KITAB SUNAN AL-NASA’I,
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ”Membahas Kitab-kitab Hadits”
Oleh:
Muhyi Abdurrohim (082092011)
yang dibina oleh :
Dr. Pujiono, M.Ag.
JURUSAN DAKWAH / TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI
(STAIN) JEMBER
2012
BABI PENDAHULUAN
Sudah
mafhum dikalangan peminat kajian hadis dan ilmu hadis, para imam hadis
merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani.
Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadis kerap kali menghasilkan karya
tulis yang tak terhingga nilainya.
Tidak ketinggalan pula Imam
al-Nasa’i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah
diabadikan oleh pena sejarah antara lain; al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra
(kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab al-Sunan al-Kubra),
al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan
yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul,
kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.
Sekarang, karangan Imam al-Nasa’i
paling monumental adalah Sunan al-Nasa’i. Sebenarnya, bila ditelusuri secara
seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau sehingga menjadi Sunan
al-Nasa’i sebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui proses panjang, dari
al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra, al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan
sebutan Sunan al-Nasa’i.
Dalam Makalah yang singkat ini
penulis menyajikan pembahasab tentang kitab Sunan al-Nasa’I, dengan sestematika
: biografi al-Nasa’I, Perjalanan studi, Kitab-Kitab
Karya Imam al-Nasa’I, Mengenal Sunan al-Nasa’I, Metode Seleksi Hadis, Derajat
Kedudukan Kitab Sunan al-Nasa’I dan Kitab Syarah Sunan al-Nasa’i.
BAB
II PEMBAHASAN
A. Biografi Imam al-Nasa’i
Para penulis sejarah kehidupan al-Nasa’i
pada umumnya menunjuk kelahiran beliau tahun 215 H,[1]
hanya sebagian kecil yang mencantumkan tahun 214 H. Terlahir dengan nama Syaihk
al-Islam, Ahmad Bin Syuaib, bin Ali bin Bahar, bin Sunan al-Nasa’i. Beliau
dibangsakan dengan al-Khurasan, karena kota kelahiran yang disebut Nasa-a
(dibaca pendek sin atau madd) termasuk wilayah Khurasan (Iran).[2]
Beliau kemudian lebih terkenal dengan panggilan Abu Abd. Rahman al-Nasa’i.[3]
Kesehariannya Imam al-Nasa’i diakui
sebagai pribadi yang tekun beribadah, khususnya shalatullail (tahajjud), gemar
berpuasa mirip Nabiyullah Dawud as. (sehari berpuasa dan esoknya berbuka),
rutin pula menunaikan ibadah haji hampir setiap tahun kehidupan keulamaannya. Umur
delapan tahun sudah berhasil menghafal al-Quran,[4] Beliau
mengambil bagian secara aktif sebagai militer sukarelawan muslim dalam rangka
mempertahankan wilayah Mesir selaku teritorial Daulah Islamiyah dan beliau
menjadikan ceramah hadisnya sebagai misi untuk mengobarkan semangat jihad umat
Islam disekitar domisilinya. Ketahanan fisiknya amat prima, seperti juga
keampuhan ilmiahnya, terlihat pada kesanggupan beliau memperistri empat orang
wanita[5].
Sampai memasuki tahun 302 H. Imam
al-Nasa’i tetap tinggal di Mesir, selaku ulama hadis (fiqh) yang terpandang
seantero Mesir dan diduga keras pernah menjabat qodi di suatu daerah Mesir.
Terbukti dengan rumusan judul pada koleksi hadis Sunan/al-Mujtaba, namun
kecenderungan ijtihad yang dilakukan tampak memihak kepada paham Imam
As-Syafi’i. Sebuah karangan fiqh mengenai tata laksana ibadah haji dan ummrah
(manasik) di tulis oleh Imam al-Nasa’i dengan titel al-Manasik mengacu pada
pemaparan fiqh syafi’iyyah.
Pada usia senja ± 88 tahun atau
tepatnya memasuki tahun 303 H. Imam al-Nasa’i berada di Syiria, sebuah wilayah
yang mayoritas penduduknya fanatik mendukung dinsti amawiyah (raja-raja
keturunan Mu’awiyah bin Abi Sufyan). Gara-gara buku karangan beliau berjudul
al-Kasa’is yang merangkum reputasi kepribadian, keilmuan dan prestasi
kepahlawanan persi militer Ali bin Abi Thalib serta ahlul-bait (keluarga besar
Nabi Muhammad SAW) beliau dituduh sebagai agen politik syi’ah.[6]
Lebih-lebih ketika diminta sikap keterbukaannya mengenai penilaian prestasi dan
reputasi mu’awiyah bin Abi Sufyan, justru beliau bersikap sinis. Ekor dari
tuduhan dan peristiwa itu masyarakat Syiria mengintimidir (menekan) bahkan
sampai kebentuk penganiayaan fisik seperti yang berlangsung di halaman Masjid
Jami’ ibukota Syiria. Dalam kondisi kritis Imam al-Nasa’i diboyong ke kota
Ramlah (Palestina) dan akhirnya meninggal hari Senin, 13 Syafar 303 H. dan
tempat pemakamannya di Baid al-Maqdis.[7]
Jalaluddin al-Sayuthi menunjuk permintaan Imam al-Nasa’i agar dirinya yang
dalam kondisi kritis itu di boyong ke Makkah dan di sanalah beliau meninggal
dunia pada hari/tanggal/tahun seperti di atas dan dikebumikan antara Safa dan
Marwah[8].
Naluri kultus Imam al-Nasa’i
kebetulan saja karena sesuai dengan kebutuhan yang mendesak tertuju kepada
pribadi Ali bin Abi Thalib beserta ahlul-bait Nabi, bukan tertuju kepada
aliansi Syi’ah, sebab motif karangan Imam al-Nasai berjudul “al-Khasa’is” itu
ditulis dalam rangka menetralisir persepsi buruk masyarakat muslim di wilayah
Damascus yang amat memprihatinkan.[9]
Dengan informasi data pribadi Ali bin Abi Thalib beserta pribadi menonjol di
lingkungan ahlul-bait Nabi, diharapkan sifat positif masyarakat Damascus dalam
menilai para leluhur umat Islam secara proporsional. Simpati pribadi Imam
al-Nasa’i sebenarnya berlaku sama keserata sahabat Nabi Muhammad SAW, terbukti
karangan beliau yang lain berjudul “Fadha-il al-Sahabah” menjadi semacam
perluasan dari karangan ter-dahulu bertitel al-Khasais itu. Dengan demikian
beliau menjadi korban kebrutalan massa pendukung Dinasti Amawiyah.
B. Perjalanan
studi Imam al-Nasa’i
Keahlian hadis, Rijal al-Hadis,
‘ilal al-Hadis, theori jarah wa al-ta’dil dan keahlian fiqh diperoleh sebagai
hasil perjalanan studi yang panjang sejak usia Imam Al-Nasa’i baru menginjak 15
tahun dan mencakup wilayah Hijaz, Iraq, Siria, Mesir dan Al-Jazair. Kemantapan
hadis dimulai saat berguru kepada Qutaidah bin Sa’id (guru besar hadis Imam Abu
Dawud dan Imam al-Turmudzi),[10]
saat al-Nasa’i berusia 15 tahun itu selama lebih dari 2 tahun, Ishaq bin
Rahuwaih (guru besar hadis Imam al-Bukhari dan Imam Muslim), Humaid bin
Mas’adah, Haris bin Miskin (pejabat qadi Mesir bermadzhab Maliki wafat 10
Jumadul ‘ula 237 H), Ali bin Kasiram, Imam al-Darimi (wafat 255 H), Imam Abu
Dawud dan Imam al-Turmduzi[11].
Khusus dengan Imam al-Darimi terdapat ikatan keilmuan hadis yang kuat karena
sebagian besar koleksi hadis dalam Sunan al-Mujtaba mendasarkan sumber tahrij
pada Sunan al-Darimi.
Spesialisasi keilmuan Imam al-Nasa’i
tampak pada fiqhu al hadis, ilmu rijalul-hadis ‘illat hadis dan jarah wa
al-ta’dil. Untuk spesialsasi jarah dan ta’dil agaknya menjadi semacan referensi
bagi ulama muhadditsin sesudah generasi Imam al-Nasai. Pandangan fiqh Imam
al-Nasa’i seperi di sorot oleh Ibnu al-Asir al-Jazari dalam kitabnya Jami’
al-Ushul cenderung pada aliran syafi’iyyah. Berlatar belakang keahlian hadis
(riwayah yang didukung oleh perangkat kritik hadis itu maka al-Jahabi memberi
gelar kebesaran Abu Abd. Rahman al-Nasai dengan “al-Imam”, “al-Hafidz” dan
“Syaikhul Islam”.
Selama karier keulamaan hadis Imam
al-Nasa’i telah berhasil membina kader ulama generasi berikutnya, antara lain :
Abu Basyar al-Daulabi (perawi utama Sunan al-Nasa’i), Abu al-Qasim al-Tabrani
(kolektor hadis dengan judul al-Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi (pengulas
kitab-kitab hadis), Imam Abu ‘Awanah (kolektor Shahih Abu ‘Awanah), Husein bin
al-Hadir al-Sayuthi, Muhamad bin Mu’awiyah al-Andalusi, Abu Bakar al-Suni
(perawi Sunan al-Sittah) dan lain-lain. Keseluruhan kader ulama hadis tersebut
berguru kepada Imam al-Nasa’i ketika menetap di Mesir.[12]
C. Kitab-Kitab
Karya Imam al-Nasa’i
Di peroleh informasi bahwa Imam
al-Nasa’i sepanjang hidupnya telah menyelesaikan 31 judul kitab yang pada
umumnya memuat koleksi hadis dan ulumul-hadis,[13]
namun yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat hanya 5 buah kitab, yaitu:
:
1). Sunan
al-Kubra, kitab koleksi hadis yang pertama kali disusun oleh Imam al-Nasa’i, di
dalamnya berbaur antara hadis shahih (termasuk shahih menurut kriteria
penilikan al-Nasa’i) dan hadis-hadis ber ‘illat (ma’lul) sejauh diketahui unsur
‘illatnya. Popularitas Sunan al-Kubra bertahan sampai pada abad XI H. dalam
edisi tulisan tangan.
2). Sunan
al-Sughra, disebut juga al-Muntakhab, al-Mujtana min al-Sunan, populer kemudian
dengan nama “al-Mujtaba” yang oleh kalangan muhaddisin dikenal dengan Sunan
al-Nasa’i ;
3). Al-Khasa’is
diselesaikan ketika menetap sementara di wilayah Damascus, berisi rangkuman
reputasi kepri-badian, keilmuan dan prestasi kemiliteran/pemerintahan Ali bin
Abi Thalib beserta ahlul-bait Nabi Muhammad SAW;
4). Fadha-il
al-Sahabat
5). Al-Manasik
(artikel bermateri fiqh yang mendasarkan orientasinya kepada sunnah/hadis dan
cenderung memasyarakatkan hukum amaliah persi syari’iyyah).
D. Mengenal Sunan al-Nasa’i
Ketika Imam al-Nasa’i telah
menyelesaikan koleksi hadis dalam format besar memuat hadis shahih dan
hadis-hadis ber’illat diperlihatkan kepada Amir (kepala daerah) Ramlah
(Palestina) dan diberi nama “Sunan al-Kubra”. Amir Ramlah menyarankan agar
ditempuh koleksi hadis yang selektif, dalam pengertian menyisihkan hadis-hadis
klasifikasi shahih saja dan tidak membaurkannya dengan yang ber’illat (ma’lul).
Dorongan Amir Ramlah itulah yang melahirkan koleksi hadis berbentuk revisi
Sunan al-Kubra dan formatnya mengecil sehingga di sebut “Sunan al-Sughra” yang
kelak lebih memasyarakat dengan sebutan “Sunan al-Nasa’i”.[14]
Jumlah satuan hadis yang ditampung
dalam Sunan al-Nasa’i mencapai 5.761 hadis, di dalamnya banyak diketemukan
penyajian suatu hadis berulang di banyak tempat. Sebagai contoh hadis tentang
niat termuat sebanyak 16 kali di tempat yang berserakan.
Materi matan hadis mirip kitab-kitab
sunan yang lain yakni memprioritaskan hadist yang menyangkut perikehidupan
beragama. Sedikit berbeda dengan kitab sunan pada umumnya Imam al-Nasai
cenderung menampung hadis amaliah diniyah sangat mendetil, seperti terbukti
dalam koleksi hadis tertuang di dalamnya tuntunan do’a yang perlu di baca
sepanjang hai’at sembahyang, pedoman-pedoman hukum serta masalah mu’amalah.
Sistematika penyajian hadis
menyerupai tertib sistem kitab fiqh serta masing-masing kelompok hadis semateri
dilengkapi dengan judul sub bab yang mewakili persepsi hasil analisis Imam
al-Nasa’i terhadap inti kandungan matan hadis yang bersangkutan. [15]Mengawali
penyajian setiap hadis di terangkan sanad lengkap setiap matan, perhatian
khusus mengenai proses tahdis (sighat tahdis), matan hadis selengkapnya. Di
belakang matan tidak terdapat embel-embel kecualai keterangan singkat mengenai
mukharrij yang menjadi referensi hadis dan informasi sederhana tentang unsur
‘illat hadis (bila diketahui hadis bersangkutan berillat).
Pengeditan matan hadis ditekankan
pada upaya mempertahankan keaslian redaksi (riwayat bil-lafdzi). Imam al-Nasa’i
agak peka terhadap dugaan lahn (rancu) dalam bahasa matan hadis, karenanya
beliau dengan cermat mencari idiom serupa pada suku-suku pemakai bahasa klasik,
sebab bisa diasumsikan bahwa Nabi Muhammad SAW senantiasa berkomunikasi dengan
bahasa mereka termasuk pemanfaatan idiom-idiom bahasa mereka.[16]
F. Metode
Seleksi Hadis
Asas yang mendasari Imam al-Nasa’i
dalam menseleksi hadis untuk dimuat pada kitab beliau al-Mujtaba atau Sunan
al-Saghir ialah pantang memuat hadis yang dalam jajaran sanadnya terdapat
seorang atau lebih perawi yang seluruh muhadditsin sepakat menolak riwayatnya.
Imam al-Nasa’i menempatkan integritas perawi dari segi penguasaan hadis dan
unsur kejujuran pribadinya sebagai prasyarat utama bagi nominasi di terimanya
riwayat hadis perawi yang bersangkutan[17].
Sunan al-Nasa’i memperioritaskan
hadist sahih dengan penekanan seleksi pada segi perawi hadist bukan pribadi
yang terkena kualifikasi tajrih (cacat) sekalipun hanya sepintas wahm
(dicurigai) kelemahan dirinya. Oleh karenanya tidak satupun hadist dalam
koleksi al-Nasa’i yang sanadnya berintikan Ibnu Luhai’ah. Sekalipun beliau
tergolong tokoh dikalangan hafidzul-hadist, namun diketahui diusia lanjut
memaksakan diri dalam mengejar/meriwayatkan hadist bertumpu pada ingatan dan
hapalannya, sehingga sering melakukan kesalahan.
Selain memuat hadis bermutu shahih,
Sunan al-Nasa’i juga menampung hadis-hadis hasan, sepanjang tidak
dipergunjingkan orang segi asal usul hadis yang bersangkutan, segi ‘illat dan
segi perawi pendukung sanadnya. Pengujian mutu suatu hadis dalam rangka
kelayakan memuatnya pada kitab Sunan al-Nasa’i dilakukan sepenuhnya atas dasar
ketajaman Imam al-Nasa’i dalam menganalisis segala sisi hadis dan bila terdapat
kebimbangan beliau memerlukan istikharah, terutama bila keraguan itu menyentuh
personalia rijalul-hadis.
Adapun tertib perletakan hadis dalam
Sunan al-Nasa’i berlaku kebiasaan sebagai berikut :
Pertama :
Hadis-hadis sahih seperti yang termuat dalam koleksi Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim ;
Kedua :
Hadis-hadis yang derajat penerimaannya memenuhi kriteria Imam al-Bukhari dan
Imam Muslim, yakni hadits itu ditampilkan disini oleh al-Nasa’i apbila para
perawi pendukung sanad tidak satupun disepakati oleh kalangan muhaddisin, penolakan
riwayatnya, shahih segi periwayatan dan muttasil (tak ada indikasi mursal atau
munqati’)[18] ;
Ketiga :
Hadis-hadis yang cukup populer dikalangan pabilc ulama fuqaha yang hidup pada
periode Imam al-Nasa’i betapa tidak ada jaminan mutu kesahihannya. Walau
demikian sekira pada hadis ter-sebut menyimpan unsur ‘illat, pasti oleh Imam
al-Nasa’i dijelaskan permasalahan ‘illatnya. Bahkan bila diketahui bahwa hadis
itu munkar, pasti secara terbuka diakui secara jujur kemungkarannya.
E. Derajat
Kedudukan Kitab Sunan al-Nasa’i
Jajaran ulama muhadditsin mengakui
Sunan al-Nasa’i sebagai “usul al-Khamsah” atau “Kutub al-Khamsah”, artinya satu
di antara lima kitab koleksi hadis standard bersanad dengan al-Jami’
al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan al-Jami’ al-Turmudzi. Agak
mengejutkan bila hadis-hadis koleksi Sunan al-Nasa’i dipandang sahih
seluruhnya. Pandangan itu pernah dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Daruqutniy,
Ibnu Mandah, Ibnu al-Sakan, Abu Ali al-Naisaburi, Ibnu al-Subhi, Abu Ahmad
al-Adiy dan al-Khatib al-Baghdadi. Husnu al-Dzan mereka mungkin hanya
melihat sisi sikap Imam al-Nasai demikian cerdas, terbuka dan ekstrim dalam
seleksi jalur riwayat yang di dukung oleh kenyataan sebagai berikut :
Dalam menilai integritas
rijalul-hadis seperti di kemukakan oleh Abu Ali al-Naisaburi cenderung lebih
hati-hati dan lebih ketat dari pada cara yang ditempuh oleh Imam Muslim,
meskipun pendapat ini ditentang oleh ulama yang lain.[19]
Amat minim jumlah satuan perawi
dalam Sunan al-Nasa’i yang dicurigai lemah, terbukti banyak perawi yang
dikoleksi hadis-hadisnya oleh Imam Abu Dawud dan Imam al-Turmudzi justru
dikesampingkan dan ditolak oleh Imam al-Nasai. Demikian juga bila dilihat
kritik Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi terhadap hadis-hadis koleksi Imam al-Nasai
lebih mimin yang diduga dha’if (maudhu’). Ibnu al-Jauzi hanya mempermasalahkan
10 hadis. Seperti diketahui umum bahwa Ibnu al-Jauzi cenderung oper kritik,
namun terhadap Sunan al-Nasa’i hasil evaluasi beliau demikian minim yang dha’if,
intinya sunan al-Nasa’I adalah kitab
Hadits yang paling sedikit hadis-hadis dha’ifnya setelah sahih al-Bukhari dan
sahih Muslim.
Dalam teori jarah wa al-ta’dil yang
dikembangkan oleh Imam al-Nasa’i diperlakukan sebagai referansi baku bagi
kalangan muhaddisin generasi sesudahnya. Terhadap pandangan penilaian tersebut al-Biqa’I
mengutip pernyataan al-Hafidz Ibnu Katsir membantahnya, sebab hanya pada aspek
kecermatan seleksi rijalul-hadis saja Imam al-Nasa’i tampak meyakinkan, namun
pada segi-segi lain terlihat berbagai kelemahan yang mendasar. Ibnu Katsir
mengetengahkan 3 aspek kelemahan yaitu :
1) Dalam jajaran
rijalul-hadis sepanjang koleksi Sunan al-Nasa’i terdapat orang-orang yang
digolongkan majhul (tidak dikenal pribadi dan keahliannya) dan terdapat pula
perawi yang majruh (ternoda sifat keadilan pribadinya).[20]
2) Banyak perawi
thabaqah ketiga yang menjadi pendukung sanad hadis-hadis inti (hadis referensi
utama bagi materi yang bersangkutan)[21]
dan justru terdiri atas perawi yang ramai diperdebatkan ulama segi diterima
atau di tolak periwayatannya, antara lain oleh Mu’awiyah bin Yahya al-Sadafi,
Ishaq bin Yahya al-Kilbi dan Musanna bin Ansabah dan lain-lain.
Dalam Sunan al-Nasai sebenarnya
banyak dijumpai hadis dha’if, mu’allal dan munkar. Erosi mutu hadis mungkin disebabkan
banyaknya riwayat eks perawi thabaqah keempat, sekalipun hadist mereka hanya
menempati posisi muttaba’ atau syawahid. Pemuatan hadis yang populer di
kalangan fuqaha tampak mendapat perhatian Imam al-Nasai, sehingga dari segi
matan hadis telah didapat semacam pengakuan umum terhadap kemungkinan makbul
lil-hujjah (diterima sebagai pedoman hukum), akan tetapi hipotesa semacam
itu belum menjamin kesahihan totalitas hadis termasuk sanadnya.
Dengan demikian derajat kedudukan
Sunan al-Nasa’i tetap pada jajaran khutub al-Khamzah (usul al-Khamzah) yang
penempatan rengkingnya berada dibelakang sahihain (al-Jami’ al-Bukhari dan
Shahih Muslim), yang dari segi dukungan mutu hadis setara dengan koleksi Sunan
Abu Dawud.
G. Kitab
Syarah Sunan al-Nasa’i
Dari berbagai informasi diketahui
bahwa tidak banyak kitab yang mengulas (mensyarahi) Sunan al-Nasa’i.
Kitab syarah yang beredar di tengah-tengah masyarakat (dalam edisi cetakan)
antara lain :
Zuhr al-Riba ‘ala al-Mujtaba,
disusun oleh Jalalud-din al-Sayuthi (wafat 911 H) dengan format ringkas dan
sederhana mirip kitab ta’liq (catatan-catatan penting). dalam sayarah tersebut
banyak memuat ulasan terhadap hadis yang sama (dalam al-Jami’ al-Bukhari) yang
di kemukakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani ;
Syarah al-Sindi, disusun oleh Syeikh
al-’Alamah Abu al-Hasan al-Hanafi, dikenal dengan “al-sindi” seorang ulama
kenamaan berdomisili di Madinah (wafat 1138 H). Ulasan hadis lebih luas
dibanding dengan karya Jalaluddin al-Sayuthi, tekanannya pada aspek bahasa
matan hadis, kosakata yang gharib (asing) dan pendapat yang pernah berkembang
terkait dengan materi hadis ;
Syarah al-’Alamah Sirajuddin
al-Syafi’i (wafat 854 H) titik berat ulasannya tertuju pada hadis-hadis zawaid
(hadis yang tidak termuat dalam koleksi al-Jami’ al-Bukhari dan Shahih Muslim).
Wallahu A’lam bi al-Showab.
BAB
III PENUTUP
Dari uraian-uraian yang telah
dibahas di atas , maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal :
1. Kitab suna
al-Nasa’I yang memuat 5.761 hadis, adalah salah satu “Kutub al-Khamsah”,
artinya satu di antara lima kitab koleksi hadist standard bersanad dengan
al-Jami’ al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan al-Jami’ al-Turmudzi.
2. Selain memuat
hadis bermutu shahih, Sunan al-Nasa’i juga menampung hadis-hadis hasan, bahkan
ada juga yang da’if.
3. Sunan al-Nasa’I
mengalami tiga proses penulisan, pertamam diberi nama kitab Sunan al-Kubra kemudian
Sunan al-Sughra, disebut juga al-Muntakhab, al-Mujtana min al-Sunan, populer
kemudian dengan nama “al-Mujtaba” setelah itu dikalangan muhaddisin dikenal
dengan Sunan al-Nasa’i.
BAB IV DAFTAR
PUSTAKA
al-Sayuthi, Syarah
Sunan al-Nasai, Beirut Darul Fikri, 1930.
Dr. Muhamad Abu
Suhbah, al-Kutub al-Sihah al-Sittah, Kairo, Mathba’ah al-Azhar, 1968.
Dr. Ali Naif, Manahij
al-Muhadditsin al-‘Amah wa al-Khash,2000.
Al-Hafidz
al-Mabarakfuri, Muqaddimah Tuhfah al-Ahwadzi, Beirut, Darul Fikri, 1979.
[1] Oleh Ibn
Al-Atsir, dalam Mukaddimah Jami’
al-Ushul juz I hlm. 195
[2] Oleh
al-Mubarakfuri, dalam, Tuhfah al-
Ahwazdi, juz I hlm.135
[3] Oleh al-Sayuthi, dalam Mukaddimah Sunan al-Nasai,
hlm. 43
[4] Ibid,
hlm. 72
[5] Ibid,
hlm. 45
[6] Oleh al-Sayuthi, dalam Mukaddimah Sunan al-Nasai,
hlm. 62
[7] Oleh Ibn
Katsir, dalam al-Bidaya wa al-Nuhayah, juz XI hlm.124
[8] Oleh al-Sayuthi, dalam al-Sayar juz XIV hlm.
132
[9] Oleh al-Sayuthi, dalam Mukaddimah Sunan al-Nasai,
hlm. 65
[10] Oleh al-Sayuthi, dalam Mukaddimah Sunan al-Nasai,
hlm. 44
[11] Ibid,
hlm. 45
[12] Oleh
al-Mubarakfuri, dalam, Tuhfah al-
Ahwazdi, juz I hlm.132
[13] Oleh al-Sayuthi, dalam Mukaddimah Sunan al-Nasai,
hlm. 64
[14] Oleh
al-Sindi, dalam Sunan al-Nasai, juz I hlm. 10, Lihat juga dalam, Tuhfah
al- Ahwazdi, juz I hlm.132
[15] Oleh al-Sayuthi, dalam Mukaddimah Sunan al-Nasai,
hlm. 9
[16] Oleh
al-Mubarakfuri, dalam, Tuhfah al-
Ahwazdi, juz I hlm.132
[17] Oleh
al-Biqa’I, dalam Manahij al-Muhadditsin al-‘Am wal-Khash, hlm.114
[18] ibid, hlm.115
[19] Oleh
al-Mubarakfuri, dalam, Tuhfah al-
Ahwazdi, juz I hlm.131
[20] Oleh
al-Mubarakfuri, dalam, Tuhfah al-
Ahwazdi, juz I hlm.131
[21] Oleh
al-Biqa’I, dalam Manahij al-Muhadditsin al-‘Am wal-Khash, hlm.114
Tidak ada komentar:
Posting Komentar