Minggu, 01 April 2012

HALAMAN 138,50 USD.


Halaman 138
PEMBAHASAN I
PENGULANGAN HADITS DALAM ]KITAB SAHIH
AL-BUKHORI DAN MUSLIM
a. Pengulangan Hadits menurut al-Bukhori.
            Menurut al-Hafidz ibnu Hajar mengutip pernyataan Abul-Fadlol, Muhammad bin Thohir al-Muqaddisiy, bahwa al-Bukhori menyebut satu hadits dalam kitab sahihnya dalam beberapa tempat, dan beristidlal dengan hadits itu dalam setiap bab dengan isnad yang berbeda-beda, dengan tingkat kecerdasan yang luar biasa dan pemahaman yang mendalam,  al-Bukhori berhasil menyajikan arti yang berbeda yang sesuai dengan bab itu, dan kadang-kadang al-Bukhori menempatkan satu hadits dalam dua tempat dengan satu isnad dan satu lafal akan tetapi menempatkanya itu Wallahu A’lam, dari sisi yang berbeda sesuai makna-makna, diantaranya:
1.  al-Bukhori mentakhrij hadits dari seorang sahabat kemudian menampilkanya lagi dari sahabat yang lain, tujuanya adalah mengeluarkanya hadits itu dari katagori hadits gharib, hal tersebut dilakukan al-Bukhori bukan Cuma ditingkat sahabat saja tetapi juga ditingkatan tabi’in dan tabi’I al-tabi’in dan seterusnya sampai pada guru-gurunya, maka yang bukan ahli disiplin ilmu hadits menganggap hal tersebut adalah pengulangan, kenyataanya tidak demikian, mengingat manfaat dan faidah yang terkandung didalamnya.
Halaman 139
2. al-Bukhori mensahihkan hadits-hadits berdasarkan kaidah yang telah ditetapkan, yang setiap hadits-hadits itu menyangkut arti-arti yang berubah-rubah, maka al-Bukhori menampilkanya lagi dalam beberapa bab dari jalur yang berbeda dengan jalur yang pertama.
3. Sebagian  hadits-hadits itu memang diriwayatkan oleh perawi-perawinya dengan sempurna, sebagian perawi-perawinya meriwayatkan dengan diringkas, maka al-Bukhori menampilkanya lagi hadits-hadits yang demikian biar tidak terjadi kesalahan dan pengkaburan dari penukilnya.

4. Sebagian perawi-perawi hadits-hadits berbeda ibarat ( cara penyampaian ) hadits dengan perawi-perawi yang lain, contoh: seorang perawi hadits meriwayatkan sebuah hadits dan didalamnya ada kalimat yang ada kemungkinan mengandung suatu arti, dan perawi yang lain meriwayatkan juga tetapi dengan tampilan berbeda yang mengandung arti yang lain, maka al-Bukhori menampilkan hadits-hadits itu dengan jalurnya masing-masing kalu sudah lengkap syarat-syarat kesahihanya, dan mensendirikan tiap-tiap kata pada bab khusus.
5. Ada hadits-hadits yang bertentangan tentang hadit maushul dan hadit Mursal, ketika al-Bukhori mentarjih dan berpegang teguh pada hadit maushul maka dicantumkan hadits itu dan menampilkan juga hadits yang mursal, sekedar mengingatkan bahwa hadits mursal sudah tidak berlaku lagi apabila sudah ada hadits yang maushul.
6. Ada hadits-hadits yang bertentangan tentang hadit itu mauquf dan marfu’, maka penyelesaian al-Bukhori sama dengan kasus hadit maushul dan hadit Mursal diatas.
7. Sebagian perawi-perawi hadits-hadits menamabah seseorang dalam isnadnya dan sebagian perawi-perawi yang lain menguranginya, maka al-Bukhori menampilkan hadits-hadits itu dengan dua jalur, kalau dikira sahih menurutnya bahwa si perawi itu benar-benar mendengar dari gurunya yang menceritakan dari orang lain, kemudian dia bertemu dengan si perawi tadi lalau meriwayatkan hadits itu, maka al-Bukhori meriwayatkan hadits-hadits itu dengan dua jalur.
8. Kadang-kadang al-Bukhori menampilkan hadits mu’an’an, kemudia menampilkanya lagi dari jalur berbeda untuk menjelaskan bahwa si perawi tadi mendengar langsung dari gurunya, menurut ketentuan yang sudah ditetapkan dalam syarat-syarat bertemu guru (liqa’) dalam hadits Mu’an’an. inilah contoh-contoh pengulangan satu matan hadits sekali, atau lebih.
Halaman 140
9. Kalau masalah pemotongan matan hadits dalam beberapa bab dan meringkasnya dalan bab lain itu disebabkan beberapa hal. diantaranya:
a. Kalau matan itu pendek atau ada kaitan antara satu dengan yang lain, kadang berkaitan dua hukum atau lebih, maka al-Bukhori mengulangi hadits itu sesuai kebutuhanya, dengan tujuan tidak menghilangkan manfaat dan faidah kehaditsan kalu tidak disebutkan, yaitu menerima hadits itu dari gurunya selain gurunya yang pertama, maka manfaatnya adalah banyaknya jalur-jalur dari hadits itu.seperti penjelasan yang lalu.
10. Kadang-kadang al-Bukhori agak rumit dan mentakhrij hadits, kalau dikiranya Cuma ada satu jalur saja maka dibiarkan saja demikian kemudian menampilkanya dalam satu tempat berupa hadits maushul dan ditempat lain berupa hadits mu’alaq.
11. Kadang-kadang al-Bukhori menampilkan hadits dalam kondisi lengkap dan Kadang-kadang meringkas dan hanya menyebutkan penggalan yang dibutuhkanya saja. para ulam pensyarah hadits- hadits al-Bukhori menjelaskan bahwa al-Bukhori berkata: pada dasarnya saya tidak ingin memasukkan hadits yang diulangi ini dalam katagori hadits sahih. menurut ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, al-Bukhori tidak ada kesengajaan dalam pengulangan hadits- hadits baik itu matan atau sanad hadits, kalau memamng pengulangan hadits- hadits itu ada tetap sedikit sekali dan terjadi karena tidaj disengaja. kalu realitanya seperti itu maka yang pasti al-Bukhori pengulangan hadits- hadits itu karena ada manfaat yang bisa diambil, kalau tidak ditemukan ada manfaat baik itu matan atau sanad hadits maka kemungkinan pengulangan itu karena ada perubahan hukum yang menyangkut penjelasan yang kedua secara pasti, bagaimana mungkin al-Bukhori mengosongkanya dari manfaat kesanadan yaitu ada tajhrij hadits dari guru kedua selain guru yang pertama, atau tujuan-tujuan yang lain yang telah dijelaskan didepan, inilah penjelasan bagi calon pembaca yang akan mendalami kitab sahih  al-Bukhori.
Halaman 141
b. Pengulangan Hadits menurut imam Muslim
            Imam Muslim menjelaskan manhajnya dalam pengulangan hadits- hadits, menurutnya, kami berpegang teguh pada beberapa sanad hadits dari Rasulullah saw. lalu kami membagi menjadi tiga bagian dan tiga tingkatan perawi-perawi hadits-hadits, tanpa pengulangan selain di tempat yang  dibutuhkan pengulangan karena ada penambahan arti, atau dari sisi isnad hadits karena ada illat karena penambahan arti dalam sebuah hadits yang benar-benar dibutuhkan sama posisnya dengan hadits yang sempurna. maka suatu keniscayaan bagi kami, kata Muslim untuk mengulangi beberapa hadits, dan akan kami perinci dan perjelas arti tersebut dari hadits jika mungkin secara ringkas, akan tetapi  perincian dan perjelasan arti tersebut secara gelobl agak sulit. maka mengulangi beberapa hadits sesuai bentuknya jika sulit dan rumit, tidak ada masalah dan tida akan ada efek apapun.
            Klau kami temui pengulangan yang tidak ada manfaatnya maka insyaallah kami tidak ada kesengajaan, inilah manhaj Imam Muslim dalam pengulangan hadits- hadits, sepertinya lebih dekat dengan manhaj gurunya, yaitu al-Bukhari, Cuma perbedaanya antara keduanya adalah: kalau al-Bukhari mengulangi beberapa hadits dalam bab-bab yang bebeda-beda secara dominan, kalau Imam Muslim mengulanginya dalan babnya saja, pada dasarnya Pengulangan Hadits dalam keduanya Cuma lahiriyah saja, secar eseni tidak ada Pengulangan, Karen keduanya mengulangi Hadits karena ada perbedaan dalam sanad dan matanya, atau karena ada manfaat yang baru, seperti yang telah dijelaskan didepan oleh al-Hafidz Abul-Fadlol,, Muhammad bin Thohir al-Muqaddisiy.

Halaman 142

PEMBAHASAN II
PENGULANGAN HADITS DALAM KITAB-KITAB
ABUDAUD, AL-TIRMIDZIY DAN AL-NASA’I
1. Pengulangan Hadits menurut imam Abu Daud,
            Abu Daud menjelaskan manhajnya dalam pengulangan hadits-hadits, menurutnya, kalau saya mengulangi sebuah hadits dalam bab maka itu dua atau tiga sebab, kemungkinana kaena ada tambahan pembahasan dalam hadits itu atau ada kalimat tambahan dalam beberapa hadits, inilah sebab kenapa Abu Daud mengulangi hadits yaitu karena ada kaitan periwayatan dengan makna-makana tambahan, kenyataanya Abu Daud mengantarkan riwayat yang kedua dengan sempurna apa bila ada perbedaan hukum dengan periwayatan yang kedua. kalau perbedaan dalam satu kalimat saja maka dia akan menyebut dalam periwayatan yang kedua satu kalimat itu saja setelah menjelaskan isnadnya.
2. Pengulangan Hadits menurut imam al-Tirmizdi
            Menurut Dr, Nuruddin Atr, imam al-Tirmizdi sangat hati-hati dalam Pengulangan Hadits, dan dia tidak pernah mengulangi hadits kecuali sedikit sekali, sehingga hamper tidak diketahui kalu ada Pengulangan Hadits kalau belum diteliti, al-Tirmizdi tidak mengulangi hadits seperti halnya al-Bukhari, paling banyak mungkin Cuma tiga atau empat  Pengulangan, al-Tirmizdi bukan tidak mengakui adanya manfaat dengan adanya Pengulangan seperti pandangan al-Bukhari, akan tetapi menurut al-Tirmizdi, tanpa diulangpun Hadits-Hadits itu akan terulan sendiri sanad dan matanya. demikianlah memang al-Tirmizdi sangat sedikit dalam masalah ini dan kalau ada Pengulangan maka al-Tirmizdi menjaga perubahan manfaat yang baru dalam matan dan isnad hadits, kadang-kadang sebaliknya.
Halaman 143

3. Pengulangan Hadits menurut imam al-Nasa’i
            Menurut al-Sakhawi, al-Nasa’I dengan segla disiplin ilmu haditsnya sama dengan imam ilmu hadits yaitu al-Bukhori, dari sesi pengambilan hukum yang tanpa membuang satu kalimatpun, dan dalam pengulangan matan-matan hadits dan tujuanya, al-Nasa’I hamper menjiplak atau shopy pastenya al-Bukhori, Contohnya: adalah kisah A’isyah, ketika Rasul keluar dari sisinya,……., al-Nasa’I menampilkan hadits ini dalam bab “ al-amru bi al-istighfar ” (perintah untuk beristighfar) kemudian dia mengulanginya lagi hadits itu dalam bab “ al-ghirah min al-nikah “  dengan sanad dan matan yang sama, Cuma ada penambahab nasab guru-gurunya, ada ringkasan sedikit diakhir matan, dan penambahan dua jalur bagi hadits itu yaitu Syeh ibnu Juraij, selain guru yang disebut pertama.
            Seakan-seakan  al-Nasa’I melanggar kode etik tarjamah dengan dua hukum dan tidak membedakan antara Pengulangan Hadits Cuma babnya saja, jadi meskipun ada Pengulangan Hadits tetapi seakan-akan tidak ada Pengulangan karena yangkedua sama persis dengan yang pertama sekalipun Cuma dalam gurunya saja, dengan tujuan adanya manfaat dalam memilih, Contoh: adalah al-Nasa’I meruntut tarjamah dalam “kitab al-Dlohaya” bab lil “aura’ dan tarjamah bab lilarja’ kemudian tarjamah bab lil ‘Ajfa’, dia menyebutkan dalam tiga bab diatas satu hadits dengan satu jalur, maka manfaatnya adalah kesamaan hukum dalam tiga bab itu.

Halaman 144
            Kadang-kadang al-Nasa’I mengulangi sebuah hadits sama persis dengan hadits pertama, dan Kadang-kadang juga antara dua tajamah secara umum Cuma ada selisih sedikit sekali, dan tidak ada penambahan yang berarti seperti yang diisyaratkan, Contohnya seperti tarjamah (penjelasan) al-Nasa’I,  dalam kitab “al-miyah” dengan air laut dan dalam kitab “al-thaharah bi al-Wudlu’” dengan air laut juga dengan satu hadits yang sama persis sanad dan matan, dan Kadang-kadang al-Nasa’I menambah penjelasan dalam salah satu tempat, menyempurnakan dan menyebutkan urutan perawi-perawi yang sebelumnya tidak disebutkan.
            Kadang-kadang al-Nasa’I menampilkan dalam dua tempat dengan satu hadits dan jalur satu pula, untuk menambah mendalam bagi pelajar dalam memahami matan hadits tersebut, seperti keputusanya dalam berwudlu’ dengan air salju dengan dua penjelasan kemudian  al-Nasa’I menyebutkan alasanya dengan dasar satu hadits dan satu jalu pula,  kemudian dalam bab “al-thaharah” al-Nasa’I berpegang pada satu penjelasan dalam berwudlu’ dengan air salju dan air dingin, dan menampilkan satu hadits dengan dua jalur, Kadang-kadang juga al-Nasa’I Cuma mengulang babnya saja tanpa mengulang matan hadits, ini lebih mudah dari yang diatas menurut aktivis hadits.





Halaman 145
FASAL V
MANHAJ MUHADDITSIN DALAM MENJELASKAN JALUR-JALUR HADITS DAN MERINGKASNYA
            Pada dasrnya mentakhrij hadits denga isnad-isnadnya haruslah disendirikan tiap-tuap hadits dengan periwayatan baik itu sanad atau matnya, karena hadits apa bila jalur sanadnya banyak dan berbeda-beda satu perawi denganperawai yang lain, atu matanya banyak dan berbeda-beda satu kata dengan yang lain maka tiap-tiap hadits itu adalah bernam hadits secara mandiri, dengan demikian satu hadits dengan banyak jalur isnad dan matan bagaikan lima, sepuluh bahkan duapuluhhadits atau diatasnya. menurut Abu Hatim al-Raziy, kalau kami tidak menulis hadits kurang dari enmapuluh jalur maka kami tidak bisa mengerti hadits ini, Yahya bun Mu’in berkata: kalau kami tidak menulis hadits kurang dari limapuluh jalur maka kami tidak bisa mengetahuinya.
             Dasar inilah yang diambil oleh imam al-Bukhari, Muslim Abu Daud, al-Tirmizdi dan al-Nas’I, akan tetapi para imam-imam itu dalam perjalanan berikutnya disebabakan sangat panjang dan luas dalam pembahasan jalur-jalur isnad, maka para imam-imam itu kemudian mencri metode lain dengan tujuan meringkasnya, diantara metode-metode itu adalah:
Halaman 146
PEMBAHASAN I
 AHLI HADITS MENGABUNG URUTAN RUWAT
DAN BERMUHAWALAH (MENGALIHKAN) UNTUK MERINGKAS
1. AHLI HADITS MENGABUNG URUTAN RUWAT
            Para imam-imam ilmu hadits apa bila ingin mentakhrij hadits mereka berlandasan pada dua jalur atau lebih, mengumpulkan guru-gurunya kadang-kadang memakai hurufa athaf wawu hal tersebut dilakukan karena tujuan meringkas dan tidak adanya pengulangan juz yang bersekutu dari isnad dengan sempurna. pengumpulkan guru-guru seperti ada dalam kitab sahih al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmizdi dan al-Nas’I, Cuma yang paling banyak adalah imam Muslim, akan kami jelaskan contoh-contohnya berikut ini:
1. al-Bukhari berkata: bercerita kepada kami, Ahmad bin Yunus dan Musa bin Ismail, mereka berkata: bercerita kepada kami Ibrahim bin Sa’ad,……..
2. Muslim berkata: bercerita kepada kami, Muhammad bin al-Rayyan dan ‘aun bin Salam, mereka berkata: bercerita kepada kami, Muhammad bin Thalhah,…….
3. Abu Daud berkata: bercerita kepada kami, ustman dan Abu Bakar, keduanya putra Syaibah, mereka berkata: bercerita kepada kami Umar bin Sa’ad,……..
4. al-Tirmizdi berkata: bercerita kepada kami, Qutaibah, Hannad, dan Mahmud bin Ghailan, mereka berkata: bercerita kepada kami Waki’,…..
5. al-Nas’I, berkata: Mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan , Qutaibah bin Sa’id dari Jarir,…… 
Halaman 147
2. AHLI HADITS BERMUHAWALAH (MENGALIHKAN ISNA HADITS)
            Para imam-imam ilmu hadits metode yang dipakai dalam bemuhawalah (mengalihkan isnad hadits) sama halnya dengan mengumpulkan guru-gurunya memakai hurufa athaf wawu, dengan memakai huruf yang menaandakan adanya pengalihkan isnad hadits dari satu isnad keisnad yang lain yaitu memakai hruf  “ha’” yang paling banyak memakai muhawalah adalah imam Muslim. sasaran dari muhawalah sendiri adalah adanya ringkasn isnad-isnad hadits dalam perawi tertentu agar tidak terjadi pengulangan nama-nama yang sama diantara isnad-isnad hadits itu.
            Ditempat muhawalah itu diletakkan “ha’” pengalihkan isnad hadits, disaat seorang  perawi mendapatkan isnad-isnad itu, disitulah lingkaran pusat mentakhrij hadits, dan kadang-kadang “ha’” pengalihkan isnad hadits itu diletakkan setelah menyebut sebagian dari matan hadits yaitu ditempat permulaan adanya perbedaan periwayatan. maksud kami dengan kata: diletakkan “ha’” pengalihkan isnad hadits, disaat seorang  perawi mendapatkan isnad-isnad it”, apakah sebelum menyebut seorang perawi atau setelahnya? jawabanya adalah: adalah kebiasaan imam Muslim saja yang menempatkan “ha’” pengalihkan isnad hadits sebelum menyebut seorang perawi disaat Muslim mendapatkan isnad-isnad itu, apa bila sighat (bentuk) periwayatanya sama dan menempatkan “ha’” pengalihkan isnad hadits setelah menyebut seorang perawi kalau  sighat (bentuk) periwayatanya tidak sama, sighat (bentuk) periwayatan adalah:  “haddatsana”, “akhbarana”, “anba’ana” atau memakai “an” atau kata lain yang sudah dibahas dalam materi kuliah al-tahammul wa al-ada’.
Halaman 148
contoh-contohnya berikut ini:
1. al-Bukhari berkata: bercerita kepada kami, Muhammad bin’Ubaidah, bercerita kepada kami, Isa bin Yunus dari Ubaidillah dari Nafi’ dari ibnu Umar bahwa Nabi memberi keringanan pada ahl al-siqayah….,  kemudian al-Bukhari menempatkan kata “ha’” dan menyebut isnad yang lain, yaitu: bercerita kepada kami, Yahya bin Musa, bercerita kepada kami, Muhammad bin Abu Bakarm, memberi kabar kepada kami, ibnu Juraij, memberi kabar kepadaku Ubaidillah dari Nafi’ dari ibnu Umar bahwa Nabi memberi ijin kepada ahl al-siqayah…., kemudian al-Bukhari menempatkan kata “ha’” dan menyebut isnad yang lain lagi, yaitu: bercerita kepada kami, Abdullah bin Numair, bercerita kepada kami bapakku, bercerita kepada kami, Ubaidillah, dia berkata: bercerita kepadaku Nafi’ dari ibnu Umar bahwa Abbas ra. meminta ijin pada Nabi saw. untuk menginap dimakkah dimalam menginap dimina waktu ibadah haji, karena member minuman jamaah haji, maka Nabi saw. memberi ijin kepadanya, hadits ini di tabi’kan (diikutkan) oleh Abu Samah, Uqbah bin Khalid dan Abu Dlamrah.
2. Muslim berkata: bercerita kepada kami, Abu Bakar bin Abi Syaibah, bercerita kepada kami, Waki’ dari Sufyan, disini Muslim menempatkan kata “ha’” dan menyebut isnad yang lain lagi, yaitu: bercerita kepada kami, Muhammad bin al-Mutsanna, bercerita kepada kami, Muhammad bin Ja’far, bercerita kepada kami, syu’bah, kedua-duanya dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab, ini adalah haditsnya Abu Bakar, dia berkata: orang yang pertama khutbah hari raya sebelum sholat adalah Marwan, maka ada seseorng berdiri dan bertanya,  sholat sebelum Khutabah, sudah ditinggalkan apa yang menjadi semestinya, maka Abu Sa’id berkata: perkataan ini sudah cukup, aku mendengar Nabi saw. bersabda: “Barang siapa diantara kamu melihat kemugkaran maka rubahlah dengan tanganya, kalau tidak mampu maka dengan perkataanya, kalau tidak mampu juga, maka dengan hatinya, itulah selemah-lemhanya iman”
            Perhatikanlah bahwa perawi hadits yang menjadi penghubung antara kedua sanad diatas adalah Qais bin Muslim, dua periwayatanya pun memakai kata  “an” dari dia adalah Sufyan dan Syu’bah, disitulah sighat (bentuk) periwayatanya sama yaitu “an” maka Muslim menempatkan “ha’” pengalihkan isnad hadits sebelum menyebut seorang perawi yaitu Qais bin Muslim.
            Muslim berkata:dalam hadit yang menjelaskan sifta-sifat orang munafik, bercerita kepada kami, Abu Bakar bin Abi Syaibah, bercerita kepada kami, Abdullah bin Numair, disini Muslim menempatkan kata “ha’” dan menyebut isnad yang lain, yaitu: dan bercerita kepada kami Abdullah bin Numair, bercerita kepada kami bapakku, bercerita kepada kami al-A’masy, Muslim menempatkan kata “ha’” dan menyebut isnad yang lain lagi, yaitu: dan bercerita kepada kami Zuhair bin Harab, bercerita kepada kami Waki’, bercerita kepada kami Sufyan dari al-A’masy, dari Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdullah bin Umar, dia berkata: bersabda Nabi saw…….
            Perhatikanlah bahwa perawi hadits yang menjadi penghubung antara kedua sanad diatas adalah al-A’masy, sighat (bentuk) periwayatanya berbeda, sekali mengatakan: “haddatsana al-A’masy”, kadang “an” al-A’masy, maka Muslim menempatkan “ha’” (pengalihkan isnad hadits) setelah menyebut seorang perawi yaitu al-A’masy.
Halaman 150
3. Abu Daud berkata: bercerita kepada kami, bercerita kepada kami Ibrahim bin Khalid, bercerita kepada kami Aswad bin Amir, bercerita kepada kami Syarik, disini Abu Daud menempatkan kata “ha’” dan menyebut isnad yang lain, yaitu: dan bercerita kepada kami Muhammad bin Abdullah al-Makharramiy, bercerita kepada kami Syarik bin Waki’ dari Ibrahim bin Jarir dari al-Mughirah dari Abi Zar’ah dari Abu Hurairah, dia berkata, “Nabi saw. kalu pergi ke WC. saya membawakanya satu bag atau ember air laul beliau bersuci dengan airi tu”, Abu Daud menaambah dalam hadist yang melalui Waki’: “Kemudia belia menggosok-gosokkan tangan ketanah, lalu saya membawakanya air lagi yang dipakai berwudlu’ oleh beliau”, kata Abu Daud, hadits Aswad bin Amir lebih sempurna.
4. al-Tirmizdi berkata: bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa’id, bercerita kepada kami Abu ‘Awanah dari Sammak bin Harab, disini al-Tirmizdi menempatkan kata “ha’” dan menyebut isnad yang lain, yaitu: bercerita kepada kami Hannad, bercerita kepada kami Waki’ dari Isra’il dari Ma’shab bin Sa’ad dari Ibnu Umar dari Nabi saw. beliau bersabda: “tidak diterima shlat tanpa bersuci dan sedeqah yang keterlaluan”, dalam haditsnya Hannad berkata: “illa bi thahurin” bukan “bila thahurin”
5. al-Nas’I, berkata: Mengabarkan kepadaku Harun bin Abdullah, dia berkata:  bercerita kepada kami Ma’an dia berkata:  bercerita kepada kami Malik, sampai disini al-Tirmizdi menempatkan kata “ha’” dan menyebut isnad yang lain, yaitu: al-Harits bin Miskin membaca hadits, saya mendengarnya dari ibnu al-Qasim dia berkata: bercerita kepadaku Malik dari Nafi’ dari ibnu Umar dia berkata: Di zaman Nabi saw. laki-laki dan wanita-wanita berwudlu’ semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar