Kamis, 29 Maret 2012

AL-TAHAMMUL WA AL-ADA’ MAKALAH


AL-TAHAMMUL WA AL-ADA’

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumu Hadits





Oleh:

Muhyi Abdurrohim(082092009)

yang dibina oleh :

Bpk. Dr. Kasman, M.Fil.


JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

2011


BAB I

PENDAHULUAN

             Hadits adalah sumber hukum kedua bagi umat Islam.  Kedudukannya  merupakan penjelas bagi al-Quran. Umat Islam  tidak  bisa  menerapkan  ajaran  dari  al-Quran  tanpa petunjuk secara rinci dari  hadits. Berbagai  ibadah  utama  dalam  Islam  perintahnya  ada dalam al-Quran, seperti shalat, puasa, zakat dan  lain-lain. Perintah  itu  berbentuk  umum, sementara hadits datang dengan rincian yang jelas. Hadits sangat diperlukan  untuk  dapat mengamalkan ajaran Islam secara sempurna. Ibadah shalat lima waktu perintahnya dalam al-Qur’an, teknis pelaksanaanya hadis yang menjelaskan. Pengamalan  perintah  al-Quran tidak bisa terlepas dari hadis. TERUKAN SENDIRI HE.....HE.....




















BAB II
PEMBAHASAN
     1.    Al-Tahammul wa al-ada’

Yang dimaksud dengan Tahammul adalah bentuk  pengambilan hadits dari guru-guru (syuyuhk)[1] Yang dimaksud dengan al_ada’ adalah ibarat yang dipakai ahli hadits (al-muhaddits) ketika meriwayatkan hadits dan membacanya didepan para santrinya, seperi istolah: Sami’tu, Haddastani atau akhbarani.[2]

            2. Bentuk-bentuk Al-Tahammul

            Bentuk-bentuk Al-Tahammul ada delapan:

1.      Menyimak atau mendengar langsung hadits dari guru, Contohnya: guru membaca hadits dan murid mendengarkanya, baik membaca dengan menghafal atau dari bukunya, menurut jumhur ulama bentuk seperti ini adalah yang palimg tinggi Bentuk-bentuk Al-Tahammul, Sedangkan sighat ada’nya ada dua macam yang pertama, sebelum tersebarnya sighat-sighat dari Bentuk-bentuk Al-Tahammul maka seorang murid di perbolehkan memakai istilah sami’tu, haddatsani,akhbaroni, anba’ni, qala li atau Dzakara li[3]. Kedua, setelah tersebarnya sighat-sighat dari Bentuk-bentuk Al-Tahammul maka seorang murid memakai istilaah: ketika mendengar langsung hadits dari guru, sami’tu atau haddatsani, ketika membaca didepan guru memakai istilaah akhbaroni, kalau Cuma ijazah  memakai istilaah anba’ni dan ketik menyima’ mengingatkan saja memakai istilaah qala li atau Dzakara li.[4]

2.      Membaca hadits didepan guru, sebagian muhadditsin menyebutnya dengan “‘ardhan” Contohnya: seorang membaca hadits dan di sima’ oleh gurunya baik membaca dengan menghafal atau dari bukunya, hukum periwayatan bentuk ini termasuk katagori sahihi, Cuma masalah derajatnya ada tiga pendapat: 1. sama derajatnya dengan bentuk sima’, 2. lebih rendah dari bentuk sima’ dan 3. lebih tinggi dari bentuk bentuk sima’, Sedangkan sighat ada’nya ada beberapa opsi; a. Yang lebih hati-hati memakai istilah Qara’tu ala fulani (saya membaca hadits aats si fulan) atau; Quri’a ala fulanin wa ana ‘asma’u fa aqarra bih[5]i (di baca sebuah hadits didepan si fulan dan saya mendengarnya lalu si fulan mengakuinya) b. Boleh memakai bentuk sima’ tetapi di garis bawahi dengan qayyid qira’ah, seperti; haddatsana qira’atan alaihi, c. Yang umum menurut ahli hadits adalah memakain istilah akhbarona secara mutlak tanpa dibarengi kata yang lain.[6]

3.      Al-ijazah, yaitu memberi jin untuk meriwayatkan sebuah hadits secara lafal atau tulisan, contohnya seorang guru berkata pada muridnya; “Aku memberi ijazah kepadamu untuk meriwayatkan dariki kitab sahihi Bukhori”, Ragam-ragam ijazah ada tiga, 1. Guru memberi ijazah pada murid tertentu dengan hdits tertentu juga, contoh: seorang guru berkata pada muridnya; “Aku memberi ijazah kepadamu untuk meriwayatkan dariki kitab sahihi Bukhori” 2. Guru memberi ijazah pada murid tertentu dengan hdits tidak ditentukan,  contoh: seorang guru berkata pada muridnya; “Aku memberi ijazah kepadamu semua hadits yang kamu dengar dariku” 3. Guru memberi ijazah pada murid yang tidak ditentukan dengan hdits yang tidak ditentukan juga, contoh: seorang guru berkata ; “Aku memberi ijazah kepada semua muridku semua hadits yang  didengar dariku”, hukum periwayatan dengan ijazah yang pertama menurut pendapat yang sahih boleh, sedangkan yang kedua dan ketiga diantara para ulama hadits berbeda pendapat ada yang membolehkan dan ada yang melarang., Sedangkan sighat ada’ Al-ijazah ada tiga bentuk: a. Ajza li Fulanun(si Fulan memberi ijazah kepadaku) b. Boleh memakai bentuk sima’ tetapi di garis bawahi dengan qayyid ijazah, seperti; haddatsana ijazatani[7], c. Istilah ulama’ mutaakhkhirin adalah memakai kat ‘anba’ana.
4.      Al-Munawalah, ragam Munawalah ada dua macam; 1. Munawalah yang disertai Al-ijazah, ragam ini adalah paling tinggi derajat ijazah secara mutlak, contohnya; seorang guru memberi kitab pada muridnya sambil berkata: ini aku meriwayatkan dari guruku maka kamu riwayatkan kepada orang lain. 2. Munawalah yang tidak disertai Al-ijazah, contohnya; seorang guru memberi kitab pada muridnya sambil berkata: ini  aku meriwayatkan dari guruku. hukum periwayatan Munawalah yang disertai Al-ijazah, hukumnya boleh sedangkan Munawalah yang tidak disertai Al-ijazah tidak boleh.menurut pendapat yang sahih boleh, Sedangkan sighat ada’ Munawalah yang baik itu memakai kata “ Nawalani fukanun” atau “Nawalani wa Ajaza li” bisa juga memakai “haddatsana Munawalatan”[8]

5.      Al-Kitabah (Tulisan) bentuknya adalah seorang guru menulis beberapa hadits periwayatanya untuk seseorang yang hadir atai ghoib dengan tulisanya sendiri atau memerintah orang lain menulisnya, ragam Al-Kitabah (Tulisan) ad dua: 1. Al-Kitabah yang disertai Al-ijazah,2. Al-Kitabah yang tidak disertai Al-ijazah, hukum periwayatan Al-Kitabah yang disertai Al-ijazah, hukumnya boleh sedangkan Al-Kitabah yang tidak disertai Al-ijazah tidak boleh.menurut pendapat yang sahih boleh, Sedangkan sighat ada’ Al-Kitabah yaitu memkai kata “kataba ilayya Fulanun” Boleh memakai bentuk sima’ tetapi di garis bawahi dengan qayyid kataba, seperti; haddatsana kitabatan.[9]


6.      Al-I’lam (pemberi tahuan), Bentuknya seorang guru memberi tahu pada muridnya sebuah hadits yang diriwayatkan dari seseorang tanpa memberi ijin kepada simurid untuk meriwayatkanya, hukum periwayatan Al-I’lam menurut pendapat yang sahih tidak boleh meriwayatkanya. Sedangkan sighat ada’ Al-I’lam yaitu kata “A’lamani fulanun bi kazda[10]
7.      Al-Washiyah, Bentuknya seorang guru memberi wasiat menjelang ajalnya tiba atau dalam perjalanan pada muridnya sebuah hadits, hukum periwayatan Al-Washiyah adalah boleh menurut sebagian ulama tetapi menurut pendapat yang sahih tidak boleh meriwayatkanya, Sedangkan sighat ada’ Al-Washiyah yaitu memakai “aushani fulanun bi kazda”  Boleh memakai bentuk sima’ tetapi di garis bawahi dengan qayyid Washiyah, seperti; haddatsana washiyyatan.

8.      Al-Wijadah, Bentuknya seorang murid menemukan tulisan gurunya berupa hdits-hadits yang diriwayatkan dari gurunya dan si murid tidak mendengar dan tidak mendapat ijazah hdits-hadits tersebut dari gurunya, hukum periwayatan Al-Wijadah termasuk katagori hadits munqati’ tetapai masih ada warna bersambungnya, Sedangkan sighat ada’ Al-Wijadah yaitu kata “wajadtu bi khaththi fulanin”[11]














BAB III
 KESIMPULAN
Dari pejelasan sedikit diatas dapat disimpulkan beberapa hal:
1.      Bentuk-bentuk Al-Tahammul ada delapan beserta sighot ada’nya.
2.      Bentuk-bentuk Al-Tahammul  ada yang tinggi derajatnya dari yang lain.
3.      Bentuk-bentuk Al-Tahammul ada yang bisa diterima periwayatanya ada yang tidak diterima dan ada juga yang menjadai kontoversi di antara para ulama.
























DAFTAR PUSTAKA
Al-Hakim, Ma’rifatu ulumil hadits, Lebnon, 2002
www. almuhyililquran@yahoo.com
Ibn al-Sholah, Ulumul Hadits, Lebnon, 2011
Mahmud Thohhan, Al-Manhaj al-Hadits fi Mushtalah al-Hadits, Lebnon, 2001


[1] Oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatu ululumi hadits hlm.112
[2] Oleh Ibnu al-Sholah, dala Ulumul Hadits, hlm.132
[3] Ibid 136
[4] Ibid. 113
[5] Oleh Ibnu al-Sholah, dala Ulumul Hadits, hlm137
[6] Oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatu ululumi hadits hlm 114
[7]Oleh Ibnu al-Sholah, dala Ulumul Hadits, hlm 147
[8] Oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatu ululumi hadits hlm 115
[9] Ibid.116
[10] Ibid.117
[11] Oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatu ululumi hadits hlm 118

Tidak ada komentar:

Posting Komentar