Studi Komparasi Mazhab Riset Teknologi:
Antara Ilmuwan Islam dan Sekuler
|
|
|
|
|
|
Oleh
Dr
Fahmi Amhar
SEBAGIAN
orang berpendapat, sain dan teknologi (saintek) bebas nilai sehingga dapat
diambil dari mana saja. Sementara sebagian lain berpendapat sebaliknya.
Bahwa, saintek harus difilter dan “diislamkan” lebih dulu.
Pada
umumnya, mereka yang menganggap saintek bebas nilai, memberi contoh
bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh para Sahabat belajar
sampai ke China --yang tentunya bukan belajar ilmu agama tetapi saintek--
sehingga mereka dapat menguasai matematika, pembuatan kertas hingga cara
membuat mesiu. Saintek ini kemudian juga dikembangkan lebih lanjut secara
kreatif oleh para ilmuwan Muslim.
Sedang yang menganggap saintek tidak bebas nilai seperti teori evolusi Darwin, determinisme Newton yang menolak peran Tuhan dalam mekanisme alam hingga penggunaan senjata pemusnah massal. Lahirnya teori-teori ekonomi komunis maupun neoliberal pun dianggap bukti bahwa saintek tidak bebas nilai.
Sedang yang menganggap saintek tidak bebas nilai seperti teori evolusi Darwin, determinisme Newton yang menolak peran Tuhan dalam mekanisme alam hingga penggunaan senjata pemusnah massal. Lahirnya teori-teori ekonomi komunis maupun neoliberal pun dianggap bukti bahwa saintek tidak bebas nilai.
Asumsinya,
mahzhab saintek yang bersandar pada sesuatu di luar Islam terbukti bermasalah,
dan ilmuwan yang menekuninya lebih sering dihitung sebagai ilmuwan sekuler,
yakni ilmuwan yang memandang bahwa agama tidak perlu dilibatkan dalam
pengaturan urusan kehidupan publik.
Faktanya,
dua kelompok tadi memang ada. Di mana kekeliruan menaruh suatu objek
saintek pada suatu kelompok yang akhirnya berujung pada kefatalan.
Untuk
melakukan komparasi mazhab ristek tersebut memang perlu diperjelas parameter
yang dibandingkan. Salah satu parameter yang paling menyeluruh adalah
telaah menurut tiga aspek filsafat ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Ontologi membahas hal-hal yang terkait mengapa suatu penelitian
atas objek tertentu perlu dilakukan. Epistemologi membahas tentang tata
cara suatu penelitian harus dilakukan. Sedang aksiologi membahas sejauh mana
hasil penelitian dapat digunakan.
Ilmuwan
Muslim
Ilmuwan
Muslim seharusnya akan berontologi dengan (1) kebutuhan yang merupakan hajatul udhowiyah (kewajiban syar’iyyah), tetapi dapat juga (2) terinspirasi
suatu ayat Qur`an yang bermuatan pertanyaan yang dapat dikaji lanjut secara
ilmiah, atau (3) termotivasi oleh suatu ayat Qur`an yang memberikan tantangan,
yang mau tak mau berarti pengembangan saintek terkait.
Seorang
ilmuwan Muslim akan tergelitik untuk meneliti sehingga seluruh kebutuhan yang
termasuk hajatul udhowiyah (kebutuhan asasi seperti sandang-pangan-papan) dapat
dipenuhi dengan baik. Selain itu, juga agar seluruh kewajiban syar’iyyah
dapat terlaksana. Konon, Imam Al-Khawarizmi mengembangkan aljabar karena
ingin membantu membagi waris dengan akurat.
Kedua, ada
ratusan ayat Qur’an yang seharusnya memberi inspirasi riset saintek pada
ilmuwan Muslim. Bahkan ayat tentang surga saja masih dapat memberikan inspirasi
riset, misalnya:
وَيُسْقَوْنَ فِيهَا كَأْسًا كَانَ
مِزَاجُهَا زَنْجَبِيلًا
“Di surga itu mereka diberi segelas minum yang campurannya
adalah jahe.” (Al-Insan [76]: 17).
Seorang
ilmuwan Muslim pantas tergelitik untuk meneliti jahe, ada apa di dalam jahe
sehingga disebut sebagai campuran minuman ahli surga?
Ketiga,
seorang Muslim –apalagi ilmuwan– akan merasa tertantang oleh ayat-ayat Qur’an
seperti ini:
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. …”
(Ali Imran [3]: 110).
Dua
ayat di atas mendorong kaum Muslim untuk menjadi yang terbaik, yakni yang mampu
menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar di dunia, sedang untuk itu
diperlukan kekuatan apa saja.
Kemudian
secara epistemologi, ilmuwan Muslim akan melakukannya dengan cara-cara yang
dibatasi syariat: (1) tidak menolak suatu pernyataan yang harus diimani secara
aqidah (yang tentu saja memerlukan dalil qath’i), dan (2) berjalan sesuai
koridor perintah dan larangan.
Seorang
ilmuwan Muslim juga tak akan membiarkan suatu maksiat terjadi sekalipun demi
kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, percobaan cloning pada
manusia harus dilarang, karena bila berhasil berkonsekuensi melahirkan manusia
tanpa nasab (yang akan menimbulkan berbagai masalah syara’).
Sedang
secara aksiologi, produk saintek ilmuwan Muslim seharusnya dikembangkan atau
didesain untuk kemanfaatan sebesar-sebesarnya sesuai syariat, bukan sebaliknya.
Contoh; matematikawan Muslim yang mempelajari teori permutasi ataupun neuronal network untuk melakukan prediksi kejadian, tak akan menggunakan ilmu itu (haram hukumnya) untuk memenangkan perjudian.
Contoh; matematikawan Muslim yang mempelajari teori permutasi ataupun neuronal network untuk melakukan prediksi kejadian, tak akan menggunakan ilmu itu (haram hukumnya) untuk memenangkan perjudian.
Ilmuwan
Sekuler
Berbeda
dengan kalangan ilmuwan sekuler. Ilmuwan sekuler akan berontologi pada kepuasan
batin peneliti dan/atau untuk kebutuhan dalam masyarakat kapitalis
(industri). Mereka hanya tertarik meneliti apa saja yang memberikan
kepuasan batin, memenuhi selera konsumsi, meski sudah jelas melanggar hukum
Allah. Karenanya, tak sedikit usaha yang dikeluarkan untuk suatu riset yang
tidak menjawab masalah apa-apa kecuali kepuasan peneliti. Riset bahkan
memperbudak manusia pada teknologi, atau “menjajah” suatu masyarakat pada
pihak yang menguasai teknologi.
Sekadar
contoh. Banyak penelitian terdepan di bidang matematika, kosmologi,
palaeobiologi atau juga ilmu-ilmu sosial yang sudah kabur hubungannya dengan
realitas kehidupan saat ini. Setidaknya, para ilmuwan yang menggelutinya
kesulitan menjelaskan kepada orang awam akan manfaat risetnya itu selain
memenuhi rasa ingin tahu.
Tidak sedikit riset-riset yang dibiayai korporasi besar terus ingin mendapatkan saintek yang makin efisien untuk menghasilkan keuntungan besar. Hasilnya mesin-mesin raksasa yang makin efisien untuk mengeruk sumberdaya alam tapi merugikan rakyat kecil dan melahirkan dampak lingkungan.
Secara
epistemologi, ilmuwan sekuler pada dasarnya ingin bebas dan tidak ingin diatur,
sekalipun oleh hukum.
Contoh
nyata; di masa NAZI dulu, Hitler memerintahkan melakukan riset antropologi
terapan untuk mengenali secara cepat etnis non-Arian murni pada masyarakat
Jerman. Riset ini bertujuan mengidentifikasi “bibit musuh dalam selimut”
dalam masyarakat Jerman. Riset dilakukan dengan melakukan pengukuran
biometris secara paksa pada orang-orang yang dijadikan sampelnya.
Terkadang riset ini dibumbui dengan penyiksaan, perlukaan hingga pembunuhan
atas nama kemajuan ilmu pengetahuan.
Sedang secara aksiologinya, ilmuwan sekuler ingin mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Di
dunia Barat, semua penemuan saintek boleh dipakai – sepanjang selaras dengan
hukum yang berlaku (tentunya hukum sekuler yang menolak agama dalam pengaturan
urusan publik). Wajar jika hasil saintek hanya untuk optimalisasi maksiat
seperti: perjudian, pelayanan seks komersial, pembuatan khamr). Di
Technical Univesity Munich Jerman bahkan ada program studi teknologi pembuatan
bir.
Kesimpulanya, banyak
perbedaan antara saintek yang dikembangkan dalam sistem Islam dan
sekuler. Masalahnya, bagaimana kesediaan ilmuwan Muslim mengambil sikap
dalam masalah ini?. Bagaimanapun, ilmu pengetahuan yang kita miliki
kelak akan dipertanggungjawabkan di padang mahsyar. Karena itu, tidak ada
salahnya sejak dini kita kembangkan untuk kemaslahatan dan kebaikan banyak
orang seperti yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar