Kamis, 29 Maret 2012


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Al-quran merupakan sumber hukum bagi umat Islam sekaligus mu’jizat Nabi Muhammad saw yang diberikan oleh Allah swt. Al Quran berisi berbagai informasi keilmuan dan mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia Selain itu keotentikan isinya juga tidak bisa diragukan lagi. Semua yang terkandung di setiap ayat-ayatnya mengandung kebenaran dan tidak ada kesalahan sedikit pun.
Keindahan bahasanya sudah tidak dipungkiri lagi mengungguli ahli-ahli bahasa mana pun di dunia. Bahasa Al Quran merupakan bahasa yang mengandung nilai kesusteraan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah tertentu untuk memahami isi yang terkandung di dalamnya. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah memahami ayat-ayat yang terdapat pertanyaan dan jawaban.
Apabila kita perhatikan, banyak sekali di dalam Al quran ayat yang pasti maknanya tetapi tidak sedikit juga ayat-ayat Al-Quran yang membutuhkan penjelasan dan penafsiran dalam memaknai ayat-ayat tersebut, oleh karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan sedikit tentang : MUTLAQ DAN MUQAYYAD dalam Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimanakah kaidah-kaidah MUTLAQ DAN MUQAYYAD dalam Al-Qur’an.?
2. Bagaimanakah Contoh-contoh MUTLAQ DAN MUQAYYAD dalam Al-Qur’an.?

C. Manfaat.
1. Untuk mengetahui kaidah-kaida MUTLAQ DAN MUQAYYAD dalam Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui Contoh-contoh MUTLAQ DAN MUQAYYAD dalam Al-Qur’an.



BAB II PEMBAHASAN
Kaidah Mutlaq (tanpa batasan) – Muqayyad (dengan batasan)
            Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :
“Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak ….”
Lafazh “budak” diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS An-Nisa’ [4] :92 :
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman”
Lafazh “budak” diatas dibatasi dengan “yang beriman”
Macam-macam mutlaq-muqayyad dan hukumnya masing-masing :
Qaidah I
            Lafazh yang mutlaq tetap pada ke mutlaqannya, selama tidak ada dalil yang meng-qayyid-kannya (membatasinya). Jadi terdapat dalil yang memberi batasan (qayyid) maka dalil itu dapat mengalihkan ke mutlaqannya dan menjelaskan pengertiannya.
Contohnya, pada QS An-Nisa’ [4] : 11 :
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ
            “(Pembagian harta pusaka) tersebut sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya.”
            Wasiat yang dimaksud dalamayat diatas bersifat mutlaq, tidak dibatasi jumlahnya, minimal-maksimalnya, kemudian wasiat tersebut diberi batasan oleh nash hadits yang menegaskan bahwa, “Tidak ada wasiat lebih dari sepertiga harta pusaka.” Oleh sebab itu maka wasiat dalam ayat diatas menjadi tidak mutlaq lagi dan mesti diartikan dengan “wasiat yang kurang dari batas sepertiga dari harta pusaka.”
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى ِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
            Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
            Firman Allah     مِن ْ أَيَّامٍ أُخَرَ adala mutlak tanpa ada pembatas (qayid) maka ditetapkan akan ke mutlakanya.
Qaidah II
            Pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada lafazh yang sempurna, Contohnya pada QS Al-Namal ayat 91,
إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَذِهِ الْبَلْدَةِ
            Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekah)
Qaidah III
            Lafazh yang mutlaq terdapat dua pembatas (qayid) yang membatasinya, dan ada kemungkinan mentarjih salah satunya maka lafazh mutlaq dibawa ke pembatas (qayid) yang lebih rajih. Contohnya; dalam kaffarat sumpah Allah berfirman
            Tanpa pembatas (qayid), tetapi dalam kaffarat dzihar Allah membatasinya (qayid) dengan terus-menerus; firmanya:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
            Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut,
            Maka para ulama membawa hukum kaffarat sumpah kepada kaffarat dzihar, jadi dalam kaffarat sumpahpun harus berturut-turut.
Qaidah IV
            Kemutlakan mengakibatkan persamaan, Contohnya;
            Berpuasa tiga hari sama saja baik diawal bulan ditengahnya atau di ahirnya sama-sama sah.
            Memberi makanan enampuluh fakir miskin, sama saja laki-laki atau wanita.
            Ada beberapa catatan tentang Mutlak dan muqayyad yaitu:
1. Sebab dan hukumya sama, maka pengetian lafazh mutlaq dibawa ke kepada makna muqayyad.
Contohnya pada QS Al-Maidah [5] : 3 :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.”
Lafazh “darah” pada ayat diatas adalah mutlaq tanpa ada batasan.
Pada QS Al-An’am [6] : 145 :
طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, ‘Tidaklah aku peroleh dalam apa apa yang diwahyukan kepadaku (tentang) suatu (makanan) yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.”
Lafazh “darah” pada ayat ini bersifat muqayyad karena dibatasi dengan lafazh “yang mengalir.”
Karena ada persamaan hukum dan sebab, maka lafazh “darah” yang tersebut pada QS Al-Maidah [5] : 3 yang mutlaq wajib dibawa (diartikan) ke muayyad, yaitu “darah yang mengalir.”
2. Sebab dan hukum salah satu atau keduanya berbeda, maka lafazh yang mutlaq tetap diartikan sesuai dengan ke mutlaqannya.
a. Sebab sama tapi hukum berbeda : dalam QS An-Nisa’ [4] : 43 :
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
“….Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”
Dalam hal tayamum lafazh (mengusap) tangan adalah mutlaq karena tidak dibatasi.
Namun mengenai wudhu, yaitu dalam QS Al-Maidah [5] : 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
lafazh “(basuhlah) tanganmu sampai dengan siku” adalah muqayyad karena dibatasi sampai dengan siku.
            Kedua nash diatas mempunyai sebab yang sama, yaitu “bersuci” tapi pada segi hukum terjadi perbedaan yaitu : hukum pada QS An-Nisa’ [4] : 43 adalah mengusap tangan, sedangkan hukum pada QS Al-Maidah [5] : 6 adalah membasuh tangan sampai ke siku.
b. Hukum sama tapi sebab berbeda : pada QS At-Thalaq [65] : 2 :
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ
“Apabila mereka (istri-istrimu) telah mendekati masa akhir ‘iddahnya, maka rujukilah kepada mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.”
Lafazh “saksi” pada ayat ini mutlaq tidak dibatasi.
Namun pada QS Al-Baqarah [2] : 282 :
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ
“Apabila kamu berhutang piutang untuk waktu yang tertentu, maka hendaklah kamu menuliskannya… dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantara kamu).”
Lafazh “saksi” pada ayat ini muqayyad karena dibatasi dengan “laki-laki”.
Kedua ayat diatas mempunyai persamaan hukum, yaitu “mengadakan dua orang saksi”. Tetapi pada segi sebab terjadi perbedaan, sebab pada QS At-Thalaq [65] : 2 ialah “rujuk pada istri” sedangkan sebab pada QS Al-Baqarah [2] : 282 adalah : “hutang-piutang”.
b. Hukum dan sebab keduanya berbeda : pada QS Al-Maidah [3] : 38 :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .”
Bila dibandingkan dengan QS Al-Maidah [3] : 6 pada point a diatas, maka sebabnya berbeda, pada ayat ini sebabnya pencurian dan hukumya juga berbeda, pada ayat ini






BAB III KESIMPULAN
            Dari penjelasan sedikit diatas Dapat kita simpulkan,
1.  Dalam memahami   makna kalimat Al-Quran yang hendak ditafsirkan kita harus mengerti beberapa kaidah-kaidah yang erat kaitannya dengan pemahamanya seperti tentang  MUTLAQ DAN MUQAYYAD dalam Al-Qur’an.

2.   MUTLAQ DAN MUQAYYAD dalam Al-Qur’an.dalam Al-Quran terdapat Empat Qaidah.
3.   MUTLAQ DAN MUQAYYAD dalam Al-Qur’an adalah salah satu kaidah yang menjadi salah satu syarat bagi Mufassirin ( Ahli Tafsir Al-Quran).



 

BAB I

PENDAHULUAN

             Hadits adalah sumber hukum kedua bagi umat Islam.  Kedudukannya  merupakan penjelas bagi al-Quran. Umat Islam  tidak  bisa  menerapkan  ajaran  dari  al-Quran  tanpa petunjuk secara rinci dari  hadits. Berbagai  ibadah  utama  dalam  Islam  perintahnya  ada dalam al-Quran, seperti shalat, puasa, zakat dan  lain-lain. Perintah  itu  berbentuk  umum, sementara hadits datang dengan rincian yang jelas. Hadits sangat diperlukan  untuk  dapat mengamalkan ajaran Islam secara sempurna. Ibadah shalat lima waktu perintahnya dalam al-Qur’an, teknis pelaksanaanya hadis yang menjelaskan. Pengamalan  perintah  al-Quran tidak bisa terlepas dari hadis. TERUKAN SENDIRI HE.....HE.....




















BAB II
PEMBAHASAN
     1.    Al-Tahammul wa al-ada’

Yang dimaksud dengan Tahammul adalah bentuk  pengambilan hadits dari guru-guru (syuyuhk)[1] Yang dimaksud dengan al_ada’ adalah ibarat yang dipakai ahli hadits (al-muhaddits) ketika meriwayatkan hadits dan membacanya didepan para santrinya, seperi istolah: Sami’tu, Haddastani atau akhbarani.[2]

            2. Bentuk-bentuk Al-Tahammul

            Bentuk-bentuk Al-Tahammul ada delapan:

1.      Menyimak atau mendengar langsung hadits dari guru, Contohnya: guru membaca hadits dan murid mendengarkanya, baik membaca dengan menghafal atau dari bukunya, menurut jumhur ulama bentuk seperti ini adalah yang palimg tinggi Bentuk-bentuk Al-Tahammul, Sedangkan sighat ada’nya ada dua macam yang pertama, sebelum tersebarnya sighat-sighat dari Bentuk-bentuk Al-Tahammul maka seorang murid di perbolehkan memakai istilah sami’tu, haddatsani,akhbaroni, anba’ni, qala li atau Dzakara li[3]. Kedua, setelah tersebarnya sighat-sighat dari Bentuk-bentuk Al-Tahammul maka seorang murid memakai istilaah: ketika mendengar langsung hadits dari guru, sami’tu atau haddatsani, ketika membaca didepan guru memakai istilaah akhbaroni, kalau Cuma ijazah  memakai istilaah anba’ni dan ketik menyima’ mengingatkan saja memakai istilaah qala li atau Dzakara li.[4]

2.      Membaca hadits didepan guru, sebagian muhadditsin menyebutnya dengan “‘ardhan” Contohnya: seorang membaca hadits dan di sima’ oleh gurunya baik membaca dengan menghafal atau dari bukunya, hukum periwayatan bentuk ini termasuk katagori sahihi, Cuma masalah derajatnya ada tiga pendapat: 1. sama derajatnya dengan bentuk sima’, 2. lebih rendah dari bentuk sima’ dan 3. lebih tinggi dari bentuk bentuk sima’, Sedangkan sighat ada’nya ada beberapa opsi; a. Yang lebih hati-hati memakai istilah Qara’tu ala fulani (saya membaca hadits aats si fulan) atau; Quri’a ala fulanin wa ana ‘asma’u fa aqarra bih[5]i (di baca sebuah hadits didepan si fulan dan saya mendengarnya lalu si fulan mengakuinya) b. Boleh memakai bentuk sima’ tetapi di garis bawahi dengan qayyid qira’ah, seperti; haddatsana qira’atan alaihi, c. Yang umum menurut ahli hadits adalah memakain istilah akhbarona secara mutlak tanpa dibarengi kata yang lain.[6]

3.      Al-ijazah, yaitu memberi jin untuk meriwayatkan sebuah hadits secara lafal atau tulisan, contohnya seorang guru berkata pada muridnya; “Aku memberi ijazah kepadamu untuk meriwayatkan dariki kitab sahihi Bukhori”, Ragam-ragam ijazah ada tiga, 1. Guru memberi ijazah pada murid tertentu dengan hdits tertentu juga, contoh: seorang guru berkata pada muridnya; “Aku memberi ijazah kepadamu untuk meriwayatkan dariki kitab sahihi Bukhori” 2. Guru memberi ijazah pada murid tertentu dengan hdits tidak ditentukan,  contoh: seorang guru berkata pada muridnya; “Aku memberi ijazah kepadamu semua hadits yang kamu dengar dariku” 3. Guru memberi ijazah pada murid yang tidak ditentukan dengan hdits yang tidak ditentukan juga, contoh: seorang guru berkata ; “Aku memberi ijazah kepada semua muridku semua hadits yang  didengar dariku”, hukum periwayatan dengan ijazah yang pertama menurut pendapat yang sahih boleh, sedangkan yang kedua dan ketiga diantara para ulama hadits berbeda pendapat ada yang membolehkan dan ada yang melarang., Sedangkan sighat ada’ Al-ijazah ada tiga bentuk: a. Ajza li Fulanun(si Fulan memberi ijazah kepadaku) b. Boleh memakai bentuk sima’ tetapi di garis bawahi dengan qayyid ijazah, seperti; haddatsana ijazatani[7], c. Istilah ulama’ mutaakhkhirin adalah memakai kat ‘anba’ana.
4.      Al-Munawalah, ragam Munawalah ada dua macam; 1. Munawalah yang disertai Al-ijazah, ragam ini adalah paling tinggi derajat ijazah secara mutlak, contohnya; seorang guru memberi kitab pada muridnya sambil berkata: ini aku meriwayatkan dari guruku maka kamu riwayatkan kepada orang lain. 2. Munawalah yang tidak disertai Al-ijazah, contohnya; seorang guru memberi kitab pada muridnya sambil berkata: ini  aku meriwayatkan dari guruku. hukum periwayatan Munawalah yang disertai Al-ijazah, hukumnya boleh sedangkan Munawalah yang tidak disertai Al-ijazah tidak boleh.menurut pendapat yang sahih boleh, Sedangkan sighat ada’ Munawalah yang baik itu memakai kata “ Nawalani fukanun” atau “Nawalani wa Ajaza li” bisa juga memakai “haddatsana Munawalatan”[8]

5.      Al-Kitabah (Tulisan) bentuknya adalah seorang guru menulis beberapa hadits periwayatanya untuk seseorang yang hadir atai ghoib dengan tulisanya sendiri atau memerintah orang lain menulisnya, ragam Al-Kitabah (Tulisan) ad dua: 1. Al-Kitabah yang disertai Al-ijazah,2. Al-Kitabah yang tidak disertai Al-ijazah, hukum periwayatan Al-Kitabah yang disertai Al-ijazah, hukumnya boleh sedangkan Al-Kitabah yang tidak disertai Al-ijazah tidak boleh.menurut pendapat yang sahih boleh, Sedangkan sighat ada’ Al-Kitabah yaitu memkai kata “kataba ilayya Fulanun” Boleh memakai bentuk sima’ tetapi di garis bawahi dengan qayyid kataba, seperti; haddatsana kitabatan.[9]


6.      Al-I’lam (pemberi tahuan), Bentuknya seorang guru memberi tahu pada muridnya sebuah hadits yang diriwayatkan dari seseorang tanpa memberi ijin kepada simurid untuk meriwayatkanya, hukum periwayatan Al-I’lam menurut pendapat yang sahih tidak boleh meriwayatkanya. Sedangkan sighat ada’ Al-I’lam yaitu kata “A’lamani fulanun bi kazda[10]
7.      Al-Washiyah, Bentuknya seorang guru memberi wasiat menjelang ajalnya tiba atau dalam perjalanan pada muridnya sebuah hadits, hukum periwayatan Al-Washiyah adalah boleh menurut sebagian ulama tetapi menurut pendapat yang sahih tidak boleh meriwayatkanya, Sedangkan sighat ada’ Al-Washiyah yaitu memakai “aushani fulanun bi kazda”  Boleh memakai bentuk sima’ tetapi di garis bawahi dengan qayyid Washiyah, seperti; haddatsana washiyyatan.

8.      Al-Wijadah, Bentuknya seorang murid menemukan tulisan gurunya berupa hdits-hadits yang diriwayatkan dari gurunya dan si murid tidak mendengar dan tidak mendapat ijazah hdits-hadits tersebut dari gurunya, hukum periwayatan Al-Wijadah termasuk katagori hadits munqati’ tetapai masih ada warna bersambungnya, Sedangkan sighat ada’ Al-Wijadah yaitu kata “wajadtu bi khaththi fulanin”[11]














BAB III
 KESIMPULAN
Dari pejelasan sedikit diatas dapat disimpulkan beberapa hal:
1.      Bentuk-bentuk Al-Tahammul ada delapan beserta sighot ada’nya.
2.      Bentuk-bentuk Al-Tahammul  ada yang tinggi derajatnya dari yang lain.
3.      Bentuk-bentuk Al-Tahammul ada yang bisa diterima periwayatanya ada yang tidak diterima dan ada juga yang menjadai kontoversi di antara para ulama.
























DAFTAR PUSTAKA
Al-Hakim, Ma’rifatu ulumil hadits, Lebnon, 2002
www. almuhyililquran@yahoo.com
Ibn al-Sholah, Ulumul Hadits, Lebnon, 2011
Mahmud Thohhan, Al-Manhaj al-Hadits fi Mushtalah al-Hadits, Lebnon, 2001


[1] Oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatu ululumi hadits hlm.112
[2] Oleh Ibnu al-Sholah, dala Ulumul Hadits, hlm.132
[3] Ibid 136
[4] Ibid. 113
[5] Oleh Ibnu al-Sholah, dala Ulumul Hadits, hlm137
[6] Oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatu ululumi hadits hlm 114
[7]Oleh Ibnu al-Sholah, dala Ulumul Hadits, hlm 147
[8] Oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatu ululumi hadits hlm 115
[9] Ibid.116
[10] Ibid.117
[11] Oleh Al-Hakim dalam Ma’rifatu ululumi hadits hlm 118
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Hadits merupakan sumber hukum bagi umat Islam Al-quran yang juga disebut Sunnah Nabi Muhammad saw yang diberikan oleh Allah swt. Hadits berisi berbagai informasi keilmuan dan mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia Selain itu keotentikan isinya juga tidak bisa diragukan lagi. Semua yang terkandung di setiap matannya mengandung kebenaran dan tidak ada kesalahan sedikit pun.
Keindahan bahasanya sudah tidak dipungkiri lagi mengungguli ahli-ahli bahasa mana pun di dunia. Bahasa Hadits merupakan bahasa yang mengandung nilai kesusteraan yang sangat tinggi setelah Al-quran. Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah tertentu untuk memahami isi yang terkandung di dalamnya. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah memahami penmbahan (Ziyadah) kata-kata dalam matan hadits dan komentar para ulama penmbahan (Ziyadah) tersebut sekaligus penmbahan (Ziyadah) dalam perawinya .
Apabila kita perhatikan, banyak sekali di dalam Hadits penmbahan (Ziyadah) kata-kata dalam matannya ataupun penmbahan (Ziyadah) dalam perawinya, oleh karena itu penting bagi kta mengetahui ilmu ini, penulis akan menjelaskan sedikit tentantnag masalah ini disertai contoh-contohnya

B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimanakah penmbahan (Ziyadah) kata-kata dalam matan dan sanad hadits ?
2. Bagaimanakah Contoh-contoh penmbahan (Ziyadah) kata-kata dalam matan dan sanad hadits?

C. Manfaat.
      1. Untuk mengetahui penmbahan (Ziyadah) kata-kata dalam matan dan sanad hadits.
      2. Untuk mengetahui Contoh-contoh penmbahan (Ziyadah) kata-kata dalam matan dan sanad hadits.




            BAB I PEMBAHASAN
            Salah satu ilmu dari ulumul-hadits adalah Mengetahui penambahan kata (ziyadah alfald) dalam hadits-hadits yang diriwayatkan satu perawi saja, dan penambahan nama perawi dalam sanad hadits, ilmu ini sangat jarang orang mengkajinya dan sedikit orang memahaminya. Orang pertama yang mengupas ilmu ini adalah; seorang ahli fiqih Kota Bagdad yaitu, Abu Bakar, Abdullah bin Muhammad bin Ziyad an-Naisaburi, kemudian seorang ahli fiqih Kota khurasan yaitu Abu Nua’im, Abdul-malik bin Muhammad bin Adiy al-Jurjani, kemudian Syeh Abu al-Walid. Demikian pendapat Imam Al-Hakim.[1]

B. Penambahan dalam Matan Hadits
            Ilmu ini adalah penmbahan kata-kata dalam matan hadits-hadits yang setelah ditelusuri ternyata dalam jalur yang lain tidak ditemukan, hukumnya para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, kemudia ibnu Al-Sholah mencoba membagi penambahan kata-kata dalam matan menjadi tiga bagian: 1. Penambahan kata-kata dalam matan hadits bertentengan dengan rawi-rawi yang  tsiqah, hukum penambahan seperti ini ditolak. 2.  Penambahan kata-kata dalam matan hadits yang berbentuk lafal maknawiyah yang tidak dijelaskan oleh sebagian perawi hadit, efeknya Penambahan kata-kata tersebut bertentengan dengan kemutlakn hadits atau sebagian dari esensinya. Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah menerima katagori yang kedua ini sementara ulama Hanafiyah menolaknya.[2] Contohnya:
            Hadits yang diriwayatkan Abu Malik al-Asyja’i dari Rab’i dari Huzdaifah, dia berkata: bersabda Rasulullah Saw. “Dan kamu jadikan bumi bagi kami semuanya adalah masjid, dan kamu jadikan bumi bagi kami tanahnya adalah Suci” (HR. Muslim)
            Abu Malik al-Asyja’i sendirian meriwayatkan hadist ini yang menambah kata “ Turbataha”  rawi-rawi yang lain tidak menambah, efeknya adalah Ulama Syafi’iyah memutuskan hukum tayammum hanya boleh dengan tanah, sementara ulama Hanafiyah membolehkanya dengan batu dan kerikil.[3]

 3. Penambahan kata-kata dalam matan hadits tidak bertentengan dengan rawi-rawi yang  tsiqah, dan tidak ada efek yang signifan dalam Penambahan tersebut, hukum penambahan seperti ini diterima. sementara komentar dalam penmbahan kata-kata dalam hadits-hadits tersebut yaitu komentar para ulama terkait penmbahan tersebut adalah pelengkap ilmu ini. Contoh:
 
           
            1. Imam Al-Hakim berkata: ada sebuah Hadits yang bercerita kepada kami; Abu Amri, Ustman bin Ahmad Bin Al-Samak, dia berkata: bercerita kepada kami Al-Hasan bin Mukrim, dia berkata: bercerita kepada kami Ustman bin Umar dia berkata: bercerita kepada kami Malik bin Mighal dari Walid bin Al-‘Aizar dari Abi ‘Amrin al-Syaibani dari Abdullah bin Mas’ud dia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah SAW. Apa amal yang paling utama ya Rasulullah? Beliau menjawab, Sholat diawal waktunya. Saya bertanya lagi, Kemudian apa ya Rasulullah? Beliau menjawab, jihad dijalan Allah, Saya bertanya lagi, Kemudian apa ya Rasulullah? Beliau menjawab berbakti kepada kedua orang tua.
            Menurut Abu Abdillah hadits ini sahih, terpelihara dan diriwayatkan oleh para imam-imam kaum muslimin dari jalur Malik bin Mighal demikian juga dari jalur Ustman bin Umar tanpa menyebuta kata “Awwala waktiha”, selaian dari jalur Bandar bin Basar dan Al-Hasan bin Mukrim keduannya dianggap tsiqah dan ahli fiqih[4]


            2. Imam Al-Hakim berkata: ada sebuah Hadits yang bercerita kepada kami; Abu abdillah al-Husain ibnul-Hasan Al-Thusiy di Naisabur, dan Abu Muhmmad Abdullah bin Muhmmad Al-Khoza’i, di Mekkah, mereka berdua berkata: bercerita kepada kami; Abu Yahya bin Massirah dia berkata: bercerita kepada kami; Yahya bin Muhmmad al-Jari, dia berkata:  bercerita kepada kami; Zakariya bin Ibrahim bin Abdullah bin Muti’ dari bapaknya dari kakeknaya dari Ibnu Umar, dia berkata:   bersabda Rasulullah Saw. “Barang siapa dari wadah terbuat dari emas atau perak atau dalam wadah yang ada sesuatu dari keduanya maka sesungguhnya dikocok dalam perut orang itu apai neraka jahanam”
            Menurut Abu Abdillah hadits ini hadits ini diriwayatkan dari Ummi Salamah, hadits ini ditakhrij sahih, demikian juga dari riwayat ibnu Umar dari jalur lain Cuma kata “au ina’un fihi syaiun min zdalika” tidak kami tulis kecuali melalui isnad diatas.

            3. Imam Al-Hakim berkata: ada sebuah Hadits yang bercerita kepada kami; Abu Bakar bin Ishaq al-Imam dia berkata; memberi berita kepada kami Abu Muslim, dia berkata: bercerita kepada kami; Abdullah bin Roja’, dia berkata; bercerita kepada kami; Hammam dari Muhamad bin Jabir dari Qais bin Tholqin dari bapaknya, bahwasanya dia bertanya pada Rasulullah Saw. atau seorang laki-laki bertanya pada Rasulullah Saw. dia berkata; “Ketika saya sedang sholat saya menggaruk-garuk paha saya, lalu tangan saya menyentuh zdakar saya?” Lalu bersabda Rasulullah Saw.: “Dzakar itu hanyalah sebagian daging dari kamu”
            Menurut Abu Abdillah hadits ini hadits ini diriwayatkan golongan tabi’in dan lainya dari jalur Muhamad bin Jabir, tanpa menyebut kata “saya menggaruk-garuk paha saya”  selain Abdullah bun Roja’ dari Hammam bin Yahya, keduanya terkenal tsiqah.[5]

            Imam Bukhori berkat: bercrita kepada kami Zakariya dari ’Amir,  Zakariya berkata: saya mendengar ’Amir berkata; saya mendengar Nu’man bin Basyir bekata: bersabada Rasulullah Saw.; ”Kamu melihat orang-orang mukmin didalam saling kasih sayang,  saling cinta dan saling menyatu hati mereka, bagaikan satu tubuh, apa bila salah satu anggauta tubuh itu merasa sakit  maka sekujur tubuhpun merasa sakit semua”
            Menurut Ibnu Abi jamrah, Tarahum, tawadud dan Ta’-athuf meskipun artinya sama tetapi ada perbedaan yang tipis, yaitu Tarahum adalah adanya kasih sayang disebabkan satu keimanan, aqidah dan keyakinan saja, sedangkan tawadud adalah adanya tali kasih diantara Orang-orang yang beriman, sedangkan Ta’-athuf adalah adanya saling tolong menulong sesama mu’min.[6]
B. Penambahan dalam sanad Hadits
            Penambahan dalam sanad Hadits adalah salah satu penyebab berbedabnya para ulama dalam hal hadits itu maushul atau mursal, marfu’ atau mauquf, menurut jumhur ulama apa bila ada perbedaan maka yang diunggulkan (tarjih) adalah riwayat mursal atas maushul dan mauquf didahulukan atas  marfu’. Tetapi justru pendapat yang diunggulakan adalah sebaliknya, [7]Contoh:

            Hadits diriwayatkan imam Al-Tirmizddiy, bercrita kepada kami Muhammad bin Ismail, bercrita kepada kami: Adam bin Iyas, bercrita kepada kami: Syaiban Abu Mu’awiyah, bercrita kepada kami Abdul Malik bin ‘amir dari Abi Salmah Bin Abdurrahman dari Abu Hurairah dia berkata: “Nabi Saw. Keluar pada waktu yang belum pernah beliau keluar dan tidak bertemu dengan siapapun, lalu abu Bakar mendekatinya.......”
            Menurut Al-Tirmizddiy Hadit ini Hasan Shohih Ghorib, keudian Al-Tirmizddiy berkata: bercrita kepada kami: Shleh bin Abdulloh, bercrita kepada kami: Abu ‘Awanah dari Abdul Malik bin ‘Amir dari Abi Salmah Bin Abdurrahman dari Abu Hurairah dia berkata: “Nabi Saw. Keluar pada suatu hari.....”
            Isnad semacam ini adalah katgori Mursal, Isnad yang pertama adalah Muttashil, Perawi yang dianggap bersambung (Washol) adalah Syaiban, seorang yang tsiqah dan bisa dijadikan hujjah memiliki buku yang menjadi rujukan dan argumentasi para ulama, karena itu Al-Tirmizddiy menshohihkan hadits diatas karena bersambung sanadnya.







BAB III KESIMPULAN

            Dengan penjelasan sedikit diatas dapat kita simpulkan beberapa hal yaitu:

  1. Hukum penmbahan (Ziyadah) kata-kata dalam matan dan sanad hadits, para ulama berbeda pendapat, kemudia Ibnu Al-Sholah mencoba membagi penambahankata-kata dalam matan menjadi tiga bagian
  2. Penambahan (Ziyadah) dalam sanad Hadits adalah salah satu penyebab berbedabnya para ulama dalam hal hadits itu maushul atau mursal, marfu’ atau mauquf, menurut jumhur ulama apa bila ada perbedaan maka yang diunggulkan (tarjih) adalah riwayat mursal atas maushul dan mauquf didahulukan atas  marfu’. Tetapi justru pendapat yang diunggulakan adalah sebaliknya,
  3. Berkaitan dengan penmbahan (Ziyadah) kata-kata dalam matan dan sanad hadits para ulama memberi pejelasan atau komentar tentang ditolak atau dipakainya penmbahan (Ziyadah) tersebut dan sekaligus menjelaskan efeknya terhadap keputusan sebuah hukum.
















                      DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi,  Toha Putra Semarang.(1993)


Dr. Nuruddin Atar, Manhaj al-Naqad, Bairut. Bairut,  Lebanon. (1989)

Ibnu al-Sholah, Ululmul Hadts, Bairut,  Lebanon. (1981)

Al-Hakim, Ma’rifatu Ululmil Hadts, Lebanon. (1999)



[1] Oleh Al-hakim, dalam Makrifatu ulumil hadits hlm. 130
[2] Oleh nuruddin Atr, dalam Manhaj al-Naqad, hlm. 425
[3] Oleh nuruddin Atr, dalam Manhaj al-Naqad, hlm. 426
[4] Oleh Al-hakim, dalam Makrifatu ulumil hadits hlm. 131
[5] Oleh Al-hakim, dalam Makrifatu ulumil hadits hlm. 133
[6] Oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, 1999,  Fathul-Bari,juz 10, hlm 439
[7] Oleh nuruddin Atr, dalam Manhaj al-Naqad, hlm. 424















BAB IV DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuti, Al-Itqan  Toha Putra Semarang.

Al-Banani, al-Juma’, Bairut. Bairut,  Lebanon

Ibnu Badaran, al-Masdkhal, Bairut,  Lebanon.

Khalid Ustman As-Sabt, Qawa'id at-Tafsir, Bairut, Lebanon.

Az-Zarkasyi, Al-Burhan, Bairut, Lebanon

Az-Zajjaj, Ma’ani Al-Quran Bairut, Lebanon
 
BAB I
PENDAHULUAN

Hadis adalah ucapan (qauli), dan tindakan (fi’li), serta sikap dan kesan (taqrir) Nabi SAW terhadap sesuatu. Dan hadis menurut para ulama hadis diidentikkan dengan sunnah, dimana para ulama mendefinisikan sunnah sebagai segala hal yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat dan perilaku hidupnya. Oleh sebab itu, hadis mempunyai otoritas tersendiri yang dijadikan pijakan kedua bagi umat Islam setelah al-Qur’an.
Sebagaimana hadis yang dikatakan sebagai gambaran kehidupan Rasulullah SAW, dalam penghimpunan dan penyeleksiannya banyak kontroversi dalam periwayatannya, yang menyebabkan sulit membedakan mana hadis dan mana yang bukan hadis. Baik kekeliruan dan kesalahan itu berupa salah mendengar dan memahami riwayat atau bahkan dengan sengaja memalsukan hadis yang mengatasnamakan dari Nabi SAW.
Karena itu, pengkajian hadis Nabi SAW tidak hanya menyangkut kandungan dan aplikasi petunjuknya saja, tetapi juga pada segi periwayatannya. Dalam proses periwayatan hadis, perlu adanya perhatian khusus sehingga terjaga dari upaya pencampuradukan dengan unsur lain. Yakni perhatian terhadap metode periwayatan hadis, baik segi penerimaan maupun penyampaiannya. Metode dalam meriwayatkan hadis ini dipandang sangat urgen untuk mengetahui keotentikannya.
Sehubungan hal tersebut, pada kesempatan ini penulis akan sedikit mengupas kajian  tentang pemaknaan hadis qauli dan hadis amali (fi’li) serta pemaknaan atsar.





BAB II
PEMBAHASAN
1.       Pengertian Hadits dan Atsar
Menurut bahasa kata Hadits memiliki beberapa arti, yaitu:
1.      Al- Jadid Minal Asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2.      Qorib (yang dekat)
3.      Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Jamaknya adalah hudtsan, hidtsan dan ahadits. Jamak ahadits jamak yang tidak menuruti qiyas dan jamak yang syad. Inilah yang dipakai jamak hadits yang bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul dikatakan ahadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang lainnya. Ada juga yang berpendapat ahadits  bukanlah jamak dari hadits, melainkan merupakan isim jamaknya.
Dalam hal ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar, dalam firman-Nya;
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين
Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar yang  sepertinya jika mereka orang yang benar”.  (QS. At –Thur : 24).
Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. Oleh karena itu, menurut ahli ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits, seperti urusan pakaian.
Pengertian Atsar       
Secara etimologi atsar berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.

2.      Hadits Qauli
Hadits Qauli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan ataupun ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa dan keadaan yang berkaitan dengan akidah, syariah, akhlak atau lainnya. Di antara contoh hadits qauli adalah hadits tentang doa Rasulullah Saw. Yang ditunjukkan kepada orang-orang yang mendengar, menghafal dan menyampaikan ilmu.
نظرالله امرأ سمع منا حديثا فحفظه وبلغه غيره فرب حامله فقه ليس بنقيه ثلاث لا يغل عليهن قلب مسلم إخلاص العمل لله ومناصحة ولاة الأمور و لزوم الجماعة فإن دعوته تخيط من وراءهم
.
“Semoga Allah memberikan kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataan dariku kemudian menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain karena banyak orang berbicara mengenai fiqih padahal ia bukan ahlinya. Ada tiga sifat yang dapat menghindari timbulnya rasa dengki di hati seorang muslim, yaitu ikhlas beramal kepada Allah Swt., saling menasihati dengan pihak penguasa, dan patuh atau setia terhadap jamaah.Karena sesungguhnya do’a mereka akan membimbing dan menjaganya dari belakang.”
Contoh lain, hadits tentang bacaan alfatihah dalam shalat, yang berbunyi:
لاصلاة لمن لم يقرأ بأم الكتاب
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca ummul quran (Al-Fatihah).

3.      Hadits Amali (Fi’li)
Berdasarkan bentuk dan penisbatan matan, hadis dibagi menjadi lima macam: hadis qauli, hadis fi’li, hadis taqriri, hadis qawni dan hadis hammi.[1] Dan yang akan dibahas lebih lanjut pada kesempatan ini adalah tentang hadis fi’li dan metode periwayatannya, baik penerimaan dan penyampaiannya.
Sebagaimana diketahui bahwa segala perbuatan Nabi SAW adalah merupakan wujud lain dari sunnah, yaitu segala tindak tanduk keseharian beliau, baik bersifat khusus atau umum, tendensi agama atau duniawi atau kehidupan sehari-hari di rumah atau interaksi beliau sebagai suami beserta istrinya.
Pengertian yang sama juga terdapat dalam buku Nur Kholis bahwa yang dimaksud dengan hadis fi’li adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, berupa perbuatan yang sampai kepada kita. Dilihat dari pernyataan tersebut bahwa memang jelas tampak perbedaan antara bentuk  hadis fi’li dan bentuk hadis yang lainnya berdasarkan penisbatan matannya.

Metode Periwayatan Hadis
Pengertian Ar-Riwayah secara epistimologis, Ar-Riwayah berasal dari kata rawa, yarwi, riwayatan yang berarti naqala wa dzakara, yakni membawa atau mengutip; memindahkan atau menyebutkan. Dari sini kemudian dipakai Riwayat Al-Hadits yang artinya menyampaikan hadis. Menurut istilah ahli hadis, Ar-Riwayah adalah memindahkan dari seorang guru kepada orang lain atau membukukannya ke dalam buku hadis. Sedang orang yang melakukan kegiatan ini disebut dengan rawi, yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan hadis yang diterima dari gurunya dalam sebuah buku.
Dengan kata lain dapat diuraikan bahwa Periwayatan (riwayat) hadis adalah proses penerimaan (naql, tahammul) hadis oleh seorang rawi dari gurunya, dan setelah dipahami, dihafal, dihayati diamalkan (dhabth) ditulis atau ditadwin (tahrir) dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada) dengan menyebutkan sumber pemberian riwayah tersebut. Esensi periwayatan adalah tahammul, naql, dhabth, tahrir, dan ada al-hadits. Atau disingkat tahammul wa al- ada. Dan system periwayatan sering disebut dengan kaifiyah tahammul wa al-ada, yaitu cara penerimaan dan penyampaian hadis.
Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, Ar- Riwayah berarti memindahkan hadis dan menyandarkannya kepada seseorang dengan metode tertentu, atau kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis serta penyandarannya kepada rangkayan para periwayat dengan bentuk-bentuk tertentu.[2] Dari pengertian ini dapat dijelaskan bahwa dalam periwayatan hadis harus memenuhi tiga unsur, yakni: (1) kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis (At-Tahammul); (2) kegiatan menyampaikan hadis itu kepada orang lain (Al-Ada); (3) penyebutan susunan rangkaian periwayatnya ketika menyampaikan hadis (Al-Isnad).
Metode penerimaan dan Penyampaian Hadis (Kaifiya Tahammul Wa Al-Ada) terdapat 8 (delapan) macam cara penerimaan dan penyampaian hadis, sebagai berikut[3] :         
1.      “Sama’ Min Lafdz Al-Syaikh”, yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dibaca dari tulisannya, walaupun mendengar dari balik hijab asal berkeyakinan bahwa suara yang didengar adlah suara gurunya, kemudiian ia sampaikan kepada orang lain. Lafadz yang digunakan yaitu sami’tu, haddatsana, haddatsaniy, akhbarana, qala lana, dan dzakara lana.
2.      Metode Qiraah, yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik ia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar yang meriwayatkan, (a) qara’tu ‘ala fulanin (b) qara’tu ‘ala fulanin wa ana asma’u fa aqrabahu.
3.      Metode Ijazah, yaitu pemberian ijin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau dari kitab-kitabnya. (a) haddatsana ijazatan, (b) akhbarana ijazatan.
4.      Munawalah, yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. (a) Haddatsani munawalatan wa‘aradhan (b) akhbarana munawalatan.
5.      Mukatabah, yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis bebrapa hadis kepada orang ditempat lain atau yang ada dihadapannya.  (a) kataba ila fulanin (b) akhbarani mukatabatan (c) akhbarani bihi kitabatan.
6.      Metode Wijadah, yaitu memperoleh tulisan hadis orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’, qira’ah maupun selainnya. Lafadznya: qara’tu bi khatthi fulanin, wajadtu bi khatthi fulanin, haddatsana fulanun.
7.      Washilah, yaitu pesan seseorang dikala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kitab atau tulisan supaya diriwayatkan. Lafadznya: Awshiy ilayya fulanun bikitabin qala fihi haddatsana…,
8.      I’lam, yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadis yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya. Lafadznya: ‘alamaniy fulanun qala haddatsana … “seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya, telah berkata padaku …”
Dapat dipahami bahwa ketika periwayat hadis melakukan kegiatan penerimaan hadis dari seorang guru hadis, sesungguhnya guru hadis itu telah melakukan periwayatan hadis. Saat itu dapat saja ia menempuh metode qiraah, ia sendiri membacakan atau mendiktekan hadis, ijazah, munawalah, mukatabah, I’lam, washiyah dan sama’ (guru hadis mendengarkan bacaan muridnya, lalu mengesahkan atau mengoreksinya). Sedang satu metode yang tidak mungkin dilakukan guru adalah wijadah. Metode ini hanya mungkin dilakukan oleh penerima hadis saja.

Metode Periwayatan Hadis Fi’li
Sebagai manusia, kemampuan sahabat menyampaikan apa yang didengar dan dilihat dari Nabi berbeda-beda. Yang terjadi adalah dalam periwayatan hadis, ada yang mampu meriwayatkan secara lafal (Ar-Riwayah Bi Al-Lafz) dan ada yang meriwayatkan secara makna (Ar-Riwayah Bi Al-Ma’na) terhadap hadis, bahkan untuk suatu hadis yang terjadi dalam suatu peristiwa. Demikian pula yang terjadi dan berlangsung dalam masa-masa setelah generasi sahabat.
Bila disepakati bahwa kategori hadis yang meliputi (1) sifat-sifat nabi, (2) perbuatan dan akhlak nabi, (3) perbuatan sahabat yang didiamkan Nabi/ditolak Nabi, (4) pendapat Nabi terhadap masalah yang dihadapi sahabat, (5) sabda Nabi yang berkenaan dengan doa-doa dalam ibadah, (6) hadis qudsi), dan (7) surat-surat Nabi yang dikirimkan kepada penguasa dan sebagainya. Maka, tampak empat point pertama diriwayatkan dalam bentuk makna (ar-riwayah bi al-ma’na), sedang tiga point yang terakhir diriwayatkan dengan lafal (ar-riwayah bi al-lafdzi).
Riwayah bi al-lafdzi adalah meriwayatkan hadis dengan redaksi matan yang telah didengar tanpa perubahan, penambahan dan pengurangan. Redaksi matan itu bila diteliti sesuai dengan yang keluar dari ucapan Nabi Muhammad.
Para ulama hadis sepakat menjunjung tinggi model periwayatan hadis secara lafal dan bahkan pada masa awal dijumpai ulama yang sangat ketat dalam mensyaratkan periwayatan hadis sehingga sekuat mungkin meriwayatkan secara harfiyah. Dan tidak demikian halnya dengan periwayatan secara makna. Para ulama sejak masa sahabat telah berbeda pendapat. Sebagian ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan dengan berbagai argument pendukung yang disampaikan.
Ulama yang membolehkan periwayatan secara makna menekankan pentingnya pemenuhan persyaratan yang ketat. Walaupun syarat itu cukup ketat, namun kebolehan itu memberi isyarat bahwa matan hadis yang diriwayatkan secara makna telah ada dan bahkan banyak sekali.
Ada bebarapa ketentuan dimana kebanyakan ulama hadis memperbolehkan periwayatan hadis dengan makna, sebagai berikut: (1) periwayat benar-benar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam, (2) periwayatan secara makna dilakukan karena terpaksa, misalnya lupa susunan lafalnya, (3) bukan tentang sabda Nabi tentang bentuk bacaan ibadah, misalnya dzikir, doa, adzan, takbir, dan syahadat, serta bukan sabda nabi dalam bentuk jawami’ al-kalam, (4) periwwayatannya itu atau yang lupa akan susunan lafalnya hendaknya ditambahkan kata “Aw Kama Qala Atau Aw Nahwa Dzalika” atau yang semakna dengan itu, (5) dibolehkan periwayatan dengan makna seperti hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa kodifikasi hadis-hadis Nabi, periwayatannya harus dilakukan secara lafzhi (lafal).
Tidak lepas dari pembahasan tersebut di atas, sedikit penulis jelaskan tentang cara yang dipakai Nabi dalam menyampaikan sunah atau hadisnya, yang dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu pengajaran secara verbal atau lisan, pengajaran hadis melalui metode tertulis, dan pengajaran hadis dengan cara demonstrasi praktis. Sedang sebagian hadis yang disampaikan dengan cara demonstrasi praktis ini adalah yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan Nabi SAW. Dan perbuatan Nabi ada beberapa macam, yaitu:
(a) Perbuatan yang menunjukkan pada kebiasaan (al-fi’il al jabaliy), seperti gerak diamnya Nabi, makan dan minumnya, dan ini bukan merupakan sumber tasyri’
(b) Perbuatan yang berkaitan dengan urusan kehidupan dunia, seperti perniagaan, pertanian, dan pengaturan (strategi) perang. Ini juga merupakan bukan sumber tasyri’
(c) Perbuatan yang bersumber dari Nabi dalam menyampaikan risalahnya, mencakup semua perintah dan larangannya dalam hal ibadah, muamalah, dan akhlak jenis yang ketiga ini merupakan sumber tasyri’ yang wajib diikuti dan dilaksanakan oleh umatnya yang mukallaf, kecuali jika perbuatan itu dikhususkan untuk Nabi.
Contoh hadis yang termasuk dalam kategori ini adalah hadis Nabi dalam mengajarkan shalat.
 صلوا كما رايتمونى اصلى   قال النبي ص م :
“…shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihatku shalat…”
Dari pemaparan tentang metode periwayatan hadis fi’li tersebut, sedikit penulis paparkan juga tentang contoh hadis Fi’li yang berkaitan dengan kegiatan ibadah sehari-hari, yaitu tentang shalat:

عن انس قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من نام عن صلاة او نسيها فكفارتها ان يصليها اذا ذكرها لا كفارة لها الا ذلك . ( و اقم الصلاة لذكرى )
Dari Anas bin Malik, beliau berkata, rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa tertidur atau lupa (kemudian tidak shalat), maka kaffarahnya (tebusannya) adalah melakukan shalat ketika ia ingat. Tidak ada kaffarah selain itu”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadis tersebut (asbabul wurudnya) diriwayakan oleh Abu Ahmad al-hakim Muhammad bin ishhaq al-Hafidz dari Abu Ja’far ibn al-Husain al-Hanawi, dari Muhammad bin al-‘Ala’ dari Khalaf bin Ayub al-‘Amiry, dari Ma’mar dari zuhri, dari Sai’d Ibnu al-Musayyab, dari Abu Hurairah bahwa pada waktu malam Isra’, Rasulullah tertidur sampai terbit matahari.[4]  

















BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hadis fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW, dan hingga saat ini menjadi panutan umat Islam. Sedang metode periwayatan baik itu dalam penerimaan dan penyampaian hadis, dikategorikan dalam delapan metode atau cara, yaitu: metode sama’, metode atau cara qira’ah, metode ijazah, metode munawalah, metode mukatabah, wijadah, washilah, dan metode I’lam.
Sedang dalam metode periwayatan hadis fi’li, metode yang digunakan adalah metode model periwayatan makna hadis. Ini yang memang diperdebatkan hingga saat ini, karena takut akan hilangnya keaslian dari lafal hadis yang diriwayatkan. Dan yang tidak diragukan dalam model periwayatan hadis adalah periwayatan melalui lafalnya. Sebagaimana yang dicontohkan dalam bentuk tersebut di atas.

















DAFTAR PUSTAKA

Ismail, M. Shuhudi. 1988. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta. Bulan Bintang
Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis, studi Kritis atas kajian hadis Kontemporer. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya
Mustaqim, Said Agil Husin munawwar Abdul. 2001. Asbabul wurud, studi kritis hadis Nabi, pendekatan Sosio-Historis-kontekstual. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Nur Kholis. 2008. Pengantar studi Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yogyakarta. Teras
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mustalahul Hadist. Bandung. PT Alma’arif
Soetari, Endang. 2007. Ilmu Hadits. Bandung. Amal Bakti Press


[1] Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 2007), hal. 132

[2] M. Shuhudi Ismail, kaedah kesahihan sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hal.21.
[3] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadist, (bandung: PT Alma’arif, 1974) hal. 243-251
[4] Said Agil Husin munawwar, Abdul Mustaqim, Asbabul wurud, studi kritis hadis Nabi, pendekatan Sosio-Historis-kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001), hal. 60
 
JURUSAN DAKWAH
TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN) JEMBER
April, 2011


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang        
Al-Qur'an berulang kali memerintahkan kaum mukmin agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan ketaatan kepada Allah tidak akan terlaksana dengan benar tanpa mengikuti petunjuk dari Hadits Nabi saw. Oleh sebab itu yang menyatakan beriman dan taat kepada Nabi sudah pasti dia akan beriman dan taat kepada Allah, tetapi orang yang menyatakan beriman dan taat kepada Allah belum tentu beriman dan taat kepada Nabi. Inilah di antara kadungan makna firman Allah, "barangsiapa yang taat kepada Rasul berarti ia telah taat kepada Allah" (An Nisâ [4] : 80).
Atas dasar itu, kaum muslimin mengimani kewajiban mentaati Rasul Allah Sebagai salah satu pondasi dasar dalam ber-Islam secara benar. Pada paper ini penulis tidak akan mengulas tentang pengertian Hadits mengingat pembahasan seputar batasan atau definisi hadits sudah berulang-ulang dalam beberapa paper yang sudah disampaikan oleh teman-teman. Maka penulis menggunakan istilah Hadits, Sunnah dan Khabar dalam pengertian yang sama, yaitu segala hal yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan beliau. Namun penulis memandang perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu pengertian atau batasan dari tasyri' sebelum dikaji kaitan dan kedudukan Hadits dalam tasyri'.

Rumusan Masalah
1.        Apa definisi tasyri secara terminologi dan etimologi?
2.        Apa hubungan tasyri dengan hadist?

Tujuan Masalah
1.        Menjelaskan definisi tasyri secara terminologi dan etimologi
2.        Menjelaskan hubungan tasyri dengan hadits


BAB II
PEMBAHASAN
Pembicaraan Hadits dan Sunnah   
Secara umum pengertian istilah hadits Nabi adalah penuturan sahabat tentang Rasulullah, baik mengenai perkataan, perbuatan atau taqrirnya, bahkan termasuk sifat sifatnya. Jika penuturan para sahabat itu menggunakan kata-kata yang dipergunakan Nabi, dinamakan riwayat bi al-lafdli. Sedangkan apabila penuturan itu menggunakan redaksi para sahabat sendiri, maka disebut riwayat bi al-makna. Jika yang dituturkan para sahabat itu kata-kata Nabi, maka boleh jadi penuturan itu persis  dengan redaksi yang dipergunakan Nabi , tetapi ada pula penuturan yang menggunakan kalimat atau redaksi  sendiri.  Akan tetapi apabila yang dituturkan para sahabat itu perbuatan, taqrir, kebiasaan dan sifat-sifat Nabi, maka tentu semuanya merupakan periwayatan makna.
Dari pengertian di atas maka termasuk hadits Nabi adalah semua bentuk dan jenis penuturan (periwayatan) sahabat tentang segala aspek yangberhubungan dengan Muhammad Rasulullah, baik tentang hasil-hasil pemikiran (qaul), sikap (af’al dan taqrir) maupun keseluruhan sifat-sifat beliau, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. baik yangberhubungan dengan aktivitas rutual, kemasyarakatan dan kenegaraanmaupun aktivitas pribadi Rasul , yang berhubungan dengan keluarga atupunyang berhubungan dengan dirinya sendiri.  Jadi yang dinamakan  haditsNabi  bukan hanya riwayat tentang bagaimana cara Nabi melakukan shalat, zakat , puasa dan hajji saja, tetapi periwayatan tantang bentuk tubuh dan gambaran fisikal Nabi yang lainnya juga termasuk dinamakan hadits Nabi.
Apakah hadits Nabi sama dengan sunnah Nabi. Secara umum hadits Nabi dapat dipahami identik dengan sunnah Nabi. Para ahli hadits dan banyak di antara kita menyamakan keduanya. Tetapi penyamaan ini sebenarnya terjadi akibat perkembangan yang dilalui oleh sunnah dan hadits Nabi. Untuk kepentingan fiqih dan penetapan hukum, para  Ulama Ushul Fiqih membedakannya. Mereka mengartikan sunnah Nabi sebagai segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw, selain al-Qur’an, baik berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi yang layak untuk dijadikan dalilhukum syar’I ( memiliki nilai hukum ). Jadi menurut ulama ushul , tidak semua hadits dapat dinyatakan sebagai sunnah Nabi
Pembedaan ini mempunyai arti yang penting , karena pada dasarnya sunnah Nabi itu, di samping diriwayatkan melalui kata (penuturan lisan), juga ada yang diriwayatkan (diwariskan) melalui perbuatan. Maksudnya sahabat mengamalkan langsung perbuatan yang pernah dilakukan Nabi tanpa menjelaskan dengan kata-kata bahwa peraktik itu berasal dari Nabi. Perbuatan ini selanjutnya ditiru oleh para Tabi’in secara langsung tanpa penjelasan verbal. Periwayatan/ pewarisan model demikian pada masa tersebut adalah sangat mungkin karena jarak zaman yang dekat dengan zaman Nabi, namun sesudah berselang lewat dari dua generasi, penuturan model pewarisan langsung (tanpa penjelasan verbal bahwa praktik itu berasal dari Nabi) ini, dihawatirkan mengalami distorsi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, maka sejak generasi ketiga (generasi Tabi’ tabi’in) terdapat ulama yang menetapkan bahwa setiap amal perbuatan yang dinyatakan sebagai sunnah Nabi, harus didukung oleh penjelasan verbal / riwayat lisan ( hadits ). Maka sejak saat itulah sunnah Nabi yang yang bersifat /amaliyah/ dikaitkan secara ketat dengan hadits Nabi, sehingga pada ahirnya sunnah dianggap identik dengan hadits. Dengan begitu sebenarnya hadits tidak selalu identik dengan sunnah. Namun karena perkembangan zaman, dan dalam rangka menjaga pertanggung jawaban sunnah Nabi maka suatu praktik yang dinyatakan sebagai sunnah Nabi harus didukung dengan periwayatan hadits. Itulah sebabnya maka hadits kemudian menjadi amat penting bagi sunnah Nabi. Siapapun yang ingin mengetahui sunnah Nabi harus terlebih dahulu melalui hadits Nabi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa jumhur ulama sering menggunakan kedua istilah (hadits Nabi dan sunnah Nabi) tersebut secara bergantian. Demikian pula antara keduanya dinyatakan memiliki hubungan kontinuitas, namun mempersamakan keduanya secara mutlak adalah merupakan sikap yang kurang tepat. Hadits adalah laporan verbal tentang prilaku dan  pemikiran  Nabi . Sedangkan sunnah Nabi merupakan way of life Nabi secara utuh. Ia merupakan keseluruhan prilaku , akhlaq dan kepribadian Nabi yang menjadi uswah hasanah, yang merupakan hasil pemahaman terhadap pesan Allah, dan teladan beliau dalam melaksanakan pesan suci tersebut. Hadits diketahui melalui penuturan verbal yang ditransmisikan melalui sanad, sedangkan sunnah diketahui selain melalui dokumen hadits  dan biografi Nabi , juga tidak kalah pentingnya melalui kajian sosio-historis dalam konteks mana tindakan dan ucapan Nabi itu hadir.
Terminologi Sunnah
Secara  harfiah sunnah berarti jalan  yang  ditempuh,  praktek   atau  jalan yang  terang.  Lebih  lanjut   juga digunakan  untuk menyatakan praktek normatif atau  prilaku yang mapan. Oleh sebab itu ia bisa bermakna teladan  yang baik atau teladan buruk yang diperlihatkan  oleh  individu  atau kelompok masyarakat. Cara di mana Allah bertindak terhadap generasi  masa lalu dalam al-Qur’an diistilahkan sebagai sunnah Allah Sedangkan sunnah generasi masa lalu merujuk kepada praktek dan adat istiadat atau tradisi mereka.
Secara  umum  sunnah diartikan juga sebagai  lawan  bid’ah. Oleh sebab  itu, seorang  bisa  disebut  ahl al-sunnah, apabila ia melakukan praktek yang sesuai dengan apa  yang dicontohkan Rasulullah  atau  sahabatnya,  baik bersumber pada  nash al-Qur’an atau  lainnya.  Sebaliknya seorang  disebut ahl al-bid’ah, bila ia melakukan  praktek keagamaan yang bertentangan dengan praktek Nabi.
Pemaknaan yang terakhir di atas memberikan  pemahaman bahwa   istilah sunnah mengacu kepada syari’at Islam itu sendiri  yang mencakup hukum-hukum al-Qur’an dan  al-hadis atau hukum-ukum yang diistinbathkan dari keduanya. Jadi ada  sunnah  yang bersumber pada al-Qur’an  dan  ada  yang bersumber dari Nabi saw. Dengan demikian terdapat sunnah ilahiyah (Qur’aniyah) dan sunnah nabawiyah.
Memperhatikan  pemaknaan  tersebut  di  atas,  sunnah (sunnah Rasul) berarti praktek atau tuntunan (jalan hidup) yang  dicontohkan  Nabi Muhammad, yang memiliki   nilai  normatif. Dalam literatur Yurisprudensi Islam, pemakaian  kata “sunnah”  bukan  hanya untuk  sunnah Nabi  saja,   tetapi dipergunakan pula untuk menyebut amal sahabat,baik perbuatan itu mengacu kepada al-Qur’an dan hadis Nabi  atau  berdasar hasil ijtihad.
Di  kalangan para ulama pemaknaan sunnah Nabi  secara terminologis, dimaksudkan sebagai perintah  dan  larangan Nabi  baik  bersifat qauliyah atau fi’liyah yang  secara eksplisit  tidak disebut dalam  al-Qur’an. Hanya  saja mereka memberi penekanan yang beragam. Ulama ahl  al-hadis yang memandang pribadi Nabi  sebagai  uswah   hasanah,   mengartikan  sunnah Nabi sebagai segala yang diriwayatkan tentang Nabi, baik berupa ucapan atau perbuatan, atau perbuatan sahabat yang diakuinya secara diam-diam (taqrir),  dan sifat-sifat Nabi serta karakter fisiknya Namun  ulama ushul fiqh,  tidak  memasukkan gambaran fisiknya,  dan   hanya  membatasi  pada  riwayat  tentang Nabi  yang  layak  untuk dijadikan dalil hukum syar’i saja. Sementara bagi  ulama fiqh,  istilah /sunnah/ bermakna nilai  perbuatan  syar’i,  sinonim dengan mandub; yaitu ketentuan agama yang harus diikuti tetapi tidak bersifat wajib atau fardlu.
Definisi  yang terahir di atas muncul belakangan  dan identik dengan pengertian al-hadis, Tokoh yang  disebut-sebut  sebagai  peletak dasar perumusan, yang  menyamakan  al-sunnah dengan  al-hadis adalah  Muhammad bin  Idris al-Syafi’i.  Baginya  sunnah Nabi  yang  dapat  dijadikan sumber hukum ialah yang datang dalam bentuk hadits,  dan dapat  dipertanggung jawabkan, walaupun  sifatnya habar wahid.
Memang,  tidak  bisa  diingkari  bahwa  jumhur  ulama sering menggunakan kedua   istilah (sunnah dan hadits) tersebut   secara bergantian. Demikian  pula  antara keduanya   terdapat kontinuitas.  Namun mempersamakan keduanya  secara  mutlak adalah  kurang tepat. Hadis adalah laporan verbal tentang prilaku dan pemikiran (ucapan) Nabi. Sedangkan sunnah Nabi adalah way of  life Nabi secara  utuh.  Ia merupakan  keseluruhan  prilaku,  akhlak dan kepribadian  Nabi yang menjadi uswah hasanah, yang  merupakan  hasil pemahaman terhadap pesan (wahyu) Allah, dan teladan  beliau  dalam melaksanakan  pesan tersebut. Hadis  diketahui  melalui penuturan   verbal yang  ditransmisikan melalui   sanad.  Sedangkan  sunnah diketahui selain dari dokumen hadis  dan biografi  Nabi, juga  tidak  kalah pentingnya  melalui kajian  sosio  historis, dalam konteks mana tindakan  dan ucapan Nabi itu hadir.
Bagaimana  hakekat  sunnah  Nabi.  Apakah  seluruhnya bersumber  dari wahyu atau  sebagiannya  merupakan  hasil ijtihad Nabi sendiri. Persoalan ini mengundang  perdebatan di kalangan para ulama. Istilah sunnah Nabi (sunnah Rasul) tidak terdapat dalam al-Qur’an. Tetapi phrase uswah  hasanah yang disebut dalam surat al-Ahzab ayat 2, boleh  jadi merupakan padanan yang terdekat dengan istilah sunnah Nabi. Al-Qur’an juga banyak menyebut   istilah  al-hikmah (kebijaksanaan) beriringan dengan al-Kitab  (al-Qur’an). Menurut al-Syafi’i  kata al-hikmah dalam konteks ini adalah sunnah  Nabi. Mirip dengan  pendapat ini ialah  riwayat dari Ibnu Abbas dan Qatadah bahwa makna al-hikmah adalah pemahaman Nabi tentang al-Qur’an.
Secara lebih rinci, Mahmud Saltut mengemukakan  bahwa apa  yang berasal dari Nabi  mempunyai  hubungan  dengan berbagai   kapasitas  dan fungsi yang disandangnya.  Oleh karena  menurut Mahmud Salthut sunnan  Nabi dikategorikan menjadi  dua  macam; yaitu sunnah tasyri’iyah dan ghairu                       tasyri’iyah. Sunnah  tasyri’iyah terdiri terdiri atas tiga  bagian sebagai berikut:
1.        Apa  saja  yang berasal dari  Nabi  dalam  kapasitasnya sebagai Rasul   yang bertugas   menyampaikan   missi  kenabiannya, sepertipenjelasan beliau terhadap maksud al-Qur’an,  tentang  hukum  halal  dan  haram,  tentang aqidah. dan ahlak atau hal-hal yang berkaitan  den­gannya.  Sunnah Nabi yang demikian ini mengikat  secara umum   kepada  setaip  individu  muslim sampai   hari qiyamat
2.    Apa  saja  yang berasal dari  Nabi  dalam  kapasitasnya sebagai pemimpin masyarakat muslim atau kepala  negara (imam), seperti pendistribusian kas negara,  pengiriman pasukan, pembagian rampasan, pengangkatan kepala daerah dan  lain  sebagainya. Sunnah Nabi  semacam  ini  tidak mengikat secara  umum sebelum  memperoleh   legalitas terlebih  dahulu dari kepala negara (imam). Dalam  kon­teks  ini  petunjuik  dan  bimbingan  Nabi disesuaikan dengan  situasi dan kondisi masyarakatnya.  Karena  itu bagi pemimpin yang lain dapat mempelajari nilai-nilai yang  terkandung didalamnya  untuk  diterapkan  sesuai dengan kondisi masing-masing.
3.    Apa  saja  yang  datang dari  Nabi  dalam  kapasitasnya sebagai hakim   (qadli) yang   memutuskan   perkara  perselisihan dan persengketaan yang terjadi di kalangan umat. Sunnah Nabi yang demikian ini juga tidak mengikat kepada setiap individu muslim secara langsung, sebelum memperoleh legalitas dari hakim.
Sedangkan /sunnah ghairu tasyri’iyah/ adalah apa  saja yang berasal dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai  basyar, meliputi:
1. Perbuatan  Nabi untuk memenuhi kebutuhan dasar  sebagai manusia, seperti makan, minum, tidur dan sebagainya.
2. Pengalaman keseharian Nabi yang berkaitan dengan urusan dunia, seperti pengetahuan tehnis mengenai  pertanian, perdagangan,  kesehatan dan sebagainya, atau  perbuatan Nabi   yang  bersumber  dari  kebiasaan  pribadi atau    masyarakatnya,  seperti  mode pakaian, cara  makan  dan sebagainya.
Menurut Mahmud Salthut sunnah Nabi dalam  hubungannya dengan kapasitas Nabi sebagai basyar ini tidak  berfungsi sebagai tasyri’ yang mengikat. Dari  penjelasan  di  atas,  sunnah  Nabi   dibedakan  menjadi :
1. Sunnah   Tasyri’iyah,   yaitu  sunnah   yang   bersifat penetapan  ajaran, yang mengikat kepada kaum  muslimin. Dalam hal initerdapat sunnah yang mengikat secara umum kepada setiap individu muslimsecara langsung, dan ada yang otoritasnya menunggu legalitas dari kepala negara (imam) atau hakim (qadli) terlebih dahulu.
2. Sunnah  ghairi  tasri’iyah,  yaitu  sunnah  yang  tidak bersifat sebagai penetapan ajaran agama yang  mengikat kaum muslimin.
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa sunnah  Nabi ada yang bersumber dari kerasulan Muhammad dan ada  sunnah Nabi yang berasal dari basyariyah Muhammad.





BAB III
PENUTUP
sunnan  Nabi dikategorikan menjadi  dua  macam; yaitu sunnah tasyri’iyah dan ghairu tasyri’iyah. Sunnah  tasyri’iyah terdiri terdiri atas tiga bagian sebagai berikut:
1.    Apa  saja  yang berasal dari  Nabi  dalam  kapasitasnya sebagai Rasul   yang bertugas   menyampaikan   missi  kenabiannya
2.    Apa  saja  yang berasal dari  Nabi  dalam  kapasitasnya sebagai pemimpin masyarakat muslim atau kepala  negara (imam),
3.    Apa  saja  yang  datang dari  Nabi  dalam  kapasitasnya sebagai hakim   (qadli) yang   memutuskan   perkara  perselisihan dan persengketaan yang terjadi di kalangan umat.
Sedangkan /sunnah ghairu tasyri’iyah/ adalah apa  saja yang berasal dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai  basyar, meliputi:
1. Perbuatan  Nabi untuk memenuhi kebutuhan dasar  sebagai manusia, seperti makan, minum, tidur dan sebagainya.
2. Pengalaman keseharian Nabi yang berkaitan dengan urusan dunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar