Kamis, 03 Mei 2012

TELAAH TERHADAP ISTINBAT HUKUMBUKU FIQH LINTAS AGAMA

TELAAH TERHADAP ISTINBAT HUKUMBUKU FIQH LINTAS AGAMA (Oleh; Abdullah Syamsul Arifin)

Tanggal : 19-03-2012 09:34,
PENDAHULUAN
Islam diyakini oleh pemeluknya hingga kini sebagai rahmat bagi semesta alam, valid bagi seluruh waktu dan tempat dan solusi bagi semua problematika kehidupan. Namun, sebagian muslim tidak sepenuhnya sependapat dengan klaim-klaim tersebut. Mereka menyerukan adanya perubahan terus menerus dalam Islam sesuai watak hukum Islam sendiri yang elastis terbuka untuk hal-hal baru selama berada pada koridor kemaslahatan. Di sisi lain, sebagian muslim lainnya terus-menerus menekankan sisi Islam yang kaku dan tidak dapat menerima perubahan karena berbagai perubahan dapat mengotori ajaran Islam yang didapat dari Rasulullah.
Penelitian ini berjudul: "Telaah terhadap Istinbat Hukum Buku Fiqih Lintas Agama". Yaitu buku karya tim yang beranggotakan: Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noerm Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas'udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rachman, Ahmad Gaus AF dan Mun'im A. Sirry yang juga merangkap sebagai editor. Buku tersebut diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina berkerjasama dengan The Asia Foundation pada tahun 2004 M.
Buku "Fiqih Lintas Agama" dihadirkan oleh orang-orang yang tidak puas terhadap fiqih Islam yang diproduksi oleh ulama dari masa lalu yang tentunya mempunyai latar belakang sosial yang berbeda dengan sekarang. Fikih yang ada—terutama yang berbicara tentang umat agama lain—dalam dunia modern ini dianggap tidak lagi cocok dengan watak Islam yang ramah, toleran dan tidak diskriminatif. Buku tersebut menyerukan berbagai gagasan yang diharapkan mampu menampakkan wajah Islam yang ramah dan bersahabat kepada non-muslim.
Gagasan yang diusung buku itu oleh mainstream pemikiran Islam oleh sebagian besar umat Islam dianggap melampaui batas dan sangat menyakitkan. Tidak hanya berbicara tentang soal-soal khilāfiyah, seperti boleh tidaknya mengucap salam terhadap non-muslim,  doa bersama, dan lain-lain, buku "Fiqih Lintas Agama" juga menyalahi masalah-masalah yang telah disepakati bersama oleh umat Islam seperti diharamkannya Muslimah untuk dinikahi oleh non-Muslim. Bahkan tidak cukup merombak sisi fikih praktis, buku "Fiqih Lintas Agama" juga melangkah lebih jauh lagi dengan cara mendekonstruksi konsep teologis Islam hingga ke konsep paling mendasar, seperti arti Islām, Muslim, Kāfir, Ahl al-Kitāb, shir’ah, minhaj dan lain-lain. Karenanya, buku tersebut mendapat berbagai kecaman dan hujatan dari berbagai kalangan Muslim. Uniknya, gagasan tersebut dilandasi dengan konsep-konsep hukum Islam sendiri dan menggunakan istilah dan dalil-dalil Islam.
Terlepas dari perbedaan yang ada, tema-tema yang digugat memang tema-tema yang urgen untuk dibahas karena citra Islam sangat tergantung dari pemahaman terhadap tema-tema tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menguji ide-ide buku "Fiqih Lintas Agama" dari segi kekuatan landasannya maupun logika yang dipakai dengan memakai metode Content Analysis.  Setidaknya ada dua masalah utama yang dicoba untuk dijawab dalam penelitian ini, yaitu: bagaimana validitas argumen buku "Fiqih Lintas Agama"? dan sudah tepatkah gagasan-gagasan yang diusungnya sebagai solusi untuk meminimalisir adanya konflik lintas agama dan membuka jalan dialog dan meretas kerjasama?.
PEMBAHASAN
Buku "Fiqih Lintas Agama" secara garis besar mengusung dua macam gagasan, yaitu: Gagasan teologis sebagai landasan dari pemikiran-pemikirannya dan gagasan fikih terapan yang merupakan bentuk nyata dari hukum fikih yang sangat toleran terhadap non-muslim. Gagasan teologisnya antara lain berisi tentang beberapa poin berikut:1). Tentang jumlah Nabi dan kaitannya dengan jumlah agama. Telah diketahui bahwa jumlah Nabi adalah 124.000 orang. Jumlah Rasul di antara mereka sebanyak 315 orang. Dengan fakta ini kemudian ditarik kesimpulan bahwa para utusan itu kemudian menyebar dengan membawa ajaran agama yang mengajak kepada kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran kepasrahan ini mempunyai beragam bentuk, tata cara dan bahkan nama yang berbeda tetapi kesemuanya disebut Islām (Agama Kepasrahan kepada Tuhan). Agama generik ini mempunyai Tuhan yang sama tetapi dikenal dengan berbagai sebutan yang berbeda sesuai bahasa dan kebiasaan tiap daerah; Orang Arab menyebutnya sebagai Allāh, orang Inggris menyebutnya sebagai God, orang Indonesia menyebutnya sebagai Tuhan dan seterusnya. 2). Tentang dīn, shir’ah minhaj, mansak dan wijhah dalam al-Qur’an. Kata dīn (agama), shir’ah (syariat/jalan/aturan), minhaj (sunnah/kebiasaan/jalan yang terang), mansak (kebiasaan/aturan tertentu) dan wijhah (titik orientasi) telah disebutkan dalam al-Qur’an: "Untuk setiap umat telah Kami tetapkan mansak tertentu yang mereka lakukan" (al-Hajj: 67), "Bagi tiap umat Kami berikan shir’ah dan minhaj masing-masing" (al-Mā’idah: 48) dan "Bagi masing-masing mempunyai wijhah, kesanalah Ia mengarahkannya" (al-Baqarah: 148). Ayat-ayat tersebut kemudian dijadikan landasan untuk bukan saja mengakui keberadaan agama lain (pluralitas agama), tetapi lebih jauh untuk mengakui kebenaran agama lain (pluralisme agama). Konsekuensinya, semua pengikut agama yang "Islam" dengan segala bentuknya tersebut dikatakan berhak masuk surga. Berbeda dengan pemahaman umum bahwa ayat-ayat tersebut menegaskan beragamnya syari'at berbagai Rasul Allah, bukan beragam agama. 3). Tentang titik temu antar agama (ajaran hanīfiyah Nabi Ibrāhīm/Abrahamic Faith). Dalam perspektif buku "Fiqih Lintas Agama", kata hanīf yang disifatkan dalam diri Ibrahim menunjukkan kepada yang murni, suci dan benar dengan titik inti pandangan tawhīd. Yang dimaksud dengan murni, suci dan benar di sini adalah ajaran yang belum tertunduk oleh ruang dan waktu (sejarah) yang dapat menyebabkan hilangnya kemurnian serta memunculkan sifat sektarian dan komunalistik (bersemangat golongan) seperti yang dalam al-Qur'an disimbolkan dengan “Yahudi” dan “Nasrani”. Pada titik inilah semua agama menemukan kesamaannya. Sebagaimana Agama Islam diartikan sebagai agama kepasrahan, maka Yahudi dan Nasrani diartikan sebagai simbol dari sifat sektarian dan komunalistik. Karena berupa sifat, maka sifat yang tercela ini juga dapat melekat dalam diri seorang muslim. 4). Tentang Ahli Kitab. Terma Ahli Kitab secara singkat biasa dikenal dengan pemeluk agama Yahudi dan Nasrani, namun dalam buku "Fiqih Lintas Agama" sebagaimana pola bahasan lainnya diambil arti yang paling general, yaitu: setiap agama yang mempunyai kitab suci, baik itu agama samāwī atau bukan. Argumen mereka berdasarkan pendapat Rashid Ridā dalam tafsirnya terhadap al-Qur'an surat al-Mā’idah ayat 5.
Adapun gagasan fikih terapannya antara lain:1). Mengucapkan salam kepada non-Muslim, baik memulai maupun menjawabnya diperbolehkan. Adapun hadith Abu Hurairah yang melarang seorang Muslim mengucap salam kepada non-Muslim tidak dapat dipakai karena berlawanan dengan sifat Islam yang lemah lembut dan Abu Hurairah sendiri dianggap tidak kredibel dalam meriwayatkan hadith. 2). Mengucapkan “Selamat Natal” dan “Selamat Hari Raya” agama lain serta menghadiri Hari Raya mereka tidak dilarang. Ucapan selamat seperti itu tidaklah berarti mengorbankan akidah si pengucap dan sama saja dengan ucapan "Selamat Pagi" dan sebagainya, bahkan dapat mempererat hubungan baik dengan non-Muslim. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa tokoh Islam Indonesia semisal Abdurahman Wahid dan Nurcholish Madjid. 3). Doa bersama lintas agama diperbolehkan dengan semua bentuknya. Akan tetapi, doa bersama yang formatnya meminta doa dari non-Muslim sebaiknya tidak dilakukan untuk menghindari ketidakpastian. Dalam kisah keislaman Umar, Rasulullah mendoakan Umar yang waktu itu musyrik untuk masuk Islam. 4). Kawin beda agama diperbolehkan karena tidak ada kendala teologis yang melarang. Adapun larangan dalam ayat al-Baqarah: 221 hanya berlaku bagi musyrik makkah. Muslimah yang menikah dengan pria non-Muslim juga diperbolehkan. Adapun pendapat ulama yang melarang hanya semata penafsiran saja dan tidak mempunyai dasar kuat karena landasan yang berbicara jelas tentang itu hanya sebuah hadith mauqūf (sanadnya tidak sampai ke Rasul) riwayat Umar.

KESIMPULAN
Analisis terhadap buku "Fiqih Lintas Agama" secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut: 1). Fikih mempunyai dua sisi yang berbeda; satu sisi bersifat teosentris, yaitu ajaran-ajaran teologis dan hukum-hukum yang disebutkan secara jelas dan gamblang yang kesemuanya harus kita terima secara taken for granted dari Allah dan Rasul dan meyakininya sebagai divine wisdom. Sisi lainnya bersifat antroposentris; yaitu hukum-hukum yang berasal dari ijtihad ulama yang rujukan utamanya masih membuka ruang untuk berbagai penafsiran sesuai dengan kemaslahatan di masing-masing tempat, waktu dan keadaan. Kedua sisi ini harus dibedakan dengan jelas dan tidak boleh dicampuradukkan. 2). Kajian teologis buku "Fiqih Lintas Agama" mempunyai beberapa kelemahan yang nyata, antara lain: a). "Allah" adalah proper name. Nama Tuhan agama Islam ini unik karena tidak pernah dipakai untuk menunjukkan oknum lain selain Yang Maha Esa dan tidak dapat diganti dengan God, Gott, Tuhan dan sebagainya karena kata ini adalah proper name (nama diri). Karenanya, kata ini tidak mempunyai derivasi yang berbentuk feminin atau plural, berbeda dengan kata "Tuhan" dan sebagainya. Hal ini penting karena nama Tuhan suatu agama merupakan bagian dari identitas agama itu sendiri sehingga tidak dapat digeneralkan begitu saja. Tentunya tanpa melupakan bahwa Allah memang mempunyai banyak nama. b). Tidak ada bukti sejarah bahwa agama selain Islam, Yahudi dan Nasrani berasal dari Nabi dan atau Rasul Allah. Meskipun benar jumlah nabi sangat banyak, tetapi menyimpulkan bahwa setiap agama dibawa oleh seorang Nabi Allah adalah kesimpulan yang gegabah. Buku "Fiqih Lintas Agama" hanya menyorot sisi kesinambungan ajaran para Nabi tanpa menyorot adanya penyimpangan ajaran oleh para pengikutnya sehingga memaksakan untuk mengakui kebenaran setiap ajaran agama tanpa kecuali. c). Islam tidak hanya berisi kepasrahan. Banyak sisi Islam yang dihilangkan oleh buku "Fiqih Lintas Agama" ketika menyederhanakan Islam hanya sebatas kepasrahan kepada Tuhan. Sebagaimana diketahui untuk berislam diperlukan lebih dari sekedar pasrah, tapi juga keyakinan yang benar terhadap Allah dan Rasul dan pengamalan terhadap ajaran-ajarannya. Menyebut non-Muslim sebagai "Muslim general" yang berhak atas surga menyalahi dalil-dalil Islam sendiri yang tak terhitung jumlahnya. Non-Muslim juga tidak akan merasa senang dengan sebutan ini karena pastinya lebih menyukai dipanggil sesuai identitas agama masing-masing sehingga konsep ini tak lebih dari pengorbanan akidah yang sia-sia. d). Ahli Kitab yang diartikan sebagai seluruh umat agama yang mempunyai kitab suci adalah pendapat lemah. Pada masa Nabi, istilah ini hanya merujuk pada dua umat saja; Yahudi dan Nasrani, meskipun umat-umat lain sudah dikenal pada masa itu. Selain itu, Selain itu, gagasan seperti ini “terlalu liar” hingga jika memang dilakukan dengan konsisten, maka Ahmadiyah, Baha’iyah dan bahkan aliran-aliran lokal seperti Darmogandul, Gatoloco dan lain-lain harus diakui sebagai Ahli Kitab karena mereka mempunyai kitab yang menurut mereka suci. Bila memang ini terjadi, maka harus ada redefinisi terhadap apa yang disebut sebagai kitab suci dan bahkan apa yang disebut sebagai agama. e). Millah Ibrāhīm hanya satu. Bila pedomannya adalah al-Qur'an, maka jelas bahwa agama Ibrahim hanya satu, yaitu Islam dan bukannya Yahudi atau Nasrani. Ketiga nama agama ini harus konsisten dipahami sebagai nama diri, bukan kata sifat seperti kepasrahan, sektarian atau komunalistik. Pemahaman seperti ini selain mengaburkan identitas juga ahistoris.
2). Analisis terhadap gagasan fikih terapannya sebagai berikut: a). Mengucap salam kepada Non-Muslim yang tidak menampakkan permusuhan kepada Islam, baik memulai maupun menjawab memang diperbolehkan. Adapun hadith yang melarang memulai salam kepada mereka adalah hadith sahih yang tidak dapat diragukan lagi keberlakuannya, tetapi larangan yang dimaksud hanya makruh, bukan haram. b). Mengucapkan selamat Hari Raya umat lain dilarang karena mengucapkan itu tidak sesederhana seperti berucap "selamat pagi" atau sekedar menghormati pribadi Yesus, tetapi juga simbol pengakuan terhaadap kebenaran agama lain melalui penghargaan yang tinggi terhadap syi'ar agama tersebut. Toleransi tidak mengharuskan hal-hal sedemikian. c). Menghadiri perayaan hari raya agama lain hukumnya tergantung niat yang bersangkutan. Bila niatnya ikut meramaikan tentu dilarang, namun bila untuk keperluan lain seperti menjaga keamanan untuk menghindari  konflik, memberikan pesan-pesan perdamaian dan sebagainya maka tidak ada larangan. d). Hukum doa bersama adalah beragam, tergantung pada cara pelaksanaan, tata cara berdoa, isi atau materi doa, kepada siapa doa ditujukan dan apakah yang memimpin seorang monotheist atau polytheist. Bila semuanya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka tidak ada alasan untuk melarangnya. e). Perkawinan antara pria muslim dan wanita Ahli Kitab diperbolehkan, sesuai dengan pernyataan al-Qur'an sendiri. Sedangkan perkawinan antara wanita muslimah dengan lelaki kafir manapun dilarang karena larangan ini sudah jelas dalam al-Qur'an ayat al-Mumtahanah: 10 yang sebagian artinya: "Mereka (perempuan muslimat) tidak halal bagi mereka (pria-pria kafir)" sehingga tidak dapat dibilang sebagai hanya penafsiran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar