FAKHR AL-DIN AL-RAZIY,
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Mnahij Al-Mufassirin
Oleh:
MUHYI ABDURROHIM (082092011)
yang dibina oleh :
Dr. KH Abdullah M.Hi.
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) JEMBER
2012
BABI PENDAHULUAN
Sejak zaman Rasulullah saw,
sebenarnya sudah dikenal dua cara penafsiran, yaitu penafsiran berdasarkan
petunjuk wahyu, dan penafsiran berdasarkan ijtihad atau ra'y. Rasulullah saw
sendiri sesungguhnya sudah menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ijtihad. Akan
tetapi, ijtihad Rasullah itu tentunya ditopang oleh wahyu, yaitu akan dikoreksi
oleh wahyu Allah sekiranya ijtihad beliau tidak tepat. Oleh karena itu, tidak
ada kekhawatiran bahwa penafsiran beliau yang bersifat ra'y akan mengalami
penyimpangan.
Di masa sahabat, sumber untuk
memahami ayat-ayat al-Qur’an, di samping ayat itu sendiri, juga riwayat dari
Nabi dan ijtihad mereka meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas. Akan tetapi
perlu dicatat bahwa para sahabat sesungguhnya sangat hati-hati. Mereka tidak
berani menafsirkan ayat-ayat yang memang tidak mereka ketahui maknanya. Dengan
kata lain, mereka tidak berusaha untuk membuat penafsiran berdasarkan ra'y
sendiri. Kehati-hatian untuk menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra'y juga tetap
dipraktekkan oleh para tabi'in. Mereka tetap konsisten dengan sikap sahabat.
Dengan demikian, corak penafsiran ra'y memang belum berkembang pesat sampai
pada akhir abad pertama hijriyah.
Pada abad-abad selanjutnya, usaha
penafsiran berdasarkan ra'y mulai berkembang, timbul seiring dengan
perkembangan Islam di bidang politik yang ditandai dengan meluasnya
wilayah-wilayah Islam. Dalam ekspansi ini, umat Islam bertemu dengan berbagai
problema yang membutuhkan pemecahan-pemecahan berdasarkan al-Qur’an dan hadis.
Di samping itu, umat Islam bertemu pula dengan beraneka macam budaya yang
tentunya turut mempengaruhi mereka dalam memahami al-Qur’an. Karena
problema-problema yang ditemui tidak selalu tersedia jawabannya secara
eksplisit dalam al-Qur’an dan hadis, maka para ulama pun melakukan ijtihad
dengan memberikan interpretasi rasional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dengan
demikian, penafsiran rasional terhadap ayat al-Qur’an adalah hal yang tak
terhindarkan sesuai dengan perkembangan hidup dan akal pikiran manusia.
Perkembangan ilmu-ilmu keislaman
yang tumbuh sejalan dengan perkembangan dan perluasan Islam, mempengaruhi pula
perkembangan corak dan metode tafsir. Setiap mufassir yang memiliki bidang
keahlian tertentu cenderung menafsrikan al-Qur’an berdasarkan latar belakang
keahlian dan ilmu yang dimilikinya. Muncullah kemudian corak tafsir yang
bermacam-macam. Misalnya, tafsir yang bercorak fiqih, filsafat, tasawwuf,
keilmuan, kebahasaan, teologis, dan sebagainya.
Susunan dan bahasa al-Qur’an
merupakan salah satu alasan tersendiri mengapa penafsiran dan penggalian
terhadap makna ayat-ayatnya justru menjadi tugas umat yang tak akan pernah
berakhir. Hal ini ditopang oleh keyakinan umat Islam bahwa al-Qur’an adalah
kitab suci, teks-teksnya sacral, yang
akan berlaku abadi sepanjang masa. Oleh karena itu, ia memerlukan interpretasi
dan reinterpretasi secara kontinyu mengikuti perkembangan zaman. Jelasnya,
selalu dibutuhkan adanya reaktualisasi nilai-nilai al-Qur’an sesuai dengan
dinamika al-Qur’an sendiri.
Tafsir, sebagai usaha memahami dan
menerangkan maksud dan kandungan al-Qur’an, telah mengalami perkembangan yang
cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman dalam
corak penafsiran adalah hal yang tak dapat dihindarkan. Berbagai faktor dapat
menimbulkan keragaman itu : perbedaan kecenderungan, interest, dan motivasi
mufassir; perbedaan misi yang diemban; perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang
dikuasai, perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari; perbedaan situasi dan
kondisi yang dihadapi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan berbagai corak
penarsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran tafsir yang bermacam-macam,
lengkap dengan metodenya sendiri-sendiri.
Salah satu pemikir muslim yang ikut
menyumbang khazanah tafsir al-Qur’an adalah Fakhruddin al-Razi, seorang ilmuwan
yang menguasai berbagai bidang keilmuan secara mendalam. Salah satu karya fenomenalnya
adalah Mafatih al-Ghaib, sebuah kitab tafsir dengan gaya pembahasan yang
berbeda dengan kitab-kitab tafsir sebelumnya, yang dikenal sebagai kitab tafsir
yang mempunyai cirri-ciri penafsiran bi al-ra’y. Untuk mengenal lebih jauh
biografi Fakruddin al-Razi dan karakter, kelebihan dan kekurangan kitab Mafatih
al-Ghaib, kami susun tulisan ini sebagai tugas mata kuliah “ Manahij
al-Mufassiri ” dengan sistematika sebagai berikut.
BAB II PEMBAHASAN
A.
Biografi Fakruddin al-Razi
Fakruddin al-Razi adalah salah
seorang ulama’ yang terkenal pada abad ke-6 H. dari kalangan ahlu sunnah. Dia
dikenal sebagai ulama’ yang banyak melontarkan ide-ide yang dikembangkan oleh
Imam Ash’ary dan berpegang pada mahdzab Imam asy-Syafi’i. Dia terkenal di
masanya dan bahkan sampai sekarang, dan juga selalu disebut-sebut namanya baik
dikalangan mutakallim (Ahli ilmu kalam) dan ahli lughah apalagi dikalangan ahli
tafsir. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah, Muhammad bin ‘Umar bin Husain bin
Hasan bin ‘Ali, al-Tamimy, al-Bakry, al-Tabristany, al-Razy. Gelarnya adalah
Fakhr al-Din, dia juga dikenal dengan nama Ibn al-Khatib al-Safi‘iy. dia lahir
pada bulan Ramadan tahun 544 H. di kota al-Ray (Kota yang terletak di wilayah
selatan Iran dan sebelah timur laut Teheran) dan wafat pada
tahun 606 H. di al-Rayyu[1].
Sekian banyak para ulama yang
terkenal dan kita kenal, mayoritas mereka itu selalu keluar dari negerinya demi
untuk menuntut ilmu, sama halnya seperti Imam al-Razi mengalami perjalanan yang
panjang dalam menuntut ilmu. Dari negerinya Al-ray berangkat ke negeri
Khurasan, yang mana di Khurasan itu banyak ulama besar. Muhammad ibn Muhammad
Abu Shahbah, dalam bukunya Israiliyyat wa al-Mawdu'at fi Kutub al-Tafsir wa
al-Hadith menuturkan, bahwa dari Khurasan atau lebih dikenal lagi dengan
Bukhara, Imam al-Razi melanjutkan perjalanannya ke Iraq, terus ke Syam. Namun
lebih banyak waktunya digunakan di Khawarzim untuk belajar memperbanyak
ilmunya, kemudian beliau berangkat ke negeri kota Hirah di daerah Afganistan
sampai wafat di sana[2].
Guru pertamanya adalah ayahnya
sendiri Diya’ al-Din abu al-Qasim Umar al-Razi, atau yang dikenal dengan Khatib
al-Ray, ayahnya merupakan salah satu murid dari Abu Muhammad al-Baghawy. Beliau
adalah seorang tokoh, ulama’ dan pemikir yang dikagumi oleh masyarakat al-Ray,
terutama dalam bidang sastra, fiqh, ushul fiqh, haditS, teologi dan tasawuf.
Selain itu Fakhruddin al-Razi belajar ilmu kalam dari al-Majd al-Jily salah
satu murid Imam Ghazaly-, ia juga belajar dari al-Kamal al-Sam‘any dan beberapa
guru lainnya. Selain sebagai seorang intelektual yang sangat produktif, Fakhr
al-Din al-Razi merupakan seorang da’i yang sangat handal dan kondang. Ia tidak
hanya mahir berdakwah dengan berbahasa Arab, tapi juga lihai berdakwah dengan
bahasa asing (persia)[3].
Fakhruddin al-Razi adalah seorang
intelektual muslim yang tersohor dan menguasai banyak disiplin keilmuan. Dia
adalah pakar tafsir, fiqh, ushul fiqh, ilmu falak, ilmu alam dan ilmu akal.
Karena ketenarannya itulah, dia sering menerima berbagai kunjungan dari para
ulama’ yang datang dari berbagai negara.
Dia mempelajari ilmu-ilmu diniah dan
‘aqliah sehingga sangat menguasai ilmu logika dan filsafat serta menonjol dalam
bidang ilmu kalam[4].
Mengenai ilmu-ilmu tersebut dia telah menulis beberapa kitab, sehingga dia juga
dipandang sebagai seorang filosof pada masanya. Dan kitab-kitabnya menjadi
rujukan penting bagi mereka yang menamakan dirinya sebagai filosof Islam.
B.
Karya-karya Fakhruddin al-Razi
Fakhruddin al-Razi adalah seorang
ulama’ besar yang memiliki kualifikasi keilmuan yang sangat luas. Selama
hidupnya dia telah menyusun sejumlah karya, baik yang langsung ditulis oleh
Fakhruddin sendiri atau karya yang ditulis oleh muridnya, hasil dari beberapa
kuliah yang pernah disampaikannya.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang
jumlah buku yang telah dikarang oleh Fakhruddin al-Razi. Menurut Abdul Halim
Mahmud, selama hidupnya, Fakhruddin al-Razi berhasil menyusun lebih dari 200
buah karya ilmiah dalam berbagai ilmu. Sementara Abdul Aziz Madjub menyebutkan
bahwa ada 97 judul yang dapat ditemukan, baik dalam bentuk buku, maupun masih
dalam bentuk manuskrip. Dari sekian banyak tulisan imam al-Razi ada beberapa
karangannya yang banyak dipakai oleh umat dan banyak yang mengambil manfaat
dari karangannya tersebut. Diantara karangan Fakhruddin al-Razi adalah :
1.
Mafatih al-Ghayb (tafsir al-Qur'an).
2.
Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta'wil (tafsir)
3.
Ihkam al-Ahkam
4.
al-Muhassal fi Usul al-Fiqh
5.
al-Burhan fi Qira'ah al-Qur'an
6.
Durrah al-Tanzil Wa Ghurrat al-Ta'wil fi Ayat al-Mutashabbihat
7.
Sharh al-Isharat wa al-Tanbihat li Ibn Shina
8.
Ibtal al-Qiyas
9.
Sharh al-Qanun li Ibn Shina
10.
Al-Bayan wa al-Burhan fi Raddi 'ala Ahli al-Dhaiqi wa al-Tughyan[5]
11.
Ta'jiz al-Falasifah
12.
Risalat al-Huduth
13.
Risalat al-Jauhar
14.
Muhassalu Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta'akhkhirin min al-Hukama' wa
al-Mutakallimin fi 'Ilm al-Kalam
15.
Sharh al-Mufassal li al-Zamakhshari
C.
Mengenal Tafsir Mafatih al-Ghaib
Mafatih al-Ghaibn-ya al-Razi. Tafsir
ini, punya tiga nama sekaligus, Mafatih al-Ghaib, Tafsir al-Kabir, dan tafsir
al-Fakhr al-Razi. Simpang siurnya nama tafsir ini, karena si penulis tidak
sempat menamakannya sendiri. Berbeda dengan al-Qurthubi, dan Nawawi al-Bantani
yang kebetulan sempat menyebut sendiri nama tafsirnya. Al-Qurthubi menyebut
sendiri tafsirnya dengan nama Jami’ al-Ahkam dan Nawawi al-Bantani memberi nama
tafsirnya Marah Labid. Kasus serupa ini
juga terjadi pada tafsir-tafsir lainnya, seperti tafsir Ibn Katsir misalnya.
Walaupun Fakhruddin al-Razi banyak
mendalami masalah-masalah filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani, akan tetapi hal
itu tidak menghalangi dan tidak menyurutkan perhatiannya terhadap penggalian
berbagai macam ilmu pengetahuan dari al-Qur’an. Yang pada akhirnya dia
mengerahkan segala kemampuan yang ada dan mengerahkan segenap kehidupannya
untuk mempelajari dan mendalami penafsiran al-Qur’an. Dalam hal ini dia berhasil
menulis kitab Tafsir al-Kabir atau
Mafatih al-Ghayb di periode akhir hidupnya[6].
Kitab ini merupakan kitab tafsir bi
al-ra’yi yang sangat besar dan luas pembahasannya. Kitab ini sudah dicetak
berulang kali di berbagai Negara dan sering menjadi bahan kajian umat islam di
seluruh penjuru dan merupakan kitab tafsir yang banyak dirujuk oleh para ulama’
dalam menafsirkan a-Qur’an, terutama di kalangan ahli ilmu pengetahuan, ketika
mereka berusaha mengungkapkan rahasia kebesaran dan keagungan Tuhan yang
tersirat di seluruh alam. Kitab ini dicetak dalam 16 jilid berukuran besar yang
terdiri dari tiga puluh dua juz.
Tafsir al-Kabir ini ternyata bukan
berasal dari beliau semuanya akan tetapi ada dua orang ulama yang menyempurnakan
setelah beliau wafat. Itu semua disebabkan karena sebelum tafsir itu sempurna
malaikat maut sudah mengambil nyawa beliau. Makanya beliau hanya sempat
menafsirkan al-Qur'an sampai surat al-Anbiya' dan setelah itu dilanjutkan oleh
Imam Shihab al-Din al-Hauby tahun 639 Hijriyah, di Damashkus, dan setelah itu
dilanjutkan oleh Imam Najm al-Din al-Makhzumy al-Qamuly. Pada tahun 727
Hijriyah di mesir[7].
Ibnu Qahdi Shaibah mengatakan:
"Sesungguhnya Fakhruddin al-Razi tidaklah menyempurnakan tafsirnya".
Ibnu Hajar juga berkomentar tentang ini. Tafsir Imam Fakhruddin al-Razi
disempurnakan oleh Najm al-Din al-Qamuly.
Husein al-Dzahabiy mengungkapkan
bahwa walaupun tafsir al-Razi disempurnakan oleh ulama setelahnya namun tidak
ditemukan perbedaan dalam menafsirkannya karena manhaj dan jalur ketiga ulama
ini sama walaupun berbeda zaman. Maka Si pembaca tidak akan bisa membedakan
mana yang asli dari Fakhruddin al-Razi dan mana yang ditambah oleh ulama yang
setelahnya itu. Bahkan dari awal hingga akhir kitab tafsir ini terpola dalam
model dan metode yang sama, sehingga sulit sekali untuk membedakan antara yang
asli dan yang dilengkapi, serta tidak gampang menentukan batas sebenarnya yang
telah ditulis oleh Fakhruddin sendiri dan batas yang ditulis oleh orang yang
menyempurnakannya[8].
D.
Metode dan Kecenderungan Tafsir Mafatih al-Ghaib
a.
Sumber Penafsiran
Kitab tafsir Mafatih al-Ghayb tergolong tafsir bi al-ra’yi, bi al-ijtihad, bi al-Dirayah, Atau
bi al-Ma'qul, karena penafsirannya didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran
terhadap tuntutan kaidah bahasa 'arab dan kesusastraan, serta teori ilmu
pengetahuan. Pendapat ini benar adanya, sebagaimana yang telah penulis telusuri
dalam karya ini, Fakhruddin al-Razi banyak mengemukakan ijtihadnya mengenai
arti yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an disertai dengan penukilan dari
pendapat-pendapat ulama’ dan fuqaha’ yang lain. Dia memberikan porsi yang
teramat luas terhadap gerak pikirannya dalam Tafsir ini. Sehingga penulis dapat
mengatakan bahwa Tafsir Mafatih al-Ghayb sebagai tafsir bi al-ra’yi. Tafsir
Mafatih al-Ghayb dimasukkan dalam
kategori kitab tafsir bil al-ra’yi yang terpuji (al-tafsir al-mamduh).
Dalam menafsirkan ayat demi ayat,
Fakhruddin al-Razi memberikan porsi yang terbatas untuk Hadits, bahkan ketika dia
memaparkan pendapat para fuqaha’ terkait perdebatan seputar fikih, dia
memaparkannya dan mendebatnya tanpa menjadikan Hadist sebagai dasar pijak.
Ini adalah salah satu kitab tafsir
bi al-ra’yi yang paling komprehensif, karena menjelaskan seluruh ayat
al-Qur’an. Sang pengarang terlihat berusaha menangkap substansi (ruh) makna
yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Al-Razi, untuk menggapai tujuan
(tafsir)-nya, yaitu menetapkan keistimewaan akal dan ilmu di hadapan al-Qur’an,
membersihkan dari kerancuan fikiran dan kedangkalan akal, serta menegaskan
kebenaran riwayat (teks) dengan kedalaman fikiran”.Contoh penafsiran bi
al-ra’yi Fakhruddin al-Razi dalam karyanya adalah surat al-nisa’ ayat ke 3,
yang berkenaan dengan poligami, Allah swt berfirman :
وان خفتم الا
تقسطوا في اليتمى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع ,الاية
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat”.
Al-Razi menganalisa ayat diatas
seluas-luasnya, menurut hemat penulis ada tujuh pembahasan atau pokok masalah, Cuma
yang menarik penulis adalah ketika Al-Razi sampai pokok masalah keenam, pada
ayat “ مثنى وثلاث ورباع “ dalam
penafsiranya Al-Razi,
menampilakan salah satu pendapat bahwa, poligami tidak terbatas pada emapt
istri saja, akan tetapi menurut analisa teks,
lanjut Al-Razi adalah Sembilan
bahkan delapan belas istri, meskipun ahirnya Al-Razi sendiri yang membantah pendapat tersebut.
Para
ulama fiqih menurut al-Razi, dalam memutuskan istri maksimal adalah empat itu
lemah, denga ndua alasan:
1). Ayat diatas tidak membatasi apapun karena masuk
dalam katagori kalam khabar, semsntara hadits Ghailan dan Naufal bin Mu’awiyah yang
diperintah Nabi saw. poligami
dibatasi pada emapt istri saja, adalah katagori hadits Gharib, dalam
qaidah ilmu Ushul Fiqih itu tidak boleh.
2). Perintah Rasulullah kepada Ghailan dan Naufal bin Mu’awiyah bisa saja disebabkan
factor-faktor lain, seperti ada ikatan kesaudaraan baik nasab atau radla’,
(susuan), kesimpulanya kemungkinan-kinan
ini melemahkan hdits diatas, maka hadits itu tidak menasakh al-quran.
Ijma’
ulama’ yang memutuskan lanjut Al-Razi,
istri
maksimal empat, ini adalah pendapat yang kuat, akan tetapi ada dua pertanyaan
dengan Ijma’ ulama’ tersebut,
1). Ijma’ ulama’ tidak bisa menaskh nash al-Quran,
kenapa Ijma’ pembatasan istri maksimal
adalah empat, kok bisa menaskh ayat diatas?
2). Sebagian kecil umat Islam ada yang memperktekkn
beristri lebih dari empat, sedangkan Ijma’ dengan satu atau dua orang tidak
setuju bukanlah ijma’, apakah itu masi dikatakan Ijma’ ?
Al-Razi sendiri
yang membantah pendapat tersebut, dia menjelaskan: jawabn dari pertanyaan yang
pertama adalah: Ijma’ menyingkap dari hasil yang menasakh di zaman Nabi saw.
artinya dizaman Nabi saw.tidak ada
satupun sahabat yang beristri lebih dari empat, sampai pada tabi’in dan tabi’
al- tabi’in, jawabn dari pertanyaan yang kedua: Golongan yang tidak setuju
dengan ijma’ulama diatas adalah ahli bid’ah, jadi tidak ada pengaruhnya.
Meskipun tafsir al-Razi dianggap
oleh sebagian besar ulama’ sebagai contoh yang sempurna dari corak tafsir bi
al-ra’yi, namun hal itu tidaklah berarti bahwa dalam tafsir ini tidak
didapatkan dasar-dasar riwayat atau manqul. sesungguhnya setiap pengamat tafsir
al-Razi dapat menemukan bahwa di dalamnya dipenuhi dengan pengungkapan
riwayat-riwayat yang diambil dari mufassir-mufassir pendahulunya. Hanya saja
al-Razi tidak begitu saja menerima riwayat-riwayat tersebut tanpa kritik.
b.
Cara Penjelasan
Adapun cara penjelasannya, kitab ini
bisa dikategorikan sebagai kitab tafsir muqarin, karena Fakhruddin al-Razi dalam
penafsirannya sering mengkomparasikan pendapatnya atau pendapat seorang ulama
dengan pendapat ulama' lainnya. Nama beberapa ulama' selain sahabat dan tabi'in
dalam berbagai disiplin ilmu yang sering disebutkan pendapatnya dan dikomparasikan
antara lain adalah: al-Syafi‘i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hambal,
al-Ash‘ari, al-Ghazali, kelompok Mu‘tazilah dan Ash‘ariyah, Hasan al-Basri,
al-Zamakhshari, al-Farra', Ibnu Katsir, ‘Ashim dan lain-lain.
Seperti ketika membahas tentang ta’awudz,
al-Razi mengkomparasikan beberapa pendapat, bahwa sebagian besar ulama’
sesungguhnya mereka sepakat membaca ta’awudh ( أعوذ بالله
من الشيطان الرجيم
) sebelum membaca الفاتحة" “. tetapi-lanjut al-Razi, Daud
al-Isfahany mengatakan bahwa itu dibaca setelah الفاتحة"” (sebelum ayat lain). Demikian juga
pendapat dalam salah satu riwayat dari Ibn Sirrin. Di sini al-Razi menghadirkan
riwayat dari Jabir:
أن النبي ص.م
حين افتتح الصلاة قال: الله أكبر كبيرا ثلاث مرات, والحمد لله كثيرا ثلاث مرات, و
سبحان الله وأصيلا ثلاث مرات , ثم قال: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم من همزه
ونفخه ونفثه.
Selanjutnya al-Razi memperjelas
status membaca ta’awudz dengan surat an-Nahl ayat 98, Allah swt
berfirman :
فإذا قرأت
القران فاستعذ بالله من الشيطان الرحيم(النحل :98(
“Apabila kamu membaca al-Qur’an,
maka hendaklah kamu meminta perlindungan dari Allah dari syetan yang terkutuk”.
(Q.S An-Nahl: 98)
Kemudian Fakhruddin al-Razi juga
menggunakan pendekatan dengan mengkomparasikan ayat-ayat al-Qur’an yang
berbicara tentang masalah yang sama sekalipun redaksinya berbeda atau
redaksinya mirip tetapi kandungannya berlainan.
c.
Keluasan Penjelasan
Ditinjau dari segi keluasan
penjelasan, tafsir Mafatih al-Ghayb bisa di kategorikan sebagai kitab tafsir
yang sangat luas penjelasannya dan mendetail dan rinci (itnaby wa tafshili).
Bahkan mungkin bisa dikatakan “terlalu luas” untuk ukuran kitab tafsir. Karena
dalam kitab tersebut terdapat berbagai pembahasan mulai kebahasaan, sastra,
fikih, ilmu kalam, filsafat, ilmu eksakta, fisika, falak dan lain-lain.
Ketika penulis mencermati kitab
tafsir ini, penulis mendapatkan penafsiran yang begitu luas, satu ayat dengan
3-7 masail dan satu surat dijelaskan dengan 8-10 fasl, sperti ayat poligami
diatas, tentulah ini cukup menggambarkan keluasan pembahasan dalam penafsiran
kitab Mafatih al-Ghayb, sehingga menurut hemat penulis sangatlah pantas kitab
tafsir ini dikategorikan sebagai kitab tafsir dengan metode itnaby wa tafsili.
d.
Sasaran dan Tertib Ayat yang Ditafsirkan
Tafsir Mafatih al-Ghaib disusun oleh
Fakhruddn al-Razi secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat,
semuanya sesuai dengan urutan yang ada dalam mushaf, dimulai dari penafsiran
terhadap surat al-Fatihah dan al-Baqarah, dan seterusnya sampai surat al-Nas. Karena disusun secara berurutan
ayat demi ayat maka kitab tersebut dikategorikan tahlily. Dan karena disusun berurutan
surat demi surat maka kitab tersebut bisa dikategorikan mushafy.
e.
Kecenderungan
Meskipun dalam tafsirnya dia
membahas berbagai hal dalam berbagai bidang, ada beberapa pembahasan yang
mendapatkan porsi cukup besar jika dibandingkan dengan pembahasan dalam masalah
lain. Pembahasan yang mendapatkan porsi cukup besar tersebut adalah pembahasan
tentang filsafat, ilmu kalam, dan ilmu alam semisal astronomi geografi dan
lainnya. Hal ini menyebabkan Tafsir Mafatih al-Ghayb dikategorikan sebagai
tafsir 'asri, ilmi, al-I’tiqad dan falsafi.
Sebagai penganut ilmu kalam aliran
Asy‘ari, dia sering menghadirkan perdebatan kelompoknya dengan kelompok
Mu‘tazilah, Al-Raziy menghadirkan perdebatan tersebut dengan tujuan
mengungkapkan kelemahan argumen-argumen kelompok Mu‘tazilah. dia menentang
keras dan membantahnya dengan segala kemampuan yang ada. Hanya saja, Fakhruddin
al-Razi dalam perdebatan-perdebatan tersebut, acap kali tidak memberikan
bantahan yang seimbang dengan argumen-argumen Mu‘tazilah yang dia paparkan.
Kalau kita membaca pembahasan
filsafat dan ilmu kalam kitab tersebut, kita akan mampu menangkap jati diri
Fakhruddin al-Razi sebagai seorang filusuf handal dan sebagai ulama ilmu kalam
yang banyak terpengaruh oleh tokoh-tokoh besar semisal al-Ghazali, al-Juwaini
dan al-Baqillani.
Selanjutnya, dalam menafsirkan
ayat-ayat kauniyyah, Fakhruddin selalu berusaha mengungkapkan kebesaran
Tuhan, sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan yang ada, karena dominannya pembahasan pada permasalahan ini,
Tafsir al-Kabir sering dipandang sebagai ensiklopedi ilmiah tentang ilmu-ilmu
eksakta dan ilmu alam. Hal ini adalah corak baru di luar kebiasaan para
mufassir pada masa itu. Sehingga sebagian ulama’ telah menyebut Fakhruddin
al-Razi sebagai pelopor penafsiran bercorak ilmi.
Sedangkan ditinjau dari segi bahasa
dan sastra yang ditonjolkan, Tafsir Mafatih al-Ghaib ini dikategorikan sebagai
kitab tafsir bercorak adabi atau lughawi. Jika kita membaca kitab tafsir karya
Fakhruddin al-Razi ini, pada bagian awal-awal penafsiran ayat kita akan
menemukan pemaparan penafsiran dengan kaidah dan pilihan bahasa yang tinggi. Beliau banyak melibatkan ilmu balaghah dalam
mengungkap maksud ayat-ayat yang ditafsirkannya. Hal ini memanglah wajar, karena
Imam al-Razi adalah salah satu ulama’ tafsir yang sangat dalam ilmunya dalam
balaghah dan mantiq. Beliau tidak pernah melewatkan permasalahan-permasalahan
yang berkaitan dengan gramatika dan sastra.
Misalnya ketika Fakhruddin al-Razi
menafsirkan ayat pertama surat al-Fatihah بسم الله
الرحمن الرحيم
, beliau menggunakan 54 halaman,
dimana penafsiran tersebut tidak lepas dari pembahasan teks dengan menggunakan
kaidah-kaidah bahasa seperti ilmu nahwu, sharaf dan balaghahnya, juga untuk pembahasan dari segi keilmuan yang
lain. Untuk keseluruhan surat al-Fatihah, al-Razi menghabiskan 199 halaman. Hal
ini membuktikan betapa dalamnya ilmu balaghah-gramatika dan sastra yang
dimiliki al-Razi.
E.
Keistimewaan Tafsir Mafatih al-Ghaib
Dari sekian banyak ulama yang
meneliti tentang tafsirnya Al-Razi, maka ditemukanlah beberapa keistimewaan
yang terdapat dalam tafsirnya antara lain:
1)
Dia sangat mengutamakan tantang munasabah (korelasi) surat dan ayat dengan
keilmuan yang berkembang. Bahkan tak jarang ia menyebutkan lebih dari satu munasabah
untuk satu ayat tertentu atau surat tertentu.
2)
Dia bisa menghubungkan tafsir itu dengan ilmu riyadiyah (matematika) dan
falsafah, serta ilmu-ilmu lain yang dianggap baru di kalangan agama pada
masanya.
3)
Dia bisa menjelaskan tentang akidah yang yang berbeda dan bisa mencocokkan di
mana perbedaan itu.
4)
Dia mengemukakan tentang balaghah al-Qu'an dan menjelaskan beberapa kaidah
usul.
F.
Kritik terhadap Tafsir Mafatih al-Ghayb
Kitab ini juga tidak luput dari
kritik para ulama’ dari zaman dulu sampai sekarang. Beberapa kritik tersebut
antara lain:
1).
Fakhruddin al-Razi terlalu banyak mengumpulkan masalah dan pembahasan dalam
tafsirnya, sampai pembahasan yang tidak bersangkut-paut dengan ayat atau surat
yang ditafsirkan pun ia sebutkan. Bahkan lebih tegas lagi, beberapa ulama’
mengatakan bahwa “di dalamnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir.”
2).
Dalam tafsir tesebut, dia terlalu banyak mencantumkan hal-hal yang tidak
berhubungan dengan tafsir, secara berlebihan.
3).
At-Tufi (w. 716 H/1316 M.) mengatakan bahwa banyak kekurangan yang ditemukan
dalam kitab Tafsir al-Kabir.
4).
Rasyid Ridha dalam tafsir al-Mannar banyak melontarkan kritikan terhadap cara
penafsiran ayat al-Qur’an yang dilakukan Fakhruddin, diantaranya Fakhruddin
al-Razi adalah seorang ahli tafsir yang sangat sedikit pengetahuannya tentang
sunnah, pendapat para sahabat, tabi’in dan pendapat tokoh-tokoh salaf. Menurut
penulis sedikitnya sunnah Rasulullah saw atau pendapat sahabat yang dipakai
al-Razi bukan karena sedikit pengetahuannya, akan tetapi karena luasnya ra’yu
yang dia gunakan sehingga ada kesan sunnah yang digunakan hanya sedikit sekali.
Diantara beberapa kritikan yang
menghujat metode yang dilakukan oleh al-Razi ini sebenarnya telah diketahui
oleh al-Razi sendiri ketika masih hidup. Bahkan dia pernah mengatakan:
“Kalau engkau menghayati
kandungan yang ada dalam al-Qur’an secara cermat dan benar, maka engkau nanti
akan yakin bahwa pendapat yang menghujat metode yang saya lakukan adalah
pendapat yang salah”.
Wallahu A’lam bi al-Showab.
BAB
III PENUTUP
Dari uraian-uraian yang telah
dibahas di atas , maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal :
1.
Kitab tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi ini adalah termasuk
kitab al-tafsir bi al-ra’yi al-mahmud/al-mamduh (yang diperkenankan) dengan
ukuran yang besar dan mempunyai ciri khas pembahasan yang luas.
2.
Metode Tafsir Fakhruddin al-Razi (Mafatih al-Ghayb), bila ditinjau dari segi:
a.
Sumber penafsirannya: termasuk tafsir bi al-Ra'yi/ bi al-ijtihad/bi al-Dirayah/
bi al-Ma'qul.
b.
Cara penjelasannya terhadap tafsiran ayat-ayat al-Qur'an: termasuk tafsir Muqarin/
komparasi.
c.
Keluasan penjelasan tafsirnya: termasuk tafsir Itnabi / tafshily.
d.
Sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan: termasuk tafsir tahlily.
3.
Ditinjau dari segi kecenderungan/aliran penafsiran, kitab tafsir Mafatih
al-Ghayb ini termasuk kategori kitaf tafsir ilmi/’ashri, al-I’tiqad, falsafi
dan lughawi/adabi.
4.
Meskipun dalam beberapa segi tafsir ini mendapatkan kritikan dari beberapa
tokoh namun tafsir Kitab tafsir Mafatih al-Ghayb karya Fakhruddin al-Razi ini
adalah karya sangat bermanfaat dan sering menjadi rujukan bagi para ilmuwan yang ingin
mengkaji ilmu alam,
filsafat
dan ilmu kalam.
BAB
IV DAFTAR PUSTAKA
Husein al-Dzahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun Toha Putra
Semarang.
Abu Shahbah,
Israiliyyat wa
al-Mawdu'at fi Kutub al-Tafsir wa al-Hadith, al Masdkhal, Bairut, Lebanon.
Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih
al-Ghaib, Bairut, Lebanon.
Az-Zarkasyi, Al-Burhan, Bairut, Lebanon
Az-Zajjaj, Ma’ani Al-Quran Bairut, Lebanon
[1]
Oleh Husein al-Dzahabiy,
dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I hlm 206
[3]
Oleh Husein al-Dzahabiy,
dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I hlm 206
[5]
Oleh Husein al-Dzahabiy,
dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I hlm. 207
[6]
Oleh al-Shraniy, dalam
Kasyf al-Dzunun, juz II hlm. 299
[7]
Oleh Husein al-Dzahabiy,
dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I hlm. 208
[8]
Ibid. hlm. 209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar