Kamis, 29 Maret 2012

NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN, MAKALAH


NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN,

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Qur’an IV



Oleh:

Muhyi Abdurrohim (082092011)

 

yang dibina oleh :

Bpk. Syafrudin Edi Wibowo, Lc. M.Ag.




JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

2011


KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah dipanjatkan kehadiran Allah Swt, dzat Yang Menciptakan Alam dan Seisinya, dzat Yang menghidupkan dan mematikan, dzat Yang memperpanjang siang dan malam dengan teratur, dialah satu-satunya dzat Yang wajib di sembah oleh hamba-hamba-Nya. Dialah yang apabila berkehendak untuk mengangkat derajat hambanya tidak ada siapapun yang mampu untuk mencegahnya dan apabila ingin menenggelamkan hambanya tidak ada sesuatu apapun yang bisa menghalangginya.sholawat beserta salam teruntuk nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman Jahiliah menuju zaman Islamiah, zaman yang di ridhai oleh Allah SWT.
Dalam kesempatan ini,kami mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini, baik moril maupun materil.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga apa yang kami telah uraikan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.



Penulis








BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Al-quran merupakan sumber hukum bagi umat Islam sekaligus mu’jizat Nabi Muhammad saw yang diberikan oleh Allah swt. Al Quran berisi berbagai informasi keilmuan dan mengayomi segala bentuk kemaslahatan manusia Selain itu keotentikan isinya juga tidak bisa diragukan lagi. Semua yang terkandung di setiap ayat-ayatnya mengandung kebenaran dan tidak ada kesalahan sedikit pun.
Keindahan bahasanya sudah tidak dipungkiri lagi mengungguli ahli-ahli bahasa mana pun di dunia. Bahasa Al Quran merupakan bahasa yang mengandung nilai kesusteraan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, diperlukan kaidah-kaidah tertentu untuk memahami isi yang terkandung di dalamnya. Diantara kaidah-kaidah tersebut adalah memahami ayat-ayat yang terdapat pertanyaan dan jawaban.
Apabila kita perhatikan, banyak sekali di dalam Al quran ayat yang pasti maknanya tetapi tidak sedikit juga ayat-ayat Al-Quran yang membutuhkan penjelasan dan penafsiran dalam memaknai ayat-ayat tersebut, oleh karena itu penulis mencoba untuk menjelaskan sedikit tentang : NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah.
1. Bagaimanakah kaidah-kaidah NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam Al-Qur’an.?
2. Bagaimanakah Contoh-contoh NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam Al-Qur’an.?


C. Manfaat.
1. Untuk mengetahui kaidah-kaidah NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui Contoh-contoh NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penjelasan Nash, Dzahir, Mujmal dalam Al Quran.
Nash secara etimologi adalah tinggi dan terang, menurut terminologi adalah kata yang maknanya jelas karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal).
Dzahir secara etimologi adalah lawan dari pada batin, sesuatu dianggap dzahir apa bila sudah jelas, ada yang berpendapat bahwa menurut terminologi Zahir, adalah lafazh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh), menurut istilah Zhahir, paling rendah  tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain (ihtimal).
Mujmal secara etimologi adalah berkumpul menurut terminologi ulama salaf adalah kata yang membutuhkan kata lain, menurut ulama ushul  Mujmal (global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan).
Qaidah I
Lafadz-lafadz al-quran dari sisi dilalahnya (petunjuknya) yaitu makna berdasarkan bunyi eksplisit yang tersurat (tekstual) terbagi menjadi tiga katagori;
1.               Nash, yaitu lafazh yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas (sharih) dan pasti, tidak mengandung kemungkinan makna lain. katagori ini pun terbagi menjadi tiga, yaitu; a. makna yang dimaksud secara jelas (sharih) dan pasti, Contoh:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang lalim
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ
Muhammad itu adalah utusan Allah
b. ada kemungkinan menunjukkan makna lain tetapi tidak ada dalil yang menjelaskanya, Contoh:
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.
Ayat ini secara jelas menerangkan bahwa Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung, ada kemungkinan berarti Allah menyisipkan hikamah kepada Musa seperti tuduhan sebagian kaum muktazilah tetapi kemungkinan ini tidak ada dasarnya.
c. ada kemungkinan menunjukkan makna lain yang dzahir tetapi sudah terbiasa dalam al-quran memakai kata itu pada satu makna maka menempatkan lafal tersebut menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas dan pasti, Contoh:
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah bersifat Tinggi Zdat dan derajatnya, kaum jahmiyah mengartikan bahwa Dzat Allah tinggi bersemayam diatas Arsy dan sifat-sifat lain yang tidak pantas dinisbatkan kepada Allah SWT.
2.               Dzahir, Dzahir ada dua katagori; a. Dzahir karena penetapan syara’ seperti sholat puasa
وَآتُوا الزَّكَاةَ
dan Dzahir karena penetapan lughat (bahasa) seperti Amr yang berarti perintah, bisa wajib bisa jg sunnah.
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
 b. Dzahir dengan dalil
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
3. Mujmal, menurut pendapat yang sahihi Mujmal terjadi dalam ayat-ayat al-quran, Mujmal ada dua katagori, yaitu; a. Mujmal yang tidak diketahui dalam syara’ maupun lughat, hukumnya tidak boleh mengartikanya sebelum menemukan penafsiranya,
وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,
b. Mujmal yang diketahui dalam lughat saja tidak dalam syara’.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
Nash Mujmal sangat membutuhkan penjelasa kalua tidak demikian maka akan timbul kemungkinan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mendasar, Cara memberi penjelasan ada dua, yaitu; a. Harus diupayakan penjelasanya melalui khitab yang lain baik secarah terpisah ataupun tidak, b. yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti

Qaidah II
Masalah yang ada kaitanya dengan usuluddin (dasar agama) telah dijelaskan secara gamlang dan jelas dalam Al-Qur’an, ini berbeda dengan para filosof dan ahl-al-kalam, menurut mereka masalah yang ada kaitanya dengan aqidah masih bisa dipelintir dan diputar balik karena bersifat remang-remang karena menurut mereka apapun yang bersifat ilmu, termasuk masalah aqidah dan ushuludin bisa dijangkau oleh akal fikir serta logika mereka yang buta dan jauh dari hidayah.
Adapun pemberitahuan Al-Qur’an dengan hukum-hukum yanga tidak ada kaitanya dengan aqidah maka bersifat kulli (universal) bukan juz;i (local) hal ini dibenarkan setelah melalui penelitian yang panjang bahwa Al-Qur’an membutuhkan penjelasan dan As-Sunnah yang tidak terhitung banyaknya dan permasalahnya menjelaskan apa yang belum jelas dalam Al-Qur’an, secara logika Al-Qur’an yang hanya terbatas pada 30 juz saja itu sudah mencakup segala permasalahan umat manusia karena Al-Qur’an sudah mencakup permasalahan-permasalahan yang universal, syari’at islam pun sempurna dengan sempurnanya wahyu yang terahir ini, menurut Imam Syafi’i “ tidak lah terjadi suatu apapun bagi siapa saja melainkan sudah ada landasan hukumnya dalam Al-Qur’an, Maka suatu kewajiban bagi siapa saja untuk tidak meninggalkan Sunnah Rasulullah yang menjdi penafsir dan menjelaskan apa-apa yang belum jelas dalam Al-Qur’an.
Contoh masalah aqidah:

اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَلا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.


هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan


هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Contoh masalah hukum-hukum yang tidak ada kaitanya dengan aqidah;

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat
Dalam ayat ini tidak dijelaskan syarat-syart sholat maupun zakat.
Qaidah III

Setiap takwil yang mengahpus Nash hukumnya batal
.  Mu’awwal, adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh, sedangkan mu’awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat.ini pengertian ulama ushul sedangkan menurutulam salap muawwl ada dua, yaitu a. Hakikat sesuatu yang menjadi awal, b. Tafsir dan penjelasan, penafsiran sendiri ada beberapa macam dan syrat-syarat, dan qaidah ini termasuk takwil yang ditolak, yaitu ada dua macam takwil: a. Menggunakan lafal atau kalimat tidak pada makna sebenarnya karena disangka ada dalil oleh sipengguna padahal bukan dalil, Contoh:
فَمَن ْ لمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا

Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِخُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَىوَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
b. Menggunakan lafal atau kalimat tidak pada makna sebenarnya tanpa dalil sama sekali, Contoh:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".
Orang-orang syi’ah mentakwil Baqarah dalam ayat ini dengan A’isyah ra.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُون لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلا َ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.
Orang-orang syi’ah mentakwil al-jibti dan al-thoghut dengan Abu Bakar dan Umar.

Qaidah IV

            Lafal yang mubham dalam Al-quran tidak boleh menyamakan hukumya dengan Mujmal yang diperjelas, Mubham yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada lafazh itu sendiri. Contoh:
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
      Dalam ayat ini Allah mensamarkan ibu mertua yang dijima’ atau tudak, maka hukumnya tetap di jima’ atau tidak ibu mertua tetap haram, dan tidak boleh di qias pada anak tiri perempuan  yang boleh dinikahi asalkan ibunya tidak dijima’.
فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
Qaidah V

            Dalam ayat-ayat Al-Qur’an apa bila ada penjelasan setelah Ibham menandakan sesuatu yang agung, Comtoh:
كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ثُمَّ كَلا سَوْفَ تَعْلَمُونَ كَلا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ لَتَرَوُنَّ الْجَحِيم













BAB III KESIMPULAN
            Dari penjelasan sedikit diatas Dapat kita simpulkan,
1.  Dalam memahami   makna kalimat Al-Quran yang hendak ditafsirkan kita harus mengerti beberapa kaidah-kaidah yang erat kaitannya dengan pemahamanya seperti tentang  NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam Al-Qur’an.

2.   NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam Al-Qur’an.dalam Al-Quran terdapat Lima Qaidah.
3.   NASH, DHOHIR, MUAWWAL, MUJMAL DAN MUBAYYAN dalam Al-Qur’an adalah salah satu kaidah yang menjadi salah satu syarat bagi Mufassirin ( Ahli Tafsir Al-Quran).
















BAB IV DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuti, Al-Itqan  Toha Putra Semarang.

Al-Banani, al-Juma’, Bairut. Bairut,  Lebanon

Ibnu Badaran, al-Masdkhal, Bairut,  Lebanon.

Khalid Ustman As-Sabt, Qawa'id at-Tafsir, Bairut, Lebanon.

Az-Zarkasyi, Al-Burhan, Bairut, Lebanon

Az-Zajjaj, Ma’ani Al-Quran Bairut, Lebanon

1 komentar: