Minggu, 01 April 2012

LARANGAN MEMINTA JABATAN


LARANGAN MEMINTA JABATAN,

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits IV
                                                                                                            



Oleh:

Muhyi Abdurrohim (082092011)

dibina Oleh:
Bpk. Al-Furqan, M.T.Hi.
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

2012


A. Pendahuluan
            Dalam sejarah kehidupan manusia, telah muncul konsepsi tentang kepemimpinan. Bagaimana Nabi Adam memimpin Hawa dan keturunannya di dunia setelah diusir dari surga. Begitu juga sejak awal kemunculan Islam, Nabi Muhammad selain sebagai seorang utusan Rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran agama tetapi juga seorang kepala Negara dan kepala rumah tangga. Paling tidak dalam catatan-catatan sejarah kenabian yang terdokumentasikan dalam Hadits-Hadits yang tetap terjaga dan masih bisa dikonsumsi sampai saat ini, Nabi memberikan contoh bagaimana seorang pemimpin menyelesaikan persoalan-persoalan pribadi maupun sosial kemasyarakatan berdasarkan musyawarah untuk tercapainya kemaslahatan.
            Masa peletakan Fondasi Islam yang di bawa Nabi Muhammad Saw. telah lama usai. Setiap ummat Islam dituntut untuk mampu mengaplikasikan ajaran-ajaran tersebut kedalam seluruh aspek kehidupan, tentunya dengan kontekstualisasi yang sejalan dengan perubahan zaman namun tetap berdasarkan tuntunan yang ada.

            Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl : 90)
Berdasarkan ayat diatas paling tidak, dapat diraba bahwa konsepsi kepemimpinan diakui oleh Islam yang dimanifestasikan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Untuk lebih mendalami hal tersebut dalam makalah ini akan sedikit dibahas beberapa hadits yang berkaitan dengan larangan meminta jabatan atau meminta diangkat sebagai pemimpin.



B. Pembahasan
a. Lafald al-Hadits   
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ. (رواه الشيخا ن)
Artinya :
            Dari Abdurrahman ibn Smurah ra. Ia berkata : Rasulullah bersabda :”Wahai Abdurrahman Ibn sammurah, janganlah kamu meminta jabatan. Jika kau diberi jabatan karena memintanya, jabatan itu diserahkan sepenuhnya. Dan Apabila kamu diberi dan tidak memintanya, kamu akan mendapat pertolongan Allah dalam melaksanakannya.  Apabila kamu bersumpah terhadap satu perbuatan, kemudian kamu melihat ada perbuatan yang lebih baik, maka kerjakanlah perbuatan yang lebih baik itu.“ (HR Bukhari dan Muslim)[1]
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ بَنِي عَمِّي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلَّاكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّا وَاللَّهِ لَا نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلَا أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ. (رواه الشيخا ن)
Artinya:
            Dari Abu Musa al-Asy’ari ra., ia berkata: bersama dua orang saudara sepupu, saya mendatangi Nabi Saw. kemudian salah satu diantara keduanya berkata: Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan pada sebagian dari yang telah Allah kuasakan terhadapmu. Dan yang lain juga berkata begitu. Lalu beliau bersabda: Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pejabat karena memintanya, atau berambisi dengan jabatan itu. (HR. Bukhari dan Muslim).[2]

b. Ma’ani Mufradat
الْإِمَارَةَ berarti jabatan, dari kata أمر, يأمر فهو أمير., وُكِلْتَ  berarti diserahkan dari kata: وكل, يوكل, توكلآ, أُعِنْتَ berarti mendapat pertolongan dari kata: أعان, يعين أعانة[3]
c. Biografi Perawi Hadits
             Abdurrahman bin Samurah (wafat 50 H) Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Samurah bin Habib bin AbduSyams Al-Qurasyi, seorang sahabat yang dijuluki dengan Abu Said. Beliau masuk Islam ketika penaklukan Kota Mekah, dia sempat ikut dalam Perang Muktah, penaklukan Sijistan, Kabul, Sind serta Khurasan. Beliau meninggal dunia di Kota Basrah.[4]
d. Larangan Meminta Jabatan
            Menjadi seorang penguasa atau pejabat memilikai tanggung jawab yang sangat beratdi dunia dan akhirat, apalagi kalau sampai dia menjadi seorang penguasa yang tidak amanah, yang menyalahgunakan kekuasaan, dan sebagainya yang akan menjadipenyesalannya di akhirat kelak.[5] Mungkin kalau kita mengikuti petunjuk dariRasululullah  maka kita tidak akan terjerumus di dalam kebinasaan yang sangatjauh. Islam tidak pernah sembarangan dalam memilih seorang penguasa, apalagi seorang yang datang menyodorkan dirinya untuk diangkat menjadi seorang penguasa. Hadits diats menunjukan petunjuk dari rasulullah  kepada ummatnya agar tidakmeminta menjadi penguasa atau pejabat.
            Di dalam hadits diatas, Rasulullah  meletakan dua kaidah, yaitu Pertama : (kami tidak akan memberikan urusan ini kepada orang yang memintanya). Semata-mata meminta, bisa menghalangi diembankannya suatu urusan atau jabatan. Bahkan telah dijelaskan bahwa haram hukumnya bagi seorang muslim untuk mengharapkan jabatan dan pekerjaan dalam mengurusi kemaslahatan umat secara umum seperti larangan yang tertuang dalam hadits pertama. Kecuali pada kondisi-kondisi tertentu.
            Kedua, (dan orang yang berambisi untuk memperolehnya). Ada orang yang meminta apabila dikatakan kepadanya: “ Kami tidak akan memberikannya kepadamu,” maka dia akan meninggalkan dan menerima dengan lapang dada. Ada juga orang yang bernafsu menggunakan berbagai cara agar bisa sampai kepada suatu jabatan. Yang kedua ini terjatuh pada bahaya yang lebih besar daripada yang orang yang pertama.
            Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan di dalam “Fath al-Bariy” ketika menjelaskan hadits ini:” Dari Ibnu Al-Mahlab bahwa beliau berkata: “ Haus kekuasaan adalah penyebab timbulnya peperangan hingga mengorbankan darah, harta benda dan kemaluan. Dahsyatnya kerusakan di muka bumi disebabkan hal ini.” [6] Didalam hadits lain disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ, (رواه البخاري , عن أبي هريرة).
            “Sungguh kalian akan berambisi untuk mendapatkan kekuasaan. Dan kekuasaantersebut akan menjadi penyesalan pada hari kiamat. Betapa baiknya anak yangdisusui dan betapa jeleknya anak yang disapih.” (Riwayat Bukhari no. 7148, dari Abu Hurairah
            Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
            Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elite politik atau “calon pemimpin” di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau “sekadar” uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang ekstrem, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut, atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Nas’alullah as-salamah wal ‘afiyah.
            Al-Muhallab berkata sebagaimana dinukilkan dalam “Fathul Bari”[7], “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita yang itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah, dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi.” Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan azab.
            Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Allah mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak zalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.”[8]Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh karena itu, seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” [9].
            Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pemimpin, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum serta bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir.
            Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekadar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan ungkapan ‘serigala berbulu domba’. Ini sungguh merupakan perbuatan yang memudaratkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.
            Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah n menggambarkan kerakusan terhadap jabatan melebihi dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:
مَا ذِ ئْبَانِ جَا ئِعَانِ أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَا لِ وَالشَّرَفِ لِدِ يْنِهِ
            “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi)[10]
f. Sifat Seorang Pemimpin
            Di tengah gencarnya para elite politik menambang suara dalam rangka memperoleh kursi ataupun jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar di atas dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadits Abu Dzar  yang menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi pemimpin.
            Rasulullah bersabda kepada Abu Dzar z, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah.” Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya. Namun amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat pada dirinya. Namun jika seseorang itu kuat, maka dikatakan kepadanya, dia seorang yang kuat. Sebaliknya, bila dia seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini merupakan suatu nasihat. Tidaklah berdosa orang yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan nasihat, bukan untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.
            Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin  berkata, “Makna ucapan Nabi kepada Abu Dzar  adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena dia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang kuat lagi tepercaya. Kuat dari sisi, punya kekuasaan dan perkataan yang didengar atau ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah dia tidak teranggap sedikit pun. Akan tetapi apabila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah, tidak melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.”[11]
            Kepemimpinan adalah amanat, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti dia tengah memikul amanat. Tentunya, yang namanya amanat harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah, Rasulullah n melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah n juga bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
            “Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanat?’ Beliau menjawab, ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat’.” [12] Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa berkata, “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah. Maka salah seorang dari keduanya berkata, ‘Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah:
إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
            “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” [13]
            Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah  kepada Abdurrahman bin Samurah di atas, ”Bila engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” Siapa yang tidak ditolong maka dia tidak akan mampu. Tidak mungkin suatu jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. [14]
                        Al-Imam an-Nawawit berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar, “Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan, terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut, atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya.
            Juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Namun bersamaan dengan itu, karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasululla saw. memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang saleh dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut.”[15].

BAB III KESIMPULAN
            Dari penjelasan sedikit diatas dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh segala cara untuk bisa mendapatkannya.
2. Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku jabatan/ kedudukan adalah orang yang menolak ketika diserahkan kepemimpinan, jabatan, dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.
3. Kepemimpinan adalah amanat yang besar dan tanggung jawab yang berat. Maka wajib bagi yang menjadi pemimpin untuk memerhatikan hak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanat tersebut.
4. Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan tersebut. Sama saja, baik ia seorang pemimpin negara yang adil, bendahara yang tepercaya, ataukah karyawan yang menguasai bidangnya.
5. Ajakan kepada manusia untuk tidak berambisi meraih kedudukan tertentu, khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
6. Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan semestinya, tidak memerhatikan hak orang-orang yang dipimpin, dan tidak melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.





BAB IV DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Hajar al-‚Asqalaniy, Fath al-Bariy,  Toha Putra Semarang.(1993)


Ibnu Utsaimin, Syarh Riyadhus Shalihin,  Bairut. Bairut,  Lebanon. (1989)

al-Bukhari,  al-Sahih al-Bukhari, Bairut,  Lebanon. (1981)

al-Nawaiy, Syarh Shahih Muslim, Lebanon. (1999)
Muhammad al-Syaukani, Nailul Authar, Bairut,  Lebanon. (1984)
al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta 1999.
al-Bukhari, Tarikh al-Kabir Bairut. Bairut,  Lebanon. (1990)


[1] (HR al-Bukhori [7147] dan Muslim [16522])
[2] (HR al-BUkhori [7149] dan Muslim [1733]).
[3] Oleh al-Munawwir, dalam Kamus al-Munawwir, hlm. 3217, Yogyakart, 1999.
[4] Oleh al-BUkhori, dalam Tarikh al-Kabir, Juz IV hlm. 177.
[5] Oleh al-‘Asqalaniy, dalam Fath al-Bariy Juz XIII, hlm. 134
[6] Oleh al-‘Asqalaniy, dalam Fath al-Bariy  Juz XIII, hlm. 133
[7] Oleh al-‘Asqalaniy,  dalam Fath al-Bariy Juz XIII, hlm. 135
[8] Oleh Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, Juz III, hlm. 412
[9] Oleh Ibnu ‘Utsaimin, dalam Syarh Riyadhush Shalihin, Juz II hlm. 469
[10] Oleh at-Tirmidzi, dalam ash-Shahihul Musnad, Juz  II hlm. 178
[11] Oleh Ibnu ‘Utsaimin, dalam Syarh Riyadhush Shalihin, Juz II hlm. 472
[12] Oleh al-BUkhori, dalam al-Sahih, hlm 59
[13]  Oleh al-BUkhori, dalam al-Sahih, 149.
[14] Oleh al-‘Asqalaniy,  dalam Fath al-Bariy Juz XIII, hlm. 133 lihat juga al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, XII hlm. 208 dan Muhammad al-Syaukani, dalam  Nailul Authar, VIII, hlm. 294
[15]Oleh  al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, XII hlm. 210-211

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits IV
                                                                                                            



Oleh:

Muhyi Abdurrohim (082092011)

dibina Oleh:
Bpk. Al-Furqan, M.T.Hi.
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI

(STAIN) JEMBER

2012


A. Pendahuluan
            Dalam sejarah kehidupan manusia, telah muncul konsepsi tentang kepemimpinan. Bagaimana Nabi Adam memimpin Hawa dan keturunannya di dunia setelah diusir dari surga. Begitu juga sejak awal kemunculan Islam, Nabi Muhammad selain sebagai seorang utusan Rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran agama tetapi juga seorang kepala Negara dan kepala rumah tangga. Paling tidak dalam catatan-catatan sejarah kenabian yang terdokumentasikan dalam Hadits-Hadits yang tetap terjaga dan masih bisa dikonsumsi sampai saat ini, Nabi memberikan contoh bagaimana seorang pemimpin menyelesaikan persoalan-persoalan pribadi maupun sosial kemasyarakatan berdasarkan musyawarah untuk tercapainya kemaslahatan.
            Masa peletakan Fondasi Islam yang di bawa Nabi Muhammad Saw. telah lama usai. Setiap ummat Islam dituntut untuk mampu mengaplikasikan ajaran-ajaran tersebut kedalam seluruh aspek kehidupan, tentunya dengan kontekstualisasi yang sejalan dengan perubahan zaman namun tetap berdasarkan tuntunan yang ada.

            Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl : 90)
Berdasarkan ayat diatas paling tidak, dapat diraba bahwa konsepsi kepemimpinan diakui oleh Islam yang dimanifestasikan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Untuk lebih mendalami hal tersebut dalam makalah ini akan sedikit dibahas beberapa hadits yang berkaitan dengan larangan meminta jabatan atau meminta diangkat sebagai pemimpin.



B. Pembahasan
a. Lafald al-Hadits   
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ. (رواه الشيخا ن)
Artinya :
            Dari Abdurrahman ibn Smurah ra. Ia berkata : Rasulullah bersabda :”Wahai Abdurrahman Ibn sammurah, janganlah kamu meminta jabatan. Jika kau diberi jabatan karena memintanya, jabatan itu diserahkan sepenuhnya. Dan Apabila kamu diberi dan tidak memintanya, kamu akan mendapat pertolongan Allah dalam melaksanakannya.  Apabila kamu bersumpah terhadap satu perbuatan, kemudian kamu melihat ada perbuatan yang lebih baik, maka kerjakanlah perbuatan yang lebih baik itu.“ (HR Bukhari dan Muslim)[1]
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ بَنِي عَمِّي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلَّاكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّا وَاللَّهِ لَا نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلَا أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ. (رواه الشيخا ن)
Artinya:
            Dari Abu Musa al-Asy’ari ra., ia berkata: bersama dua orang saudara sepupu, saya mendatangi Nabi Saw. kemudian salah satu diantara keduanya berkata: Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan pada sebagian dari yang telah Allah kuasakan terhadapmu. Dan yang lain juga berkata begitu. Lalu beliau bersabda: Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pejabat karena memintanya, atau berambisi dengan jabatan itu. (HR. Bukhari dan Muslim).[2]

b. Ma’ani Mufradat
الْإِمَارَةَ berarti jabatan, dari kata أمر, يأمر فهو أمير., وُكِلْتَ  berarti diserahkan dari kata: وكل, يوكل, توكلآ, أُعِنْتَ berarti mendapat pertolongan dari kata: أعان, يعين أعانة[3]
c. Biografi Perawi Hadits
             Abdurrahman bin Samurah (wafat 50 H) Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Samurah bin Habib bin AbduSyams Al-Qurasyi, seorang sahabat yang dijuluki dengan Abu Said. Beliau masuk Islam ketika penaklukan Kota Mekah, dia sempat ikut dalam Perang Muktah, penaklukan Sijistan, Kabul, Sind serta Khurasan. Beliau meninggal dunia di Kota Basrah.[4]
d. Larangan Meminta Jabatan
            Menjadi seorang penguasa atau pejabat memilikai tanggung jawab yang sangat beratdi dunia dan akhirat, apalagi kalau sampai dia menjadi seorang penguasa yang tidak amanah, yang menyalahgunakan kekuasaan, dan sebagainya yang akan menjadipenyesalannya di akhirat kelak.[5] Mungkin kalau kita mengikuti petunjuk dariRasululullah  maka kita tidak akan terjerumus di dalam kebinasaan yang sangatjauh. Islam tidak pernah sembarangan dalam memilih seorang penguasa, apalagi seorang yang datang menyodorkan dirinya untuk diangkat menjadi seorang penguasa. Hadits diats menunjukan petunjuk dari rasulullah  kepada ummatnya agar tidakmeminta menjadi penguasa atau pejabat.
            Di dalam hadits diatas, Rasulullah  meletakan dua kaidah, yaitu Pertama : (kami tidak akan memberikan urusan ini kepada orang yang memintanya). Semata-mata meminta, bisa menghalangi diembankannya suatu urusan atau jabatan. Bahkan telah dijelaskan bahwa haram hukumnya bagi seorang muslim untuk mengharapkan jabatan dan pekerjaan dalam mengurusi kemaslahatan umat secara umum seperti larangan yang tertuang dalam hadits pertama. Kecuali pada kondisi-kondisi tertentu.
            Kedua, (dan orang yang berambisi untuk memperolehnya). Ada orang yang meminta apabila dikatakan kepadanya: “ Kami tidak akan memberikannya kepadamu,” maka dia akan meninggalkan dan menerima dengan lapang dada. Ada juga orang yang bernafsu menggunakan berbagai cara agar bisa sampai kepada suatu jabatan. Yang kedua ini terjatuh pada bahaya yang lebih besar daripada yang orang yang pertama.
            Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan di dalam “Fath al-Bariy” ketika menjelaskan hadits ini:” Dari Ibnu Al-Mahlab bahwa beliau berkata: “ Haus kekuasaan adalah penyebab timbulnya peperangan hingga mengorbankan darah, harta benda dan kemaluan. Dahsyatnya kerusakan di muka bumi disebabkan hal ini.” [6] Didalam hadits lain disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ, (رواه البخاري , عن أبي هريرة).
            “Sungguh kalian akan berambisi untuk mendapatkan kekuasaan. Dan kekuasaantersebut akan menjadi penyesalan pada hari kiamat. Betapa baiknya anak yangdisusui dan betapa jeleknya anak yang disapih.” (Riwayat Bukhari no. 7148, dari Abu Hurairah
            Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
            Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elite politik atau “calon pemimpin” di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau “sekadar” uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang ekstrem, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut, atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Nas’alullah as-salamah wal ‘afiyah.
            Al-Muhallab berkata sebagaimana dinukilkan dalam “Fathul Bari”[7], “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita yang itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah, dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi.” Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan azab.
            Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Allah mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak zalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.”[8]Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh karena itu, seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” [9].
            Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pemimpin, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum serta bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir.
            Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekadar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan ungkapan ‘serigala berbulu domba’. Ini sungguh merupakan perbuatan yang memudaratkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.
            Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah n menggambarkan kerakusan terhadap jabatan melebihi dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:
مَا ذِ ئْبَانِ جَا ئِعَانِ أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَا لِ وَالشَّرَفِ لِدِ يْنِهِ
            “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi)[10]
f. Sifat Seorang Pemimpin
            Di tengah gencarnya para elite politik menambang suara dalam rangka memperoleh kursi ataupun jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar di atas dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadits Abu Dzar  yang menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi pemimpin.
            Rasulullah bersabda kepada Abu Dzar z, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah.” Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya. Namun amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat pada dirinya. Namun jika seseorang itu kuat, maka dikatakan kepadanya, dia seorang yang kuat. Sebaliknya, bila dia seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini merupakan suatu nasihat. Tidaklah berdosa orang yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan nasihat, bukan untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.
            Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin  berkata, “Makna ucapan Nabi kepada Abu Dzar  adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena dia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang kuat lagi tepercaya. Kuat dari sisi, punya kekuasaan dan perkataan yang didengar atau ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah dia tidak teranggap sedikit pun. Akan tetapi apabila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah, tidak melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.”[11]
            Kepemimpinan adalah amanat, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti dia tengah memikul amanat. Tentunya, yang namanya amanat harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah, Rasulullah n melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah n juga bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
            “Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanat?’ Beliau menjawab, ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat’.” [12] Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa berkata, “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah. Maka salah seorang dari keduanya berkata, ‘Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah:
إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
            “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” [13]
            Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda Rasulullah  kepada Abdurrahman bin Samurah di atas, ”Bila engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” Siapa yang tidak ditolong maka dia tidak akan mampu. Tidak mungkin suatu jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. [14]
                        Al-Imam an-Nawawit berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar, “Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan, terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut, atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya.
            Juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Namun bersamaan dengan itu, karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasululla saw. memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang saleh dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut.”[15].

BAB III KESIMPULAN
            Dari penjelasan sedikit diatas dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh segala cara untuk bisa mendapatkannya.
2. Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku jabatan/ kedudukan adalah orang yang menolak ketika diserahkan kepemimpinan, jabatan, dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.
3. Kepemimpinan adalah amanat yang besar dan tanggung jawab yang berat. Maka wajib bagi yang menjadi pemimpin untuk memerhatikan hak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanat tersebut.
4. Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan tersebut. Sama saja, baik ia seorang pemimpin negara yang adil, bendahara yang tepercaya, ataukah karyawan yang menguasai bidangnya.
5. Ajakan kepada manusia untuk tidak berambisi meraih kedudukan tertentu, khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
6. Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan semestinya, tidak memerhatikan hak orang-orang yang dipimpin, dan tidak melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.





BAB IV DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Hajar al-‚Asqalaniy, Fath al-Bariy,  Toha Putra Semarang.(1993)


Ibnu Utsaimin, Syarh Riyadhus Shalihin,  Bairut. Bairut,  Lebanon. (1989)

al-Bukhari,  al-Sahih al-Bukhari, Bairut,  Lebanon. (1981)

al-Nawaiy, Syarh Shahih Muslim, Lebanon. (1999)
Muhammad al-Syaukani, Nailul Authar, Bairut,  Lebanon. (1984)
al-Munawwir, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta 1999.
al-Bukhari, Tarikh al-Kabir Bairut. Bairut,  Lebanon. (1990)


[1] (HR al-Bukhori [7147] dan Muslim [16522])
[2] (HR al-BUkhori [7149] dan Muslim [1733]).
[3] Oleh al-Munawwir, dalam Kamus al-Munawwir, hlm. 3217, Yogyakart, 1999.
[4] Oleh al-BUkhori, dalam Tarikh al-Kabir, Juz IV hlm. 177.
[5] Oleh al-‘Asqalaniy, dalam Fath al-Bariy Juz XIII, hlm. 134
[6] Oleh al-‘Asqalaniy, dalam Fath al-Bariy  Juz XIII, hlm. 133
[7] Oleh al-‘Asqalaniy,  dalam Fath al-Bariy Juz XIII, hlm. 135
[8] Oleh Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, Juz III, hlm. 412
[9] Oleh Ibnu ‘Utsaimin, dalam Syarh Riyadhush Shalihin, Juz II hlm. 469
[10] Oleh at-Tirmidzi, dalam ash-Shahihul Musnad, Juz  II hlm. 178
[11] Oleh Ibnu ‘Utsaimin, dalam Syarh Riyadhush Shalihin, Juz II hlm. 472
[12] Oleh al-BUkhori, dalam al-Sahih, hlm 59
[13]  Oleh al-BUkhori, dalam al-Sahih, 149.
[14] Oleh al-‘Asqalaniy,  dalam Fath al-Bariy Juz XIII, hlm. 133 lihat juga al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, XII hlm. 208 dan Muhammad al-Syaukani, dalam  Nailul Authar, VIII, hlm. 294
[15]Oleh  al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, XII hlm. 210-211

Tidak ada komentar:

Posting Komentar