Kamis, 29 Maret 2012

QIRA’AT SABA’AH


QIRA’AT SABA’AH

MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

ULUMUL QUR’AN






Oleh:
Muhyi Abdurrohim

Farid Ahmad Riyanto








JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADIST

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER


PENGANTAR


            Segala puji bagi Allah SWT. Yang telah memberi rahmat serta hidayahnya kepada kita sehingga sampai detik ini kita masih diberi kenikmatan terbesar berupa iman dan islam sehingga kita bisa meningkat takwa kita kepadanya.

            Solawat serta salam, Semuga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang selalu membimbing kita  untuk selalu berada dijalanya sehingga kita menjadi umatnya yang dipilih untuk melestarikan wahyunya hingga ahir zaman.

            Makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas mata kuliah “ ULUMUL QURAN “ juga untuk mengasah kemampuan kami untuk selalu mendalami Al-Quran, memahaminya dan membumikanya.

            Penulis menyadarinya bahwa masih jauh dari kesempurnaan dan penuh kekurangan, sebagai pemula penulis mengharapkan bantuan dari semua pihak demi menambah wawasan berpikir dan intelektualitas untuk kemajuan bersama.














                                                                                                Jember,06 Oktober 2009







                                                                                                                Penulis

                  



          MUQADDIMAH


            Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara seporadis tersebar di sepanjang Jazirah Arabiyah, Setiap suku mempunyai format dialeg (lahjah) yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku yang lainya, suku-suku tersebut adalah Quraisy, Hudzail, Tamim, Al-Azd, Rabi’ah, Hawazin dan Sa’ad bin Abi Bakar, Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geokrafis dan sosio-kultural dari masing-masing suku, Namun karena mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah dan melakukan bentuk interaksi lainya, Maka dari kenyataan di atas Ibnu Qutaibah menegaskan bahwa Al-Quran di turunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy, walaupun mendapat ini masih menjadi perselisihan, tetapi kebanyakan ulama, sepakat dengan pernytaan Qutaibah tersebut, al-itqan, juz 1: 47.

            Disisi lain perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) tersebut membawa konsekwensi lahirnya bermacam-macam bacaan (Qiraat) dalam melafalkan Al-Quran, Lahirnya bermacam-macam qiraat itu sendiri dengan melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami (natural), artinya tidak dapat dihindari lagi, Oleh karena itu Rasululloh SAW. Sendiri membenarkan membaca Al-Quran dengan berbagai macam Qiraat, Abu Hatim As-Sajsatani menuturkan Bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa tujuh suku tersebut diatas (Quraury, Hudzail, Tamim, Al-Azd, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’ad bin Abi Bakar), hal ini berlandasan pada Sabda Nabi SAW.: Al-Quran di turunkan dengan tujuh huruf (nuzilal quranu ala sab’ati ahrufin) al itqan juz 1 : 73. kendati Ulama’ Qurra’ di antaranya Abu Syamah dalam kitabnya, Al-Quran Wal Wajiz, menolak muatan hadis tersebut sebagai justifikasi qiraat sab’ah, tetapi konteks hadis itu sendiri memberikan peluang untuk dijadikan landasan bahwa Al-Quran dibaca dengan berbagai ragam qiraah.

            Imam Assuyuti dalam kitabnya al itqan menuturkan, bahwa orang pertama kali yang menulis kitab tentang qiraat adalah ‘Abaid Al Qasim Bin Salam (w. 224 H.), yang kemudian diikuti oleh Ahmad Bin Jubair Al-Kufi, Ismail Bin Ishaq Al-Maliki, Abu Ja’far Bin Jarir Ath-Thabrani, Abu Bakar Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Umar Ad-Dajuni dan Abu Bakar Bin Mujahid, Setelah itu muncullah karya-karya qiraat yang beragam, Thabaqah (hirarki) mereka di dokomentasikan oleh Hafizh Al-Islam Abu Abdillah Adz-Dzahbi dan Hafizh Al-Quran , Abul Khair Ibnu Al-Jazari (w. 833 H.) al itqan juz 1: 73.


PENGERTIAN AL-QIRAAT


            Berdasarkan etimologi (bahasa), Qiraat merupakan kata jadian (masdar) dari kata kerja Qara’a, Sedangkan berdasarkan pengrtian terminologi (istilah) ada beberapa difinisi yang diintrodusir Ulama Qurra’, Sedangkan kata sab’ah adalah bilangan yang berarti tujuh yang disandarkan pada bacaan sesuai dengan jumlah imam-imamnya, sedangkan definisi  tersebut. adalah:

1.      Menurut Ibn Al-Jazari , Qiraat adalah ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Quran dan prebedaan-perbedaanya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.

2.      Menurut Az-Zarkasi, adalah perbedaan cara mengucapkan  lafazh-lafazh Al-Quran baik menyangkut huruf-hurufnya maupun pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tafhim (memberatkan)dan atau yang lainya.


3.      Menurut Ash-Shabuni, Adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-Quran yang  dianut oleh salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung pada Nabi Muhammad SAW.

4.      Menurut Az-Zarqani, Madzhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainya dalam pengucapan Al-quran serta sesuai dengan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya baik dalam bentuk hurif-huruf ataupun bentuk-bentuk lainya.

            Perbedaan cara mendifinisian diatas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Quran walaupun berada pada satu sumber, yaitu Muhammad SAW. Adapun difinisi yang di kemukakan Al-Qastholani, adalah menyangkut ruang lingkup perbedaan diantara beberapa qiraat yang ada, Dengan demikian, ada tiga unsur qiraat yang bisa ditangkap dari difinisi diatas yaitu:

1.      Qiraat berkaitan dengan cara pelalafalan ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan seorang imam dan berbeda dengan yang dilakukan imam-imam yang lain

2.      Cara pelafalan ayat-ayat Al-Quran itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung dengan Nabi Muhammad Saw., jadi bersifat taukifi bukan ijtihadi.

3.      Ruang lingkup Qiraat itu menyangkut perseolan lughat, hadzaf, i’rab, fashal dan washal.


           AWAL MULA TIMBUL PERBEDAAN QIRAAT

                       
             Prbedaan Qiraat sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi Mhammad SAW., walaupun pada saat itu qiraat bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, Ada beberapa riwayat yang mendukung asumsi ini, diantaranya:

               Suatu ketika Umar   Bin Al Khaththab bebeda pendapat dengan                                        Hisyam Bin Hakim ketika membaca Al-Quran, Umar merasa tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan, menurut Umar bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya, Namun Hisyam menegaskan juga, bahwa bacaanya pun berasal dari Nabi, Seusai Sholat Hisyam diajak menghadap Nabi SAW. untuk melaporkan kejadian tersebut, Kemudian Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaanya sewaktu sholat tadi, setelah Hisyam melakukanya Nabi bersabda: Memang begitulah Al-Quran diturunkan, Sesungguhnya Al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.

              Di dalam sebuah riwayatnya yang lain, Ubay pernah bercerita, yang berkaitan dengan Qiraat, “Aku masuk ke masjid untuk mengerjakan sholat, kemudian datanglah seseorang dan dia membaca surat An-Nahal, tetapi bacaanya berbeda dengan bacaanku, Setelah dia selesai aku bertanya, “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” dia menjawab, “ Rasululloh “ Kemudian datanglah orang lain dan mengerjakan sholat, membaca surat An-Nahal ayat 16 tetapi bacaanya berbeda dengan bacaanku dan bacaan orang pertama, Setelah sholatya selesai aku bertanya, Siapakah yang membaca ayat itu kepadamu? Dia menjawab “ Rasululloh “ Kemudian aku mengajak dua orang tersebut menghadap Nabi, setelah menghadap, Nabi menyuruh kedua orang tersebut membaca ayat yang tadi di bacanya, setelah keduanya membaca ayat itu, Nabi sama-sama membenarkan bacaan kedu orang tersebut.

            Di masa sehabat ada tujuh orang yang terkenal untuk Iqraul qua’n linnas [ membacakan al-qura’n ] mereka adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi   Tholib, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Ibnu Masud, Abu Ad-Darda’ dan Abu Musa Al-Asyari, Dari ketujuh sehabat tersebut lahirlah penghafal-hafal al-qura’n dari kalangan Tabi’n yang tak terhitung jumlanya, al-itqan juz 1 : 73, Dan mereka menyebar dilima tempat di Madinah ada Ibnul Musayyib, Urwah, Salim dll, di Makkah ada Ubaid bin Umair, Atho’ bin Abi Rabah, Thowus dll di Kufah ada ‘Alqomah, Aswad, Masruq dll di Bashrah ada Abu ‘Aliyah, Abu Roja’, Nasir bin Asim dll dan di Syam ada Mugirah bin Abi Syihab Al-Mahkzumi, Merekalah generasi kedua setelah sahabat yang menekuni dan memperdalam ilmu qiraat sehingga mereka jadi panutan umat islam (imam-imam qiraat) dimasa itu.

            Menurut sejarah, timbulnya penyebaran Qiraat dimulai pada msa-masa mereka, (Tabi’in) yaitu pada awal abad ke II H., tatkala para Qari’ menyebar di berbagai pelosok, mereka lebih suka mengemukakan Qiraat para gurunya dari pada mengikuti Qiraat imam-imam yang lainya, Qiraat-Qiraat tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru kemurid, sehingga sampai kepada para imam qiraat, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empatbelas.

                        Kebijakan Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang disusun Zaid bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ali bin Abi   Tholib, Ubai bin Ka’ab, Ibnu Masud, Abu Ad-Darda’ dan Abu Musa Al-Asyari, mempunyai andil besar dalam munculnya qiraat yang semakin beragam, adanya mushaf-mushaf tersebut disertai dengan penyebaran para qari’ keberbagai penjuru bumi, pada giliranya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yaitu timbulnya qiraat yang beraneka ragam, apa lagi setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangs-bangsa yang bukan arab.

            Melihat kondisi tersebut maka tampillah para imam-imam, (ulama-ulama qurra’) yang berjasa meneliti dan membersihkan qiraat dari berbagai penyimpangan, As-Suyuti dalam kitabnya: al-itqan menjelaskan urutan-urutan orang yang pertama kali menyusun kitab-kitab mengenai Qiraat sebagai berikut,

1.      Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam (w. 244 H.).

2.      Ahmad bin Jubair Al-Kufi.

3.      Ismail bin Ishaq Al-maliki.

4.      Abu Jakfar bin Jarir Ath-Thobari.

5.      Abu Bakar bin Mujahid.



             Sesudah itu banyak imam-imam yang menyusun kitab mengenai qiraat hingga jumlah mereka tidak terhitung, Abu Ubaid sendiri mengumpulkan qiraat kurang lebih 25 macam, ada yang menetapkan 20 macam, ada juga yang mentapkan kurang dari bilangan itu, Kemudian dimasa Abu Bakar Ahmad Bin Abbas Bin Mujahid, yang terkenal Ibnu Mujahid Qiraat diringkas menjadi tujuh macam saja (qiraat sab’ah) yang disesuaikan dengan nama tujuh imam-imamnya.

            Insiatif Ibnu Mujahid tersebut sempat mendapat kecaman dari sebagian ulama qurra’, diantaranya datang dari Ibnu Amr yang mengatakan bahwa ibnu Mujahid telah melakukan hal yang tidak layak baginya, dia dituduh telah mengaburkan persoalaan dengan mengatakan bahwa qiraat yang itu adalah yang disebut dalam hadits Nabi (nuzilal qur’anu ‘ala sab’ati ahruf).

            Ada beberapa alasan, yang menyebabkabkan ibnu Mujahid hanya memilih tujuh Qiraat saja dari sekian banyak Qiraat, Ketujuh tokoh Qiraat itu dipilihnya dengan pertimbangan bahwa merekalah yang paling terkemuka, paling masyhur, paling bagus bacaanya, dan memiliki kedalaman ilmu dan berusia panjang, Dan yang tidak kalah pentingnya mereka dijadikan imam Qiraat oleh masyarakat mereka masing-masing.

            Dengan demikian bila hanya tujuh macam tokoh saja yang dipilih oleh ibnu Mujahid bukan berarti bahwa hanya tujuh tokoh itu saja yang menguasai Qiraat, karena masih banyak ulama-ulama lain yang sangat berkompeten dalam hal ini, Oleh karena itu menurut Az-Zarqani, seseorang tidak harus terpaku pada yang tujuh saja tetapi dia harus bisa menerima setiap Qiraat yang sudah memenuhi tiga persaratan, yakni sesuai dengan salah satu Ar-Rasm Ustmani, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab dan sanadnya sahih.

          MACAM-MACAM QIRAAT


            Dari mata rantai para taba’in yang menjadi imam-imam qiraat itu munculah generasi-generasi pilihan yang dikenal dengan Al-A’immah As-Sab’ah (imam-imam yang tujuh) dari mereka lahirlah Qira’ah Sab’ah (bacaan yang tujuh), selain itu ada juga Qiraat-Qiraat yang lain yang disebut Qiraat Asyrah (bacaan yang sepuluh) hal itu karena masih ada tiga aliran Qiraat yang menurut sebagian Ulama’ Qurra’ dianggap falid sanad-sanadnya, penulisanya sesuai dengan Ar-Rasm Ustmani lalu digabungkan dengan yang tujuh Qiraat (Qiraat Sab’ah) maka disebut Qiraat yang sepuluh, bahkan ada juga yang menganggap bahwa Qiraat tidak terbatas itu saja karena masih ada empat aliran Qiraat yang lain yang lasim disebut Qiraat Arba’ah Asyrah (bacaan yang empat belas), tetapi jumhurul ulama (tokoh-tokoh ulama qurra’) sepakat bahwa yang paling sahih sanadnya dan mencapai tingkatan mutawatir, penulisanya sesuai Ar-Rasm Ustmani adalah Qiraat yang dikenal dengan Qiraat sab’ah, adapun imam-imamnya adalah:

    
1.      Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w. 120 H.) dari Mekah. Ad-Dari termasuk generasi tabi’in, Qiraat yang diriwayatkan dari Abdullah bin Jabair dan lain-lain.
     
 
2.        Nafi’ bin Abdurrohman bin Abu Nuaim (w. 169 H.) dari Madinah, Tokoh ini
        belajar dari 70 tabi’in, dan tabi’in yang menjadi gurunya belajar pada Ubay
        bin Ka’ab, Ibnu Abbas danAbu Hurairah.

3.       Abdullah Al-Yashibi terkenal dengan sebutan Ibnu Amir Ad-Dimsyaqi dari                Syam (w. 118 H.)beliau belajar qiraat pada al-Mighirah bin Abi Syaibah Al- Mahzumi.

4.       Abu Amr (w. 154 H.) dari  Basrah Iraq, nama lenglapnya adalah Zabban bin Al-A’la bin Amr, Beliau meriwayatkan Qiraat dari Mujahid bin Jabr.

5.      Hamzah (w. 188 H.) Beliau meriwayatkan Qiraat dari Sulaiman bin Maram dari Al-Amsy dari Yhya bin Watsasab dari Dzar bin Hubais, Ustman bin Affan,Ali Bin Abi Tholib dan Ibnu Masud.

6.      Ya’qub (w. 205 H.) atau dikenal dengan sebutan Al-Kisa’i, dari Basrah Irak, Beliau belajar Qiraat pada Salam bin Sulaiman yang mengambil Qiraat dari Ashim dan Abu Amr.


7.      Imam Ashim,(w. 127 H.) beliau meriwayakan dari Dzar bin Hubaisy dari Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Tholib, Ustman bin Affan dan Ubai bin Ka’ab.


             Dari masing-masing imam yang tujuh terdapat dua orang perawi, dua orang yang menjadi matarantai perjalanan sebuah ajaran Qiraat untuk generasi penerusnya, mereka adalah:


1.      Qanbal dan Al-Bazi, Dua orang perawi dari Abdullah bin Kastir.

2.      Qalun dan Warasy, dua orang perawi dari Imam Nafi’.

3.      Hisyam dan Ibnu Dzakwan, dua orang perawi dari Ibnu Amir.

4.      Ad-Dau’i dan As-Susi, dua orang perawi dari Abu Amr.

5.      Kholaf dan Kholad, dua orang perawi dari Imam Hamzah.

6.      Ad-Dauri dan Abul Harist, dua orang perawi dari Al-Kisa’i.

7.      Imam Hafash dan Abi Bakar, dua orang perawi dari Imam Ashim.




             Apa yang kami terangkan diatas adalah macam-macam Qiraat dari segi kuantitas, Adapun dari kualitas ada enam macam Qiraat, seperti dituturkan As-Suyuti dalam kitabnya al-itqan hl. 77 yang menuqil penilitian Al-Jazari yang mengatakan bahwa Qiraat dari segi kualitas ada lima macam tetapi As-Suyuti menambah satu macam lagi yaitu Qiraat Mudarraj, adapun lengkapnya sebagai berikut:



1.      Qiraat Mutawatir, yakni yamg disampaikan sekelompok orang dari awal sampai ahir sanad yang tidak mungkin bersepakat untuk berbohong, semua Ulama Qurra’ sepakat bahwa Qiraat Sabah termasuk Mutawati

2.      Qiraat Masyhur, yakni Qirat yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas Mutawatir, Qiraat ini sesuai dengan Kaidah-kaidah bahasa arab dan Ar-Rasmil Ustmani, juga masyhur dikalngan Qurra’ dan boleh dibaca seperti pernyataan Al-Jazari yang tedapt dalam kitab-kitab Qiraat dan tidak termasuk Qiraat yang keliru, Umpamanya Qiraat dari imam tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda, sebagian perawi , misalnya meriwayatkan darii imam tujuh sementara yang lainya tidak, Dan Qiraat semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab Qiraat, seperti At-Taisir karya Ad-Dani dan Qashidah karya Asy-Syatibi dll.

3.      Qiraat Ahad, yakni yang memliki sanad sahih tetapi menyalahi kaidah-kaidah bahasa arab dan Ar-Rasm Ustmani, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak boleh dibaca, seperti pendapat Al-Jazari, At-Turmudzi dalam kitab Jami’nya dan Al-Hakim dalam Mustadraknya,menempatkan Qiraat semacam ini dalam bahasan khusus, diantara riwayat yang dikeluarkan Al-hakim dari Ashinm Al-Jahdari dari Abu Bakar yang menyebutkan bahwa Nabi SAW. Membaca ayat: ke 76 srt Ar-Rahman.

4.      Qiraat Syadz, yakni Qiraat yang menyimpang, yaitu yang sanadnya tidak sahih, Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis Qiraat ini, diantaranya ayat ke 4 srh Al-Fatihah.

5.      Qiraat Maudlu’ seperti Qiraatnya Al-Khaza’i.

6.      Qiraat yang menyerupai hadits Mudarraj (sisipan), yakni adanya sisipan dalam bacaan dengan tujuan penafsiran, seperti Qiraatnya Sa’ad bin Abi Waqqas, pada ayat ke 12 srh An-Nisa’.


               CONTOH-CONTOH QIRAAT SAB’AH.


                1.

. ÅøŒÎ)ur $tRõs{r& t,»sVÏB ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) Ÿw tbrßç7÷ès? žwÎ) ©!$# Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $ZR$|¡ômÎ) ÏŒur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ6»|¡uKø9$#ur (#qä9qè%ur Ĩ$¨Y=Ï9 $YZó¡ãm (#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# §NèO óOçFøŠ©9uqs? žwÎ) WxŠÎ=s% öNà6ZÏiB OçFRr&ur šcqàÊ̍÷èB ÇÑÌÈ

                Dalam ayat diats, Seperti kutipan Kh.. Nawawi Al-Banteni dalam kitabnya Mirahun Labid juz 1: hl. 21, ada tiga imam yaitu Imam Hamzah, ibnu Katsir, dan Kisa’i yang berbeda dengan imam-imam yang empat, yaitu dalam kalimat,( tbrßç7÷ès?w), imam yang tiga tersebut mengganti huruf TA’ (dlomir mukhotubin) dengan YA’ (dlomir gho’ibin), Sedangkan Ubay dan Abdullah membaca dengan  (Ÿ rßç7÷ès? w) yang berarti larangan (nahi), yang terahir ini dinyatakan sebagai Qiraat Sadz (yang dilarang).


                  2.
«!$# Ï%©!$# ¼ã&s! $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ×@÷ƒurur šúï̍Ïÿ»s3ù=Ïj9 ô`ÏB 5>#xtã >ƒÏx© ËÈ


                 Dalam ayat ini, Imam Nafi’ dan ibnu Amir berbeda dengan imam-imam yang lainya, dalam membaca kalimat Jalalah (!$#), kedua imam tersebut membaca rafa’, sedangkan imam-imam yang lima membaca jar (khafadl ), (Mirahun Labib juz 1 hl. 432.)


                 3.

óOs9r& ts? žcr& ©!$# šYn=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Èd,ptø:$$Î/ 4 bÎ) ù't±o öNä3ö7ÏdõムÏNù'tƒur 9,ù=sƒ¿2 7ƒÏy` ÇÊÒÈ
                 Dalam ayat diatas, Imam Hamzah dan Kisa’i mengganti fi’il madli dengan isim fa’il dalam kalimat š (Yn=y{ )  menjadi ( ß,Î=»yz Èe )  berbeda dengan imam-imam yang lainya, (Mirahun Labid juz 1: hl. 434).



                  4.

Ÿwur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ) ( ß`øtªU öNßgè%ãötR ö/ä.$­ƒÎ)ur 4 ¨bÎ) öNßgn=÷Fs% tb%Ÿ2 $\«ôÜÅz #ZŽÎ6x. ÇÌÊÈ


                 Dalam ayat diatas ada tiga perbedaan diantara imam-imam yang tujuh dipenggalan ayat yang terahir, yaitu dikalimat  ( $\«ôÜÅz ) Ulama Jumhur atau imam-imam yang lima membaca seperti yang tertulis dimushaf, yaitu dengan kho’ berharokat kastrah dan tho’ yang sukun, sedangkan imam Ibnu Amir membaca ($\«ôÜÅz ) dengan kho’ berharokat fathah dan tho’nya juga berharokat fathah, dan imam Ibnu Katsir membaca ($\«ôÜÅz ) kho’nya berharokat fathah dan tho’nya berharokat fathah tapi panjang, dalam ilmu tajuwid disebut mad wajib.(Mirahun Labid juz 1: hl. 477.)


                    5.
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ
               
                Dalam ayat ini terdapat perbedaan cara baca diantara imam-imam yang tujuh yang berakibat pula pada perbedaan pengambilan hukum (istimbat), Imam Ibnu Katsir, Hamzah, Abu Amr dan Ashim dari perawi Abu Bakar membaca kalimat (öNà6n=ã_ör&ur ) dengan jar (kasrah lamnya) yang berarti kalimat tersebu makthuf atas kalimat (öNä3ÅrâäãÎ/) yang memberi pengertian hokum, wajib mengusap kaki (bukan membasuh), Sedangkan Imam Nafi’, Ibnu Amir dan Ashim dengan perawi Hafash membaca Nashab (fathah lamnya) sebagai makthuf dari (Nä3tƒÏ÷ƒr&ur )  yang memberi pengertian hukum sebaliknya, yakni wajib membasuh kaki (bukan mengusap).

                Selain masalah diatas ada lagi perbedaan Qiraat yang berpengaruh pada penetapan hukam dalam ayat tersebut, yaitu tentang kalimat  (MçGó¡yJ»s9), Imam Hamzah dan Kisai memendekkan lam pada kalimat tersebut, Sedangkan imam yang lainya memanjangkanya, bertolak pada perbedaan Qiraat ini, trdapat tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh dan bersentuh dan bersetubuh, Berdasarkan perbedaan Qiraat itu pula para ulama fiqih, ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudu’, Namun ada juga yang berpendapat bahwa bersentuhan tidak membatalkan wudu’ kecuali kalau berhubungan badan. (Mirahun Labid juz 1: hl. 192-193).


                Contoh-contoh diatas hanyalah sebagian kecil dari sekian macam Qiraat Sab’ah, karena masih banyak macam-macam ayat yang disitu terdapat lebih dari satu bacaan saja, bahkan hampir setiap kelompok ayat dalam Al-Quran tidak lepas dari perbedaan car a baca imam-imam yang tujuh (Qiraat Sb’ah), walaupun perbedaanya tidak ada yang sampai tujuhmacam.

              URGENSI MEMPELAJARI QIRAAT


1.      Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama,  Contohnya,         berdasarkan surat An-Nisa’ [4] ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja, Dalam Qiraat Syadz, Sa’ad bin Abi Waqash memberi tambahan ungkapan ( min ummin ) sehingga ayat itu berbunyi:
bÎ)ur šc%x. ×@ã_u ß^uqム»'s#»n=Ÿ2 Írr& ×or&tøB$# ÿ¼ã&s!ur îˆr& ÷rr& ×M÷zé&Èe `ÏB  ¨Pé&
Èe â¨ß¡9$# 47 $yJßg÷YÏiB Ïnºur Èe@ä3Î=sù

                  Artiny: Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak      meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
                                                                                                (Q.S. Surat An-Nisa’ [4]: 12)

                  Dengan demikian Qiraat Sa’ad Bin Abi Waqash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakat para ulama.

2.      Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama, Contohnya dalam surat Al-maidah [5] ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah memerdekakan budak, namun tidak disebutkan apakah budaknya muslim atau non muslim, hal ini menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan fuqaha’, Dalam Qiraat Syadz , ayat itu memperoleh tambahan (mu’minatin) sehingga berbunyi menjadi:

(ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3ŠÎ=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ㍃̍øtrB 7pt6s%u ( 7poYÏB÷sB (
,               Artinya: Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak yang Mukmin.
                                                                                                      (Q.S. Al-Maidah [5]: 89)
                  Tambahan kata Mukminatin berfungsi menarjih pendapat sebagian ulama , antara lain Imam Syafi’i , yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu alternative bentuk kifaratnya.
           
3.      Menunjukkan ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula, Misalnya yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat 6. yang telah diterangkan dan diuraikan diatas.

          KESIMPULAN


            Dari sedikit penjelasan diatas dapat penulis simpulakan bahwa:

1.      Perbedaan Qiraat sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW.

2.      Qiraat Sab’ah adalah Qiraat yang Mutawatir.

3.      Qiraat, selain Qiraat sab’ah boleh dibaca, asalkan sanadnya sahih dan tidak bertentengan dengan Ar-Rasm Ustmani dan kaidah-kaidah bahasa arab.

4.      Perbedaan Qiraat bisa mempengaruhi pengambilan hukum (istimbat).

5.      Belajar Ilmu Qiraat adalah sesuatu yang dianjurkan oleh agam Islam.

























          DAFTAR PUSTAKA



            1. Suyuti A. Al-Itqan

            2. Anwar R. Ulumul Quan

            3. Nawawi B. Mirahun Labid

            4. Az-Zarkasi. Al-Burhan

            5. Depag RI . Al-Quran Dan Terjemahanya.

            6. www.imamul.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar