Halaman
138
PEMBAHASAN
I
PENGULANGAN
HADITS DALAM ]KITAB SAHIH
AL-BUKHORI
DAN MUSLIM
a.
Pengulangan Hadits menurut al-Bukhori.
Menurut al-Hafidz ibnu Hajar
mengutip pernyataan Abul-Fadlol, Muhammad bin Thohir al-Muqaddisiy, bahwa
al-Bukhori menyebut satu hadits dalam kitab sahihnya dalam beberapa tempat, dan
beristidlal dengan hadits itu dalam setiap bab dengan isnad yang berbeda-beda,
dengan tingkat kecerdasan yang luar biasa dan pemahaman yang mendalam, al-Bukhori berhasil menyajikan arti yang berbeda
yang sesuai dengan bab itu, dan kadang-kadang al-Bukhori menempatkan satu
hadits dalam dua tempat dengan satu isnad dan satu lafal akan tetapi menempatkanya
itu Wallahu A’lam, dari sisi yang berbeda sesuai makna-makna, diantaranya:
1.
al-Bukhori mentakhrij hadits dari
seorang sahabat kemudian menampilkanya lagi dari sahabat yang lain, tujuanya
adalah mengeluarkanya hadits itu dari katagori hadits gharib, hal tersebut
dilakukan al-Bukhori bukan Cuma ditingkat sahabat saja tetapi juga ditingkatan
tabi’in dan tabi’I al-tabi’in dan seterusnya sampai pada guru-gurunya, maka
yang bukan ahli disiplin ilmu hadits menganggap hal tersebut adalah
pengulangan, kenyataanya tidak demikian, mengingat manfaat dan faidah yang
terkandung didalamnya.
Halaman
139
2.
al-Bukhori mensahihkan hadits-hadits berdasarkan kaidah yang telah ditetapkan,
yang setiap hadits-hadits itu menyangkut arti-arti yang berubah-rubah, maka
al-Bukhori menampilkanya lagi dalam beberapa bab dari jalur yang berbeda dengan
jalur yang pertama.
3.
Sebagian hadits-hadits itu memang
diriwayatkan oleh perawi-perawinya dengan sempurna, sebagian perawi-perawinya
meriwayatkan dengan diringkas, maka al-Bukhori menampilkanya lagi hadits-hadits
yang demikian biar tidak terjadi kesalahan dan pengkaburan dari penukilnya.
4.
Sebagian perawi-perawi hadits-hadits berbeda ibarat ( cara penyampaian )
hadits dengan perawi-perawi yang lain, contoh: seorang perawi hadits
meriwayatkan sebuah hadits dan didalamnya ada kalimat yang ada
kemungkinan mengandung suatu arti, dan perawi yang lain meriwayatkan juga
tetapi dengan tampilan berbeda yang mengandung arti yang lain, maka al-Bukhori
menampilkan hadits-hadits itu dengan jalurnya masing-masing kalu sudah lengkap
syarat-syarat kesahihanya, dan mensendirikan tiap-tiap kata pada bab khusus.
5.
Ada hadits-hadits yang bertentangan tentang hadit maushul dan hadit Mursal,
ketika al-Bukhori mentarjih dan berpegang teguh pada hadit maushul maka
dicantumkan hadits itu dan menampilkan juga hadits yang mursal, sekedar
mengingatkan bahwa hadits mursal sudah tidak berlaku lagi apabila sudah ada
hadits yang maushul.
6.
Ada hadits-hadits yang bertentangan tentang hadit itu mauquf dan marfu’, maka
penyelesaian al-Bukhori sama dengan kasus hadit maushul dan hadit Mursal
diatas.
7.
Sebagian perawi-perawi hadits-hadits menamabah seseorang dalam isnadnya dan
sebagian perawi-perawi yang lain menguranginya, maka al-Bukhori menampilkan
hadits-hadits itu dengan dua jalur, kalau dikira sahih menurutnya bahwa si perawi
itu benar-benar mendengar dari gurunya yang menceritakan dari orang lain,
kemudian dia bertemu dengan si perawi tadi lalau meriwayatkan hadits itu, maka
al-Bukhori meriwayatkan hadits-hadits itu dengan dua jalur.
8.
Kadang-kadang al-Bukhori menampilkan hadits mu’an’an, kemudia menampilkanya
lagi dari jalur berbeda untuk menjelaskan bahwa si perawi tadi mendengar
langsung dari gurunya, menurut ketentuan yang sudah ditetapkan dalam
syarat-syarat bertemu guru (liqa’) dalam hadits Mu’an’an. inilah
contoh-contoh pengulangan satu matan hadits sekali, atau lebih.
Halaman
140
9. Kalau masalah
pemotongan matan hadits dalam beberapa bab dan meringkasnya dalan bab lain itu
disebabkan beberapa hal. diantaranya:
a.
Kalau matan itu pendek atau ada kaitan antara satu dengan yang lain, kadang berkaitan
dua hukum atau lebih, maka al-Bukhori mengulangi hadits itu sesuai kebutuhanya,
dengan tujuan tidak menghilangkan manfaat dan faidah kehaditsan kalu tidak
disebutkan, yaitu menerima hadits itu dari gurunya selain gurunya yang pertama,
maka manfaatnya adalah banyaknya jalur-jalur dari hadits itu.seperti penjelasan
yang lalu.
10.
Kadang-kadang al-Bukhori agak rumit dan mentakhrij hadits, kalau dikiranya Cuma
ada satu jalur saja maka dibiarkan saja demikian kemudian menampilkanya dalam
satu tempat berupa hadits maushul dan ditempat lain berupa hadits mu’alaq.
11.
Kadang-kadang al-Bukhori menampilkan hadits dalam kondisi lengkap dan Kadang-kadang
meringkas dan hanya menyebutkan penggalan yang dibutuhkanya saja. para ulam
pensyarah hadits- hadits al-Bukhori menjelaskan bahwa al-Bukhori berkata: pada
dasarnya saya tidak ingin memasukkan hadits yang diulangi ini dalam katagori
hadits sahih. menurut ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, al-Bukhori tidak ada
kesengajaan dalam pengulangan hadits- hadits baik itu matan atau sanad hadits,
kalau memamng pengulangan hadits- hadits itu ada tetap sedikit sekali dan
terjadi karena tidaj disengaja. kalu realitanya seperti itu maka yang pasti
al-Bukhori pengulangan hadits- hadits itu karena ada manfaat yang bisa diambil,
kalau tidak ditemukan ada manfaat baik itu matan atau sanad hadits maka
kemungkinan pengulangan itu karena ada perubahan hukum yang menyangkut
penjelasan yang kedua secara pasti, bagaimana mungkin al-Bukhori mengosongkanya
dari manfaat kesanadan yaitu ada tajhrij hadits dari guru kedua selain guru
yang pertama, atau tujuan-tujuan yang lain yang telah dijelaskan didepan,
inilah penjelasan bagi calon pembaca yang akan mendalami kitab sahih al-Bukhori.
Halaman
141
b.
Pengulangan Hadits menurut imam Muslim
Imam Muslim menjelaskan manhajnya
dalam pengulangan hadits- hadits, menurutnya, kami berpegang teguh pada
beberapa sanad hadits dari Rasulullah saw. lalu kami membagi menjadi tiga
bagian dan tiga tingkatan perawi-perawi hadits-hadits, tanpa pengulangan selain
di tempat yang dibutuhkan pengulangan
karena ada penambahan arti, atau dari sisi isnad hadits karena ada illat
karena penambahan arti dalam sebuah hadits yang benar-benar dibutuhkan sama
posisnya dengan hadits yang sempurna. maka suatu keniscayaan bagi kami, kata
Muslim untuk mengulangi beberapa hadits, dan akan kami perinci dan perjelas arti
tersebut dari hadits jika mungkin secara ringkas, akan tetapi perincian dan perjelasan arti tersebut secara
gelobl agak sulit. maka mengulangi beberapa hadits sesuai bentuknya jika sulit
dan rumit, tidak ada masalah dan tida akan ada efek apapun.
Klau kami temui pengulangan yang
tidak ada manfaatnya maka insyaallah kami tidak ada kesengajaan, inilah manhaj
Imam Muslim dalam pengulangan hadits- hadits, sepertinya lebih dekat dengan
manhaj gurunya, yaitu al-Bukhari, Cuma perbedaanya antara keduanya adalah:
kalau al-Bukhari mengulangi beberapa hadits dalam bab-bab yang bebeda-beda
secara dominan, kalau Imam Muslim mengulanginya dalan babnya saja, pada
dasarnya Pengulangan Hadits dalam keduanya Cuma lahiriyah saja, secar eseni
tidak ada Pengulangan, Karen keduanya mengulangi Hadits karena ada perbedaan
dalam sanad dan matanya, atau karena ada manfaat yang baru, seperti yang telah
dijelaskan didepan oleh al-Hafidz Abul-Fadlol,, Muhammad bin Thohir
al-Muqaddisiy.
Halaman
142
PEMBAHASAN
II
PENGULANGAN
HADITS DALAM KITAB-KITAB
ABUDAUD,
AL-TIRMIDZIY DAN AL-NASA’I
1.
Pengulangan Hadits menurut imam Abu Daud,
Abu Daud menjelaskan manhajnya dalam
pengulangan hadits-hadits, menurutnya, kalau saya mengulangi sebuah hadits
dalam bab maka itu dua atau tiga sebab, kemungkinana kaena ada tambahan
pembahasan dalam hadits itu atau ada kalimat tambahan dalam beberapa hadits,
inilah sebab kenapa Abu Daud mengulangi hadits yaitu karena ada kaitan
periwayatan dengan makna-makana tambahan, kenyataanya Abu Daud mengantarkan
riwayat yang kedua dengan sempurna apa bila ada perbedaan hukum dengan
periwayatan yang kedua. kalau perbedaan dalam satu kalimat saja maka dia akan
menyebut dalam periwayatan yang kedua satu kalimat itu saja setelah menjelaskan
isnadnya.
2.
Pengulangan Hadits menurut imam al-Tirmizdi
Menurut Dr, Nuruddin Atr, imam
al-Tirmizdi sangat hati-hati dalam Pengulangan Hadits, dan dia tidak pernah mengulangi
hadits kecuali sedikit sekali, sehingga hamper tidak diketahui kalu ada
Pengulangan Hadits kalau belum diteliti, al-Tirmizdi tidak mengulangi hadits
seperti halnya al-Bukhari, paling banyak mungkin Cuma tiga atau empat Pengulangan, al-Tirmizdi bukan tidak mengakui
adanya manfaat dengan adanya Pengulangan seperti pandangan al-Bukhari, akan
tetapi menurut al-Tirmizdi, tanpa diulangpun Hadits-Hadits itu akan terulan
sendiri sanad dan matanya. demikianlah memang al-Tirmizdi sangat sedikit dalam
masalah ini dan kalau ada Pengulangan maka al-Tirmizdi menjaga perubahan
manfaat yang baru dalam matan dan isnad hadits, kadang-kadang sebaliknya.
Halaman
143
3.
Pengulangan Hadits menurut imam al-Nasa’i
Menurut al-Sakhawi, al-Nasa’I dengan
segla disiplin ilmu haditsnya sama dengan imam ilmu hadits yaitu al-Bukhori,
dari sesi pengambilan hukum yang tanpa membuang satu kalimatpun, dan dalam
pengulangan matan-matan hadits dan tujuanya, al-Nasa’I hamper menjiplak atau
shopy pastenya al-Bukhori, Contohnya: adalah kisah A’isyah, ketika Rasul keluar
dari sisinya,……., al-Nasa’I menampilkan hadits ini dalam bab “ al-amru bi
al-istighfar ” (perintah untuk beristighfar) kemudian dia mengulanginya
lagi hadits itu dalam bab “ al-ghirah min al-nikah “ dengan sanad dan matan yang sama, Cuma ada
penambahab nasab guru-gurunya, ada ringkasan sedikit diakhir matan, dan
penambahan dua jalur bagi hadits itu yaitu Syeh ibnu Juraij, selain guru yang
disebut pertama.
Seakan-seakan al-Nasa’I melanggar kode etik tarjamah dengan
dua hukum dan tidak membedakan antara Pengulangan Hadits Cuma babnya saja, jadi
meskipun ada Pengulangan Hadits tetapi seakan-akan tidak ada Pengulangan karena
yangkedua sama persis dengan yang pertama sekalipun Cuma dalam gurunya saja,
dengan tujuan adanya manfaat dalam memilih, Contoh: adalah al-Nasa’I meruntut
tarjamah dalam “kitab al-Dlohaya” bab lil “aura’ dan tarjamah bab
lil “arja’ kemudian tarjamah bab lil ‘Ajfa’, dia
menyebutkan dalam tiga bab diatas satu hadits dengan satu jalur, maka
manfaatnya adalah kesamaan hukum dalam tiga bab itu.
Halaman
144
Kadang-kadang
al-Nasa’I mengulangi sebuah hadits sama persis dengan hadits pertama, dan
Kadang-kadang juga antara dua tajamah secara umum Cuma ada selisih sedikit
sekali, dan tidak ada penambahan yang berarti seperti yang diisyaratkan,
Contohnya seperti tarjamah (penjelasan) al-Nasa’I, dalam kitab “al-miyah” dengan air laut
dan dalam kitab “al-thaharah bi al-Wudlu’” dengan air laut juga dengan satu
hadits yang sama persis sanad dan matan, dan Kadang-kadang al-Nasa’I menambah
penjelasan dalam salah satu tempat, menyempurnakan dan menyebutkan urutan
perawi-perawi yang sebelumnya tidak disebutkan.
Kadang-kadang al-Nasa’I menampilkan
dalam dua tempat dengan satu hadits dan jalur satu pula, untuk menambah
mendalam bagi pelajar dalam memahami matan hadits tersebut, seperti keputusanya
dalam berwudlu’ dengan air salju dengan dua penjelasan kemudian al-Nasa’I menyebutkan alasanya dengan dasar
satu hadits dan satu jalu pula, kemudian
dalam bab “al-thaharah” al-Nasa’I berpegang pada satu penjelasan dalam
berwudlu’ dengan air salju dan air dingin, dan menampilkan satu hadits dengan
dua jalur, Kadang-kadang juga al-Nasa’I Cuma mengulang babnya saja tanpa
mengulang matan hadits, ini lebih mudah dari yang diatas menurut aktivis
hadits.
Halaman
145
FASAL
V
MANHAJ
MUHADDITSIN DALAM MENJELASKAN JALUR-JALUR HADITS DAN MERINGKASNYA
Pada dasrnya mentakhrij hadits denga
isnad-isnadnya haruslah disendirikan tiap-tuap hadits dengan periwayatan baik
itu sanad atau matnya, karena hadits apa bila jalur sanadnya banyak dan
berbeda-beda satu perawi denganperawai yang lain, atu matanya banyak dan
berbeda-beda satu kata dengan yang lain maka tiap-tiap hadits itu adalah bernam
hadits secara mandiri, dengan demikian satu hadits dengan banyak jalur isnad
dan matan bagaikan lima, sepuluh bahkan duapuluhhadits atau diatasnya. menurut
Abu Hatim al-Raziy, kalau kami tidak menulis hadits kurang dari enmapuluh jalur
maka kami tidak bisa mengerti hadits ini, Yahya bun Mu’in berkata: kalau kami
tidak menulis hadits kurang dari limapuluh jalur maka kami tidak bisa
mengetahuinya.
Dasar inilah yang diambil oleh imam
al-Bukhari, Muslim Abu Daud, al-Tirmizdi dan al-Nas’I, akan tetapi para
imam-imam itu dalam perjalanan berikutnya disebabakan sangat panjang dan luas
dalam pembahasan jalur-jalur isnad, maka para imam-imam itu kemudian mencri
metode lain dengan tujuan meringkasnya, diantara metode-metode itu adalah:
Halaman
146
PEMBAHASAN
I
AHLI HADITS MENGABUNG URUTAN RUWAT
DAN
BERMUHAWALAH (MENGALIHKAN) UNTUK MERINGKAS
1.
AHLI HADITS MENGABUNG URUTAN RUWAT
Para imam-imam ilmu hadits apa bila
ingin mentakhrij hadits mereka berlandasan pada dua jalur atau lebih,
mengumpulkan guru-gurunya kadang-kadang memakai hurufa athaf wawu hal
tersebut dilakukan karena tujuan meringkas dan tidak adanya pengulangan juz
yang bersekutu dari isnad dengan sempurna. pengumpulkan guru-guru seperti ada
dalam kitab sahih al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmizdi dan al-Nas’I, Cuma
yang paling banyak adalah imam Muslim, akan kami jelaskan contoh-contohnya
berikut ini:
1.
al-Bukhari berkata: bercerita kepada kami, Ahmad bin Yunus dan Musa bin Ismail,
mereka berkata: bercerita kepada kami Ibrahim bin Sa’ad,……..
2.
Muslim berkata: bercerita kepada kami, Muhammad bin al-Rayyan dan ‘aun bin
Salam, mereka berkata: bercerita kepada kami, Muhammad bin Thalhah,…….
3.
Abu Daud berkata: bercerita kepada kami, ustman dan Abu Bakar, keduanya putra
Syaibah, mereka berkata: bercerita kepada kami Umar bin Sa’ad,……..
4.
al-Tirmizdi berkata: bercerita kepada kami, Qutaibah, Hannad, dan Mahmud bin
Ghailan, mereka berkata: bercerita kepada kami Waki’,…..
5.
al-Nas’I, berkata: Mengabarkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim dan , Qutaibah bin
Sa’id dari Jarir,……
Halaman
147
2.
AHLI HADITS BERMUHAWALAH (MENGALIHKAN ISNA HADITS)
Para imam-imam ilmu hadits metode
yang dipakai dalam bemuhawalah (mengalihkan isnad hadits) sama halnya
dengan mengumpulkan guru-gurunya memakai hurufa athaf wawu, dengan
memakai huruf yang menaandakan adanya pengalihkan isnad hadits dari satu isnad
keisnad yang lain yaitu memakai hruf “ha’”
yang paling banyak memakai muhawalah adalah imam Muslim. sasaran dari muhawalah
sendiri adalah adanya ringkasn isnad-isnad hadits dalam perawi tertentu agar
tidak terjadi pengulangan nama-nama yang sama diantara isnad-isnad hadits itu.
Ditempat muhawalah itu
diletakkan “ha’” pengalihkan isnad hadits, disaat seorang perawi mendapatkan isnad-isnad itu, disitulah
lingkaran pusat mentakhrij hadits, dan kadang-kadang “ha’” pengalihkan
isnad hadits itu diletakkan setelah menyebut sebagian dari matan hadits yaitu
ditempat permulaan adanya perbedaan periwayatan. maksud kami dengan kata: diletakkan
“ha’” pengalihkan isnad hadits, disaat seorang
perawi mendapatkan isnad-isnad it”, apakah sebelum menyebut seorang
perawi atau setelahnya? jawabanya adalah: adalah kebiasaan imam Muslim saja
yang menempatkan “ha’” pengalihkan isnad hadits sebelum menyebut seorang
perawi disaat Muslim mendapatkan isnad-isnad itu, apa bila sighat (bentuk)
periwayatanya sama dan menempatkan “ha’” pengalihkan isnad hadits
setelah menyebut seorang perawi kalau
sighat (bentuk) periwayatanya tidak sama, sighat (bentuk) periwayatan
adalah: “haddatsana”, “akhbarana”,
“anba’ana” atau memakai “an” atau kata lain yang sudah dibahas dalam
materi kuliah al-tahammul wa al-ada’.
Halaman
148
contoh-contohnya
berikut ini:
1.
al-Bukhari berkata: bercerita kepada kami, Muhammad bin’Ubaidah,
bercerita kepada kami, Isa bin Yunus dari Ubaidillah dari Nafi’ dari ibnu Umar
bahwa Nabi memberi keringanan pada ahl al-siqayah…., kemudian al-Bukhari menempatkan kata “ha’”
dan menyebut isnad yang lain, yaitu: bercerita kepada kami, Yahya bin Musa,
bercerita kepada kami, Muhammad bin Abu Bakarm, memberi kabar kepada kami, ibnu
Juraij, memberi kabar kepadaku Ubaidillah dari Nafi’ dari ibnu Umar bahwa Nabi
memberi ijin kepada ahl al-siqayah…., kemudian al-Bukhari menempatkan
kata “ha’” dan menyebut isnad yang lain lagi, yaitu: bercerita kepada
kami, Abdullah bin Numair, bercerita kepada kami bapakku, bercerita kepada
kami, Ubaidillah, dia berkata: bercerita kepadaku Nafi’ dari ibnu Umar bahwa
Abbas ra. meminta ijin pada Nabi saw. untuk menginap dimakkah dimalam menginap
dimina waktu ibadah haji, karena member minuman jamaah haji, maka Nabi saw.
memberi ijin kepadanya, hadits ini di tabi’kan (diikutkan) oleh Abu
Samah, Uqbah bin Khalid dan Abu Dlamrah.
2.
Muslim berkata: bercerita kepada kami, Abu Bakar bin Abi Syaibah, bercerita
kepada kami, Waki’ dari Sufyan, disini Muslim menempatkan kata “ha’” dan
menyebut isnad yang lain lagi, yaitu: bercerita kepada kami, Muhammad bin
al-Mutsanna, bercerita kepada kami, Muhammad bin Ja’far, bercerita kepada kami,
syu’bah, kedua-duanya dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab, ini adalah
haditsnya Abu Bakar, dia berkata: orang yang pertama khutbah hari raya sebelum
sholat adalah Marwan, maka ada seseorng berdiri dan bertanya, sholat sebelum Khutabah, sudah ditinggalkan
apa yang menjadi semestinya, maka Abu Sa’id berkata: perkataan ini sudah cukup,
aku mendengar Nabi saw. bersabda: “Barang siapa diantara kamu melihat
kemugkaran maka rubahlah dengan tanganya, kalau tidak mampu maka dengan
perkataanya, kalau tidak mampu juga, maka dengan hatinya, itulah
selemah-lemhanya iman”
Perhatikanlah bahwa perawi hadits
yang menjadi penghubung antara kedua sanad diatas adalah Qais bin Muslim, dua
periwayatanya pun memakai kata “an”
dari dia adalah Sufyan dan Syu’bah, disitulah sighat (bentuk) periwayatanya
sama yaitu “an” maka Muslim menempatkan “ha’” pengalihkan isnad
hadits sebelum menyebut seorang perawi yaitu Qais bin Muslim.
Muslim berkata:dalam hadit yang
menjelaskan sifta-sifat orang munafik, bercerita kepada kami, Abu Bakar bin Abi
Syaibah, bercerita kepada kami, Abdullah bin Numair, disini Muslim menempatkan
kata “ha’” dan menyebut isnad yang lain, yaitu: dan bercerita kepada
kami Abdullah bin Numair, bercerita kepada kami bapakku, bercerita kepada kami
al-A’masy, Muslim menempatkan kata “ha’” dan menyebut isnad yang lain
lagi, yaitu: dan bercerita kepada kami Zuhair bin Harab, bercerita kepada kami
Waki’, bercerita kepada kami Sufyan dari al-A’masy, dari Abdullah bin Murrah
dari Masruq dari Abdullah bin Umar, dia berkata: bersabda Nabi saw…….
Perhatikanlah bahwa perawi hadits
yang menjadi penghubung antara kedua sanad diatas adalah al-A’masy, sighat
(bentuk) periwayatanya berbeda, sekali mengatakan: “haddatsana al-A’masy”,
kadang “an” al-A’masy, maka Muslim menempatkan “ha’” (pengalihkan
isnad hadits) setelah menyebut seorang perawi yaitu al-A’masy.
Halaman
150
3. Abu Daud berkata: bercerita kepada
kami, bercerita kepada kami Ibrahim bin Khalid, bercerita kepada kami Aswad bin
Amir, bercerita kepada kami Syarik, disini Abu Daud menempatkan kata “ha’”
dan menyebut isnad yang lain, yaitu: dan bercerita kepada kami Muhammad bin
Abdullah al-Makharramiy, bercerita kepada kami Syarik bin Waki’ dari Ibrahim
bin Jarir dari al-Mughirah dari Abi Zar’ah dari Abu Hurairah, dia berkata, “Nabi
saw. kalu pergi ke WC. saya membawakanya satu bag atau ember air laul beliau
bersuci dengan airi tu”, Abu Daud menaambah dalam hadist yang melalui Waki’:
“Kemudia belia menggosok-gosokkan tangan ketanah, lalu saya membawakanya air
lagi yang dipakai berwudlu’ oleh beliau”, kata Abu Daud, hadits Aswad bin
Amir lebih sempurna.
4.
al-Tirmizdi berkata: bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa’id, bercerita kepada
kami Abu ‘Awanah dari Sammak bin Harab, disini al-Tirmizdi menempatkan kata “ha’”
dan menyebut isnad yang lain, yaitu: bercerita kepada kami Hannad, bercerita
kepada kami Waki’ dari Isra’il dari Ma’shab bin Sa’ad dari Ibnu Umar dari Nabi
saw. beliau bersabda: “tidak diterima shlat tanpa bersuci dan sedeqah yang
keterlaluan”, dalam haditsnya Hannad berkata: “illa bi thahurin”
bukan “bila thahurin”
5.
al-Nas’I, berkata: Mengabarkan kepadaku Harun bin Abdullah, dia berkata: bercerita kepada kami Ma’an dia berkata: bercerita kepada kami Malik, sampai disini
al-Tirmizdi menempatkan kata “ha’” dan menyebut isnad yang lain, yaitu:
al-Harits bin Miskin membaca hadits, saya mendengarnya dari ibnu al-Qasim dia
berkata: bercerita kepadaku Malik dari Nafi’ dari ibnu Umar dia berkata: Di
zaman Nabi saw. laki-laki dan wanita-wanita berwudlu’ semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar