QIRA’AT SABA’AH
MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
ULUMUL QUR’AN
Oleh:
Muhyi Abdurrohim
Farid Ahmad Riyanto
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADIST
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) JEMBER
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Yang
telah memberi rahmat serta hidayahnya kepada kita sehingga sampai detik ini
kita masih diberi kenikmatan terbesar berupa iman dan islam sehingga kita bisa
meningkat takwa kita kepadanya.
Solawat serta salam, Semuga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang selalu membimbing kita untuk selalu berada dijalanya sehingga kita
menjadi umatnya yang dipilih untuk melestarikan wahyunya hingga ahir zaman.
Makalah ini disusun selain untuk
memenuhi tugas mata kuliah “ ULUMUL QURAN “ juga untuk mengasah kemampuan kami
untuk selalu mendalami Al-Quran, memahaminya dan membumikanya.
Penulis menyadarinya bahwa masih
jauh dari kesempurnaan dan penuh kekurangan, sebagai pemula penulis
mengharapkan bantuan dari semua pihak demi menambah wawasan berpikir dan
intelektualitas untuk kemajuan bersama.
Jember,06
Oktober 2009
Penulis
MUQADDIMAH
Bangsa Arab merupakan komunitas dari
berbagai suku yang secara seporadis tersebar di sepanjang Jazirah Arabiyah,
Setiap suku mempunyai format dialeg (lahjah) yang tipikal dan berbeda dengan
suku-suku yang lainya, suku-suku tersebut adalah Quraisy, Hudzail, Tamim,
Al-Azd, Rabi’ah, Hawazin dan Sa’ad bin Abi Bakar, Perbedaan dialek itu tentunya
sesuai dengan letak geokrafis dan sosio-kultural dari masing-masing suku, Namun
karena mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common
language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah dan melakukan
bentuk interaksi lainya, Maka dari kenyataan di atas Ibnu Qutaibah menegaskan
bahwa Al-Quran di turunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy, walaupun mendapat
ini masih menjadi perselisihan, tetapi kebanyakan ulama, sepakat dengan
pernytaan Qutaibah tersebut, al-itqan, juz 1: 47.
Disisi lain perbedaan-perbedaan
dialek (lahjah) tersebut membawa konsekwensi lahirnya bermacam-macam bacaan
(Qiraat) dalam melafalkan Al-Quran, Lahirnya bermacam-macam qiraat itu sendiri
dengan melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami (natural),
artinya tidak dapat dihindari lagi, Oleh karena itu Rasululloh SAW. Sendiri
membenarkan membaca Al-Quran dengan berbagai macam Qiraat, Abu Hatim
As-Sajsatani menuturkan Bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa tujuh suku
tersebut diatas (Quraury, Hudzail, Tamim, Al-Azd, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’ad
bin Abi Bakar), hal ini berlandasan pada Sabda Nabi SAW.: Al-Quran di turunkan
dengan tujuh huruf (nuzilal quranu ala sab’ati ahrufin) al itqan juz 1 : 73.
kendati Ulama’ Qurra’ di antaranya Abu Syamah dalam kitabnya, Al-Quran Wal
Wajiz, menolak muatan hadis tersebut sebagai justifikasi qiraat sab’ah, tetapi
konteks hadis itu sendiri memberikan peluang untuk dijadikan landasan bahwa
Al-Quran dibaca dengan berbagai ragam qiraah.
Imam Assuyuti dalam kitabnya al
itqan menuturkan, bahwa orang pertama kali yang menulis kitab tentang qiraat
adalah ‘Abaid Al Qasim Bin Salam (w. 224 H.), yang kemudian diikuti oleh Ahmad
Bin Jubair Al-Kufi, Ismail Bin Ishaq Al-Maliki, Abu Ja’far Bin Jarir
Ath-Thabrani, Abu Bakar Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Umar Ad-Dajuni dan Abu Bakar
Bin Mujahid, Setelah itu muncullah karya-karya qiraat yang beragam, Thabaqah
(hirarki) mereka di dokomentasikan oleh Hafizh Al-Islam Abu Abdillah Adz-Dzahbi
dan Hafizh Al-Quran , Abul Khair Ibnu Al-Jazari (w. 833 H.) al itqan juz 1: 73.
PENGERTIAN AL-QIRAAT
Berdasarkan etimologi (bahasa),
Qiraat merupakan kata jadian (masdar) dari kata kerja Qara’a, Sedangkan
berdasarkan pengrtian terminologi (istilah) ada beberapa difinisi yang
diintrodusir Ulama Qurra’, Sedangkan kata sab’ah adalah bilangan yang berarti
tujuh yang disandarkan pada bacaan sesuai dengan jumlah imam-imamnya, sedangkan
definisi tersebut. adalah:
1. Menurut Ibn Al-Jazari , Qiraat adalah ilmu yang menyangkut
cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Quran dan prebedaan-perbedaanya dengan cara
menisbatkan kepada penukilnya.
2.
Menurut Az-Zarkasi, adalah perbedaan cara
mengucapkan lafazh-lafazh Al-Quran baik
menyangkut huruf-hurufnya maupun pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti
takhfif (meringankan), tafhim (memberatkan)dan atau yang lainya.
3.
Menurut Ash-Shabuni, Adalah suatu madzhab cara
pelafalan Al-Quran yang dianut oleh
salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung pada Nabi Muhammad
SAW.
4.
Menurut Az-Zarqani, Madzhab yang dianut oleh
seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainya dalam pengucapan Al-quran serta
sesuai dengan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya baik dalam bentuk hurif-huruf
ataupun bentuk-bentuk lainya.
Perbedaan
cara mendifinisian diatas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu
bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun berada pada satu sumber,
yaitu Muhammad SAW. Adapun difinisi yang di kemukakan Al-Qastholani, adalah
menyangkut ruang lingkup perbedaan diantara beberapa qiraat yang ada, Dengan
demikian, ada tiga unsur qiraat yang bisa ditangkap dari difinisi diatas yaitu:
1.
Qiraat berkaitan dengan cara pelalafalan ayat-ayat
Al-Quran yang dilakukan seorang imam dan berbeda dengan yang dilakukan
imam-imam yang lain
2.
Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan
atas riwayat yang bersambung dengan Nabi Muhammad Saw., jadi bersifat taukifi
bukan ijtihadi.
3.
Ruang lingkup Qiraat itu menyangkut perseolan
lughat, hadzaf, i’rab, fashal dan washal.
AWAL MULA TIMBUL PERBEDAAN QIRAAT
Prbedaan Qiraat sebenarnya telah
muncul sejak masa Nabi Mhammad SAW., walaupun pada saat itu qiraat bukan
merupakan sebuah disiplin ilmu, Ada
beberapa riwayat yang mendukung asumsi ini, diantaranya:
Suatu ketika Umar Bin Al Khaththab
bebeda pendapat dengan Hisyam Bin Hakim
ketika membaca Al-Quran, Umar merasa tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu
ia membaca surat Al-Furqan, menurut Umar bacaan Hisyam itu tidak benar dan
bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya, Namun Hisyam menegaskan
juga, bahwa bacaanya pun berasal dari Nabi, Seusai Sholat Hisyam diajak
menghadap Nabi SAW. untuk melaporkan kejadian tersebut, Kemudian Nabi menyuruh
Hisyam mengulangi bacaanya sewaktu sholat tadi, setelah Hisyam melakukanya Nabi
bersabda: Memang begitulah Al-Quran diturunkan, Sesungguhnya Al-Quran
diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap
mudah dari tujuh huruf itu.
Di dalam sebuah riwayatnya yang
lain, Ubay pernah bercerita, yang berkaitan dengan Qiraat, “Aku masuk ke masjid
untuk mengerjakan sholat, kemudian datanglah seseorang dan dia membaca surat
An-Nahal, tetapi bacaanya berbeda dengan bacaanku, Setelah dia selesai aku
bertanya, “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” dia menjawab, “
Rasululloh “ Kemudian datanglah orang lain dan mengerjakan sholat, membaca
surat An-Nahal ayat 16 tetapi bacaanya berbeda dengan bacaanku dan bacaan orang
pertama, Setelah sholatya selesai aku bertanya, Siapakah yang membaca ayat itu
kepadamu? Dia menjawab “ Rasululloh “ Kemudian aku mengajak dua orang tersebut
menghadap Nabi, setelah menghadap, Nabi menyuruh kedua orang tersebut membaca
ayat yang tadi di bacanya, setelah keduanya membaca ayat itu, Nabi sama-sama
membenarkan bacaan kedu orang tersebut.
Di
masa sehabat ada tujuh orang yang terkenal untuk Iqraul qua’n linnas [
membacakan al-qura’n ] mereka adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab,
Ibnu Masud, Abu Ad-Darda’ dan Abu Musa Al-Asyari, Dari ketujuh sehabat tersebut
lahirlah penghafal-hafal al-qura’n dari kalangan Tabi’n yang tak terhitung
jumlanya, al-itqan juz 1 : 73, Dan mereka menyebar dilima tempat di Madinah
ada Ibnul Musayyib, Urwah, Salim dll, di Makkah ada Ubaid bin Umair,
Atho’ bin Abi Rabah, Thowus dll di Kufah ada ‘Alqomah, Aswad, Masruq dll
di Bashrah ada Abu ‘Aliyah, Abu Roja’, Nasir bin Asim dll dan di Syam
ada Mugirah bin Abi Syihab Al-Mahkzumi, Merekalah generasi kedua setelah
sahabat yang menekuni dan memperdalam ilmu qiraat sehingga mereka jadi panutan
umat islam (imam-imam qiraat) dimasa itu.
Menurut
sejarah, timbulnya penyebaran Qiraat dimulai pada msa-masa mereka, (Tabi’in)
yaitu pada awal abad ke II H., tatkala para Qari’ menyebar di berbagai pelosok,
mereka lebih suka mengemukakan Qiraat para gurunya dari pada mengikuti Qiraat
imam-imam yang lainya, Qiraat-Qiraat tersebut diajarkan secara turun temurun
dari guru kemurid, sehingga sampai kepada para imam qiraat, baik yang tujuh,
sepuluh, atau yang empatbelas.
Kebijakan
Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang
disusun Zaid bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ali bin Abi Tholib, Ubai bin Ka’ab, Ibnu Masud, Abu
Ad-Darda’ dan Abu Musa Al-Asyari, mempunyai andil besar dalam munculnya qiraat
yang semakin beragam, adanya mushaf-mushaf tersebut disertai dengan penyebaran
para qari’ keberbagai penjuru bumi, pada giliranya melahirkan sesuatu yang
tidak diinginkan, yaitu timbulnya qiraat yang beraneka ragam, apa lagi setelah
terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan
bangs-bangsa yang bukan arab.
Melihat
kondisi tersebut maka tampillah para imam-imam, (ulama-ulama qurra’) yang
berjasa meneliti dan membersihkan qiraat dari berbagai penyimpangan, As-Suyuti
dalam kitabnya: al-itqan menjelaskan urutan-urutan orang yang pertama kali
menyusun kitab-kitab mengenai Qiraat sebagai berikut,
1. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam (w. 244 H.).
2.
Ahmad bin Jubair Al-Kufi.
3.
Ismail bin Ishaq Al-maliki.
4. Abu Jakfar bin Jarir Ath-Thobari.
5.
Abu Bakar bin Mujahid.
Sesudah itu banyak imam-imam yang
menyusun kitab mengenai qiraat hingga jumlah mereka tidak terhitung, Abu Ubaid
sendiri mengumpulkan qiraat kurang lebih 25 macam, ada yang menetapkan 20
macam, ada juga yang mentapkan kurang dari bilangan itu, Kemudian dimasa Abu
Bakar Ahmad Bin Abbas Bin Mujahid, yang terkenal Ibnu Mujahid Qiraat diringkas
menjadi tujuh macam saja (qiraat sab’ah) yang disesuaikan dengan nama tujuh
imam-imamnya.
Insiatif
Ibnu Mujahid tersebut sempat mendapat kecaman dari sebagian ulama qurra’,
diantaranya datang dari Ibnu Amr yang mengatakan bahwa ibnu Mujahid telah
melakukan hal yang tidak layak baginya, dia dituduh telah mengaburkan
persoalaan dengan mengatakan bahwa qiraat yang itu adalah yang disebut dalam
hadits Nabi (nuzilal qur’anu ‘ala sab’ati ahruf).
Ada beberapa alasan, yang menyebabkabkan ibnu Mujahid hanya memilih
tujuh Qiraat saja dari sekian banyak Qiraat, Ketujuh tokoh Qiraat itu
dipilihnya dengan pertimbangan bahwa merekalah yang paling terkemuka, paling
masyhur, paling bagus bacaanya, dan memiliki kedalaman ilmu dan berusia
panjang, Dan yang tidak kalah pentingnya mereka dijadikan imam Qiraat oleh
masyarakat mereka masing-masing.
Dengan
demikian bila hanya tujuh macam tokoh saja yang dipilih oleh ibnu Mujahid bukan
berarti bahwa hanya tujuh tokoh itu saja yang menguasai Qiraat, karena masih
banyak ulama-ulama lain yang sangat berkompeten dalam hal ini, Oleh karena itu
menurut Az-Zarqani, seseorang tidak harus terpaku pada yang tujuh saja tetapi
dia harus bisa menerima setiap Qiraat yang sudah memenuhi tiga persaratan,
yakni sesuai dengan salah satu Ar-Rasm Ustmani, sesuai dengan kaidah-kaidah
bahasa arab dan sanadnya sahih.
MACAM-MACAM QIRAAT
Dari
mata rantai para taba’in yang menjadi imam-imam qiraat itu munculah
generasi-generasi pilihan yang dikenal dengan Al-A’immah As-Sab’ah (imam-imam
yang tujuh) dari mereka lahirlah Qira’ah Sab’ah (bacaan yang tujuh), selain itu
ada juga Qiraat-Qiraat yang lain yang disebut Qiraat Asyrah (bacaan yang
sepuluh) hal itu karena masih ada tiga aliran Qiraat yang menurut sebagian
Ulama’ Qurra’ dianggap falid sanad-sanadnya, penulisanya sesuai dengan Ar-Rasm
Ustmani lalu digabungkan dengan yang tujuh Qiraat (Qiraat Sab’ah) maka disebut
Qiraat yang sepuluh, bahkan ada juga yang menganggap bahwa Qiraat tidak
terbatas itu saja karena masih ada empat aliran Qiraat yang lain yang lasim
disebut Qiraat Arba’ah Asyrah (bacaan yang empat belas), tetapi jumhurul ulama
(tokoh-tokoh ulama qurra’) sepakat bahwa yang paling sahih sanadnya dan
mencapai tingkatan mutawatir, penulisanya sesuai Ar-Rasm Ustmani adalah Qiraat
yang dikenal dengan Qiraat sab’ah, adapun imam-imamnya adalah:
1.
Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w. 120 H.) dari
Mekah. Ad-Dari termasuk generasi tabi’in, Qiraat yang diriwayatkan dari
Abdullah bin Jabair dan lain-lain.
2.
Nafi’ bin
Abdurrohman bin Abu Nuaim (w. 169 H.) dari Madinah, Tokoh ini
belajar dari 70 tabi’in, dan tabi’in
yang menjadi gurunya belajar pada Ubay
bin Ka’ab, Ibnu Abbas danAbu Hurairah.
3.
Abdullah
Al-Yashibi terkenal dengan sebutan Ibnu Amir Ad-Dimsyaqi dari Syam (w. 118 H.)beliau belajar
qiraat pada al-Mighirah bin Abi Syaibah Al- Mahzumi.
4.
Abu Amr (w.
154 H.) dari Basrah Iraq, nama
lenglapnya adalah Zabban bin Al-A’la bin Amr, Beliau meriwayatkan Qiraat dari
Mujahid bin Jabr.
5.
Hamzah (w. 188 H.) Beliau meriwayatkan Qiraat dari
Sulaiman bin Maram dari Al-Amsy dari Yhya bin Watsasab dari Dzar bin Hubais,
Ustman bin Affan,Ali Bin Abi Tholib dan Ibnu Masud.
6.
Ya’qub (w. 205 H.) atau dikenal dengan sebutan
Al-Kisa’i, dari Basrah Irak, Beliau belajar Qiraat pada Salam bin Sulaiman yang
mengambil Qiraat dari Ashim dan Abu Amr.
7.
Imam Ashim,(w. 127 H.) beliau meriwayakan dari Dzar
bin Hubaisy dari Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Tholib, Ustman bin Affan dan
Ubai bin Ka’ab.
Dari masing-masing imam yang tujuh
terdapat dua orang perawi, dua orang yang menjadi matarantai perjalanan sebuah
ajaran Qiraat untuk generasi penerusnya, mereka adalah:
1.
Qanbal dan Al-Bazi, Dua orang perawi dari Abdullah
bin Kastir.
2.
Qalun dan Warasy, dua orang perawi dari Imam
Nafi’.
3.
Hisyam dan Ibnu Dzakwan, dua orang perawi dari
Ibnu Amir.
4. Ad-Dau’i dan As-Susi, dua orang perawi dari Abu Amr.
5. Kholaf dan Kholad, dua orang perawi dari Imam Hamzah.
6. Ad-Dauri dan Abul Harist, dua orang perawi dari Al-Kisa’i.
7. Imam Hafash dan Abi Bakar, dua orang perawi dari Imam Ashim.
Apa yang kami terangkan diatas
adalah macam-macam Qiraat dari segi kuantitas, Adapun dari kualitas ada enam
macam Qiraat, seperti dituturkan As-Suyuti dalam kitabnya al-itqan hl. 77 yang
menuqil penilitian Al-Jazari yang mengatakan bahwa Qiraat dari segi kualitas
ada lima macam
tetapi As-Suyuti menambah satu macam lagi yaitu Qiraat Mudarraj, adapun
lengkapnya sebagai berikut:
1. Qiraat Mutawatir, yakni yamg disampaikan sekelompok orang dari
awal sampai ahir sanad yang tidak mungkin bersepakat untuk berbohong, semua
Ulama Qurra’ sepakat bahwa Qiraat Sabah
termasuk Mutawati
2. Qiraat Masyhur, yakni Qirat yang memiliki sanad sahih, tetapi
tidak sampai pada kualitas Mutawatir, Qiraat ini sesuai dengan Kaidah-kaidah
bahasa arab dan Ar-Rasmil Ustmani, juga masyhur dikalngan Qurra’ dan boleh
dibaca seperti pernyataan Al-Jazari yang tedapt dalam kitab-kitab Qiraat dan
tidak termasuk Qiraat yang keliru, Umpamanya Qiraat dari imam tujuh yang
disampaikan melalui jalur berbeda-beda, sebagian perawi , misalnya meriwayatkan
darii imam tujuh sementara yang lainya tidak, Dan Qiraat semacam ini banyak
digambarkan dalam kitab-kitab Qiraat, seperti At-Taisir karya Ad-Dani dan
Qashidah karya Asy-Syatibi dll.
3. Qiraat Ahad, yakni yang memliki sanad sahih tetapi menyalahi
kaidah-kaidah bahasa arab dan Ar-Rasm Ustmani, tidak memiliki kemasyhuran
dan tidak boleh dibaca, seperti pendapat Al-Jazari, At-Turmudzi dalam kitab
Jami’nya dan Al-Hakim dalam Mustadraknya,menempatkan Qiraat semacam ini dalam
bahasan khusus, diantara riwayat yang dikeluarkan Al-hakim dari Ashinm
Al-Jahdari dari Abu Bakar yang menyebutkan bahwa Nabi SAW. Membaca ayat: ke 76
srt Ar-Rahman.
4. Qiraat Syadz, yakni Qiraat yang menyimpang, yaitu yang
sanadnya tidak sahih, Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis Qiraat ini,
diantaranya ayat ke 4 srh Al-Fatihah.
5. Qiraat Maudlu’ seperti Qiraatnya Al-Khaza’i.
6. Qiraat yang menyerupai hadits Mudarraj (sisipan), yakni
adanya sisipan dalam bacaan dengan tujuan penafsiran, seperti Qiraatnya Sa’ad
bin Abi Waqqas, pada ayat ke 12 srh An-Nisa’.
CONTOH-CONTOH QIRAAT SAB’AH.
1.
. ÅøÎ)ur $tRõs{r&
t,»sVÏB ûÓÍ_t/ @ÏäÂuó Î) w tbrßç7÷ès? wÎ) ©!$#
Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $ZR$|¡ômÎ) Ïur
4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ6»|¡uKø9$#ur
(#qä9qè%ur Ĩ$¨Y=Ï9 $YZó¡ãm (#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4q2¨9$# §NèO óOçFø©9uqs?
wÎ) WxÎ=s% öNà6ZÏiB
OçFRr&ur cqàÊÌ÷èB ÇÑÌÈ
Dalam ayat diats, Seperti
kutipan Kh.. Nawawi Al-Banteni dalam kitabnya Mirahun Labid juz 1: hl. 21, ada
tiga imam yaitu Imam Hamzah, ibnu Katsir, dan Kisa’i yang berbeda dengan
imam-imam yang empat, yaitu dalam kalimat,( tbrßç7÷ès?w), imam yang tiga tersebut
mengganti huruf TA’ (dlomir mukhotubin) dengan YA’ (dlomir gho’ibin), Sedangkan
Ubay dan Abdullah membaca dengan ( rßç7÷ès? w)
yang berarti larangan (nahi), yang terahir ini dinyatakan sebagai Qiraat Sadz
(yang dilarang).
2.
«!$# Ï%©!$# ¼ã&s! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$#
$tBur
Îû ÇÚöF{$# 3 ×@÷urur úïÌÏÿ»s3ù=Ïj9 ô`ÏB
5>#xtã >Ïx© ËÈ
Dalam ayat ini, Imam Nafi’ dan ibnu Amir
berbeda dengan imam-imam yang lainya, dalam membaca kalimat Jalalah (!$#), kedua imam tersebut membaca
rafa’, sedangkan imam-imam yang lima
membaca jar (khafadl ), (Mirahun Labib juz 1 hl. 432.)
3.
óOs9r& ts? cr&
©!$# Yn=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$#
uÚöF{$#ur Èd,ptø:$$Î/ 4
bÎ) ù't±o öNä3ö7Ïdõã ÏNù'tur
9,ù=s¿2 7Ïy` ÇÊÒÈ
Dalam ayat diatas, Imam Hamzah
dan Kisa’i mengganti fi’il madli dengan isim fa’il dalam kalimat (Yn=y{
) menjadi ( ß,Î=»yz
Èe )
berbeda dengan imam-imam yang lainya, (Mirahun Labid juz 1: hl. 434).
4.
wur (#þqè=çGø)s?
öNä.y»s9÷rr&
spuô±yz 9,»n=øBÎ) (
ß`øtªU öNßgè%ãötR ö/ä.$Î)ur 4 ¨bÎ) öNßgn=÷Fs% tb%2
$\«ôÜÅz #ZÎ6x. ÇÌÊÈ
Dalam ayat diatas ada tiga perbedaan diantara imam-imam yang tujuh
dipenggalan ayat yang terahir, yaitu dikalimat
( $\«ôÜÅz
) Ulama Jumhur atau imam-imam yang lima membaca seperti yang tertulis dimushaf,
yaitu dengan kho’ berharokat kastrah dan tho’ yang sukun, sedangkan imam Ibnu
Amir membaca ($\«ôÜÅz
) dengan kho’ berharokat fathah dan tho’nya juga berharokat fathah, dan imam
Ibnu Katsir membaca ($\«ôÜÅz
) kho’nya berharokat fathah dan tho’nya berharokat fathah tapi panjang, dalam
ilmu tajuwid disebut mad wajib.(Mirahun Labid juz 1: hl. 477.)
5.
$pkr'¯»t úïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä #sÎ)
óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù
öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î)
È,Ïù#tyJø9$#
(#qßs|¡øB$#ur
öNä3ÅrâäãÎ/
öNà6n=ã_ör&ur n<Î)
Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
bÎ)ur
öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã£g©Û$$sù
4
bÎ)ur
NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr&
4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB
ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr&
ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB
[ä!$tB (#qßJ£JutFsù
#YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ
(#qßs|¡øB$$sù
öNà6Ïdqã_âqÎ/
Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4 $tB ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ
ô`ÏiB
8ltym `Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 crãä3ô±n@ ÇÏÈ
Dalam ayat ini terdapat perbedaan cara baca diantara imam-imam yang
tujuh yang berakibat pula pada perbedaan pengambilan hukum (istimbat), Imam
Ibnu Katsir, Hamzah, Abu Amr dan Ashim dari perawi Abu Bakar membaca kalimat (öNà6n=ã_ör&ur
) dengan jar (kasrah lamnya) yang berarti kalimat tersebu makthuf atas kalimat
(öNä3ÅrâäãÎ/)
yang memberi pengertian hokum, wajib mengusap kaki (bukan membasuh), Sedangkan
Imam Nafi’, Ibnu Amir dan Ashim dengan perawi Hafash membaca Nashab (fathah
lamnya) sebagai makthuf dari (Nä3tÏ÷r&ur
) yang memberi pengertian hukum
sebaliknya, yakni wajib membasuh kaki (bukan mengusap).
Selain masalah diatas ada lagi perbedaan Qiraat yang berpengaruh pada
penetapan hukam dalam ayat tersebut, yaitu tentang kalimat (MçGó¡yJ»s9), Imam Hamzah dan Kisai
memendekkan lam pada kalimat tersebut, Sedangkan imam yang lainya
memanjangkanya, bertolak pada perbedaan Qiraat ini, trdapat tiga versi pendapat
para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh dan bersentuh
dan bersetubuh, Berdasarkan perbedaan Qiraat itu pula para ulama fiqih, ada
yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudu’,
Namun ada juga yang berpendapat bahwa bersentuhan tidak membatalkan wudu’
kecuali kalau berhubungan badan. (Mirahun Labid juz 1: hl. 192-193).
Contoh-contoh diatas hanyalah sebagian
kecil dari sekian macam Qiraat Sab’ah, karena masih banyak macam-macam ayat
yang disitu terdapat lebih dari satu bacaan saja, bahkan hampir setiap kelompok
ayat dalam Al-Quran tidak lepas dari perbedaan car a baca imam-imam yang tujuh
(Qiraat Sb’ah), walaupun perbedaanya tidak ada yang sampai tujuhmacam.
URGENSI MEMPELAJARI QIRAAT
1. Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para
ulama, Contohnya, berdasarkan surat An-Nisa’ [4] ayat 12,
para ulama sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan
dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja,
Dalam Qiraat Syadz, Sa’ad bin Abi Waqash memberi tambahan ungkapan ( min ummin
) sehingga ayat itu berbunyi:
bÎ)ur
c%x.
×@ã_u ß^uqã »'s#»n=2
Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îr&
÷rr& ×M÷zé&Èe `ÏB ¨Pé&
Èe â¨ß¡9$#
47 $yJßg÷YÏiB Ïnºur Èe@ä3Î=sù
Artiny: Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
(Q.S. Surat An-Nisa’ [4]: 12)
Dengan demikian Qiraat Sa’ad
Bin Abi Waqash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah
disepakat para ulama.
2. Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama, Contohnya dalam surat Al-maidah [5] ayat
89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah memerdekakan budak, namun tidak
disebutkan apakah budaknya muslim atau non muslim, hal ini menimbulkan
perbedaan pendapat dikalangan fuqaha’, Dalam Qiraat Syadz , ayat itu memperoleh
tambahan (mu’minatin) sehingga berbunyi menjadi:
(ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ)
Íou|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr&
$tB tbqßJÏèôÜè? öNä3Î=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï.
÷rr& ãÌøtrB 7pt6s%u ( 7poYÏB÷sB (
, Artinya: Maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak yang Mukmin.
(Q.S. Al-Maidah [5]: 89)
Tambahan kata Mukminatin berfungsi
menarjih pendapat sebagian ulama , antara lain Imam Syafi’i , yang mewajibkan
memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu
alternative bentuk kifaratnya.
3. Menunjukkan ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda
pula, Misalnya yang terdapat dalam surat
Al-Maidah [5] ayat 6. yang telah diterangkan dan diuraikan diatas.
KESIMPULAN
Dari
sedikit penjelasan diatas dapat penulis simpulakan bahwa:
1.
Perbedaan Qiraat sudah ada
sejak masa Nabi Muhammad SAW.
2. Qiraat Sab’ah adalah Qiraat yang Mutawatir.
3. Qiraat, selain Qiraat sab’ah boleh dibaca, asalkan sanadnya
sahih dan tidak bertentengan dengan Ar-Rasm Ustmani dan kaidah-kaidah bahasa
arab.
4.
Perbedaan Qiraat bisa mempengaruhi pengambilan hukum
(istimbat).
5.
Belajar Ilmu Qiraat adalah sesuatu yang dianjurkan
oleh agam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Suyuti
A. Al-Itqan
2. Anwar R. Ulumul Quan
3. Nawawi B. Mirahun Labid
4. Az-Zarkasi. Al-Burhan
5. Depag RI
. Al-Quran Dan Terjemahanya.
6. www.imamul.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar