Kamis, 29 Maret 2012

MUKHTALIF AL-HADITS MAKALAH


MUKHTALIF AL-HADITS

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumu Hadits





Oleh:

Muhsinun (082092010)

yang dibina oleh :

Bpk. Kasman M.Fil.


JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

2010


BAB I PENDAHULUAN

             Hadits adalah sumber hukum kedua bagi umat Islam.  Kedudukannya  merupakan penjelas bagi al-Quran. Umat Islam  tidak  bisa  menerapkan  ajaran  dari  al-Quran  tanpa petunjuk secara rinci dari  hadits. Berbagai  ibadah  utama  dalam  Islam  perintahnya  ada dalam al-Quran, seperti shalat, puasa, zakat dan  lain-lain. Perintah  itu  berbentuk  umum, sementara hadits datang dengan rincian yang jelas. Hadits sangat diperlukan  untuk  dapat mengamalkan ajaran Islam secara sempurna. Ibadah shalat lima waktu perintahnya dalam al-Qur’an, teknis pelaksanaanya hadis yang menjelaskan. Pengamalan  perintah  al-Quran tidakbisaterlepasdarihadis.
             Hadits Nabi Muhammad yang sampai pada kita hari ini banyak jumlahnya. Tidak semuanya hadits Nabi itu dapat kita terima secara mutlak. Hal ini disebabkan hadits Nabi tersebut masih terbagi ke dalam berbagai bentuk hadits; seperti hadits mutawatir, sahih, hasan dan dhaif serta maudhu’. Untuk sebagai hujjah, hanya hadits mutawatir, sahih dan hasan yang bisa dipedomani. Ke tiga hadits ini adalah maqbul, diterima sebagai hujjah.
Tentunya kita sepakat bahwa hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah adalah hadits yang termasuk kategori maqbul.
               Namun hadtis maqbul tidak dapat diterima begitu saja karena pada hadits maqbul terdapat persoalan-persoalan yang meragukan untuk dijadikan sebagai hujjah dalam menyelesaikan masalah. Persoalannya adalah terdapatnya pada hadits maqbul riwayat-riwayat yang antara satu dengan yang lainnya tampak saling bertentangan artinya menyangkut masalah yang dihadapi tersebut disatu pihak ditemukan hadits dengan ketentuan hukum yang membolehkan atau bahkan memerintahkan. Sedangkan dipihak lain ditemukan pula hadis dengan ketentuan hukum yang melarang.
              Supaya kita tidak terjebak di dalam memahami hadits yang kelihatannya bertentangan, maka kita perlu membahas suatu kajian hadis yaitu hadis mukhtalif dan penyelesaiannya. Dalam makalah ini dibahas pengertian hadis mukhtalif, sebab terjadinya hadis mukhtalif, urgensi ilmu mukhtalif hadits, dan metode penyelesaian hadits mukhtalif.
HaditsMukhtalif



BAB II PEMBAHASAN

A. PengertianHadisMukhtalif
               Secara etimologi adalah isim faa’il yang bisa diidhafatkan  dengan isim  lainnya (dalam hal ini hadits)  yang   berasal  dari   kata  kerja  yang   berarti  (menjadikan sesuatu berada di belakangnya atau dengan makna  lain  menjadikan  sesuatu   bertolak   belakang dengannya).  Pengertian  secara   terminology,  dapat  dikemukakan   beberapa   pendapat ulamahadits,diantaranya:
1.Pendapat An-Nawawi yang dikutip oleh al-Suyuthiy:
              Hadits-hadits  mukhtalif   ialah  dua  buah   hadits   yang  saling  bertentangan  pada   makna   lahiriahnya ( namun  makna   sebenarnya   bukanlah  bertentangan, untuk mengetahui makna sebenarnya tersebut) maka keduanya  dikompromikan   atau   ditarjih (untukmengetahuimanayangkuatdiantaranya).”
2.Pendapatal-Tahanuwiymenjelaskanbahwa:
              “Dua   buah     hadis  ( sama-sama    dalam   kategori)   maqbul     yang    saling bertentangan pada  makna   lahiriahnya (namun   sebenarnya   bukanlah     bertentangan karena) maksud yang dituju oleh satu dengan lainnya dapat dikompromikan dengan cara yangwajar(tidakdicari-cari).”
3. Pendapat Edi Safri, menjelaskan bahwa:
          Hadis-hadis mukhtalif adalah hadis sahih atau hadis hasan yang     secara lahiriah tampak saling bertentangan dengan hadis sahih atau hadis hasan lainnya. Namun makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya sebenarnya dapat dikompromikan atau dicari penyelesaiannya dalambentuk nashatau tarjih.
              
Dari berbagai pengertian hadits mukhtalif di atas dapat  dipahami  bahwa  hadits mukhtalif adalah dua buah hadis yang sama-sama maqbul (hadis shahih atau hadis hasan) yang tampak secara lahiriah bertentangan namun sebenarnya bukanlah  bertentangan  dan penyelesaianyadapatdikompromikanatauditarjih.


B.Sebab terjadinya hadits Mukhtalif
               Nabi  Muhammad  adalah  sumber  ilmu  bagi  sahabat.  Beliau  sering   diminta petunjuknya    dalam  kehidupan  sehari-hari  oleh  sahabat. Hal ini   berlangsung   selama kehidupan Nabi. Segala persoalan sahabat   beliau  berikan  penyelesaian   dengan   tuntas. Nasehat yang diberikan kepada seseorang kadangkala belum dipahami secara  penuh oleh sahabat. Di samping itu sahabat juga mengamati perbuatan rasul dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian sahabat melihat  perbuatan  rasul  dalam  kaitannya dengan  sebuah  ibadah sekilas    bertentangan    dengan   hadits   yang  disampaikannya  dengan  lisan.  Sehingga pemahaman yang tidak secara komprehensif ini menjadikan dua buah hadits  dalam  tema yangsamaseolahbertentangan.
C. Syarat-syarat terjadinya hadits Mukhtalif
1.Hadits lebih dari satu
2.Sama-sama hadits maqbul
3.Konstek hadits dalam persoalan yang sama
4.Hadis-hadis tersebut secara lahiriah bertentangan
5.Dapat dikompromikan sehingga keduanya dapat diamalkan.
D. Ilmu Mukhtalif al-Hadits
            Kajian tentang masalah-masalah yang menyangkut dengan hadis-hadis   mukhtalif ternyata telah melahirkan suatu cabang ilmu dalam disiplin ilmu hadis yang  disebut  ilmu Mukhtalif hadits. ‘Ajjaj al-Khatib mendefenisikan ilmu Mukhtalif al-Hadis ini sebagai:
               “ Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya  saling   bertentangan, lalu menghilangkan  pertentangan   itu atau   mengkompromikannya,  di  samping  membahas hadits  yang  sulit   dipahami    atau dimengerti,   lalu   menghilangkan kesulitan  itu  dan menjelaskan hakikatnya.”

                 Menurut Zulhedi, ilmu  mukhtalif  hadits    adalah   teori   atau cara-cara   yang dirumuskan oleh para ulama   untuk   menyelesaikan hadits-hadits   yang   secara  lahiriah tampak    saling    bertentangan   agar    dapat     ditemukan        pengkompromianya   atau penyelesaianya sehingga maksud sebenarnya yang  dituju  oleh   hadits-hadits   itu   dapat dipahami dengan baik.
                Jadi dengan demikian ilmu mukhtalif hadits  merupakan salah satu cabang ilmu hadits yang perlu diketahui oleh semua golongan ulama    karena ilmu ini memiliki fungsi sebagai alat panduan bagi seseorang  dalam  memahami hadits-hadits   Rasulullah. Hal ini dapat  membantu   terhindarnya   ulama   dari kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ajaran-ajaran yang dikandung oleh hadits-hadits  mukhtalif.     Sebagai   salah satu cabang ilmu hadits,   ilmu mukhtalif hadits tidaklah berdiri sendiri.       Dengan demikian terdapat ilmu-ilmu   lain   yang   mempunyai hubungan   erat dengan  ilmu mukhtalif hadits, yaitu:
1.Ilmu Gharib Hadits, yaitu  ilmu yang   mempelajari    kata-kata   yang    sulit   dipahami maknanya
2. Ilmu asbab   Wurud al-Hadis,   yaitu   ilmu   yang    mempelajari    sebab-sebab     yang melatarbelakangi muncul suatu hadis
3.Ilmu Nasikh al-Hadis wa Mansukh, yakni ilmu untuk mempelajari mana   hadits    yang telah di-nasakh-kan (mansukh) dan mana yang me-nasakh-kan (nasikh).
4.Ilmu Fiqh dan Ilmu Ushul Fiqh
                Untuk menguasai ilmu hadits mukhtalif dengan baik, ilmu   pembantu   di   atas haruslah dikuasai dengan baik. Hal ini    bertujuan   agar  tidak   terjadi   kesalahan  dalam memahami hadis rasulullah, sehingga dapat memberikan  penjelasan  kepada  masyarakat.
Menurut ‘Ajjaj al-Khatib para Ulama telah memberikan  perhatian  yang  serius  terhadap ilmu  Mukhtalif  al-Hadits  sejak  masa  sahabat.  Mereka  melakukan  ijtihad    mengenai berbagai hukum, memadukan antar    berbagai   hadits,   menjelaskan   dan   menerangkan maksudnya.
                Kemudian generasi demi generasi mengikuti jejak mereka,  mengkompromikan antar hadits  yang   tampak  saling   bertentangan  dan   menghilangkan   kesulitan   dalam memahaminya. Bukti dari keseriusan ulama  tentang masalah ini,  mereka  telah   menulis karya-karya dalam   bidang ini.   Di antara   karya-karya yang terpopuler dalam bidang ini adalah:
1.
Ikhtilaf al-Hadis karya Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i (150-204 H)
2. Ta’wil Mukhtalif al-Hadis karya Imam al-Hafidz Abdullah Ibn Muslim  Ibn   Qutaibah ad-Dainuri (213-276 H)
3. Musykil   al-Atsar   karya   Imam   al-Muhaddis   al-Faqih   Abu   Ja’far   Ahmad    Ibn Muhammad ath- Thahawiy ( 239-321 H )
4. Musykil al-Hadis wa Bayanuhu karya Imam al-Muaddis  Abu  Bakar  Muhammad  Ibn al-Hasan (Ibn Furak) al- Anshari al- Ashbahaniy yang wafat tahun 406 H.

E. Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif
                Metode penyelesaian Hadits   mukhtalif   adalah     cara    atau   tata kerja   ilmu Mukhtalif Hadis dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat di dalam hadits-hadits mukhtalif. Ada beberapa cara kerja ilmu  Mukhtalif   Hadits ini, sebagaimana   yang telah ditetapkan oleh para ulama di bawah kepeloporan Imam asy-Syafi’i.
                Imam asy-Syafi’i   telah menetapkan   suatu   kaidah   dalam ilmu Mukhtalif al-Hadis yang selanjutnya diikuti oleh para ulama lainnya. Kaidah tersebut berbunyi:
              „ Janganlah   sekali-kali  mempertentangkan  hadits-hadits Rasulullah yang satu dengan      hadtis     yang     lainnya     selama      mungkin    ditemukan     jalan    ( untuk mengkompromikannya) agar hadis-hadis tersebut   dapat  sama-sama diamalkan. Jangan terlantar suatu hadis disebabkan hadis lainnya karena kita punnya kewajiban yang sama untuk  mengamalkan   masing-masingnya. Oleh  karena itu   jangan jadikan (nilai) hadis-hadis   sebagai   pertentangan   kecuali   apabila    tidak mungkin diamalkan selain harus meninggalkan salah satunya.“
                 Hal    ini    dilakukan    berdasarkan    suatu    prinsip     bahwa   tidak mungkin Rasul menyampaikan suatu ajaran (hadits-hadits) yang  antara  satu  dengan  yang lainnya bertentangan.  Jika  bertemu dua   buah  hadits  saling bertentangan,   maka  akan  ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ada kekeliruan  di dalam menilai  hadits,  mungkin saja salah satu di antaranya bukanlah hadits  maqbul. Kemungkinan ke dua, barangkali di antarat hadits-hadits ini adalah hadits ghair  al-ma’mul  ( hadits   yang tidak diperintahkan untuk mengamalkannya).
                 Jika ketemu dua   buah hadits yang termasuk dalam kategori maqbul sementara keduanya kelihatan bertentangan,  ulama   hadits   memberikan alternatif penyelesaian, di antaranya adalah:
1. Menurut Imam Suyuti, penyelesaiannya adalah:
              a. Mengkompromikan kedua dalil yang berlawanan
              b. Mentarjih salah satu dalil bila kompromi tidak mungkin dilakukan
2. Menurut Muhammad Thahhan penyelesaiannya adalah:
              a. Dilakukan kompromi antara keduanya jika mungkin dilakukan
              b. Bila kompromi tidak mungkin, dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:
                 1. Bila diketahui salah satunya nasikh, maka didahulukan  dan  diamalkan yang
                     nasikh, sedangkan yang mansukh ditinggalkan.            
                 2. Jika tidak diketahui  adanya nasikh, maka   ditarjih   salah   satunya   dengan
                     metode tarjih yang lazim dipakai
                 3. Kalau   tarjih   tidak   dapat dilakukan,  maka  ditangguhkan beramal dengan
                     hadits mukhtalif itu sampai ditemukan adanya dalil yang lebih kuat.
3. Menurut    asy-Syafi’i   sebagaimana    dijelaskan   dalam    tulisan    Edi Safri,   bahwa penyelesaiannya adalah:
               a. Penyelelesaian dalam bentuk kompromi
               b. Penyelesaian dalam bentuk nasakh
               c. Penyelesaian dalam bentuk tarjih
               Pendapat   di   atas   pada   dasarnya   sama, bahwa metode  penyelesaian Hadits Mukhtalif dapat dilakukan   dengan   bentuk   kompromi,   jika   tidak   mungkin   dengan kompromi maka dilakukan dengan cara nasakh, kalau nasakh tidak dapat maka dilakukan tarjih. Berikut ini akan dibicarakan satu persatu metode penyelesaian hadits Mukhtalif.
1. Penyelesaian dalam bentuk kompromi
                Maksud dari penyelesaian dalam  bentuk   kompromi (al-jam’u wa al-taufiq) ini adalah penyelesaian dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masing sehingga maksud sebenarnya yang  dituju  oleh hadits-hadits   itu  dapat   dikompromikan. Dengan kata lain, mencari pemahaman yang tepat tentang hadis-hadis yang menunjukkan kesejalanan dan  keterkaitan  makna  sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntunan. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Menggunakan kaidah ushul
               Penyelesaian  berdasarkan  pemahaman dengan pendekatan kaidah ushul adalah memahami hadits-hadits Rasulullah dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan atau kaidah-kaidah  ushul  terkait  yang telah dirumuskan oleh para ulama (ushul al-Fiqh). Hal ini sangat  perlu  mendapat  perhatian sebab masalah bagaimana harusnya memahami maksud hadits   atau  mengistinbath-kan hukum-hukum  yang dikandungnya dengan baik, merupakan masalah yang menjadi objek kajian dari ilmu ushul.
               Di dalam bahasa Arab ada   ungkapan  dengan  redaksi yang umum untuk tujuan umum pula. Namun  juga ada  redaksi  umum untuk maksud yang khusus. Pendekatan ini dirasakan sangat tepat  karena pada umumnya persoalan yang muncul  pada  hadits-hadits semacam  ini   hannya   menyangkut  permasalahan ‘am (umum)  dan khas  (khusus) serta muthlaq dan muqayyad.
Contoh masalah hadits zakat pertanian:
Artinya: Hadits dari Salim ibn Abdillah, dari Bapaknya dari Nabi SAW, Beliau bersabda, “Hasil  pertanian yang diairi dengan air hujan dengan mata air atau genangan (sumber) air   alami   lainnya   zakatnya   sepuluh   persen.    Dan   yang   diairi  (disirami) dengan menggunakan bantuan unta zakatnya lima persen.(HR. Bukhari)
Hadits dari Abu Sa’id al-Khudhariy
Artinya: Dari Nabi SAW, Beliau bersabda, “ Tidak ada wajib zakat pada  hasil pertanian yang tidak mencapai lima wasq. (HR. Bukhari)
Penyelesaiannya:
                 Hadits pertama mengatakan wajib zakat   hasil   pertanian   secara  umum, baik hasilnya   banyak   maupun   sedikit   tanpa   ada   perbedaan atau batasan. Hal ini tampak bertentangan   dengan   hadits ke    dua yang menyatakan tidak ada wajib zakat pada hasil pertanian yang   banyaknya   tidak   mencapai lima wasq. Penyelesaiannya adalah dengan mentakhsis-kan    hadits   pertama   dengan   hadits   ke dua.   Jadi   umum hadits pertama diberlakukan terhadap hasil pertanian yang melebihi batasan yang   disebut  hadits ke dua (lima   wasq     ke  atas).   Dengan   demikian,   hadits-hadits   tersebut   dapat   ditemukan pengkompromiannya dengan menarik suatu kesimpulan bahwa hasil pertanian yang wajib dikeluarkan   zakatnya   adalah yang banyaknya mencapai lima wasq ke atas (berdasarkan hadis pertama).   Dan   tidak   wajib   zakat   jika   hasilnya   tidak    mencapai  lima  wasq (berdasarkan hadis ke dua)
b. Penyelesaian berdasarkan pemahaman konstektual
               Sebagian   hadits-hadits    Rasulullah   muncul    dengan   dilatarbelakangi   oleh  peristiwa   atau situasi tertentu yang  lazim   disebut   dengan       sabab   wurud   al-hadits.   Dalam hal ini disebut dengan istilah konteks.  Pemahaman kontekstual   yang    dimaksud adalah memahami    hadis-hadits   Rasulullah   dengan     memperhatikan   dan   mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang  melatarbelakangi   munculnya   hadits-hadits tersebut.
Contoh: hadits pinang meminang.
1. Hadits dari Ibn Umar
Artinya : Dari  ‘Abdullah ibn Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Janganlah salah seorang kamu meminang pinangan saudaranya. (HR. Syafi’i)
2. Hadits dari   Fatimah   binti    Qays:    bahwa        Rasulullah         SAW        bersabda :
Apabila engkau telah habis iddah, beritahulah aku”.       Kata Fatimah,   “ setelah  habis iddahku,   akupun    memberitahu    Rasulullah    bahwa     Muawiyah     dan   Abu   Jahm meminangku.: Kata Rasulullah Muawiyah adalah laki-laki miskin,   sedangkan Abu Jahm adalah laki-laki yang sering memukul istrinya. Oleh karena itu,  nikahlah dengan Usamah ibn Zaid. Kata Fatimah, “ akan tetapi aku   kurang   senang   kepadanya.” Kata Rasulullah lagi, “ Nikahlah anda dengan Usamah”.  Kata Fatimah lebih lanjut maka akupun menikah denganya,   Allah   pun   memberkahi   perkawinan   kami  dan akupun bahagia denganya.
Penyelesaiannya:
                
Dalam hadits pertama  Rasulullah   melarang   meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang  lain.  Akan  tetapi   hal  ini tampak bertentangan hadis ke dua, sebab dalam hadis ke dua justru Rasulullah sendiri meminang Fatimah binti Qais untuk Usamah ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Muawiyah dan Abu Jahm.
                 Penyelesaiannya  perlu diketahui latar   belakang   munculnya   ke   dua  hadits tersebut. Latar   belakang   hadits pertama menurut Syafi’i, bahwa Rasul ditannya tentang seseorang yang meminang perempuan,  pinangannya   diterima   oleh perempuan tersebut. akan    tetapi   datang    lagi   pinangan   dari   laki-laki lain   yang   ternyata lebih menarik perempuan dan ingin membatalkan pinangan pertama.
                 Berdasarkan inilah Rasulullah mengatakan   larangan    meminang   perempuan yang sudah dipinang oleh orang lain. Sedangkan hadits    kedua konteksnya lain, Fatimah binti Qais dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm tidaklah pada waktu yang bersamaan, melainkan ada   yang    dahulu   dan   ada   yang   kemudian.   Dalam konstek ini Fatimah sebenarnya   belum menerima  pinangan   ke dua laki-laki tersebut. Fatimah memberitahu bahwa ia dipinang  oleh  dua   laki-laki   mungkin saja ia maksudkan untuk minta nasehat pada Rasul.
                 Lalu   dengan   dipinangnya   Fatimah oleh  Rasul untuk Usamah menunjukkan bahwa keadaan Fatimah waktu itu tidak sama dengan keadaan yang dimaksud oleh hadits pertama. Dengan demikian jelaslah bahwa ke  dua   hadits di atas memiliki konteks   yang berbeda. Dan tidaklah bertentangan ke dua hadits   tersebut   bila   dilihat dari konteksnya, maka penyelesaianya dapat dikompromikan. Yakni larangan   meminang   atas   pinangan orang lain, apabila pinangannya tersebut tidak atau belum  diterima   boleh   dilaksanakan peminangan.
c. Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif
                  
Bentuk penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif ini maksudnya adalah dengan jalan mengkaji  hadits-hadits    mukhtalif yang   tampak     saling bertentangan itu bersama dengan hadits-hadits lain yang terkait dengan memperhatikan keterkaitan makna satu sama lain. Hal ini dilakukan agar pemahaman yang menyatakan bahwa  hadits-hadits tersebut saling bertentangan itu dapat dipertemukan atau dikompromikan.
Contoh: hadits waktu-waktu terlarang
Artinya: dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW    melarang   shalat   sesudah Ashar   hingga matahari terbenam dan setelah shalat Subuh hingga terbit matahari.
2. Hadits Ibn Umar
Artinya:  Dari   Ibn  Umar sesungguhnya Rasulullah SAW besabda “ jangan ada di antara kamu yang berkeinginan melakukan shalat pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari.
3. Hadits Ibn Musayyab
Artinya: Dari     Ibn      Musayyab bahwa   Rasulullah   SAW,     Barang    siapa    yang   lupa mengerjakan    shalat,   maka   hendaklah    segera   ia   laksanakan   pada   saat   ia ingat,“  karena Allah SWT berfirman „Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.

4. Hadits dari Jubair Ibn Muth’im bahwasannya Nabi SAW bersabda, “ Wahai bani “Abd Manaf, barang siapa yang di antaramu yang menjadi pemimpin, maka sekali-kali jangan ia melarang seseorang melakukan tawaf di Baitullah dan melakukan shalat kapan ia mau, baik siang ataupun malam.
Penyelesaiannya
                Dalam hadits   pertama dan   kedua,   Rasulullah   melarang  shalat pada waktu: 1. setelah selesai shalat Ashar sampai  matahari   terbenam. 2.   setelah   selesai shalat subuh sampai matahari terbit.
                Hadis ke tiga dan ke empat Rasulullah   mengatakan    boleh    bagi    seseorang mengerjakan shalat kapan saja siang maupun malam.
                Menurut asy- Syafi’i maksud hadits larangan  shalat   di   atas   ada   dua   kemu ngkinan, apakah diberlakukan secara umum yakni terhadap shalat wajib dan  shalat  sunat. Ataukah   diberlakukan   secara    khusus    yakni  salah   satu   dari   di  antaranya.  Untuk mengetahuinya haruslah diperhatikan keterangan atau petunjuk dari  Rasulullah.   Artinya harus dilihat   keterkaitannya   dengan   hadits   lain.   Seperti   hadits  dari  Abu  Hurairah, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, “ Siapa yang  sempat   melakukan   satu   rakaat shalat shubuh sebelum matahari terbit, maka ia telah dianggap   telah   melakukan   shalat subuh tersebut (seluruhnya) dalam waktunya. Dan siapa   yang   sempat   melakukan  satu rakaat shalat Asar sebelum matahari terbenam, maka dia dianggap melakukan shalat Asar tersebut (seluruhnya) dalam waktunya.
                 Jadi dapat dipahami bahwa seseorang yang hannya  mendapatkan   satu   rakaat shalat subuh sebelum matahari terbit  dan   satu   rakaat  shalat   Asar   sebelum   matahari terbenam, maka rakaat berikutnya dari shalat Subuh  sudah   pasti   dilakukannya   di kala matahari terbit. Demikian pula rakaat rakaat   shalat   Asar   berikutnya,   tentu  dilakukan dikala  matahari    terbenam. Dengan   dibiarkannya  seseorang   menyempurnakan  shalat Subuh di kala matahari terbit dan menyempurnakan rakaat shalat  Asar   dikala   matahari terbenam, bahkan seluruh shalatnya dianggap sebagai dalam waktu,  maka  hal  ini   dapat dijadikan petunjuk bahwa larangan shalat pada waktu-waktu   yang   disebut   dalam   dua hadis pertama dimaksudkan untuk diberlakukan secara khusus, yakni untuk  shalat   sunat bukan shalat wajib.

d. Penyelesaian dengan cara Takwil
                 Takwil berarti memalingkan lafal dari makna lahiriah kepada makna lain (yang lebih tepat) yang dikandung oleh lafal karena adanya qarinah yang menghendakinya.  Hal ini berarti meninggalkan makna lahiriah suatu   lafal   karena   dinilai   tidak   tepat  untuk menjelaskan makna yang ditujukannya, dengan mengambil makna lain yang   lebih   tepat di antara beberapa kemungkinan   makna   yang   dapat    dipahami   dari   lafal    tersebut. Pemalingan makna ini dilakukan karena adanya dalil yang menghendaki.
Contoh hadits
1. Hadis dari Rafi’ ibn Khadij
Artinya: Dari Rafi’ ibn Khadij bahwasannya Rasulullah   SAW bersabda,   “ Tunaikanlah shalat Subuh pada waktu Subuh sudah mulai terang ( sudah menyebarkan cahaya kuning-kuningan), karena melaksanakan pada waktu itu lebih besar pahalanya.
2. Hadits ke dua dari Aisyah
Artinya: Dari Aisyah   dia   berkata:        mereka    perempuan     mukminat,     biasanya melaksanakan shalat subuh bersama   Rasulullah,   kemudian   (selesai   shalat)    mereka pulang sambil menyelimuti diri dengan kain yang mereka pakai.  Tak   seorangpun   yang dapat mengenali mereka karena suasana masih gelap.“
Penyelesaiannya:
             
Pertentangan yang tampak di antara hadits-hadits di  atas   ternyata     melahirkan perbedaan di kalangan  ulama   tentang  kapan   sebenarnya   waktu   yang   afdhal   untuk menunaikan shalat tersebut. Imam Abu Hanifah dan sahabatnya serta kebanyakan   ulama Irak berpendapat bahwa waktu afdhalnya   adalah  waktu al- Isfar.   Sedangkan   Imam al- Syafi’i, Malik, Ahmad dan lainnya berpendapat bahwa waktu afdhalnya adalah pada awal waktu subuh yang suasananya masih diwarnai oleh kegelapan penghujung malam.
             Menurut al-Syafi’i penyelesaiannya adalah dengan menakwilkan hadis Rafi’  dan berpegang dengan hadis Aisyah karena dalam hal ini hadis Aisyah dinilainya mempunyai nilai lebih  dibanding   hadits   Rafi’ untuk dijadikan hujjah. Keutamaan hadits  ini karena mengandung makna yang lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan juga didukung oleh  riwayat sahabat yang lainya. Sedangkan hadits Rafi’ ditakwilkan oleh Syafi’i  kepada  makna lain yang lebih sesuai dengan makna hadis Aisyah sehingga ke duanya dapat  dikompromikan.
Dengan berupaya mencari makna lain   dari   hadits Rafi’   dengan   jalan   mentakwilkan, didapati kesamaan maksud dengan hadis Aisyah, bahwa shalat subuh mestilah dikerjakan diwaktu subuh.
2. Penyelesaian dalam bentuk Nasakh
              Apabila    dua   hadits    yang   tampak    bertentangan   tidak     dapat   dilakukan penggabungan, maka dapat ditempuh dua jalan: (1) kemungkinan nasikh dan masukh dan (2) kemungkinan tarjih. Menurut bahasa kata nasakh   mengandung   arti   menghilangkan (al-izalat), membatalkan (al-ibtal), menukar   (al-tabdil),   memalingkan   (al-tahwil)   dan memindahkan (al-naqlil).
Sedangkan menurut istilah, nasakh adalah Syari’ mengangkat  suatu hukum syari’ dengan menggunakan dalil syari’  yang   datang   belakangan. Hal   ini   dilakukan   karena   Nabi adakalanya menyampaikan suatu ajaran Islam di dalam suatu hadisnya, namun  kemudian ajaran tersebut dihapuskan dengan hadis yang datang kemudian. Sebenarnya   dalam   hal ini Rasul memberikan penjelasan tentang  setiap hadits yang  dinasakh  itu.  Hannya   saja, terkadang siperawi tidak mengetahui terjadi nasakh di antara  hadits tersebut, dan   perawi yang lain juga menerima hadis versi yang satunya lagi.
              Apabila memang terjadi nasakh, maka hadis-hadis tersebut haruslah diselesaikan (dipahami) sesuai dengan  ketentuan   nasakh    yaitu   mengamalkan hadits  yang   datang belakangan ( nasikh) dan meninggalkan hadis yang datang terdahulu (mansukh).
Contoh Hadis:
1. Hadits dari Syadad ibn Aws,
Artinya: Dari Syadad Ibn Aws, dia berkata, “aku pernah  bersama    Nabi   pada     tahun memasuki kota mekah, Nabi melihat seseorang sedang berbeka ,  yakni   pada   hari   ke delepan  belas  bulan  Ramadhan.  Sambil  memegang  tanganku  beliau lantas  bersabda, “ yang membekam dan yang dibekam batal puasanya”
2. Hadis dari Ibn Abbas
Artinya: Dari ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW berbekam sedang  ia   dalam    berihram lagi berpuasa.
Penyelesaian:
            
Menurut      as-Syafi’i    pertentangan   ke   dua     hadits    tersebut    sulit    untuk dikompromikan karena itu ia menyelesaikannya dengan cara nasakh. Dalam hal ini hadits ibn Abbas berfungsi sebagai  nasikh   dan   hadits  Syaddad  ibn  Aws   sebagai   mansukh. Dengan demikian maka hadis ibn ‘Abbaslah yang harus dipegang dan diikuti   sedangkan hadis Syaddad ibn Aws ditinggalkan.
3. Penyelesaian dalam bentuk Tarjih
              Tarjih dapat diartikan sebagai memperbandingkan dalil-dalil yang nampak saling bertentangan untuk dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih  kuat   dibandingkan dengan   yang     lain.   Jadi   dalam   kasus  hadits-hadits   mukhtalif    yang   tidak   dapat dikompromikan dan    diantaranya    tidak   terjadi   nasakh,   maka   hadits-hadits tersebut diperbandingkan. Kualitas masing-masing hadis dikaji lebih jauh   agar   dapat   diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat dan lebih tinggi nilai hujjahnya dibandingkan yang lainnya.
Contoh Hadits
1. Hadts dari Aisyah
Artinya: hadits dari Aisyah, bahwa seorang laki-laki pernah bertannya  kepada Rasulullah, beliau ketika itu sedang berdiri di depan pintu dan  aku ( kata  Aisyah)  mendengarkannya. Laki-laki itu berkata, “ Ya Rasulullah, aku junub   sampai    pagi    hari,    akupun    ingin  untuk  terus   berpuasa    maka akupun  mandi   dan  terus    berpuasa    pada    hari    itu.   Artinya: “siapa  yang junub sampai pagi hari, batallah puasanya pada hari itu.“
Penyelesaiannya:
              Dari hadits pertama dapat dipahami bahwa junub    sampai   pagi   hari    (setelah masuk imsak)  tidaklah   membatalkan   puasa.   Oleh karena itu,   seorang    yang    junub   sampai masuknya waktu imsak, atau  sampai   pagi   hari   puasa,   ia   dapat   meneruskan puasanya pada hari itu   sebagaimana   biasanya. Akan   tetapi  hadits kedua  secara  tegas menjelaskan bahwa junub sampai pagi hari   membatalkan   puasa, jadi   seseorang   yang junub sampai masuk waktu imsak, puasanya hari itu batal karenanya.
              Di antara dua   hadits  yang   bertentangan   di atas,   menurut   asy-Syafi’i hadits Aisyahlah yang  harus   dipegang dan   diamalkan, bukan   hadits Abu   Hurairah. Hal  ini didasarkan as-Syafi’i kepada hasil pentarjihannnya   dengan  pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Hadits Aisyah nilai kompetensinya lebih tinggi karena ia adalah istri Rasulullah.
2. Dari segi periwayatan, hadits Aisyah mempunyai periwayatan yang lebih banyak.










                                           BAB III KESIMPULAN

              Hadits   Nabi    sebagai   pedoman ke   dua   umat    Islam  mesti dipahami secara komprehensif. Dengan demikian dapat dihindari   kesalahan di   dalam   memahami hadts. Tidak ada lagi tuduhan bahwa hadits  Nabi   memiliki    makna yang bertentangan. Ulama telah berijtihad bahwa hadits yang    kelihatannya bertentangan dapat diselesaikan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Dikompromikan antara ke   dua   hadits yang bertentangan sehingga kandungan makna atau maksud yang     dituju      hadits   tersebut dapat diproleh titik temunya. Penyelesaian bentuk kompromi ini ada beberapa cara yang yang dapat ditempuh yakni:
a. Penyelesaian berdasarkan kaidah ushul
b. Penyelesaian berdasarkan pemahaman konstektual
c. Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif
d. Penyelesaian dengan cara takwil
2. Bila   penyelesaian   dengan   cara   kompromi    tidak dapat dilakukan, maka cara yang ditempuh dapat digunakan dalam bentuk nasakh
3. Jika penyelesaian   secara   nasakh   tidak   dapat   dilakukan, maka cara lainnya adalah dengan bentuk tarjih.












                                        BAB IV DAFTAR PUSTAKA

Abdul al-Rahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Raawi, (Madinah:     Maktabah al-Ilmiyah, 1972)
Edi Safri, Al-Imam al-Syafi’i: Metode   Penyelesaian   hadits-hadits mukhtalif,   (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999) t
Muhammad  Ajjaj al-Khatib,  Pokok-pokok   Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998)
Mahmud Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Kuwait: Dar al-Turats, 1984)
Zafar Ahnad Usmani al-Tahaanuwi, Qawaaid fi Uluum al-Hadits,  (Beirut : Dar al-Salam, 1996)
Zulhedi, Memahami hadits-hadits yang bertentangan, (Jakarta: Nuansa Madani, 2001)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar