NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN,
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an IV
Oleh:
Muhyi Abdurrohim (082092011)
yang dibina oleh :
Bpk. Syafrudin Edi Wibowo, Lc. M.Ag.
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) JEMBER
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah
dipanjatkan kehadiran Allah Swt, dzat Yang Menciptakan Alam dan Seisinya, dzat
Yang menghidupkan dan mematikan, dzat Yang memperpanjang siang dan malam dengan
teratur, dialah satu-satunya dzat Yang wajib di sembah oleh hamba-hamba-Nya.
Dialah yang apabila berkehendak untuk mengangkat derajat hambanya tidak ada
siapapun yang mampu untuk mencegahnya dan apabila ingin menenggelamkan hambanya
tidak ada sesuatu apapun yang bisa menghalangginya.sholawat beserta salam
teruntuk nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman Jahiliah menuju
zaman Islamiah, zaman yang di ridhai oleh Allah SWT.
Dalam kesempatan ini,kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah
banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini, baik moril maupun materil.
Kami menyadari makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, karena tak ada gading yang tak retak. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga apa yang
kami telah uraikan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Al-quran
merupakan sumber hukum bagi umat Islam sekaligus mu’jizat Nabi Muhammad saw
yang diberikan oleh Allah swt. Al Quran berisi berbagai informasi keilmuan dan
mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia Selain itu keotentikan isinya juga
tidak bisa diragukan lagi. Semua yang terkandung di setiap ayat-ayatnya
mengandung kebenaran dan tidak ada kesalahan sedikit pun.
Keindahan
bahasanya sudah tidak dipungkiri lagi mengungguli ahli-ahli bahasa mana pun di
dunia. Bahasa Al Quran merupakan bahasa yang mengandung nilai kesusteraan yang
sangat tinggi. Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah tertentu untuk
memahami isi yang terkandung di dalamnya. Diantara kaidah-kaidah tersebut
adalah memahami ayat-ayat yang terdapat pertanyaan dan jawaban.
Apabila
kita perhatikan, banyak sekali di dalam Al quran ayat yang pasti maknanya
tetapi tidak sedikit juga ayat-ayat Al-Quran yang membutuhkan penjelasan dan
penafsiran dalam memaknai ayat-ayat tersebut, oleh karena itu penulis mencoba
untuk menjelaskan sedikit tentang : NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN
dalam Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah.
1.
Bagaimanakah kaidah-kaidah NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam
Al-Qur’an.?
2. Bagaimanakah
Contoh-contoh NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam Al-Qur’an.?
C. Manfaat.
1.
Untuk mengetahui kaidah-kaidah NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam
Al-Qur’an.
2.
Untuk mengetahui Contoh-contoh NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam
Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penjelasan Nash, Dzahir, Mujmal dalam Al Quran.
Nash secara etimologi adalah tinggi dan terang,
menurut terminologi adalah kata yang maknanya jelas karena tidak menerima
kemungkinan makna lain (ihtimal).
Dzahir secara etimologi adalah lawan dari pada
batin, sesuatu dianggap dzahir apa bila sudah jelas, ada yang berpendapat bahwa
menurut terminologi Zahir, adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang
segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang
lemah (marjuh), menurut istilah Zhahir, paling rendah tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan
adanya makna lain (ihtimal).
Mujmal secara etimologi adalah berkumpul menurut
terminologi ulama salaf adalah kata yang membutuhkan kata lain, menurut ulama
ushul Mujmal (global) yaitu lafazh yang
maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak
mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan
sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan).
Qaidah I
Lafadz-lafadz al-quran dari
sisi dilalahnya (petunjuknya) yaitu makna berdasarkan bunyi eksplisit
yang tersurat (tekstual) terbagi menjadi tiga katagori;
1.
Nash, yaitu lafazh yang bentuknya sendiri telah
dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas (sharih) dan pasti, tidak
mengandung kemungkinan makna lain. katagori ini pun terbagi menjadi tiga,
yaitu; a. makna yang dimaksud secara jelas (sharih) dan pasti, Contoh:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلا خَمْسِينَ
عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ
وَهُمْ ظَالِمُونَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh
kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir
besar, dan mereka adalah orang-orang yang lalim
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ
لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ
أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Dan telah Kami
janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh
malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka
sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ
Muhammad itu adalah utusan Allah
b. ada kemungkinan
menunjukkan makna lain tetapi
tidak ada dalil yang menjelaskanya, Contoh:
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى
تَكْلِيمًا
Dan Allah telah
berbicara kepada Musa dengan langsung.
Ayat ini secara
jelas menerangkan bahwa Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung, ada
kemungkinan berarti Allah menyisipkan hikamah kepada Musa seperti tuduhan
sebagian kaum muktazilah tetapi kemungkinan ini tidak ada dasarnya.
c. ada kemungkinan
menunjukkan makna lain yang
dzahir tetapi sudah terbiasa dalam al-quran memakai kata itu pada satu makna
maka menempatkan lafal tersebut menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas
dan pasti, Contoh:
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
dan Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah bersifat
Tinggi Zdat dan derajatnya, kaum jahmiyah mengartikan bahwa Dzat Allah tinggi
bersemayam diatas Arsy dan sifat-sifat lain yang tidak pantas dinisbatkan
kepada Allah SWT.
2.
Dzahir, Dzahir ada dua katagori; a. Dzahir karena
penetapan syara’ seperti sholat puasa
وَآتُوا الزَّكَاةَ
dan Dzahir karena penetapan lughat (bahasa)
seperti Amr yang berarti perintah, bisa wajib bisa jg sunnah.
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
b. Dzahir dengan dalil
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
3. Mujmal, menurut pendapat yang sahihi Mujmal terjadi dalam ayat-ayat
al-quran, Mujmal ada dua katagori, yaitu; a. Mujmal yang tidak diketahui dalam
syara’ maupun lughat, hukumnya tidak boleh mengartikanya sebelum menemukan
penafsiranya,
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا
يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
dan tunaikanlah
haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah
kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera,
b. Mujmal yang diketahui dalam
lughat saja tidak dalam syara’.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
Nash Mujmal sangat membutuhkan
penjelasa kalua tidak demikian maka akan timbul kemungkinan kemungkinan yang
luas yang banyak yang tidak mendasar, Cara memberi penjelasan ada dua, yaitu;
a. Harus diupayakan penjelasanya melalui khitab yang lain baik secarah terpisah
ataupun tidak, b. yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan
yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti
Qaidah II
Masalah yang ada kaitanya
dengan usuluddin (dasar agama) telah dijelaskan secara gamlang dan jelas dalam
Al-Qur’an, ini berbeda dengan para filosof dan ahl-al-kalam, menurut mereka
masalah yang ada kaitanya dengan aqidah masih bisa dipelintir dan diputar balik
karena bersifat remang-remang karena menurut mereka apapun yang bersifat ilmu,
termasuk masalah aqidah dan ushuludin bisa dijangkau oleh akal fikir serta
logika mereka yang buta dan jauh dari hidayah.
Adapun pemberitahuan Al-Qur’an
dengan hukum-hukum yanga tidak ada kaitanya dengan aqidah maka bersifat kulli
(universal) bukan juz;i (local) hal ini dibenarkan setelah melalui penelitian
yang panjang bahwa Al-Qur’an membutuhkan penjelasan dan As-Sunnah yang tidak
terhitung banyaknya dan permasalahnya menjelaskan apa yang belum jelas dalam
Al-Qur’an, secara logika Al-Qur’an yang hanya terbatas pada 30 juz saja itu
sudah mencakup segala permasalahan umat manusia karena Al-Qur’an sudah mencakup
permasalahan-permasalahan yang universal, syari’at islam pun sempurna dengan
sempurnanya wahyu yang terahir ini, menurut Imam Syafi’i “ tidak lah terjadi
suatu apapun bagi siapa saja melainkan sudah ada landasan hukumnya dalam
Al-Qur’an, Maka suatu kewajiban bagi siapa saja untuk tidak meninggalkan Sunnah
Rasulullah yang menjdi penafsir dan menjelaskan apa-apa yang belum jelas dalam
Al-Qur’an.
Contoh masalah aqidah:
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا
فِي الأرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ
مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ
وَمَا خَلْفَهُمْ وَلا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَلا
يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ
الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Allah, tidak
ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus
menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya
apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah
tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ
الرَّحِيمُ
Dia-lah Allah
Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib
dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ
الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ
الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dia-lah Allah
Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang
Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha
Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari
apa yang mereka persekutukan
هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Dia-lah Allah
Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai
Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di
bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Contoh masalah hukum-hukum
yang tidak ada kaitanya dengan aqidah;
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ
Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat
Dalam ayat ini
tidak dijelaskan syarat-syart sholat maupun zakat.
Qaidah III
Setiap takwil yang
mengahpus Nash hukumnya batal
. Mu’awwal, adalah lafazh yang diartikan dengan
makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna
yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna
yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh,
sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang
memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini
ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat.ini pengertian ulama
ushul sedangkan menurutulam salap muawwl ada dua, yaitu a. Hakikat sesuatu yang
menjadi awal, b. Tafsir dan penjelasan, penafsiran sendiri ada beberapa macam
dan syrat-syarat, dan qaidah ini termasuk takwil yang ditolak, yaitu ada dua
macam takwil: a. Menggunakan lafal atau kalimat tidak pada makna sebenarnya
karena disangka ada dalil oleh sipengguna padahal bukan dalil, Contoh:
فَمَن ْ لمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا
Maka siapa yang
tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ
مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِخُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَىوَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ
بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا
عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat
kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah,
Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil, jika
kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
b. Menggunakan lafal atau kalimat tidak
pada makna sebenarnya tanpa dalil sama sekali, Contoh:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا
أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا
قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada
kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?"
Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah
seorang dari orang-orang yang jahil".
Orang-orang syi’ah
mentakwil Baqarah dalam ayat ini dengan A’isyah ra.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ
أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ
الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُون لِلَّذِينَ
كَفَرُوا هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا َ
Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab? Mereka
percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang
beriman.
Orang-orang syi’ah
mentakwil al-jibti dan al-thoghut dengan Abu Bakar dan Umar.
Qaidah IV
Lafal yang mubham dalam Al-quran tidak
boleh menyamakan hukumya dengan Mujmal yang diperjelas, Mubham yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada lafazh
itu sendiri. Contoh:
وَأُمَّهَاتُ
نِسَائِكُمْ
Dalam ayat ini
Allah mensamarkan ibu mertua yang dijima’ atau tudak, maka hukumnya tetap di
jima’ atau tidak ibu mertua tetap haram, dan tidak boleh di qias pada anak tiri
perempuan yang boleh dinikahi asalkan
ibunya tidak dijima’.
فَفِدْيَةٌ
مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
Qaidah V
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an apa bila ada
penjelasan setelah Ibham menandakan sesuatu yang agung, Comtoh:
كَلا
سَوْفَ تَعْلَمُونَ ثُمَّ كَلا
سَوْفَ تَعْلَمُونَ كَلا لَوْ
تَعْلَمُونَ عِلْمَ
الْيَقِينِ لَتَرَوُنَّ الْجَحِيم
BAB III KESIMPULAN
Dari
penjelasan sedikit diatas Dapat kita simpulkan,
1. Dalam memahami
makna kalimat Al-Quran yang hendak ditafsirkan kita harus mengerti
beberapa kaidah-kaidah yang erat kaitannya dengan pemahamanya seperti tentang NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam
Al-Qur’an.
2. NASH,
DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam Al-Qur’an.dalam Al-Quran terdapat Lima Qaidah.
3. NASH,
DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam Al-Qur’an adalah salah satu
kaidah yang menjadi salah satu syarat bagi Mufassirin ( Ahli Tafsir Al-Quran).
BAB IV DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuti, Al-Itqan Toha Putra Semarang.
Al-Banani, al-Juma’, Bairut. Bairut, Lebanon
Ibnu Badaran, al-Masdkhal, Bairut, Lebanon.
Khalid Ustman As-Sabt, Qawa'id
at-Tafsir, Bairut, Lebanon.
Az-Zarkasyi, Al-Burhan, Bairut,
Lebanon
Az-Zajjaj, Ma’ani Al-Quran Bairut, Lebanon
تالنالنغا
BalasHapus