AL-TAHAMMUL WA AL-ADA’
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumu Hadits
Oleh:
Muhyi Abdurrohim(082092009)
yang dibina oleh :
Bpk. Dr. Kasman, M.Fil.
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) JEMBER
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Hadits adalah sumber hukum kedua
bagi umat Islam. Kedudukannya merupakan penjelas bagi al-Quran. Umat
Islam tidak bisa
menerapkan ajaran dari
al-Quran tanpa petunjuk secara
rinci dari hadits. Berbagai ibadah
utama dalam Islam
perintahnya ada dalam al-Quran,
seperti shalat, puasa, zakat dan
lain-lain. Perintah itu berbentuk
umum, sementara hadits datang dengan rincian yang jelas. Hadits sangat
diperlukan untuk dapat mengamalkan ajaran Islam secara sempurna.
Ibadah shalat lima waktu perintahnya dalam al-Qur’an, teknis pelaksanaanya
hadis yang menjelaskan. Pengamalan
perintah al-Quran tidak bisa terlepas
dari hadis. TERUKAN SENDIRI HE.....HE.....
BAB II
PEMBAHASAN
1. Al-Tahammul wa al-ada’
Yang dimaksud dengan Tahammul
adalah bentuk pengambilan hadits dari
guru-guru (syuyuhk)[1] Yang dimaksud dengan al_ada’
adalah ibarat yang dipakai ahli hadits (al-muhaddits) ketika
meriwayatkan hadits dan membacanya didepan para santrinya, seperi istolah: Sami’tu,
Haddastani atau akhbarani.[2]
2.
Bentuk-bentuk Al-Tahammul
Bentuk-bentuk Al-Tahammul ada
delapan:
1. Menyimak atau
mendengar langsung hadits dari guru, Contohnya: guru membaca hadits dan murid
mendengarkanya, baik membaca dengan menghafal atau dari bukunya, menurut jumhur
ulama bentuk seperti ini adalah yang palimg tinggi Bentuk-bentuk Al-Tahammul,
Sedangkan sighat ada’nya ada dua macam yang pertama, sebelum tersebarnya
sighat-sighat dari Bentuk-bentuk Al-Tahammul maka seorang murid di perbolehkan memakai
istilah sami’tu, haddatsani,akhbaroni, anba’ni, qala li atau Dzakara li[3]. Kedua, setelah tersebarnya sighat-sighat
dari Bentuk-bentuk Al-Tahammul maka seorang murid memakai istilaah: ketika
mendengar langsung hadits dari guru, sami’tu atau haddatsani, ketika membaca
didepan guru memakai istilaah akhbaroni, kalau Cuma ijazah memakai istilaah anba’ni dan ketik menyima’
mengingatkan saja memakai istilaah qala li atau Dzakara li.[4]
2. Membaca hadits
didepan guru, sebagian muhadditsin menyebutnya dengan “‘ardhan” Contohnya:
seorang membaca hadits dan di sima’ oleh gurunya baik membaca dengan menghafal
atau dari bukunya, hukum periwayatan bentuk ini termasuk katagori sahihi, Cuma
masalah derajatnya ada tiga pendapat: 1. sama derajatnya dengan bentuk sima’,
2. lebih rendah dari bentuk sima’ dan 3. lebih tinggi dari bentuk bentuk sima’,
Sedangkan sighat ada’nya ada beberapa opsi; a. Yang lebih hati-hati memakai
istilah Qara’tu ala fulani (saya membaca hadits aats si fulan) atau; Quri’a
ala fulanin wa ana ‘asma’u fa aqarra bih[5]i (di baca sebuah hadits didepan si fulan dan saya
mendengarnya lalu si fulan mengakuinya) b. Boleh memakai bentuk sima’ tetapi di
garis bawahi dengan qayyid qira’ah, seperti; haddatsana qira’atan alaihi,
c. Yang umum menurut ahli hadits adalah memakain istilah akhbarona
secara mutlak tanpa dibarengi kata yang lain.[6]
3. Al-ijazah, yaitu
memberi jin untuk meriwayatkan sebuah hadits secara lafal atau tulisan,
contohnya seorang guru berkata pada muridnya; “Aku memberi ijazah kepadamu
untuk meriwayatkan dariki kitab sahihi Bukhori”, Ragam-ragam ijazah ada tiga,
1. Guru memberi ijazah pada murid tertentu dengan hdits tertentu juga, contoh:
seorang guru berkata pada muridnya; “Aku memberi ijazah kepadamu untuk
meriwayatkan dariki kitab sahihi Bukhori” 2. Guru memberi ijazah pada murid
tertentu dengan hdits tidak ditentukan, contoh:
seorang guru berkata pada muridnya; “Aku memberi ijazah kepadamu semua hadits
yang kamu dengar dariku” 3. Guru memberi ijazah pada murid yang tidak ditentukan
dengan hdits yang tidak ditentukan juga, contoh: seorang guru berkata ; “Aku
memberi ijazah kepada semua muridku semua hadits yang didengar dariku”, hukum periwayatan dengan
ijazah yang pertama menurut pendapat yang sahih boleh, sedangkan yang kedua dan
ketiga diantara para ulama hadits berbeda pendapat ada yang membolehkan dan ada
yang melarang., Sedangkan sighat ada’ Al-ijazah ada tiga bentuk: a. Ajza li
Fulanun(si Fulan memberi ijazah kepadaku) b. Boleh memakai bentuk sima’
tetapi di garis bawahi dengan qayyid ijazah, seperti; haddatsana ijazatani[7], c. Istilah ulama’ mutaakhkhirin adalah
memakai kat ‘anba’ana.
4. Al-Munawalah, ragam
Munawalah ada dua macam; 1. Munawalah yang disertai Al-ijazah, ragam ini adalah
paling tinggi derajat ijazah secara mutlak, contohnya; seorang guru memberi
kitab pada muridnya sambil berkata: ini aku meriwayatkan dari guruku maka kamu
riwayatkan kepada orang lain. 2. Munawalah yang tidak disertai Al-ijazah, contohnya;
seorang guru memberi kitab pada muridnya sambil berkata: ini aku meriwayatkan dari guruku. hukum
periwayatan Munawalah yang disertai Al-ijazah, hukumnya boleh sedangkan Munawalah
yang tidak disertai Al-ijazah tidak boleh.menurut pendapat yang sahih boleh, Sedangkan
sighat ada’ Munawalah yang baik itu memakai kata “ Nawalani fukanun” atau
“Nawalani wa Ajaza li” bisa juga memakai “haddatsana Munawalatan”[8]
5. Al-Kitabah (Tulisan) bentuknya adalah seorang guru
menulis beberapa hadits periwayatanya untuk seseorang yang hadir atai ghoib
dengan tulisanya sendiri atau memerintah orang lain menulisnya, ragam Al-Kitabah
(Tulisan) ad dua: 1. Al-Kitabah yang disertai Al-ijazah,2. Al-Kitabah yang tidak
disertai Al-ijazah, hukum periwayatan Al-Kitabah yang disertai Al-ijazah,
hukumnya boleh sedangkan Al-Kitabah yang tidak disertai Al-ijazah tidak
boleh.menurut pendapat yang sahih boleh, Sedangkan sighat ada’ Al-Kitabah yaitu
memkai kata “kataba ilayya Fulanun” Boleh memakai bentuk sima’ tetapi di
garis bawahi dengan qayyid kataba, seperti; haddatsana kitabatan.[9]
6. Al-I’lam (pemberi tahuan), Bentuknya seorang guru
memberi tahu pada muridnya sebuah hadits yang diriwayatkan dari seseorang tanpa
memberi ijin kepada simurid untuk meriwayatkanya, hukum periwayatan Al-I’lam
menurut pendapat yang sahih tidak boleh meriwayatkanya. Sedangkan sighat ada’ Al-I’lam
yaitu kata “A’lamani fulanun bi kazda”[10]
7. Al-Washiyah, Bentuknya seorang guru memberi wasiat
menjelang ajalnya tiba atau dalam perjalanan pada muridnya sebuah hadits, hukum
periwayatan Al-Washiyah adalah boleh menurut sebagian ulama tetapi
menurut pendapat yang sahih tidak boleh meriwayatkanya, Sedangkan sighat ada’
Al-Washiyah yaitu memakai “aushani fulanun bi kazda” Boleh memakai bentuk sima’ tetapi di garis
bawahi dengan qayyid Washiyah, seperti; haddatsana washiyyatan.
8. Al-Wijadah, Bentuknya seorang murid menemukan tulisan
gurunya berupa hdits-hadits yang diriwayatkan dari gurunya dan si murid tidak
mendengar dan tidak mendapat ijazah hdits-hadits tersebut dari gurunya, hukum
periwayatan Al-Wijadah termasuk katagori hadits munqati’ tetapai masih
ada warna bersambungnya, Sedangkan sighat ada’ Al-Wijadah yaitu kata “wajadtu
bi khaththi fulanin”[11]
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pejelasan sedikit diatas dapat disimpulkan beberapa hal:
1. Bentuk-bentuk Al-Tahammul
ada delapan beserta sighot ada’nya.
2. Bentuk-bentuk Al-Tahammul
ada yang tinggi derajatnya dari yang
lain.
3. Bentuk-bentuk Al-Tahammul
ada yang bisa diterima periwayatanya ada yang tidak diterima dan ada juga yang
menjadai kontoversi di antara para ulama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hakim, Ma’rifatu ulumil hadits,
Lebnon, 2002
www. almuhyililquran@yahoo.com
Ibn al-Sholah, Ulumul Hadits, Lebnon, 2011
Ibn al-Sholah, Ulumul Hadits, Lebnon, 2011
Mahmud Thohhan, Al-Manhaj al-Hadits fi
Mushtalah al-Hadits, Lebnon, 2001
[2] Oleh Ibnu al-Sholah, dala Ulumul
Hadits, hlm.132
[3] Ibid 136
[4] Ibid. 113
[5] Oleh Ibnu al-Sholah, dala Ulumul
Hadits, hlm137
[6] Oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatu
ululumi hadits hlm 114
[7]Oleh Ibnu al-Sholah, dala Ulumul Hadits,
hlm 147
[8] Oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatu
ululumi hadits hlm 115
[9] Ibid.116
[10] Ibid.117
[11] Oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatu
ululumi hadits hlm 118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar