan sabab wurud al-hadits. Dalam hal ini disebut dengan istilah konteks. Pemahaman kontekstual yang dimaksud adalah memahami hadis-hadits Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadits-hadits tersebut.
Contoh: hadits pinang meminang.
1. Hadits dari Ibn Umar
Artinya : Dari ‘Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Janganlah salah seorang kamu meminang pinangan saudaranya. (HR. Syafi’i)
2. Hadits dari Fatimah binti Qays: bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila engkau telah habis iddah, beritahulah aku”. Kata Fatimah, “ setelah habis iddahku, akupun memberitahu Rasulullah bahwa Muawiyah dan Abu Jahm meminangku.: Kata Rasulullah Muawiyah adalah laki-laki miskin, sedangkan Abu Jahm adalah laki-laki yang sering memukul istrinya. Oleh karena itu, nikahlah dengan Usamah ibn Zaid. Kata Fatimah, “ akan tetapi aku kurang senang kepadanya.” Kata Rasulullah lagi, “ Nikahlah anda dengan Usamah”. Kata Fatimah lebih lanjut maka akupun menikah denganya, Allah pun memberkahi perkawinan kami dan akupun bahagia denganya.
Penyelesaiannya:
Dalam hadits pertama Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Akan tetapi hal ini tampak bertentangan hadis ke dua, sebab dalam hadis ke dua justru Rasulullah sendiri meminang Fatimah binti Qais untuk Usamah ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Muawiyah dan Abu Jahm.
Penyelesaiannya perlu diketahui latar belakang munculnya ke dua hadits tersebut. Latar belakang hadits pertama menurut Syafi’i, bahwa Rasul ditannya tentang seseorang yang meminang perempuan, pinangannya diterima oleh perempuan tersebut. akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik perempuan dan ingin membatalkan pinangan pertama.
Berdasarkan inilah Rasulullah
mengatakan larangan meminang perempuan yang sudah dipinang oleh orang
lain. Sedangkan hadits kedua konteksnya lain, Fatimah binti Qais
dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm tidaklah pada waktu yang bersamaan,
melainkan ada yang dahulu
dan ada yang kemudian.
Dalam
konstek ini Fatimah sebenarnya belum menerima pinangan ke dua laki-laki tersebut. Fatimah
memberitahu bahwa ia dipinang oleh dua laki-laki mungkin saja ia maksudkan untuk minta nasehat
pada Rasul.
Lalu dengan dipinangnya Fatimah oleh Rasul untuk Usamah menunjukkan bahwa keadaan Fatimah waktu itu tidak sama dengan keadaan yang dimaksud oleh hadits pertama. Dengan demikian jelaslah bahwa ke dua hadits di atas memiliki konteks yang berbeda. Dan tidaklah bertentangan ke dua hadits tersebut bila dilihat dari konteksnya, maka penyelesaianya dapat dikompromikan. Yakni larangan meminang atas pinangan orang lain, apabila pinangannya tersebut tidak atau belum diterima boleh dilaksanakan peminangan.
c. Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif
Bentuk penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif ini maksudnya adalah dengan jalan mengkaji hadits-hadits mukhtalif yang tampak saling bertentangan itu bersama dengan hadits-hadits lain yang terkait dengan memperhatikan keterkaitan makna satu sama lain. Hal ini dilakukan agar pemahaman yang menyatakan bahwa hadits-hadits tersebut saling bertentangan itu dapat dipertemukan atau dikompromikan.
Contoh: hadits waktu-waktu terlarang
Artinya: dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW melarang shalat sesudah Ashar hingga matahari terbenam dan setelah shalat Subuh hingga terbit matahari.
2. Hadits Ibn Umar
Artinya: Dari Ibn Umar sesungguhnya Rasulullah SAW besabda “ jangan ada di antara kamu yang berkeinginan melakukan shalat pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari.
3. Hadits Ibn Musayyab
Artinya: Dari Ibn Musayyab bahwa Rasulullah SAW, “ Barang siapa yang lupa mengerjakan shalat, maka hendaklah segera ia laksanakan pada saat ia ingat,“ karena Allah SWT berfirman „Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.
4. Hadits dari Jubair Ibn Muth’im bahwasannya Nabi SAW bersabda, “ Wahai bani “Abd Manaf, barang siapa yang di antaramu yang menjadi pemimpin, maka sekali-kali jangan ia melarang seseorang melakukan tawaf di Baitullah dan melakukan shalat kapan ia mau, baik siang ataupun malam.
Penyelesaiannya
Dalam hadits pertama dan kedua, Rasulullah melarang shalat pada waktu: 1. setelah selesai shalat Ashar sampai matahari terbenam. 2. setelah selesai shalat subuh sampai matahari terbit.
Hadis ke tiga dan ke empat Rasulullah mengatakan boleh bagi seseorang mengerjakan shalat kapan saja siang maupun malam.
Menurut asy- Syafi’i maksud hadits larangan shalat di atas ada dua kemu ngkinan, apakah diberlakukan secara umum yakni terhadap shalat wajib dan shalat sunat. Ataukah diberlakukan secara khusus yakni salah satu dari di antaranya. Untuk mengetahuinya haruslah diperhatikan keterangan atau petunjuk dari Rasulullah. Artinya harus dilihat keterkaitannya dengan hadits lain. Seperti hadits dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “ Siapa yang sempat melakukan satu rakaat shalat shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah dianggap telah melakukan shalat subuh tersebut (seluruhnya) dalam waktunya. Dan siapa yang sempat melakukan satu rakaat shalat Asar sebelum matahari terbenam, maka dia dianggap melakukan shalat Asar tersebut (seluruhnya) dalam waktunya.
Jadi dapat dipahami bahwa seseorang yang hannya mendapatkan satu rakaat shalat subuh sebelum matahari terbit dan satu rakaat shalat Asar sebelum matahari terbenam, maka rakaat berikutnya dari shalat Subuh sudah pasti dilakukannya di kala matahari terbit. Demikian pula rakaat rakaat shalat Asar berikutnya, tentu dilakukan dikala matahari terbenam. Dengan dibiarkannya seseorang menyempurnakan shalat Subuh di kala matahari terbit dan menyempurnakan rakaat shalat Asar dikala matahari terbenam, bahkan seluruh shalatnya dianggap sebagai dalam waktu, maka hal ini dapat dijadikan petunjuk bahwa larangan shalat pada waktu-waktu yang disebut dalam dua hadis pertama dimaksudkan untuk diberlakukan secara khusus, yakni untuk shalat sunat bukan shalat wajib.
Lalu dengan dipinangnya Fatimah oleh Rasul untuk Usamah menunjukkan bahwa keadaan Fatimah waktu itu tidak sama dengan keadaan yang dimaksud oleh hadits pertama. Dengan demikian jelaslah bahwa ke dua hadits di atas memiliki konteks yang berbeda. Dan tidaklah bertentangan ke dua hadits tersebut bila dilihat dari konteksnya, maka penyelesaianya dapat dikompromikan. Yakni larangan meminang atas pinangan orang lain, apabila pinangannya tersebut tidak atau belum diterima boleh dilaksanakan peminangan.
c. Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif
Bentuk penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif ini maksudnya adalah dengan jalan mengkaji hadits-hadits mukhtalif yang tampak saling bertentangan itu bersama dengan hadits-hadits lain yang terkait dengan memperhatikan keterkaitan makna satu sama lain. Hal ini dilakukan agar pemahaman yang menyatakan bahwa hadits-hadits tersebut saling bertentangan itu dapat dipertemukan atau dikompromikan.
Contoh: hadits waktu-waktu terlarang
Artinya: dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW melarang shalat sesudah Ashar hingga matahari terbenam dan setelah shalat Subuh hingga terbit matahari.
2. Hadits Ibn Umar
Artinya: Dari Ibn Umar sesungguhnya Rasulullah SAW besabda “ jangan ada di antara kamu yang berkeinginan melakukan shalat pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari.
3. Hadits Ibn Musayyab
Artinya: Dari Ibn Musayyab bahwa Rasulullah SAW, “ Barang siapa yang lupa mengerjakan shalat, maka hendaklah segera ia laksanakan pada saat ia ingat,“ karena Allah SWT berfirman „Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.
4. Hadits dari Jubair Ibn Muth’im bahwasannya Nabi SAW bersabda, “ Wahai bani “Abd Manaf, barang siapa yang di antaramu yang menjadi pemimpin, maka sekali-kali jangan ia melarang seseorang melakukan tawaf di Baitullah dan melakukan shalat kapan ia mau, baik siang ataupun malam.
Penyelesaiannya
Dalam hadits pertama dan kedua, Rasulullah melarang shalat pada waktu: 1. setelah selesai shalat Ashar sampai matahari terbenam. 2. setelah selesai shalat subuh sampai matahari terbit.
Hadis ke tiga dan ke empat Rasulullah mengatakan boleh bagi seseorang mengerjakan shalat kapan saja siang maupun malam.
Menurut asy- Syafi’i maksud hadits larangan shalat di atas ada dua kemu ngkinan, apakah diberlakukan secara umum yakni terhadap shalat wajib dan shalat sunat. Ataukah diberlakukan secara khusus yakni salah satu dari di antaranya. Untuk mengetahuinya haruslah diperhatikan keterangan atau petunjuk dari Rasulullah. Artinya harus dilihat keterkaitannya dengan hadits lain. Seperti hadits dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “ Siapa yang sempat melakukan satu rakaat shalat shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah dianggap telah melakukan shalat subuh tersebut (seluruhnya) dalam waktunya. Dan siapa yang sempat melakukan satu rakaat shalat Asar sebelum matahari terbenam, maka dia dianggap melakukan shalat Asar tersebut (seluruhnya) dalam waktunya.
Jadi dapat dipahami bahwa seseorang yang hannya mendapatkan satu rakaat shalat subuh sebelum matahari terbit dan satu rakaat shalat Asar sebelum matahari terbenam, maka rakaat berikutnya dari shalat Subuh sudah pasti dilakukannya di kala matahari terbit. Demikian pula rakaat rakaat shalat Asar berikutnya, tentu dilakukan dikala matahari terbenam. Dengan dibiarkannya seseorang menyempurnakan shalat Subuh di kala matahari terbit dan menyempurnakan rakaat shalat Asar dikala matahari terbenam, bahkan seluruh shalatnya dianggap sebagai dalam waktu, maka hal ini dapat dijadikan petunjuk bahwa larangan shalat pada waktu-waktu yang disebut dalam dua hadis pertama dimaksudkan untuk diberlakukan secara khusus, yakni untuk shalat sunat bukan shalat wajib.
d. Penyelesaian dengan cara Takwil
Takwil berarti memalingkan lafal dari makna lahiriah kepada makna lain (yang lebih tepat) yang dikandung oleh lafal karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini berarti meninggalkan makna lahiriah suatu lafal karena dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujukannya, dengan mengambil makna lain yang lebih tepat di antara beberapa kemungkinan makna yang dapat dipahami dari lafal tersebut. Pemalingan makna ini dilakukan karena adanya dalil yang menghendaki.
Contoh hadits
1. Hadis dari Rafi’ ibn Khadij
Artinya: Dari Rafi’ ibn Khadij bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “ Tunaikanlah shalat Subuh pada waktu Subuh sudah mulai terang ( sudah menyebarkan cahaya kuning-kuningan), karena melaksanakan pada waktu itu lebih besar pahalanya.
2. Hadits ke dua dari Aisyah
Artinya: Dari Aisyah dia berkata: “ mereka perempuan mukminat, biasanya melaksanakan shalat subuh bersama Rasulullah, kemudian (selesai shalat) mereka pulang sambil menyelimuti diri dengan kain yang mereka pakai. Tak seorangpun yang dapat mengenali mereka karena suasana masih gelap.“
Penyelesaiannya:
Pertentangan yang tampak di antara hadits-hadits di atas ternyata melahirkan perbedaan di kalangan ulama tentang kapan sebenarnya waktu yang afdhal untuk menunaikan shalat tersebut. Imam Abu Hanifah dan sahabatnya serta kebanyakan ulama Irak berpendapat bahwa waktu afdhalnya adalah waktu al- Isfar. Sedangkan Imam al- Syafi’i, Malik, Ahmad dan lainnya berpendapat bahwa waktu afdhalnya adalah pada awal waktu subuh yang suasananya masih diwarnai oleh kegelapan penghujung malam.
Menurut al-Syafi’i penyelesaiannya adalah dengan menakwilkan hadis Rafi’ dan berpegang dengan hadis Aisyah karena dalam hal ini hadis Aisyah dinilainya mempunyai nilai lebih dibanding hadits Rafi’ untuk dijadikan hujjah. Keutamaan hadits ini karena mengandung makna yang lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan juga didukung oleh riwayat sahabat yang lainya. Sedangkan hadits Rafi’ ditakwilkan oleh Syafi’i kepada makna lain yang lebih sesuai dengan makna hadis Aisyah sehingga ke duanya dapat dikompromikan.
Dengan berupaya mencari makna lain dari hadits Rafi’ dengan jalan mentakwilkan, didapati kesamaan maksud dengan hadis Aisyah, bahwa shalat subuh mestilah dikerjakan diwaktu subuh.
2. Penyelesaian dalam bentuk Nasakh
Apabila dua hadits yang tampak bertentangan tidak dapat dilakukan penggabungan, maka dapat ditempuh dua jalan: (1) kemungkinan nasikh dan masukh dan (2) kemungkinan tarjih. Menurut bahasa kata nasakh mengandung arti menghilangkan (al-izalat), membatalkan (al-ibtal), menukar (al-tabdil), memalingkan (al-tahwil) dan memindahkan (al-naqlil).
Takwil berarti memalingkan lafal dari makna lahiriah kepada makna lain (yang lebih tepat) yang dikandung oleh lafal karena adanya qarinah yang menghendakinya. Hal ini berarti meninggalkan makna lahiriah suatu lafal karena dinilai tidak tepat untuk menjelaskan makna yang ditujukannya, dengan mengambil makna lain yang lebih tepat di antara beberapa kemungkinan makna yang dapat dipahami dari lafal tersebut. Pemalingan makna ini dilakukan karena adanya dalil yang menghendaki.
Contoh hadits
1. Hadis dari Rafi’ ibn Khadij
Artinya: Dari Rafi’ ibn Khadij bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “ Tunaikanlah shalat Subuh pada waktu Subuh sudah mulai terang ( sudah menyebarkan cahaya kuning-kuningan), karena melaksanakan pada waktu itu lebih besar pahalanya.
2. Hadits ke dua dari Aisyah
Artinya: Dari Aisyah dia berkata: “ mereka perempuan mukminat, biasanya melaksanakan shalat subuh bersama Rasulullah, kemudian (selesai shalat) mereka pulang sambil menyelimuti diri dengan kain yang mereka pakai. Tak seorangpun yang dapat mengenali mereka karena suasana masih gelap.“
Penyelesaiannya:
Pertentangan yang tampak di antara hadits-hadits di atas ternyata melahirkan perbedaan di kalangan ulama tentang kapan sebenarnya waktu yang afdhal untuk menunaikan shalat tersebut. Imam Abu Hanifah dan sahabatnya serta kebanyakan ulama Irak berpendapat bahwa waktu afdhalnya adalah waktu al- Isfar. Sedangkan Imam al- Syafi’i, Malik, Ahmad dan lainnya berpendapat bahwa waktu afdhalnya adalah pada awal waktu subuh yang suasananya masih diwarnai oleh kegelapan penghujung malam.
Menurut al-Syafi’i penyelesaiannya adalah dengan menakwilkan hadis Rafi’ dan berpegang dengan hadis Aisyah karena dalam hal ini hadis Aisyah dinilainya mempunyai nilai lebih dibanding hadits Rafi’ untuk dijadikan hujjah. Keutamaan hadits ini karena mengandung makna yang lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan juga didukung oleh riwayat sahabat yang lainya. Sedangkan hadits Rafi’ ditakwilkan oleh Syafi’i kepada makna lain yang lebih sesuai dengan makna hadis Aisyah sehingga ke duanya dapat dikompromikan.
Dengan berupaya mencari makna lain dari hadits Rafi’ dengan jalan mentakwilkan, didapati kesamaan maksud dengan hadis Aisyah, bahwa shalat subuh mestilah dikerjakan diwaktu subuh.
2. Penyelesaian dalam bentuk Nasakh
Apabila dua hadits yang tampak bertentangan tidak dapat dilakukan penggabungan, maka dapat ditempuh dua jalan: (1) kemungkinan nasikh dan masukh dan (2) kemungkinan tarjih. Menurut bahasa kata nasakh mengandung arti menghilangkan (al-izalat), membatalkan (al-ibtal), menukar (al-tabdil), memalingkan (al-tahwil) dan memindahkan (al-naqlil).
Sedangkan menurut istilah, nasakh adalah
Syari’ mengangkat suatu hukum syari’
dengan menggunakan dalil syari’ yang datang belakangan. Hal ini dilakukan karena Nabi adakalanya menyampaikan suatu ajaran
Islam di dalam suatu hadisnya, namun kemudian ajaran tersebut dihapuskan dengan
hadis yang datang kemudian. Sebenarnya dalam
hal ini Rasul memberikan penjelasan
tentang setiap hadits yang dinasakh
itu. Hannya saja,
terkadang siperawi tidak mengetahui terjadi nasakh di antara hadits tersebut, dan perawi yang lain juga menerima hadis versi
yang satunya lagi.
Apabila memang terjadi nasakh, maka hadis-hadis tersebut haruslah diselesaikan (dipahami) sesuai dengan ketentuan nasakh yaitu mengamalkan hadits yang datang belakangan ( nasikh) dan meninggalkan hadis yang datang terdahulu (mansukh).
Contoh Hadis:
1. Hadits dari Syadad ibn Aws,
Artinya: Dari Syadad Ibn Aws, dia berkata, “aku pernah bersama Nabi pada tahun memasuki kota mekah, Nabi melihat seseorang sedang berbeka , yakni pada hari ke delepan belas bulan Ramadhan. Sambil memegang tanganku beliau lantas bersabda, “ yang membekam dan yang dibekam batal puasanya”
2. Hadis dari Ibn Abbas
Artinya: Dari ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW berbekam sedang ia dalam berihram lagi berpuasa.
Penyelesaian:
Menurut as-Syafi’i pertentangan ke dua hadits tersebut sulit untuk dikompromikan karena itu ia menyelesaikannya dengan cara nasakh. Dalam hal ini hadits ibn Abbas berfungsi sebagai nasikh dan hadits Syaddad ibn Aws sebagai mansukh. Dengan demikian maka hadis ibn ‘Abbaslah yang harus dipegang dan diikuti sedangkan hadis Syaddad ibn Aws ditinggalkan.
3. Penyelesaian dalam bentuk Tarjih
Tarjih dapat diartikan sebagai memperbandingkan dalil-dalil yang nampak saling bertentangan untuk dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat dibandingkan dengan yang lain. Jadi dalam kasus hadits-hadits mukhtalif yang tidak dapat dikompromikan dan diantaranya tidak terjadi nasakh, maka hadits-hadits tersebut diperbandingkan. Kualitas masing-masing hadis dikaji lebih jauh agar dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat dan lebih tinggi nilai hujjahnya dibandingkan yang lainnya.
Contoh Hadits
1. Hadts dari Aisyah
Artinya: hadits dari Aisyah, bahwa seorang laki-laki pernah bertannya kepada Rasulullah, beliau ketika itu sedang berdiri di depan pintu dan aku ( kata Aisyah) mendengarkannya. Laki-laki itu berkata, “ Ya Rasulullah, aku junub sampai pagi hari, akupun ingin untuk terus berpuasa maka akupun mandi dan terus berpuasa pada hari itu. Artinya: “siapa yang junub sampai pagi hari, batallah puasanya pada hari itu.“
Penyelesaiannya:
Dari hadits pertama dapat dipahami bahwa junub sampai pagi hari (setelah masuk imsak) tidaklah membatalkan puasa. Oleh karena itu, seorang yang junub sampai masuknya waktu imsak, atau sampai pagi hari puasa, ia dapat meneruskan puasanya pada hari itu sebagaimana biasanya. Akan tetapi hadits kedua secara tegas menjelaskan bahwa junub sampai pagi hari membatalkan puasa, jadi seseorang yang junub sampai masuk waktu imsak, puasanya hari itu batal karenanya.
Di antara dua hadits yang bertentangan di atas, menurut asy-Syafi’i hadits Aisyahlah yang harus dipegang dan diamalkan, bukan hadits Abu Hurairah. Hal ini didasarkan as-Syafi’i kepada hasil pentarjihannnya dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Hadits Aisyah nilai kompetensinya lebih tinggi karena ia adalah istri Rasulullah.
2. Dari segi periwayatan, hadits Aisyah mempunyai periwayatan yang lebih banyak.
Apabila memang terjadi nasakh, maka hadis-hadis tersebut haruslah diselesaikan (dipahami) sesuai dengan ketentuan nasakh yaitu mengamalkan hadits yang datang belakangan ( nasikh) dan meninggalkan hadis yang datang terdahulu (mansukh).
Contoh Hadis:
1. Hadits dari Syadad ibn Aws,
Artinya: Dari Syadad Ibn Aws, dia berkata, “aku pernah bersama Nabi pada tahun memasuki kota mekah, Nabi melihat seseorang sedang berbeka , yakni pada hari ke delepan belas bulan Ramadhan. Sambil memegang tanganku beliau lantas bersabda, “ yang membekam dan yang dibekam batal puasanya”
2. Hadis dari Ibn Abbas
Artinya: Dari ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW berbekam sedang ia dalam berihram lagi berpuasa.
Penyelesaian:
Menurut as-Syafi’i pertentangan ke dua hadits tersebut sulit untuk dikompromikan karena itu ia menyelesaikannya dengan cara nasakh. Dalam hal ini hadits ibn Abbas berfungsi sebagai nasikh dan hadits Syaddad ibn Aws sebagai mansukh. Dengan demikian maka hadis ibn ‘Abbaslah yang harus dipegang dan diikuti sedangkan hadis Syaddad ibn Aws ditinggalkan.
3. Penyelesaian dalam bentuk Tarjih
Tarjih dapat diartikan sebagai memperbandingkan dalil-dalil yang nampak saling bertentangan untuk dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat dibandingkan dengan yang lain. Jadi dalam kasus hadits-hadits mukhtalif yang tidak dapat dikompromikan dan diantaranya tidak terjadi nasakh, maka hadits-hadits tersebut diperbandingkan. Kualitas masing-masing hadis dikaji lebih jauh agar dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat dan lebih tinggi nilai hujjahnya dibandingkan yang lainnya.
Contoh Hadits
1. Hadts dari Aisyah
Artinya: hadits dari Aisyah, bahwa seorang laki-laki pernah bertannya kepada Rasulullah, beliau ketika itu sedang berdiri di depan pintu dan aku ( kata Aisyah) mendengarkannya. Laki-laki itu berkata, “ Ya Rasulullah, aku junub sampai pagi hari, akupun ingin untuk terus berpuasa maka akupun mandi dan terus berpuasa pada hari itu. Artinya: “siapa yang junub sampai pagi hari, batallah puasanya pada hari itu.“
Penyelesaiannya:
Dari hadits pertama dapat dipahami bahwa junub sampai pagi hari (setelah masuk imsak) tidaklah membatalkan puasa. Oleh karena itu, seorang yang junub sampai masuknya waktu imsak, atau sampai pagi hari puasa, ia dapat meneruskan puasanya pada hari itu sebagaimana biasanya. Akan tetapi hadits kedua secara tegas menjelaskan bahwa junub sampai pagi hari membatalkan puasa, jadi seseorang yang junub sampai masuk waktu imsak, puasanya hari itu batal karenanya.
Di antara dua hadits yang bertentangan di atas, menurut asy-Syafi’i hadits Aisyahlah yang harus dipegang dan diamalkan, bukan hadits Abu Hurairah. Hal ini didasarkan as-Syafi’i kepada hasil pentarjihannnya dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Hadits Aisyah nilai kompetensinya lebih tinggi karena ia adalah istri Rasulullah.
2. Dari segi periwayatan, hadits Aisyah mempunyai periwayatan yang lebih banyak.
BAB III
KESIMPULAN
Hadits Nabi sebagai pedoman ke dua umat Islam mesti dipahami secara komprehensif. Dengan demikian dapat dihindari kesalahan di dalam memahami hadts. Tidak ada lagi tuduhan bahwa hadits Nabi memiliki makna yang bertentangan. Ulama telah berijtihad bahwa hadits yang kelihatannya bertentangan dapat diselesaikan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Dikompromikan antara ke dua hadits yang bertentangan sehingga kandungan makna atau maksud yang dituju hadits tersebut dapat diproleh titik temunya. Penyelesaian bentuk kompromi ini ada beberapa cara yang yang dapat ditempuh yakni:
a. Penyelesaian berdasarkan kaidah ushul
b. Penyelesaian berdasarkan pemahaman konstektual
c. Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif
d. Penyelesaian dengan cara takwil
2. Bila penyelesaian dengan cara kompromi tidak dapat dilakukan, maka cara yang ditempuh dapat digunakan dalam bentuk nasakh
3. Jika penyelesaian secara nasakh tidak dapat dilakukan, maka cara lainnya adalah dengan bentuk tarjih.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Abdul al-Rahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Raawi, (Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, 1972)
Edi Safri, Al-Imam al-Syafi’i: Metode Penyelesaian hadits-hadits mukhtalif, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999) t
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998)
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Kuwait: Dar al-Turats, 1984)
Zafar Ahnad Usmani al-Tahaanuwi, Qawaaid fi Uluum al-Hadits, (Beirut : Dar al-Salam, 1996)
Zulhedi, Memahami hadits-hadits yang bertentangan, (Jakarta: Nuansa Madani, 2001)
Abdul al-Rahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Raawi, (Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, 1972)
Edi Safri, Al-Imam al-Syafi’i: Metode Penyelesaian hadits-hadits mukhtalif, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999) t
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998)
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Kuwait: Dar al-Turats, 1984)
Zafar Ahnad Usmani al-Tahaanuwi, Qawaaid fi Uluum al-Hadits, (Beirut : Dar al-Salam, 1996)
Zulhedi, Memahami hadits-hadits yang bertentangan, (Jakarta: Nuansa Madani, 2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar