TELAAH TERHADAP ISTINBAT HUKUMBUKU FIQH LINTAS AGAMA (Oleh; Abdullah Syamsul Arifin)
Tanggal : 19-03-2012 09:34,
PENDAHULUAN
Islam
diyakini oleh pemeluknya hingga kini sebagai rahmat bagi semesta alam,
valid bagi seluruh waktu dan tempat dan solusi bagi semua problematika
kehidupan. Namun, sebagian muslim tidak sepenuhnya sependapat dengan
klaim-klaim tersebut. Mereka menyerukan adanya perubahan terus menerus
dalam Islam sesuai watak hukum Islam sendiri yang elastis terbuka untuk
hal-hal baru selama berada pada koridor kemaslahatan. Di sisi lain,
sebagian muslim lainnya terus-menerus menekankan sisi Islam yang kaku
dan tidak dapat menerima perubahan karena berbagai perubahan dapat
mengotori ajaran Islam yang didapat dari Rasulullah.
Penelitian ini berjudul: "Telaah terhadap Istinbat Hukum Buku Fiqih Lintas Agama".
Yaitu buku karya tim yang beranggotakan: Nurcholish Madjid, Kautsar
Azhari Noerm Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas'udi, Zainun Kamal,
Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rachman, Ahmad Gaus AF dan Mun'im A.
Sirry yang juga merangkap sebagai editor. Buku tersebut diterbitkan oleh
Yayasan Wakaf Paramadina berkerjasama dengan The Asia Foundation pada
tahun 2004 M.
Buku
"Fiqih Lintas Agama" dihadirkan oleh orang-orang yang tidak puas
terhadap fiqih Islam yang diproduksi oleh ulama dari masa lalu yang
tentunya mempunyai latar belakang sosial yang berbeda dengan sekarang.
Fikih yang ada—terutama yang berbicara tentang umat agama lain—dalam
dunia modern ini dianggap tidak lagi cocok dengan watak Islam yang
ramah, toleran dan tidak diskriminatif. Buku tersebut menyerukan
berbagai gagasan yang diharapkan mampu menampakkan wajah Islam yang
ramah dan bersahabat kepada non-muslim.
Gagasan yang diusung buku itu oleh mainstream
pemikiran Islam oleh sebagian besar umat Islam dianggap melampaui batas
dan sangat menyakitkan. Tidak hanya berbicara tentang soal-soal khilāfiyah,
seperti boleh tidaknya mengucap salam terhadap non-muslim, doa
bersama, dan lain-lain, buku "Fiqih Lintas Agama" juga menyalahi
masalah-masalah yang telah disepakati bersama oleh umat Islam seperti
diharamkannya Muslimah untuk dinikahi oleh non-Muslim. Bahkan tidak
cukup merombak sisi fikih praktis, buku "Fiqih Lintas Agama" juga
melangkah lebih jauh lagi dengan cara mendekonstruksi konsep teologis
Islam hingga ke konsep paling mendasar, seperti arti Islām, Muslim, Kāfir, Ahl al-Kitāb, shir’ah, minhaj
dan lain-lain. Karenanya, buku tersebut mendapat berbagai kecaman dan
hujatan dari berbagai kalangan Muslim. Uniknya, gagasan tersebut
dilandasi dengan konsep-konsep hukum Islam sendiri dan menggunakan
istilah dan dalil-dalil Islam.
Terlepas
dari perbedaan yang ada, tema-tema yang digugat memang tema-tema yang
urgen untuk dibahas karena citra Islam sangat tergantung dari pemahaman
terhadap tema-tema tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
ide-ide buku "Fiqih Lintas Agama" dari segi kekuatan landasannya maupun
logika yang dipakai dengan memakai metode Content Analysis. Setidaknya
ada dua masalah utama yang dicoba untuk dijawab dalam penelitian ini,
yaitu: bagaimana validitas argumen buku "Fiqih Lintas Agama"? dan sudah
tepatkah gagasan-gagasan yang diusungnya sebagai solusi untuk
meminimalisir adanya konflik lintas agama dan membuka jalan dialog dan
meretas kerjasama?.
PEMBAHASAN
Buku
"Fiqih Lintas Agama" secara garis besar mengusung dua macam gagasan,
yaitu: Gagasan teologis sebagai landasan dari pemikiran-pemikirannya dan
gagasan fikih terapan yang merupakan bentuk nyata dari hukum fikih yang
sangat toleran terhadap non-muslim. Gagasan teologisnya antara lain
berisi tentang beberapa poin berikut:1). Tentang jumlah Nabi dan
kaitannya dengan jumlah agama. Telah diketahui bahwa jumlah Nabi adalah
124.000 orang. Jumlah Rasul di antara mereka sebanyak 315 orang. Dengan
fakta ini kemudian ditarik kesimpulan bahwa para utusan itu kemudian
menyebar dengan membawa ajaran agama yang mengajak kepada kepasrahan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran kepasrahan ini mempunyai beragam
bentuk, tata cara dan bahkan nama yang berbeda tetapi kesemuanya disebut
Islām (Agama Kepasrahan kepada Tuhan). Agama generik ini
mempunyai Tuhan yang sama tetapi dikenal dengan berbagai sebutan yang
berbeda sesuai bahasa dan kebiasaan tiap daerah; Orang Arab menyebutnya
sebagai Allāh, orang Inggris menyebutnya sebagai God, orang Indonesia menyebutnya sebagai Tuhan dan seterusnya. 2). Tentang dīn, shir’ah minhaj, mansak dan wijhah dalam al-Qur’an. Kata dīn (agama), shir’ah (syariat/jalan/aturan), minhaj (sunnah/kebiasaan/jalan yang terang), mansak (kebiasaan/aturan tertentu) dan wijhah (titik orientasi) telah disebutkan dalam al-Qur’an: "Untuk setiap umat telah Kami tetapkan mansak tertentu yang mereka lakukan" (al-Hajj: 67), "Bagi tiap umat Kami berikan shir’ah dan minhaj masing-masing" (al-Mā’idah: 48) dan "Bagi masing-masing mempunyai wijhah, kesanalah Ia
mengarahkannya" (al-Baqarah: 148). Ayat-ayat tersebut kemudian
dijadikan landasan untuk bukan saja mengakui keberadaan agama lain
(pluralitas agama), tetapi lebih jauh untuk mengakui kebenaran agama
lain (pluralisme agama). Konsekuensinya, semua pengikut agama yang
"Islam" dengan segala bentuknya tersebut dikatakan berhak masuk surga.
Berbeda dengan pemahaman umum bahwa ayat-ayat tersebut menegaskan
beragamnya syari'at berbagai Rasul Allah, bukan beragam agama. 3).
Tentang titik temu antar agama (ajaran hanīfiyah Nabi Ibrāhīm/Abrahamic Faith). Dalam perspektif buku "Fiqih Lintas Agama", kata hanīf yang disifatkan dalam diri Ibrahim menunjukkan kepada yang murni, suci dan benar dengan titik inti pandangan tawhīd.
Yang dimaksud dengan murni, suci dan benar di sini adalah ajaran yang
belum tertunduk oleh ruang dan waktu (sejarah) yang dapat menyebabkan
hilangnya kemurnian serta memunculkan sifat sektarian dan komunalistik
(bersemangat golongan) seperti yang dalam al-Qur'an disimbolkan dengan
“Yahudi” dan “Nasrani”. Pada titik inilah semua agama menemukan
kesamaannya. Sebagaimana Agama Islam diartikan sebagai agama kepasrahan,
maka Yahudi dan Nasrani diartikan sebagai simbol dari sifat sektarian
dan komunalistik. Karena berupa sifat, maka sifat yang tercela ini juga
dapat melekat dalam diri seorang muslim. 4). Tentang Ahli Kitab. Terma
Ahli Kitab secara singkat biasa dikenal dengan pemeluk agama Yahudi dan
Nasrani, namun dalam buku "Fiqih Lintas Agama" sebagaimana pola bahasan
lainnya diambil arti yang paling general, yaitu: setiap agama yang
mempunyai kitab suci, baik itu agama samāwī atau bukan. Argumen mereka berdasarkan pendapat Rashid Ridā dalam tafsirnya terhadap al-Qur'an surat al-Mā’idah ayat 5.
Adapun
gagasan fikih terapannya antara lain:1). Mengucapkan salam kepada
non-Muslim, baik memulai maupun menjawabnya diperbolehkan. Adapun hadith
Abu Hurairah yang melarang seorang Muslim mengucap salam kepada
non-Muslim tidak dapat dipakai karena berlawanan dengan sifat Islam yang
lemah lembut dan Abu Hurairah sendiri dianggap tidak kredibel dalam
meriwayatkan hadith. 2). Mengucapkan “Selamat Natal” dan “Selamat Hari
Raya” agama lain serta menghadiri Hari Raya mereka tidak dilarang.
Ucapan selamat seperti itu tidaklah berarti mengorbankan akidah si
pengucap dan sama saja dengan ucapan "Selamat Pagi" dan sebagainya,
bahkan dapat mempererat hubungan baik dengan non-Muslim. Hal ini sudah
dilakukan oleh beberapa tokoh Islam Indonesia semisal Abdurahman Wahid
dan Nurcholish Madjid. 3). Doa bersama lintas agama diperbolehkan dengan
semua bentuknya. Akan tetapi, doa bersama yang formatnya meminta doa
dari non-Muslim sebaiknya tidak dilakukan untuk menghindari
ketidakpastian. Dalam kisah keislaman Umar, Rasulullah mendoakan Umar
yang waktu itu musyrik untuk masuk Islam. 4). Kawin beda agama
diperbolehkan karena tidak ada kendala teologis yang melarang. Adapun
larangan dalam ayat al-Baqarah: 221 hanya berlaku bagi musyrik makkah.
Muslimah yang menikah dengan pria non-Muslim juga diperbolehkan. Adapun
pendapat ulama yang melarang hanya semata penafsiran saja dan tidak
mempunyai dasar kuat karena landasan yang berbicara jelas tentang itu
hanya sebuah hadith mauqūf (sanadnya tidak sampai ke Rasul) riwayat Umar.
KESIMPULAN
Analisis
terhadap buku "Fiqih Lintas Agama" secara singkat dapat diuraikan
sebagai berikut: 1). Fikih mempunyai dua sisi yang berbeda; satu sisi
bersifat teosentris, yaitu ajaran-ajaran teologis dan hukum-hukum yang
disebutkan secara jelas dan gamblang yang kesemuanya harus kita terima
secara taken for granted dari Allah dan Rasul dan meyakininya sebagai divine wisdom.
Sisi lainnya bersifat antroposentris; yaitu hukum-hukum yang berasal
dari ijtihad ulama yang rujukan utamanya masih membuka ruang untuk
berbagai penafsiran sesuai dengan kemaslahatan di masing-masing tempat,
waktu dan keadaan. Kedua sisi ini harus dibedakan dengan jelas dan tidak
boleh dicampuradukkan. 2). Kajian teologis buku "Fiqih Lintas Agama"
mempunyai beberapa kelemahan yang nyata, antara lain: a). "Allah" adalah
proper name. Nama Tuhan agama Islam ini unik karena tidak
pernah dipakai untuk menunjukkan oknum lain selain Yang Maha Esa dan
tidak dapat diganti dengan God, Gott, Tuhan dan sebagainya karena kata ini adalah proper name (nama
diri). Karenanya, kata ini tidak mempunyai derivasi yang berbentuk
feminin atau plural, berbeda dengan kata "Tuhan" dan sebagainya. Hal ini
penting karena nama Tuhan suatu agama merupakan bagian dari identitas
agama itu sendiri sehingga tidak dapat digeneralkan begitu saja.
Tentunya tanpa melupakan bahwa Allah memang mempunyai banyak nama. b).
Tidak ada bukti sejarah bahwa agama selain Islam, Yahudi dan Nasrani
berasal dari Nabi dan atau Rasul Allah. Meskipun benar jumlah nabi
sangat banyak, tetapi menyimpulkan bahwa setiap agama dibawa oleh
seorang Nabi Allah adalah kesimpulan yang gegabah. Buku "Fiqih Lintas
Agama" hanya menyorot sisi kesinambungan ajaran para Nabi tanpa menyorot
adanya penyimpangan ajaran oleh para pengikutnya sehingga memaksakan
untuk mengakui kebenaran setiap ajaran agama tanpa kecuali. c). Islam
tidak hanya berisi kepasrahan. Banyak sisi Islam yang dihilangkan oleh
buku "Fiqih Lintas Agama" ketika menyederhanakan Islam hanya sebatas
kepasrahan kepada Tuhan. Sebagaimana diketahui untuk berislam diperlukan
lebih dari sekedar pasrah, tapi juga keyakinan yang benar terhadap
Allah dan Rasul dan pengamalan terhadap ajaran-ajarannya. Menyebut
non-Muslim sebagai "Muslim general" yang berhak atas surga menyalahi
dalil-dalil Islam sendiri yang tak terhitung jumlahnya. Non-Muslim juga
tidak akan merasa senang dengan sebutan ini karena pastinya lebih
menyukai dipanggil sesuai identitas agama masing-masing sehingga konsep
ini tak lebih dari pengorbanan akidah yang sia-sia. d). Ahli Kitab yang
diartikan sebagai seluruh umat agama yang mempunyai kitab suci adalah
pendapat lemah. Pada masa Nabi, istilah ini hanya merujuk pada dua umat
saja; Yahudi dan Nasrani, meskipun umat-umat lain sudah dikenal pada
masa itu. Selain itu, Selain itu, gagasan seperti ini “terlalu liar”
hingga jika memang dilakukan dengan konsisten, maka Ahmadiyah, Baha’iyah
dan bahkan aliran-aliran lokal seperti Darmogandul, Gatoloco dan
lain-lain harus diakui sebagai Ahli Kitab karena mereka mempunyai kitab
yang menurut mereka suci. Bila memang ini terjadi, maka harus ada
redefinisi terhadap apa yang disebut sebagai kitab suci dan bahkan apa
yang disebut sebagai agama. e). Millah Ibrāhīm hanya satu. Bila
pedomannya adalah al-Qur'an, maka jelas bahwa agama Ibrahim hanya satu,
yaitu Islam dan bukannya Yahudi atau Nasrani. Ketiga nama agama ini
harus konsisten dipahami sebagai nama diri, bukan kata sifat seperti
kepasrahan, sektarian atau komunalistik. Pemahaman seperti ini selain
mengaburkan identitas juga ahistoris.
2). Analisis terhadap gagasan fikih terapannya sebagai berikut: a).
Mengucap salam kepada Non-Muslim yang tidak menampakkan permusuhan
kepada Islam, baik memulai maupun menjawab memang diperbolehkan. Adapun
hadith yang melarang memulai salam kepada mereka adalah hadith sahih
yang tidak dapat diragukan lagi keberlakuannya, tetapi larangan yang
dimaksud hanya makruh, bukan haram. b).
Mengucapkan selamat Hari Raya umat lain dilarang karena mengucapkan itu
tidak sesederhana seperti berucap "selamat pagi" atau sekedar
menghormati pribadi Yesus, tetapi juga simbol pengakuan terhaadap
kebenaran agama lain melalui penghargaan yang tinggi terhadap syi'ar
agama tersebut. Toleransi tidak mengharuskan hal-hal sedemikian. c).
Menghadiri perayaan hari raya agama lain hukumnya tergantung niat yang
bersangkutan. Bila niatnya ikut meramaikan tentu dilarang, namun bila
untuk keperluan lain seperti menjaga keamanan untuk menghindari
konflik, memberikan pesan-pesan perdamaian dan sebagainya maka tidak ada
larangan. d). Hukum doa bersama
adalah beragam, tergantung pada cara pelaksanaan, tata cara berdoa, isi
atau materi doa, kepada siapa doa ditujukan dan apakah yang memimpin
seorang monotheist atau polytheist. Bila semuanya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka tidak ada alasan untuk melarangnya. e).
Perkawinan antara pria muslim dan wanita Ahli Kitab diperbolehkan,
sesuai dengan pernyataan al-Qur'an sendiri. Sedangkan perkawinan antara
wanita muslimah dengan lelaki kafir manapun dilarang karena larangan ini
sudah jelas dalam al-Qur'an ayat al-Mumtahanah: 10 yang sebagian
artinya: "Mereka (perempuan muslimat) tidak halal bagi mereka (pria-pria kafir)" sehingga tidak dapat dibilang sebagai hanya penafsiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar