Imam al-Nasa’i
(215-303 H)
Nama lengkap
Imam al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin
Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H.
Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H.
Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi
bisu kelahiran seorang ahli hadis kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun
sebuah kitab monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian
hari kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Pengembaraan
intelektual
Pada awalnya,
beliau tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal
al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak
menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat
remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai
gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan
untuk guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadis dan ilmu Hadis.
Belum genap usia
15 tahun, beliau sudah melakukan mengembar ke berbagai wilayah Islam, seperti
Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan
intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal
yang aneh dikalangan para Imam Hadis. Semua imam hadis, terutama enam imam
hadis, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan
ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri
khas ulama-ulama hadis, termasuk Imam al-Nasa’i.
Kemampuan
intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa
pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’
tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau
mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya
dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.
Guru dan murid
Seperti para
pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam
al-Tirmidzi, Imam al-Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid.
Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain;
Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, al-Harits bin
Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam
Abu Isa al-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi).
Sementara
murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau,
antara lain; Abu al-Qasim al-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu
Ja’far al-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin
al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr al-Dalaby, dan Abu Bakrbin Ahmad al-Sunni. Nama
yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai
“penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.
Sudah mafhum
dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis merupakan sosok
yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa
ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya tulis yang
tak terhingga nilainya.
Tidak
ketinggalan pula Imam al-Nasa’i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada
kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra,
al-Sunan al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan
al-Kubra), al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah
keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami
al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab
Syafi’i.
Kitab al-Mujtaba
Sekarang,
karangan Imam al-Nasa’i paling monumental adalah Sunan al-Nasa’i. Sebenarnya,
bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau
sehingga menjadi Sunan al-Nasa’isebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui
proses panjang, dari al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra, al-Mujtaba, dan
terakhir terkenal dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.
Untuk pertama
kali, sebelum disebut dengan Sunan al-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan al-Sunan
al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab
ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir
kemudian bertanya kepada al-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis
shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula
yang hampir serupa dengannya”.
Kemudian Amir
berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadis yang
shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi
dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab al-Sunan al-Kubra. Dan
akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap al-Sunan al-Kubra,
sehingga menjadi al-Sunan al-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa
dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang
pertama.
Imam al-Nasa’i
sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab pertama.
Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab al-Sunan al-Sughra dibawah
derajat Shahih al-Bukharidan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit
sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadis-hadis yang
termuat di dalam kitab kedua (al-Sunan al-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan
yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan
al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang
terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis
hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.
Di samping al-Mujtaba,
dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada
masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama al-Sunan
al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba
inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i, sebagaimana
kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan
mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.
Kritik Ibn
al-Jauzy
Kita perlu
menilai jawaban Imam al-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis,
dimana beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadis-hadis yang tertuang
dalam kitabnya tidak semuanya shahih, tapi adapula yang hasan, dan ada pula
yang menyerupainya. Beliau tidak mengatakan bahwa didalamnya terdapat hadis
dhaif (lemah) atau maudhu(palsu). Ini artinya beliau tidak pernah memasukkan
sebuah hadispun yang dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu’, minimal menurut
pandangan beliau.
Apabila setelah
hadis-hadis yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai
permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya menuliskan hadis yang berkualitas
shahih semata. Dari sini bisa diambil kesimpulan, apabila hadis hasan saja
tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadis yang berkualitas dhaif dan maudhu’
tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadis-hadis shahih.
Namun demikian,
Ibn al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa
hadis-hadis yang ada di dalam kitab al-Sunan al-Sughra tidak semuanya
berkualitas shahih, namun ada yang maudhu’(palsu). Ibn al-Jauzy menemukan
sepuluh hadis maudhu’ di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap
kredibilitas al-Sunan al-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadis
itu semua shahih menurut Imam al-Nasa’i. Adapun orang belakangan menilai hadis
tersebut ada yang maudhu’, itu merupakan pandangan subyektivitas penilai. Dan
masing-masing orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas
sebuah hadis. Demikian pula kaidah yang ditawarkan Imam al-Nasa’i dalam menilai
keshahihan sebuah hadis, nampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh
Ibn al-Jauzy. Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan
itu sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan
kesimpulan yang berbeda pula.
Kritikan pedas
Ibn al-Jauzy terhadap keautentikan karya monumental Imam al-Nasa’i ini,
nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadis abad
ke-9, yakni Imam Jalal al-Din al-Suyuti, dalamSunan al-Nasa’i, memang terdapat
hadis yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam
al-Suyuti tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadis maudhu’ yang
termuat dalamSunan al-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam
Ibn al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwah hadis yang ada di
dalam kitab Sunan al-Nasa’i semuanya berkualitas shahih, ini merupakan
pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah_tidak didukung oleh penelitian
mendalam dan jeli. Kecuali maksud pernyataan itu bahwa mayoritas (sebagian
besar) isi kitab Sunan al-Nasa’i berkualitas shahih.
Komentar Ulama
Imam al-Nasa’i
merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para
periwayat hadis. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam
proses penyeleksian hadis-hadis yang diterimanya. Abu Ali al-Naisapuri pernah
mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam
hadis yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abd al Rahman
al-Nasa’i.”
Lebih jauh lagi
Imam al-Naisapuri mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan al-Nasa’i dalam
menilai para periwayat hadis lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang
digunakan Muslim bin al-Hajjaj.” Ini merupakan komentar subyektif Imam
al-Naisapuri terhadap pribadi al-Nasa’i yang berbeda dengan komentar ulama pada
umumnya. Ulama pada umumnya lebih mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim
bin al-Hajjaj ketimbang al-Nasa’i. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah
yang memposisikan Imam Muslim sebagai pakar hadis nomer dua, sesudah
al-Bukhari.
Namun demikian,
bukan berarti mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam al-Nasa’i. Imam
al-Nasa’i tidak hanya ahli dalam bidang hadis dan ilmu hadis, namun juga
mumpuni dalam bidang figh. Al-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah
seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang figh pada masanya dan
paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata,
“Pendapat-pendapat Abu Abd al-Rahman mengenai fiqh yang diambil dari hadis
terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan
mengkaji kitabSunan al-Nasa’i, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan
kata-katanya.”
Tidak ditemukan
riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fiqh beliau, kecuali komentar
singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan Ibn al-Atsir ini dapat dimengerti dan
difahami, karena memang Imam al-Nasa’i lama bermukim di Mesir, bahkan merasa
cocok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyik setahun
menjelang kewafatannya.
Karena Imam
al-Nasa’i cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam al-Syafi’i juga lama
menyebarkan pandangan-pandangan fiqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari
Bagdad), maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena al-Nasa’i
baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan Imam al-Syafi’i, tidak menutup
kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafi’i yang beliau serap
melalui murid-murid Imam al-Syafi’i yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam
al-Syafi’i lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka
peluang bagi Imam al-Nasa’i untuk bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafi’i.
Dan ini akan menguatkan dugaan Ibn al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh
al-Nasa’i.
Pandangan
Syafi’i di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid(pandangan baru). Dan
ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan fiqh
Syafi’i dan al-Nasa’i lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir)
ketimbang pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).
Namun demikian,
tidak menutup kemungkinan bahwa Imam al-Nasa’i merupakan sosok yang
berpandangan netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fiqh manapun,
termasuk pandangan Imam al-Syafi’i. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam
hadis sebelum al-Nasa’i, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadis. Dan
independensi pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadis. Oleh karena
itu, untuk mengklaim pandangan Imam al-Nasa’i telah terkontaminasi oleh
pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah yang konkrit,
bukannya hanya berdasarkan dugaan.
Tutup Usia
Setahun
menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya
tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni
mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah.
Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi
al-Mishri.
Sementara ulama
yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan,
Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini
didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar
al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun
303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai
Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna
menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amiiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar