Biografi Imam al-Nasa’i
Para penulis sejarah
kehidupan al-Nasa’i pada umumnya menunjuk kelahiran beliau tahun 215 H, hanya
sebagian kecil yang mencantumkan tahun 214 H. Terlahir dengan nama Ahmad Putera
Suaib, bin Ali bin Bahar, bin Sunan al-Nasa’i. Beliau dibangsakan dengan
al-Khurasan, karena kota kelahiran yang disebut Nasa-a (dibaca pendek sin atau
madd) termasuk wilayah Khurasan (Iran). Beliau kemudian lebih terkenal dengan
panggilan Abu Abd. Rahman al-Nasa’i.
Kesehariannya Imam
al-Nasa’i diakui sebagai pribadi yang tekun beribadah, khususnya shalatullail
(tahajjud), gemar berpuasa mirip Nabiyullah Dawud as. (sehari berpuasa dan
esoknya berbuka), rutin pula menunaikan ibadah haji hampir setiap tahun
kehidupan keulamaannya. Beliau mengambil bagian secara aktif sebagai militer
sukarelawan muslim dalam rangka mempertahankan wilayah Mesir selaku teritorial
Daulah Islamiyah dan beliau menjadikan ceramah hadisnya sebagai misi untuk
mengobarkan semangat jihad umat Islam disekitar domisilinya. Ketahanan fisiknya
amat prima, seperti juga keampuhan ilmiahnya, terlihat pada kesanggupan beliau
memperistri empat orang wanita.
Sampai memasuki tahun
302 H Imam al-Nasa’i tetap tinggal di Mesir, selaku ulama hadis (fiqh) yang
terpandang seantero Mesir dan diduga keras pernah menjabat qodi di suatu daerah
Mesir. Terbukti dengan rumusan judul pada koleksi hadis Sunan/al-Mujtaba, namun
kecenderungan ijtihad yang dilakukan tampak memihak kepada paham Imam
As-Syafi’i. Sebuah karangan fiqh mengenai tata laksana ibadah haji dan ummrah
(manasik) di tulis oleh Imam al-Nasa’i dengan titel al-Manasik mengacu pada pemaparan
fiqh syafi’iyyah.
Pada usia senja ± 88
tahun atau tepatnya memasuki tahun 303 H. Imam al-Nasa’i berada di Syiria,
sebuah wilayah yang mayoritas penduduknya fanatik mendukung dinsti amawiyah
(raja-raja keturunan Mu’awiyah bin Abi Sufyan). Gara-gara buku karangan beliau
berjudul al-Kasa’is yang merangkum reputasi kepribadian, keilmuan dan prestasi
kepahlawanan persi militer Ali bin Abi Thalib serta ahlul-baid (keluarga besar
Nabi Muhammad SAW) beliau dituduh sebagai agen politik syi’ah. Lebih-lebih ketika
diminta sikap keterbukaannya mengenai penilaian prestasi dan reputasi mu’awiyah
bin Abi Sufyan, justru beliau bersikap sinis. Ekor dari tuduhan dan peristiwa
itu masyarakat Syiria mengintimidir (menekan) bahkan sampai kebentuk
penganiayaan fisik seperti yang berlangsung di halaman Masjid Jami’ ibukota
Syiria. Dalam kondisi kritis Imam al-Nasa’i diboyong ke kota Ramlah (Palestina)
dan akhirnya meninggal hari Senin, 13 Syafar 303 H. dan tempat pemakamannya di
Baid al-Maqdis. Demikian persi al-Thahawi dan al-Jahabi. Persi lain seperti di
tulis oleh Abu Abdillah Ibnu Mandah, sejarawan al-Khilikan dan Jalaluddin
al-Sayuthi menunjuk permintaan Imam al-Nasa’i agar dirinya yang dalam kondisi
kritis itu di boyong ke Makkah dan di sanalah beliau meninggal dunia pada
hari/tanggal/tahun seperti di atas dan dikebumikan antara Safa dan Marwah.
Naluri kultus Imam
al-Nasa’i kebetulan saja karena sesuai dengan kebutuhan yang mendesak tertuju
kepada pribadi Ali bin Abi Thalib beserta ahlul-bait Nabi, bukan tertuju kepada
aliansi Syi’ah, sebab motif karangan Imam al-Nasai berjudul “al-Khasais” itu
ditulis dalam rangka menetralisir persepsi buruk masyarakat muslim di wilayah
Damascus yang amat memprihatinkan. Dengan informasi data pribadi Ali bin Abi
Thalib beserta pribadi menonjol di lingkungan ahlul-bait Nabi, diharapkan sifat
positif masyarakat Damascus dalam menilai para leluhur umat Islam secara
proporsional. Simpati pribadi Imam al-Nasa’i sebenarnya berlaku sama keserata
sahabat Nabi Muhammad SAW, terbukti karangan beliau yang lain berjudul
“Fadha-il al-Sahabah” menjadi semacam perluasan dari karangan ter-dahulu
bertitel al-Khasais itu. Dengan demikian beliau menjadi korban kebrutalan massa
pendukung Dinasti Amawiyah.
Perjalanan studi Imam
al-Nasa’i
Keahlian hadis, Rijal al-Hadis,
‘ilal al-Hadis, theori jarah wa al-ta’dil dan keahlian fiqh diperoleh sebagai
hasil perjalanan studi yang panjang sejak usia Imam Al-Nasa’i baru menginjak 15
tahun dan mencakup wilayah Hijaz, Iraq, Siria, dan Mesir dan Al-Jazair.
Kemantapan hadis dimulai saat berguru kepada Qutaidah bin Sa’id (guru besar
hadis Imam Abu Dawud dan Imam al-Turmudzi) saat al-Nasa’i berusia 15 tahun itu
selama lebih dari 2 tahun, Ishaq bin Rahuwaih (guru besar hadis Imam al-Bukhari
dan Imam Muslim), Humaid bin Mas’adah, Haris bin Miskin (pejabat qadi Mesir
bermadzhab Maliki wafat 10 Jumadul ‘ula 237 H), Ali bin Kasiram, Imam al-Darimi
(wafat 255 H), Imam Abu Dawud dan Imam al-Turmduzi. Khusus dengan Imam
al-Darimi terdapat ikatan keilmuan hadis yang kuat karenma sebagian besar
koleksi hadis dalam Sunan al-Mujtaba mendasarkan sumber tahrij pada Sunan
al-Darimi.
Spesialisasi keilmuan
Imam al-Nasa’i tampak pada fiqhu al hadis, ilmu rijalul-hadis ‘illat hadis dan
jarah wa al-ta’dil. Untuk spesialsasi jarah dan ta’dil agaknya menjadi semacan
referensi bagi ulama muhadditsin sesudah generasi Imam al-Nasai. Pandangan fiqh
Imam al-Nasa’i seperi di sorot oleh Ibnu al-Asir al-Jazari dalam kitabnya Jami’
al-Ushul cenderung pada aliran syafi’iyyah. Berlatar belakang keahlian hadis (riwayah
yang didukung oleh perangkat kritik hadis itu maka al-Jahabi memberi gelar
kebesaran Abu Abd. Rahman al-Nasai dengan “al-Imam”, “al-Hafidz” dan “Syaikhul
Islam”.
Selama karier keulamaan
hadis Imam al-Nasa’i telah berhasil membina kader ulama generasi berikutnya,
antara lain : Abu Basyar al-Daulabi (perawi utama Sunan al-Nasa’i), Abu
al-Qasim al-Tabrani (kolektor hadis dengan judul al-Mu’jam), Abu Ja’far
al-Thahawi (pengulas kitab-kitab hadis), Imam Abu ‘Awanah (kolektor Shahih Abu
‘Awanah), Husein bin al-Hadir al-Sayuthi, Muhamad bin Mu’awiyah al-Andalusi,
Abu Bakar al-Suni (perawi Sunan al-Sittah) dan lain-lain. Keseluruhan kader
ulama hadis tersebut berguru kepada Imam al-Nasa’i ketika menetap di Mesir.
Kitab-Kitab Karya Imam
al-Nasa’i
Di peroleh informasi
bahwa Imam al-Nasa’i sepanjang hidupnya telah menyelesaikan 15 judul kitab yang
pada umumnya memuat koleksi hadis dan ulumul-hadis, namun yang tersebar luas di
tengah-tengah masyarakat hanya 5 buah kitab, yaitu :
Sunan al-Kubra, kitab
koleksi hadis yang pertama kali disusun oleh Imam al-Nasa’i, di dalamnya
berbaur antara hadis shahih (termasuk shahih menurut kriteria penilikan
al-Nasa’i) dan hadis-hadis ber ‘illat (ma’lul) sejauh diketahui unsur
‘illatnya. Popularitas Sunan al-Kubra bertahan sampai pada abad XI H. dalam
edisi tulisan tangan. Ketika berlaku tehnik cetak mesin Sunan Kubra tidak ada
yang berinisiatif menggandakan dengan edisi cetak mesin, sehingga keberadaannya
di perpustakaan besar hanya edisi tulisan tangan ;
Sunan al-Sughra,
disebut juga al-Muntakhab, al-Mujtana min al-Sunan, populer kemudian dengan
nama “al-Mujtaba” yang oleh kalangan muhaddisin dikenal dengan Sunan al-Nasa’i
;
Al-Khasais diselesaikan
ketika menetap sementara di wilayah Damascus, berisi rangkuman reputasi
kepri-badian, keilmuan dan prestasi kemiliteran/pemerintahan Ali bin Abi Thalib
beserta ahlul-bait Nabi Muhammad SAW;
Fadha-il al-Sahabat ;
Al-Manasik (artikel
bermateri fiqh yang mendasarkan orientasinya kepada sunnah/hadis dan cenderung
memasyarakatkan hukum amaliah persi syari’iyyah).
Sunan al-Nasa’i
Ketika Imam al-Nasa’i
telah menyelesaikan koleksi hadis dalam format besar memuat hadis shahih dan
hadis-hadis ber’illat diperlihatkan kepada Amir (kepala daerah) Ramlah
(Palestina) dan diberi nama “Sunan al-Kubra”. Amir Ramlah menyarankan agar
ditempuh koleksi hadis yang selektif, dalam pengertian menyisihkan hadis-hadis
klasifikasi shahih saja dan tidak membaurkannya dengan yang ber’illat (ma’lul).
Dorongan Amir Ramlah itulah yang melahirkan koleksi hadis berbentuk revisi
Sunan al-Kubra dan formatnya mengecil sehingga di sebut “Sunan al-Sughra” yang
kelak lebih memasyarakat dengan sebutan “Sunan al-Nasa’i”.
Jumlah satuan hadis
yang ditampung dalam Sunan al-Nasa’i mencapai 5.761 hadis, di dalamnya banyak
diketemukan penyajian suatu hadis berulang di banyak tempat. Sebagai contoh
hadis tentang niat termuat sebanyak 16 kali di tempat yang berserakan.
Materi matan hadis
mirip kitab-kitab sunan yang lain yakni memprioritaskan hadis yang menyangkut
perikehidupan beragama. Sedikit berbeda dengan kitab sunan pada umumnya Imam
al-Nasai cenderung menampung hadis amaliah diniyah sangat mendetil, seperti
terbukti dalam koleksi hadis tertuang di dalamnya tuntunan do’a yang perlu di
baca sepanjang hai’at sembahyang, pedoman-pedoman hukum serta masalah
mu’amalah.
Sistematika penyajian
hadis menyerupai tertib sistem kitab fiqh serta masing-masing kelompok hadis
semateri dilengkapi dengan judul sub bab yang mewakili persepsi hasil analisis
Imam al-Nasa’i terhadap inti kandungan matan hadis yang bersangkutan. Mengawali
penyajian setiap hadis di terangkan sanad lengkap setiap matan, perhatian
khusus mengenai proses tahdis (sighat tahdis), matan hadis selengkapnya. Di
belakang matan tidak terdapat embel-embel kecualai keterangan singkat mengenai
mukharrij yang menjadi referensi hadis dan informasi sederhana tentang unsur
‘illat hadis (bila diketahui hadis bersangkutan berillat).
Pengeditan matan hadis
ditekankan pada upaya mempertahankan keaslian redaksi (riwayat bil-lafdzi).
Imam al-Nasa’i agak peka terhadap dugaan lahn (rancu) dalam bahasa matan hadis,
karenanya beliau dengan cermat mencari idiom serupa pada suku-suku pemakai
bahasa klasik, sebab bisa diasumsikan bahwa Nabi Muhammad SAW senantiasa
berkomunikasi dengan bahasa mereka termasuk pemanfaatan idiom-idiom bahasa
mereka.
Metode Seleksi Hadis
Asas yang mendasari
Imam al-Nasa’i dalam menseleksi hadis untuk dimuat pada kitab beliau al-Mujtaba
atau Sunan al-Saghir ialah pantang memuat hadis yang dalam jajaran sanadnya
terdapat seorang atau lebih perawi yang seluruh muhadditsin sepakat menolak
riwayatnya. Imam al-Nasa’i menempatkan integritas perawi dari segi penguasaan
hadis dan unsur kejujuran pribadinya sebagai prasyarat utama bagi nominasi di
terimanya riwayat hadis perawi yang bersangkutan.
Sunan al-Nasa’i
memperioritaskan hadis sahih dengan penekanan seleksi pada segi perawi hadis
bukan pribadi yang terkena kualifikasi tajrih (cacat) sekalipun hanya sepintas
wahm (dicurigai) kelemahan dirinya. Oleh karenanya tidak satupun hadis dalam
koleksi al-Nasa’i yang sanadnya berintikan Ibnu Luhai’ah. Sekalipun beliau
tergolong tokoh dikalangan hafidzul-hadis, namun diketahui diusia lanjut
memaksakan diri dalam mengejar/meriwayatkan hadis bertumpu pada ingatan dan
hapalannya, sehingga sering melakukan kesalahan.
Selain memuat hadis bermutu
shahih Sunan al-Nasa’i ada menampung hadis-hadis hasan, sepanjang tidak
dipergunjingkan orang segi asal usul hadis yang bersangkutan, segi ‘illat dan
segi perawi pendukung sanadnya.
Pengujian mutu suatu
hadis dalam rangka kelayakan memuatnya pada kitab Sunan al-Nasa’i dilakukan
sepenuhnya atas dasar ketajaman Imam al-Nasa’i dalam menanalisis segala sisi
hadis dan bila terdapat kebimbangan beliau memerlukan istikharah, terutama bila
keraguan itu menyentuh personalia rijalul-hadis.
Adapun tertib perletakan
hadis dalam Sunan al-Nasa’i berlaku kebiasaan sebagai berikut :
Pertama : Hadis-hadis
sahih seperti yang termuat dalam koleksi Imam al-Bukhari dan Imam Muslim ;
Kedua : Hadis-hadis
yang derajat penerimaannya memenuhi kriteria Imam al-Bukhari dan Imam Muslim,
yakni bila para perawi pendukung sanad tidak satupun disepakati oleh kalangan
muhaddisin penolakan riwayatnya, shahih segi periwayatan dan muttasil (tak ada
indikasi mursal atau munqati’) ;
Ketiga : Hadis-hadis
yang cukup populer dikalangan pabilc ulama fuqaha yang hidup pada periode Imam
al-Nasa’i betapa tidak ada jaminan mutu kesahihannya. Walau demikian sekira
pada hadis ter-sebut menyimpan unsur ‘illat, pasti oleh Imam al-Nasa’i
dijelaskan permasalahan ‘illatnya. Bahkan bila diketahui bahwa hadis itu
munkar, pasti secara terbuka diakui secara jujur kemungkarannya.
Derajat Kedudukan Kitab
Sunan al-Nasa’i
Jajaran ulama
muhadditsin mengakui Sunan al-Nasa’i sebagai “usul al-Khamsah” atau “Kutub
al-Khamsah”, artinya satu di antara lima kitab koleksi hadis standard bersanad
dengan al-Jami’ al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan al-Jami’
al-Turmudzi. Agak mengejutkan bila hadis-hadis koleksi Sunan al-Nasa’i
dipandang sahih seluruhnya. Pandangan itu pernah dikemukakan oleh Abu al-Hasan
al-Daruqutniy, Ibnu Mandah, Ibnu al-Sakan, Abu Ali al-Naisaburi, Ibnu al-Subhi,
Abu Ahmad al-Adiy dan al-Khatib al-Baghdadi. Sangka baik (husnu al-Dzan) mereka
mungkin hanya melihat sisi sikap Imam al-Nasai demikian cerdas, terbuka dan
ekstrim dalam seleksi jalur riwayat yang di dukung oleh kenyataan sebagai
berikut :
Dalam menilai
integritas rijalul-hadis seperti di kemukakan oleh Abu Ali al-Naisaburi
cenderung lebih hati-hati dan lebih ketat dari pada cara yang ditempuh oleh
Imam Muslim ;
Amat minim jumlah
satuan perawi dalam Sunan al-Nasa’i yang dicurigai lemah, terbukti banyak
perawi yang dikoleksi hadis-hadisnya oleh Imam Abu Dawud dan Imam al-Turmudzi
justru dikesampingkan dan ditolak oleh Imam al-Nasai. Demikian juga bila
dilihat kritik Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi terhadap hadis-hadis koleksi Imam
al-Nasai lebih mimin yang diduga dha’if (maudhu’). Ibnu al-Jauzi hanya
mempermasalahkan 10 hadis. Seperti diketahui umum bahwa Ibnu al-Jauzi cenderung
oper kritik, namun terhadap Sunan al-Nasa’i hasil evaluasi beliau demikian
minim yang dha’if;
Dalam teori jarah wa
al-ta’dil yang dikembangkan oleh Imam al-Nasa’i diperlakukan sebagai referansi
baku bagi kalangan muhaddisin generasi sesudahnya.
Terhadap pandangan
penilaian tersebut al-Hafidz Ibnu Katsir membantahnya, sebab hanya pada aspek
kecermatan seleksi rijalul-hadis saja Imam al-Nasa’i tampak meyakinkan, namun
pada segi-segi lain terlihat berbagai kelemahan yang mendasar. Ibnu Katsir
mengetengahkan 3 aspek kelemahan yaitu :
Dalam jajaran
rijalul-hadis sepanjang koleksi Sunan al-Nasa’i terdapat orang-orang yang
digolongkan majhul (tidak dikenal pribadi dan keahliannya) dan terdapat pula
perawi yang majruh (ternoda sifat keadilan pribadinya) ;
Banyak perawi thabaqah
ketiga yang menjadi pendukung sanad hadis-hadis inti (hadis referensi utama
bagi materi yang bersangkutan) dan justru terdiri atas perawi yang ramai
diperdebatkan ulama segi diterima atau di tolak periwayatannya, antara lain
oleh Mu’awiyah bin Yahya al-Sadafi, Ishaq bin Yahya al-Kilbi dan Musanna bin
Ansabah dan lain-lain ;
Dalam Sunan al-Nasai
sebenarnya banyak dijumpai hadis dha’if, mu’allal dan munkar. Erosi mutu hadis
mungkin tersebab banyaknya riwayat eks perawi thabaqah keempat, sekalipun hadis
mereka hanya menempati posisi muttaba’ atau syawahid.
Pemuatan hadis yang
populer di kalangan fuqaha tampak mendapat perhatian Imam al-Nasai, sehingga
dari segi matan hadis telah didapat semacam pengakuan umum terhadap kemungkinan
makbul lil-hujjah (diterima sebagai pedoman hukum), akan tetapi hipotesa
semacam itu belum menjamin kesahihan totalitas hadis termasuk sanadnya.
Dengan demikian derajat
kedudukan Sunan al-Nasa’i tetap pada jajaran khutub al-Khamzah (usul
al-Khamzah) yang penempatan rengkingnya berada dibelakang sahihain (al-Jami’
al-Bukhari dan Shahih Muslim), yang dari segi dukungan mutu hadis setara dengan
koleksi Sunan Abu Dawud.
Kitab Syarah Sunan
al-Nasa’i
Dari berbagai informasi
diketahui bahwa tidak banyak kitab yang mengulas (mensyarahi) Sunan al-Nasa’i.
Kitab syarah yang beredar di tengah-tengah masyarakat (dalam edisi cetakan)
antara lain :
Zuhr al-Riba ‘ala
al-Mujtaba, disusun oleh Jalalud-din al-Sayuthi (wafat 911 H) dengan format
ringkas dan sederhana mirip kitab ta’liq (catatan-catatan penting). dalam
sayarah tersebut banyak memuat ulasan terhadap hadis yang sama (dalam al-Jami’
al-Bukhari) yang di kemukakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani ;
Syarah al-Sindi,
disusun oleh Syeikh al-’Alamah Abu al-Hasan al-Hanafi, dikenal dengan
“al-sindi” seorang ulama kenamaan berdomisili di Madinah (wafat 1138 H). Ulasan
hadis lebih luas dibanding dengan karya Jalaluddin al-Sayuthi, tekanannya pada
aspek bahasa matan hadis, kosakata yang gharib (asing) dan pendapat yang pernah
berkembang terkait dengan materi hadis ;
Syarah al-’Alamah
Sirajuddin al-Syafi’i (wafat 854 H) titik berat ulasannya tertuju pada
hadis-hadis zawaid (hadis yang tidak termuat dalam koleksi al-Jami’ al-Bukhari
dan Shahih Muslim).
Sumber Pustaka :
Syeikh Jalaluddin
al-Sayuthi, Sunan al-Nasai, Beirut Darul Fikri, 1930, hal. Pendahuluan, bak,
sak dan dal.
Imam Abu Muhamad
al-Darimi, Sunan al-Darimi, Kairo : Darul Fikri, 1978, hal. Pendahuluan, bak.
Dr. Muhamad Abu Suhbah,
al-Kutub al-Sihah al-Sittah, Kairo, Mathba’ah al-Azhar, 1968, hal. 127-135.
Dr. Mustafa al-Siba’i,
al-Sunnah Wa Makanatuha fi at-Tasyirik al Islami, Mesir, Dar al-Qaumiyah Wa
al-Nasyir, 1966, hal. 410.
Dr. Muhamad Ajaj
al-Khatib, Usul Ahadis, Damascus, Darul Fikri, 1971, hal. 324.
Muhamad al-Sabagh,
al-Hadis al-Nabawi, Riyad, al-Maktab al-Islami, 1976, hal. 394.
Al-Hafidz
al-Mabarakfuri, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwadzi, Beirut, Darul Fikri, 1979, Jilid
I, hal. 130.
Dr. Ahmad Umar Hasyim,
al-Imam al-Nasa’i, Wa Asaruhu fi al-Sunnah, Majalah Rabithah Alami al-Islami,
Makkah tahun XIX, Januari, 1981, hal. 43-47.
Dr. Athiyah Masyrafah,
al-Qada’u fi al-Islam, Mesir, Syirkah al-Syarku al-Ausath, 1966, hal. 193.
Prof. Dr. TM. Hasbi
As-Shiddiqi, Sejarah Perkembangan Hadis II, Jogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga,
tt, hal. 96-97.
Drs. Masfuk Zuhdi,
Pengantar Ilmu Hadis, Surabaya, Pustaka Progresif, 1978, hal. 162-163.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar