Senin, 09 Juli 2012

Semedi ( Meditasi )


Semedi ( Meditasi ) Banyak istilah yang bisa dipakai untuk menggambarkan perilaku khas ini. Semedi kata orang Jawa. Meditasi. Maladihening. Neng, ning, nung. Kotemplasi. Tafakur. Dan…..mungkin masih ada banyak istilah yang maksudnya sepadan. Bermacam cara orang melakukan meditasi. Berbagai tujuan pula yang hendak diraih. Untuk kali ini kita akan berbincang dengan memfokuskan pada tiga hal yaitu pencarian kesejatian diri, alam gaib dan ‘penemuan’ dengan “Sang Maha Ada”. Saya kutip dulu dari ajaran Wirid / Semedi MALADIHENING yang diajarkan Eyang Guru saya,demikian tatacaranya : 1. Posisi badan telentang menghadap ke atas, seperti mau tidur. Jangan ada anggota badan yang posisinya kurang nyaman. Seluruh anggota badan “jatuh” menempel di pembaringan tanpa ada penahanan sedikitpun. Seluruh otot dan syaraf harus rileks atau loss. Bisa juga dipakai posisi duduk bersila. 2. Tangan sedekap atau ’sendakep’ dengan posisi lengan atas tetap menempel di lantai/tempat berbaring sementara lengan bawah diletakkan di atas dada. Jari-jari tangan saling mengunci ( jari diadu dengan jari merapat ). Atau bisa juga agar lebih rileks, tangan diluruskan ke bawah (arah kaki), kedua telapak tangan menempel di paha kiri kanan sebelah luar. 3. Mata terpejam seakan anda sedang bersiap menidurkan diri. Bola mata tidak boleh bergerak- gerak, tahan dalam posisi pejam dan bola mata diam tidak bergerak, disebut meleng, meneng. Ketika memejamkan mata ini bola mata diarahkan ke arah puncak hidung ( mandeng puncaking grono ) 4. Kaki lurus dan rileks, telapak kaki kanan ditumpangkan di atas telapak kaki kiri disebut sedakep suku tunggal. Mengumpulkan atau Mengatur Pernafasan. Tarik pelan nafas melalui hidung sampai di perut, lebih tepatnya lagi sampai di puser. Tahan. Bawa naik ke atas terus sampai ubun- ubun. Tahan. Baru bawa ke bawah samapi mulut dan lepaskan. Lakukan berulang- ulang. Bawa atau tarik naik turunnya nafas dengan ‘rasa kesadaran’. Ketika ini lidah hendaknya ditekuk ke atas, ke ‘cethak’. Lakukan beberapa kali ulangan. Ketika ini harus dibarengi ingat kepada Allah. Cara praktisnya yaitu ketika menarik nafas hati menyebut “HU” dan ketika melepas nafas hati menyebut “ALLAH”. Lafal HU merujuk pada ADA-Nya, atau Dzat-Nya atau Pribadi-Nya. Sedangkan lafal ALLAH merujuk pada Nama-Nya atau panggilan- Nya. Kemudian pikiran dikosongkan, tidak memikirkan apa- apa. Obyek pikir atau lebih tepatnya ‘kesadaran rasa kita’, kita fokuskan ke arah puncak hidung ( yaitu diantara dua mata kita ). Maka akan nampak cahaya berpendar. Semakin terang. Kita ikuti denga kesadaran rasa kita. seakan ada lorong yang panjang bercahaya keperakan. Kita ikuti saja. Nah…plong…kita atau lebih tepatnya kesadaran diri kita yang sejati sudah bebas dari tubuh kita. Sensasi ini yang oleh kebanyakan orang disebut ‘meraga sukma’ atau ngrogo sukmo. Nah sampai pada batas ini menjadi sangat krusial. Karena apa ? Karena apapun yang kita niatkan akan ’sampai’. Artinya obyek kesadaran menjadi sangat penting. Jika kesadaran Anda kepada alam gaibnya jin maka otomatis ’sinyal gelombang energi’ Anda akan bersambung dengan alam jin. Jika obyek kesadaran Anda adalah para ruh nenek-moyang atau leluhur maka Anda akan berjumpa dengan leluhur Anda. Ada satu hal yang sangat penting di sini. Apakah kita hanya akan ‘mengurusi’ soal benda dan makhluk saja ? Apakah kesadaran kita akan hanya kita tujukan untuk mencari ‘ada’ yang bisa rusak dan tidak hakiki ( makhluk ) saja ? Tidakkah kita ingin ‘menjumpai’ Dia Sang Maha Ada yang tidak akan rusak binasa ( Al- Kholiq ) ? Dia yang telah menciptakan kita dan juga alam ini. Dia Yang Maha Ada yang menjadi ‘tempat’ kita berpulang atau kembali nanti. Mari bertafakur yang sejati. Menemukan-Nya di diri kita dan juga di diri-diri yang lain. Di diri alam semesta. Sejatinya dimanapun ‘ada’ itu ada maka disitulah Sang Maha Ada itu ada. Dia meliputi segala sesuatu. Justru jika kesadaran kita terhenti pada diri kita saja maka yang kita temui adalah hanya diri kita. Jika kesadaran kita ada pada alam jin maka yang kita temui adalah jin. Jika kesadaran kita ada pada-Nya, bahkan harusnya itu ’sadar penuh’ maka kita akan ketemu dengan Dia, Sang Sangkan Paraning Dumadi. Tentu bertemu dengan-Nya secara tan kinoyo ngopo, laisa kamitslihi syai’un, tidak bisa digambarkan dengan apa dan bagaimana. Salah satu bentuk semedi yang paling dasar dan alami adalah tidur. Ketika kita tidur maka hakekatnya sama dengan mati. Ketika tidur inilah diri kita kembali berada dalam ‘genggaman’-Nya. Nah bayangkan sendiri jika kita bisa tidur secara ‘advance’. Yaitu badan kita tidur terlelap namun kesadaran kita bisa tetap ’sadar’ mengikuti kesadaran ‘ruh’ kita yang merupakan ‘min Ruhi’. Ada lagi semedi dalam bentuk yang sudah ‘advance’ yaitu sholat. Namun sholat dalam pengertian yang sebenar-benarnya yaitu bukan hanya manembahing rogo, tetapi juga manembahing rahsa ( sir ) dan sukma ( ruh ). Salam Ilmu Sejati,Puji Suci marang Gusti kawulo tansah ngabekti. DIPOSKAN OLEH SUBURONE DI 07:37 0 KOMENTAR LABEL: ILMU SEJATI MEDITASI 7 CAKRA & OLAH SEMEDI Meditasi dibagi dalam dua alur besar. Yakni meditasi mikorokosmos atau pemusatan konsentrasi pada jagad alit yakni unsur-unsur yang ada dalam diri tubuh kita. Dan meditasi makrokosmos atau meditasi jagad ageng. Meditasi cakra merupakan subsistem dari meditasi mikrokosmos. CAKRA DASAR, ROOT CHAKRA, Jayengdriyo, Muladhara : Cakra pertama. Terletak di dasar tulang belakang, berfungsi meningkatkan kemampuan kita dalam bertahan hidup dan beradaptasi. Cakra ini sekali terbuka akan memberikan stabilitas yang kita perlukan untuk memikul beban kita sehari-hari. Ketika cakra dasar ini masih tertutup akan membuat kita takut pada perubahan. Tetapi sekali terbuka akan menciptakan peluang bagi kita untuk menggapai kesempatan merasakan indahnya kehidupan serta suatu kenikmatan dan anugrah yang menakjubkan dalam kehidupan ini. SEXUAL CHAKRA, JANALOKA atau Swadhishtana: Cakra kedua ini terletak di balik wilayah alat genital. Sepadan dengan bait al-mukadas. Cakra ini berkaitan dengan energi dan gairah seksual. Apabila energi mengalir bebas diwilayah ini akan membawa energi positif dalam hidup kita. Penyumbatan di daerah ini dapat mengakibatkan masalah seksualdan reproduksi yang akan menghambat energi mengalir bebas dan menyebabkan energi negatif dalam hidup kita. CAKRA PUSAR, NAVEL CHAKRA atau Manipura : Cakra ketiga. Cakra ini hubungannya dengan energi dan terletak di bawah pusar. Cakra ini merupakan pusat kekuatan tubuhdan merupakan titik luncur untuk energi prana. Meditasi pada cakra ini akan membawa energi besar dan dapat digunakan untuk menyerap energi yang besar pula. Biasanya meditasi cakra pusar secara efektif diterapkan untuk membangkitkan “tenaga dalam” dan untuk penyerapan energi alam seperti energi ombak laut, energi angin, energi api, energi matahari, energi rembulan, energi bumi dsb. CAKRA HATI, HEART CHAKRA atau Anahata : Cakra keempat. Sepadan dengan bait al- muharam. Panggulunganing raosing karsa. Cakra hati terletak persis di daerah jantung- hati dan berhubungan dengan kebaikan yang besar dan cinta kasih. Meditasi pada cakra ini dapat memiliki pengalaman batin yang mendalam dan membuka hati untuk dapat merasakan keindahan sejati dalam memahami alam semesta. Cakra ini berfungsi pula untuk menghubungkan antara pikiran (kesadaran) tubuh (ragawi) dengan kesadaran jiwa (batin). CAKRA TENGGOROKAN, THROAT CHAKRA atau Vishuddha : Cakra kelima. Sepadan dengan bait al- makmur. Titik energi cakra ini terletak di dasar tengkorak. Pusat energi ini terutama terkait dengan kemampuan kita untuk mengekspresikan diri kita sendiri dan juga memiliki dampak langsung pada sistem kelenjar kita. Membuka cakra ini akan membantu mereka yang memiliki kendala sulit berkomunikasi. CAKRA ALIS, BROW CHAKRA, PAPASU, atau Ajna : Disebut pula cakra keenam. Alam papat (empat); sukma wisesa (alam nuriah), sukma purba (alam siriyah), sukma langgeng (alam hidayat), sukma luhur (alam jamma). Cakra ini terletak di antara kedua alis mata, disebut juga sebagai mata ketiga. Sebagai titik di mana alam pikiran sadar dan alam pikiran bawah sadar datang bersama-sama untuk membuka kemampuan kita secara psikhis (innerworld) dan intuitif (kebatinan). Meditasi pada cakra mata ketiga (third eye) ini paling digemari para pemula meditasi. Karena diperolehnya wawasan yang dalam dan luas bahkan mata ketiga dapat mulai terbuka. Memungkinkan seseorang dapat melihat dimensi gaib dengan mata batinnya (third eye vision). CAKRA MAHKOTA, CROWN CHAKRA, atau Mahasrara : Disebut pula sebagai cakra ketujuh. Alam langgeng, Uluhiah, Sang Jati. Ini dianggap sebagai chakra rohani, di mana orang dapat menemukan kebijaksanaan yang sejati di mana pengetahuan lahir dan batin, pengalaman fisik dan metafisik, wadag dan gaib, semua dapat dialaminya. Cakra ini sebagai titik energi di mana pencerahan sejati dan bentuk realisasi diri dapat terjadi. Dalam tradisi Jawa, mengasah cakra mahkota dapat menjadikan seseorang menjadi Permana Jati. Yakni mampu weruh sadurunge winarah atau mampu melihat sesuatu yang bersifat futuristik, dan weruh kasunyatan jati atau mengetahui kenyataan sesungguhnya apa yang sebenarnya terjadi di alam fana (jagad wadag) dan alam keabadian (jagad gaib). Dapat dikatakan, terbukanya cakra mahkota dapat membuat seseorang menyaksikan dan memahami suatu kenyataan, baik sesuatu secara fisik maupun gaib. Oleh karena itu terbukanya cakra mahkota dapat meraih ngelmu kasunyatan (pengetahuan yang nyata) yang meliputi wahana fisik dan gaib. Kita jadi tahu apa yang sesungguhnya terjadi sekalipun di alam gaib. Oleh sebab itu, bermeditasi pada cakra ini akan menghasilkan efek yang mendalam dan harus didekati dengan cara hati-hati dan dibekali pemahaman yang memadai. Karena bisa jadi pelaku meditasi akan terkejut dan bingung melihat kasunyatan gaib (realitas gaib), ternyata tidak sesuai dengan apa yang tidak sekedar diyakininya (ujare, katanya) selama ini. Dalam spiritual Jawa seseorang yang dapat menerima “Wahyu Keprabon” atau wahyu kepemimpinan (wahyu singgasana kekuasaan untuk menjadi RI-1) atau dalam pewayangan dinamakan “Wahyu Makutarama” hanyalah orang-orang yang sudah terbuka cakra ketujuhnya. Sehingga akan membawa keberhasilan seorang Presiden dalam masa kepemimpinannya. Meditasi merupakan PEMUSATAN PIKIRAN, mengkonsentrasikan DAYA CIPTA pada satu titik yang ada di dalam tubuh kita. Arah pemusatannya melalui jalan sugesti atau saran dari kekuatan pikiran. Pemusatan pikiran pada satu hal saja yakni pada cakra-cakra yang ingin dibuka atau dibangkitkan. Sementara itu, olah semedi merupakan penghentian atas semua gerak-gerik cipta. Digantikan dengan PEMUSATAN pada RAHSA atau rasasejati untuk memahami sejatining rasa pangrasa. Pemusatan rasa akan terjadi setelah kita MELEPAS SEMUA KEGIATAN PIKIR- MEMIKIR. Sehingga akan dicapai keadaan “suwung” atau kosong dari segala pikiran dan kemudian masuk (manjing) ke dalam keheningan batin yang “suwung” (awang uwung). Duwe rasa ora duwe rasa duwe, atau “punya rasa, tidak punya rasa punya”. Nah, untuk meraih keberhasilan dalam membuka cakra ketujuh, Anda harus melakukan olah semedi. UNIVERSAL VALUE Meditasi pada cakra-cakra kita merupakan cara yang efektif untuk membangun energi dan meraih kesadaran spiritual. Ada tiga cakra yang harus kita konsentrasikan untuk meraih keberhasilan. Hal ini akan membuahkan hasil terbesar serta meningkatkan kesadaran dimensi kita dalam waktu sesingkat mungkin. Ini sangat dibutuhkan bagi siapapun yang ingin meraih kesembangan yang lebih baik. Keseimbangan diri dengan dimensi sosial (self & social dimension), diri dengan alam (microcosmos & macrocosmos). Orang yang meraih “keseimbangan” akan berada dalam irama yang harmoni. Yakni orang-orang yang selalu memperoleh berkah dan anugrah, yang selalu menebar berkah dan anugrah kepada seluruh makhluk. Itulah orang yang meraih derajat kemuliaan. DERAJAT KEMULIAAN ditentukan oleh apa yang diperbuat seseorang selama hidupnya. Apakah Anda percaya, jika kondisi seseorang menjelang ajal termasuk mencerminkan derajat kemuliaannya? Sudah berapa kali Anda menunggui orang di saat menjelang ajal? Cobalah cermati dgn kepekaan mata hati, dengan kebeningan mata batin, ternyata “keyakinan” seseorang tidak berhubungan langsung dengan kondisi akhir saat sakaratul maut tiba. Yang menentukan derajat tetap saj perbuatan. Bagi yang tak percaya boleh saja toh kelak akan membuktikan sendiri pada waktu yang sudah terlambat. Keyakinan yang dianut sebagai sarana pendidikan untuk membangun budi pekerti luhur bagi penganutnya. Budi pekerti menentukan “corak warna” apa yang diperbuat oleh seseorang. “Corak warna” perbuatan setiap orang lah yang pada akhirnya menentukan derajat kemuliaan. Yang ada adalah ngunduh uwohing pakarti, atau menuai buah budi pekerti, bukan ngunduh uwohing agami. Karena agami berfungsi sebagai salah satu “media tanam” bagi tumbuhnya “tanaman” bernama budi pekerti luhur. Meditasi cakra merupakan salah satu cara di antara milyaran cara yang dapat dilakukan manusia untuk menggapai level keluhuran budi pekerti, untuk meraih derajat kemuliaan hidup yang tinggi. Seseorang yang telah terbuka cakra mahkotanya, ialah orang yang telah mencapai maqom ke 7. Tentu saja derajat maqom ini akan tercermin dalam pola pikir, segala sikap, dan tindak perbuatannya. Sebaliknya fanatisme terhadap suatu agama, budaya, dan falsafah hidup barulah mencerminkan terbukanya cakra level dasar. Celakanya, orang-orang yang baru terbuka cakra dasarnya biasanya justru bersikap seolah sudah menggapai maqom ke tujuh. Sudah merupakan hukum alam bahwa “air beriak tanda tak dalam,padi yg tidak merunduk tanda tidak berisi”. DIPOSKAN OLEH SUBURONE DI 07:17 0 KOMENTAR LABEL: OLAH SEMEDI LAKON BIMO SUCI Lakon ini amat digemari di kalangan kasepuhan karena mengandung permenungan mendalam tentang asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi) dan menjawab kerinduan hidup dalam perjalanan rohani orang jawa untuk bersatu dengan Tuhan (manunggaling kawulo Gusti; curiga manjing warangko). Begitu disenangi dan diulang-ulang sebagai bahan permenungan, maka kisah ini memilik variasi-variasi bahkan menyimpang dari lakon awalnya, tergantung siapa yang menyalin kisah ini, siapa dalang yang memainkan lakon dalam pertunjukan wayang. Poerbotjaroko, tahun 1940 menyelidiki variasi- variasi naskah dan menemukan kurang lebih 29 buah naskah Bima Suci. 19 buah naskah tersimpan di Universitas Leiden Belanda. Dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doctor tahun 1930, Prijohoetomo membandingkan dua kisah : Nawaruci dan Dewaruci. Kitab Nawaruci yang juga dikenal dengan nama Sang Hyang Tat-twajnana (kitab tentang hakekat hidup) ditulis oleh Empu Siwamurti (th. 1950-an) dengann latar belakang budaya Kerajaan Majapahit. Pada jaman itu mistik Islam mulai masuk dalam budaya Jawa, dan kisah Nawaruci digubah menjadi lakon Dewaruci (dengan dimasuki unsur-unsur Islam) dan dipentaskan dalam dunia perwayangan. Alur ceritera Dewaruci/ Bima Suci dipengaruhi oleh kisah Markandeya dari India. Di kisahkan Markandeya mengarungi kedalam samudera dan berjumpa dengan anak kecil. Anak kecil itu bernama Narayana, jelmaan dari Dewa Wisnu. Narayana meminta Markandeya masuk dalam tubuhnya untuk menyaksikan seluruh isi alam semesta. Dalam kisah ini tokoh Bima tidak ada. Dari berbagai kisah Bima Suci yang bervariatif itu dapat ditemukan benang merahnya. Alkisah, Bima atas perintah gurunya (Durno) mencari “Banyu Perwitasari”. Dalam perjalanan mencari air kehidupan, Bima menuju hutan Tikbrasara (berarti landeping cipta) yang terletak di gunung ReksaMuka (yang artinya Mata). Di hutan ini Bima dihadang oleh dua raksasa Rukmuka (berarti kamukten) dan Rukmokala (yang berarti Kamulyan). Bima mampu mengalahkan ke dua raksasa itu. Untuk memperoleh “inti sari pengetahuan sejati” (Perwitasari), Bima harus melalui samadi (yang dilambang dengan hutan Tibaksara dan gunung Reksomuka =Mata/ pemahaman yang mendalam). Bima tidak bisa mencapai titik penyatuan mata batin dalam samadi kalau tidak ‘membunuh’ pikiran tentang kamukten dan kamulyan. Kisah selanjutnya, Bima tahu bahwa air ‘perwitasari’ tidak terletak di hutan Tikbrasara yang ada di gunung Reksamuka, tetapi di dasar samudera. Maka perjalanan dilanjutkan ke dasar samudra (samudra pangaksama=pengampunan). Dalam samudra bertarung dengan naga (symbol kejahatan/ keburukan) dan Bima berhasil membunuhnya. Untuk memperoleh air perwitasari tidak cukup dengan membuang kamukten dan kamulyan tetapi harus juga berani mengampuni kepada orang-orang yang bersalah dan membunuh kejahatan yang ada dalam dirinya (masuk samudra pengampunan dan membunuh naga kejahatan). Setelah melampaui berbagai rintangan, akhirnya Bima ketemu Dewaruci, yang persis dengan dirinya namun dalam ukuran kecil. Bima masuk ke badan Dewaruci melalui telinga kanan dan di dalam diri Dewaruci, Bima melihat seluruh isi semesta alam. Bima dengan samadi secara benar : menutup mata, mengatur nafas, konsentrasi dengan pikiran dan perasaan yang bersih (Cipta Hening). Dalam samadi ini, Bima menerima Terang atau wahyu sejati dalam samadi: “manunggaling kawula gusti”, kesatuan manusia dengan Tuhan. Dalam jati diri terdalam, manusia bersatu dengan Tuhan. Kemanunggalan ini yang menjadikan manusia mampu melihat hidup yang sejati. Dalam istilah kejawen: Mati sakjroning urip, urip sakjroning mati. Inilah perjalanan rohani untuk masuk dalam “samudera menanging kalbu”. DIPOSKAN OLEH SUBURONE DI 06:17 0 KOMENTAR LABEL: BUDOYO JOWO SANGKAN PARANING DUMADI Dalam hidup ini, manusia senantiasa diingatkan untuk memahami filosofi Kejawen yang berbunyi “Sangkan Paraning Dumadi”. Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi? Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Padahal, jika kita belajar tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan mengetahuikemana tujuan kita setelah hidup kita berada di akhir hayat. Manus…ia sering diajari filosofi Sangkan Paraning Dumadi itu ketika merayakan Hari Raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat Indonesia lebih suka menghabiskan waktu hari raya Idul Fitri dengan mudik. Nah, mudik itulah yang menjadi pemahaman filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Ketika mudik, kita dituntut untuk memahami dari mana dulu kita berasal, dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak tembang dhandanggula warisan para leluhur yang sampai detik ini masih terus dikumandangkan. Kawruhana sejatining urip Urip ana jroning alam donya Bebasane mampir ngombe Umpama manuk mabur Lunga saka kurungan neki Pundi pencokan benjang Awja kongsi kaleru Umpama lunga sesanja Najan- sinanjan ora wurung bakal mulih Mulih mula mulanya Ketahuilah sejatinya hidup, Hidup di dalam alam dunia, Ibarat perumpamaan mampir minum, Seumpama burung terbang, Pergi dari kurungannya, Dimana hinggapnya besok, Jangan sampai keliru, Umpama orang pergi bertandang, Saling bertandang, yang pasti bakal pulang, Pulang ke asal mulanya, Kemanakah kita bakal ‘pulang’? Kemanakah setelah kita ‘mampir ngombe’ di dunia ini? Dimana tempat hinggap kita andai melesat terbang dari ‘kurungan’ (badan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar